Disusun oleh:
Shabrina Cendana Putri (4112021121)
Pembimbing :
Kolonel CKM (Purn.) dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL
dr. Taufani Dewi Vitriana Tri Lestari, Sp.THT-KL
dr. Aulia Hervi Anggraini, Sp.THT-KL
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I LAPORAN KASUS.......................................................................................................3
I. IDENTITAS PASIEN.........................................................................................................3
II. ANAMNESIS....................................................................................................................3
III. PEMERIKSAAN FISIK...................................................................................................4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................................9
V. RESUME...........................................................................................................................9
VI. DIAGNOSIS BANDING.................................................................................................9
VII. DIAGNOSIS KERJA.....................................................................................................9
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG..............................................................9
IX. RENCANA PENATALAKSANAAN.............................................................................9
X. EDUKASI..........................................................................................................................9
XI. PROGNOSIS..................................................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................11
2.1 Anatomi Tonsil...........................................................................................................11
2.2 Fisiologi Tonsil...........................................................................................................15
2.3 Definisi Tonsilitis.......................................................................................................16
2.4 Epidemiologi Tonsilitis..............................................................................................16
2.5 Etiologi.......................................................................................................................17
2.6 Patofisiologi................................................................................................................17
2.7 Klasifikasi...................................................................................................................19
2.8 Manifestasi Klinis.......................................................................................................21
2.9 Diagnosis....................................................................................................................24
2.10 Tatalaksana...............................................................................................................28
2.11 Komplikasi................................................................................................................33
2.12 Prognosis...................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................35
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 46 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Depok
Tanggal Pemeriksaan : Juli 2023
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Juli
2023 di Poliklinik THT RS TK II Moh. Ridwan Meuraksa.
A. Keluhan Utama
Rasa nyeri saat menelan di tenggorokan sejak 4 hari SMRS.
B. Keluhan Tambahan
Nyeri menelan disertai sakit kepala dan demam sejak 4 hari SMRS.
3
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : Ada, sejak pasien kecil.
Riwayat operasi THT : disangkal
Alergi : disangkal
Gangguan di telinga : disangkal
Gangguan di hidung : disangkal
Asma : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Hipertensi : disangkal
Riwayat Rhinosinusitis : disangkal
Riwayat penyakit lain : disangkal.
3. Tanda-Tanda Vital
∙ Suhu : 36.7 0C
∙ SpO2 : 99% on room air
∙ Nadi : 84 x/menit, reguler
∙ Pernapasan : 20 x/menit
4
4. Status Generalis
● Telinga
5
Daerah Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
preaurikula fistula (-), abses (-), fistula (-), abses (-), nyeri
nyeritekan tragus (-) tekan tragus (-)
Tes rinne + +
●Hidung
6
Pemeriksaan Hidung Kanan Hidung Kiri
Bagian
Hidung Keterangan
Mukosa
Hidung Luar Bentuk Hiperemis
(N), (-), massa(N),
Bentuk (-) Inflamasi (-),
Inflamasi (-), nyeri tekan (-), deformitas
Lidah Deviasi(-),
(-) Allergic crease (-).
nyeri tekan (-),
Gigi geligi deformitas87654321
(-), | 12345678
87654321
Allergic crease (-) | 12345678
Uvula
Rinoskopi Anterior Deviasi (-)
Concha
Laring Eutrofi Tidak dilakukan Eutrofi
inferior
Maxilofacial
Bagian Keterangan
Bagian Keterangan
V. RESUME
8
X. EDUKASI
A. Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut (oral
hygiene), misalnya: menganjurkan sikat gigi dan kumur-kumur
teratur, bila perlu konsultasi ke dokter gigi
B. Edukasi pasien mengenai perjalanan penyakit dan komplikasi
yang timbul.
C. Edukasi pasien mengenai rencana pengobatan dan indikasi
operasi.
XI. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanactionam : Dubia ad bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil Palatina
10
longgar.
11
memperdarahi daerah postero-superior. A. palatina desendens dan
cabangnya, a. palatina mayor dan a. palatina minor, memperdarahi
daerah antero- superior.
12
superior sehingga pada operasi adenoidektomi sukar untuk mengangkat
jaringa ini secara keseluruhan.
