Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus

DEMAM TIFOID

Oleh:
dr. Rahma Nur Islami

Pendamping:
dr. Sylvia Agestie

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


WAHANA RS PELABUHAN PALEMBANG
2021-2022
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus

Judul
DEMAM TIFOID
Oleh:

dr. Rahma Nur Islami

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Dokter Internsip Indonesia di wahana RS Pelabuhan Palembang periode November
2021-November 2022.

Palembang, Januari 2022

dr. Sylvia Agestie

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah atas karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Demam Tifoid”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Program
Dokter Internsip Indonesia di wahana RS Pelabuhan Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sylvia Agestie selaku
pendamping yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Januari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………....….................i


LEMBAR PENGESAHAN.…………………………………………….................ii
KATA PENGANTAR………………..………………………………...................iii
DAFTAR ISI ………………………………..………………………….................iv
BAB I PENDAHULUAN………………...
………………………….......................1
BAB II STATUS PASIEN
……………………………………………....................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
………………………………………................8
BAB IV ANALISIS KASUS
……………………………………………..............23
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………….............25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi
infeksi, bakteri tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1
Demam tifoid termasuk penyakit menular, sehingga berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi
yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa bakteri dan
biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara
transplasenta dari seorang ibu hamil dalam kondisi bakteremia kepada bayinya.2
Demam tifoid mempunyai gejala klinik yang tidak spesifik. Gejala klinik
demam tifoid yang timbul bervariasi, dari ringan sampai dengan berat. Gejala klinik
demam tifoid pada minggu pertama sakit yaitu berupa keluhan demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, diare, serta perasaan tidak enak
di perut, dan dapat disertai batuk. Manifestasi klinik demam tifoid pada minggu
kedua akan tampak semakin jelas. Demam tifoid bila tidak ditangani dengan baik,
dapat mengakibatkan komplikasi seperti perdarahan intestinal, perforasi usus,
trombositopenia, koagulasi vaskular diseminata, hepatitis tifosa, miokarditis,
pankreatitis tifosa, hingga kematian.3

1
BAB II
STATUS PASIEN

No. ID dan Nama dr. Rahma Nur Islami


Peserta:
No. ID dan Nama Rumah Sakit Pelabuhan Palembang
wahana:
Topik: Demam Tifoid

Tanggal Kasus: 26 November 2021

Nama Pasien: Nn. AC Nomor RM: 217699

Tanggal Presentasi: 26/1/20 Pendamping: dr. Sylvia Agestie


22
Tempat Presentasi: RS Pelabuhan Palembang

Objektif Presentasi:

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Ana  Remaj  Dewas  Lansia  Bumil


k a a
Deskripsi: Pasien dewasa usia 18 tahun datang dengan keluhan demam tifoid

Tujuan: Mengidentifikasi penyebab, perjalanan penyakit, gejala, diagnosis


dan tata laksana dari kejang demam kompleks
Bahan  Tinjauan  Riset  Kasus  Audit
Bahasan: Pustaka
Cara  Diskusi  Presentasi dan  Email  Pos
Membahas Diskusi
:

2
Data Nama: Nn. AC No. Reg: 217699
Pasien
Nama Klinik: Instalasi Gawat Telp: Terdaftar sejak:
Darurat 26/11/2021
Data Utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
- Keluhan Utama: Demam
- Riwayat Perjalanan Penyakit: Auto dan alloanamnesis (ibu pasien)
±6 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien menderita demam tinggi, naik
turun, suhu tidak diukur, menggigil (+), mual (+), muntah (-), lidah terasa
pahit, nafsu makan berkurang (+), sakit kepala (+), batuk (-), pilek (-),
nyeri belakang bola mata (-), terasa pegal-pegal, mimisan (-), BAB cair
(-), BAB berdarah (-), gusi berdarah (-), BAK tidak ada keluhan. Pasien
diberi obat penurun panas oleh ibu pasien.
±3 hari sebelum masuk rumah sakit, demam pasien masih tinggi dan naik
turun, mual (+), muntah (+) 2x isi apa yang dimakan, nafsu makan
menurun, nyeri perut (+), badan terasa lemas, tidak BAB sudah 2 hari.
+ 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien demam tinggi disertai
muntah 4x isi apa yang dimakan, nafsu makan menurun, badan lemas,
BAB cair (+) 1x, BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian dibawa
berobat ke RS Pelabuhan Palembang.
2. Riwayat Pengobatan: pasien diberi obat sanmol oleh ibu pasien, demam turun
sebentar.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: riwayat keluhan yang sama sebelumnya
disangkal, tidak ada riwayat penyakit lainnya
4. Riwayat Keluarga: riwayat dalam keluarga dengan keluhan yang sama
disangkal
5. Riwayat Kebiasaan: pasien biasa jajan makanan di warung sekitar kampus
pasien

Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

3
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 78x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 22x/menit, reguler, torakoabdominal
Suhu tubuh : 38oC
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 19,53 kg/m2
Status gizi : Normoweight
Status Lokalis
KEPALA
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, alopesia (-).
Mata : Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+).
Hidung : Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang,
sekret (-), epistaksis (-)
Telinga : Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret
(-), nyeri tekan mastoid (-).
Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-),
lidah
berselaput (+), lidah tremor (+), mukosa mulut kering (+), atrofi
papil (-).
Faring/Tonsil : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-).

LEHER
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).

THORAX
Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis: simetris kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Stem fremitus normal kanan = kiri, nyeri tekan sela iga (-)

4
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru. Batas paru-hepar ICS VI.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 78 kali/menit, bunyi jantung I dan II (+) normal, irama reguler,
murmur dan gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+),
turgor normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)

EKSTREMITAS
Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-), CRT <3 detik
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium (26/11/2021)
Hb 13,3 g/dl
Leukosit 2.400/µL
Trombosit 174.000/µL
Hematokrit 39,1%
Diff count 0/0/0/74/19/7
Rapid antigen Negatif
Widal:
S. typhi O 1/320
S. paratyphi AO 1/160
S. paratyphi BO 1/160
S. paratyphi CO