13
2.2 Fisiologi Tonsil
14
berfungsi sebagai pertahanan tubuh sampai usia lanjut.
15
data, penyakit infeksi masih merupakan masalah utama di bidang
kesehatan. Angka kejadian penyakit tonsillitis di Indonesia sekitar 23 %.
Berdasarkan data epidemiologi di tujuh provinsi mengenai penyakit THT di
Indonesia. Hasil pemeriksaan yang ditemui pada anak-anak menunjukkan
banyaknya penyakit THT penduduk di Indonesia berjumlah 190-230 per
1.000. Dan didapati 38,4 % diantaranya merupakan penderita yang
mengalami penyakit tonsilitis kronik dan prevalensi tonsilitis kronik 3,8 %
tertinggi setelah infeksi nasofaringitis akut 4,6 %.
2.5 Etiologi
2.6 Patofisiologi
16
oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus
infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita
menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang
disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer. Setelah terjadi
serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan tidak dapat
kembali sehat seperti semula. Secara patologi terdapat peradangan dari
jaringan pada tonsil dengan adanya kumpulan leukosit, sel epitel yang
mati, dan bakteri pathogen dalam kripta. Fase-fase patologis tersebut
ialah:
1. Peradangan biasa daerah tonsil saja
2. Pembentukan eksudat
3. Selulitis tonsil
4. Pembentukan abses peritonsiler
5. Nekrosis jaringan
Karena proses radang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoidterkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
limfa dengan submandibular. Peradangan dapat menyebabkan keluhan
tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena
sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan.
Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan
kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada
anak biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa
ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu
pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila
pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. Jika peradangan telah
ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali pulih seperti semula atau
bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Apabila tidak terjadi
penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi infeksi berulang.
17
Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam
tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut dengan
tonsilitis kronis.
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi
dari semua penyakit tenggorok yang berulang. Tonsilitis kronis
umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak
mendapat terapi adekuat. Selain pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat, faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis lain adalah higien
mulut yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa jenis makanan.
2.7 Klasifikasi
18
(bulan atau tahun) dan dikenal sebagai penyakit menahun.
Tonsilitis kronik timbul akibat rangsangan kronis dari rokok,
kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
beberapa jenis makanan, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat.
Bakteri penyebab tonsilitis kronik sama halnya dengan tonsilitis
akut, namun kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri
golongan gram negatif.
Saat pemeriksaan dapat ditemukan tonsil membesar dengan
permukaan tidak rata, kripte membesar, dan terisi detritus.
Beberapa literatur sudah tidak menggunakan istilah tonsilitis
kronik, digantikan dengan tonsilitis akut rekuren, yaitu adanya
episode berulang dari tonsilitis akut yang diselingi dengan interval
tanpa atau dengan adanya keluhan yang tidak signifikan.
a. Tonsilitis Viral
Penyebab paling sering dari kasus ini adalah virus Epstein Barr,
Haemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
b. Tonsilitis Bakterial
Pada kasus ini disebabkan oleh bakteri group A Streptokokus B
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus,
Streptokokus viridans, dan Streptokokus piogenes. lnfiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati
dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus
tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
19
(pseudo-membrane) yang menutup tonsil.
b. Tonsilitis Septik
Penyebab streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena di Indonesia
susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum
maka penyakit ini jarang ditemukan.
20
dirasakan di telinga (referred pain). Nyeri telinga ini diakibatkan oleh
nyeri alih melalui saraf nervus glosofaringeus. Keluhan juga dapat
disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, tidak enak badan, lesu,
sakit kepala, muntah, nyeri perut, dan nyeri sendi. Sedangkan keluhan
yang sering ditemui pada pembesaran adenoid ialah kesulitan bernafas
menggunakan hidung. Apabila terdapat pembesaran tonsil dan adenoid,
keluhan yang timbul ialah gangguan bernafas saat tidur. Keluhan lainnya
ialah bernafas lebih dominan menggunakan mulut, suara sengau, hidung
berair yang kronis, infeksi telinga rekuren, mengorok, hingga sleep
apnea.
a. Tonsilitis viral
21
b. Tonsilitis bakterial
a. Tonsilitis difteri
22
2.8.3 Tonsilitis Kronik
2.9 Diagnosis
23
adanya nyeri tekan (sensitifitas 34%, spesifisitas 82%), pada kulit dapat
muncul ruam scarlatiniform, dimana kulit teraba seperti sandpaper;
inflamasi pada daerah faring dan atau eksudat. Tonsilitis dapat
mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada
lekukan tonsil.
Pemeriksaan Penunjang
24
infeksi streptokokus. Tanda dan gejala tersebut ialah demam persisten,
keringat malam, kaku badan, nodus limfe yang nyeri, pembengkakan tonsil
atau eksudat tonsilofaringeal, scarlatiniform rash, dan petekie palatum.
CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP (American
College of Physicians) merekomendasikan kultur swab tenggorok atau
RAT pada dewasa apabila gejala mengarah pada infeksi streptokokus,
seperti demam persisten, limfadenpati servikal anterior yang nyeri, nyeri
wajah, dan discharge nasal yang purulen.
25
sensitivitas tes. Namun, swab tenggorok dapat digunakan untuk
menegakkan etiologi dari episode rekuren pada pasien dewasa ketika
dipertimbangkan untuk dilakukan tonsilektomi.
26
Umumnya pemeriksaan RAT memiliki senstivitas 59-95% dan
spesifisitas lebih dari 90% dibandingkan dengan kultur swab tenggorok pada
agar darah. Nilai prediktif negatif RAT sangat tinggi berkisar antara 93%-
97% dan umumnya 95%. Sensitivitas RAT adalah 90% (antara 86% dan
94,8%) dibandingkan dengan kultur swab tenggorok pada agar darah. Nilai
prediktif positif RAT berkisar antara 77% dan 97%, umumnya sekitar 90%.
Namun, pemeriksaan RAT untuk deteksi streptokokus grup A dipengaruhi
oleh keterampilan, pengalaman dan ekspertise tenaga medis yang mengambil
swab tenggerok dan melakukan RAT. Untuk memperbaiki akurasi RAT,
maka RAT seharusnya dilakukan oleh tenaga terlatih dan dilakukan pada
dinding faring posterior dan kedua tonsil.
Pada anak dan dewasa, semua penelitian mendukung akurasi yang tinggi
pada RAT ketika dilakukan pada pasien dengan probabilitas yang tinggi
menderita radang tenggorok akibat streptokokus berdasarkan skor Centor.
Pasien dengan kemungkinan besar mengalami infeksi streptokokus (skor
centor 3-4) maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksan RAT.
Pasien dengan kemungkinan kecil mengalami infeksi streptokokus (skor
Centor 0-2) maka tidak perlu rutin dilakukan pemeriksaan RAT.
Diagnosis Banding
2.10 Tatalaksana
a. Analgetik
27
Pada pasien dewasa Ibuprofen atau paracetamol merupakan
pilihan utama untuk analgetika pada dewasa. (level bukti II, derajat
rekomendasi B). Ibuprofen mempunyai hasil yang lebih baik untuk
mengurangi nyeri tenggorok daripada paracetamol. Kombinasi
keduanya tidak memberikan hasil yang signifikan pada pasien
dewasa. Sementara itu untuk pasien anak Paracetamol merupakan
pilihan utama sebagai analgetika pada anak. Ibuprofen merupakan
terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin pada anak dengan
risiko dehidrasi.
b. Terapi tambahan
Pemberian kortikosteroid pada anak dan dewasa dapat
memberikan perbaikan yang signifikan terhadap gejala dan
memberikan efek samping yang minimal. Penggunaan
kortikosteroid kombinasi dengan antibiotik tidak diberikan secara
rutin sebagai terapi tonsilitis, tetapi dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan gejala yang berat. Dosis kortikosteroid sebagai
antiinflamasi 3x1 tablet prednison selama 3 hari.
Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau
benzydamine memberikan hasil yang baik dalam mengurangi
keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki gejala. Lidocaine spray
secara signfikan dapat mengurangi keparahan nyeri dalam tiga hari
pertama, tetapi tidak dalam 7 hari pada trial dengan kualitas rendah
pada 40 pasien usia 6-14 tahun.
28
c. Antibiotik
Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis
maksimum 1 g), atau 25 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum
500 mg), selama 10 hari. Amoksisilin lebih sering digunakan pada
anak-anak karena lebih mudah ditelan. Sefalosporin generasi
pertama seperti cephalexin dan cefadroxil diberikan selama 10 hari,
pada beberapa penelitian didapatkan hasil yang baik. Cephalexin
peroral 20 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg)
selama 10 hari. Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb sekali sehari (dosis
maksimum 1 g) selama 10 hari. Sefalosporin mungkin lebih efektif
dibandingkan penisilin dalam resolusi klinis dan pencegahan
kekambuhan pada dewasa dengan faringtis steptokokus. Namun
Cephalexin jarang digunakan di Indonesia.
Dapat diberikan Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali
sehari (dosis maksimum 300 mg) selama 10 hari. Azitromisin
peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama
5 hari. Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis
maksimum 250 mg) selama 10 hari.Eritromisin etilsuksinat (EES)
40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400 mg pada dewasa) selama 10 hari.
Apabila tidak terdapat alergi pada penisilin V, penisilin V dapat
diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg per oral, 2-3
kali sehari. Dosis dewasa ialah 4x250 mg perhari, atau 2x500 mg
perhari.
Pemberian antibiotik dapat ditentukan dengan
menggunakan Skor Centor pada pasien lebih dari 3 tahun dan
kurang dari 45 tahun. Bila hasil skor Centor 1-2, pasien diberikan
terapi simptomatik selama 3 hari. Bila hasil skor Centor 3-4,
dilakukan pemeriksaan swab tenggorok untuk pemeriksaan RAT
atau kultur resistensi dan segera dilakukan pemberian antibiotik
empiris.
29
atas terapi konservatif dan terapi operatif. Terapi konservatif
dilakukan dengan pemberian obat-obatan simptomatik dan obat
kumur yang mengandung desinfektan. Terapi operatif melibatkan
tindakan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi.
Terapi Pembedahan
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
bicara dan cor pulmonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses
peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri group A
streptococcus B hemolyticus.
30
1. 7 episode serangan atau lebih dalam 1 tahun
2. 5 episode serangan atau lebih dalam 2 tahun
3. 3 episode serangan atau lebih dalam 3 tahun
a. Indikasi absolut
Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran
napas misal pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan
obstruksi, gangguan tidur, komplikasi kardiopulmoner,
gangguan pertumbuhan dentofasial, gangguan bicara
(hiponasal).
Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase.
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
b. Indikasi relative
31
hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik resisten β-laktamase.
2.11 Komplikasi
2.12 Prognosis
32
pasien sehat yang membaik dan memiliki gejala sisa yang minimal.
Mereka dengan infeksi berulang mungkin memerlukan pembedahan;
namun, bahkan pasien ini memiliki prognosis jangka panjang yang baik.
Di zaman antibiotik, bahkan pasien dengan komplikasi, termasuk abses
peritonsillar dan sindrom Lemierre, memiliki hasil jangka panjang yang
sangat baik. Dalam kasus dengan komplikasi GABHS, termasuk demam
rematik dan glomerulonefritis, pasien dapat memiliki gejala sisa jangka
panjang, termasuk penyakit katup jantung dan penurunan fungsi ginjal.
Entitas ini sangat jarang di negara maju, dan insiden telah menurun dengan
munculnya pengobatan penisilin. Jika gejala tidak membaik, diagnosis lain
harus dipertimbangkan, termasuk HIV, TB, gonore, klamidia, sifilis,
mononukleosis, penyakit Kawasaki, abses, dan sindrom Lemierre.
Prognosis keseluruhan dalam kasus ini terkait dengan kondisi yang
mendasarinya.
33
DAFTAR PUSTAKA
TONSILITIS.
5. Lucente, F.E. and Har-El, G. (2011). Ilmu THT Esensial. Jakarta: EGC,
pp.383– 391.
34
10. Gottlieb M, Long B, Koyfman A. Clinical Mimics: An Emergency
Medicine- Focused Review of Streptococcal Pharyngitis Mimics. J
Emerg Med. 2018 May;54(5):619-629.
12. Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Curr Top
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2014;13:Doc07.
13. Sidell D, Shapiro NL. Acute tonsillitis. Infect Disord Drug Targets.
2012 Aug;12(4):271-6.
35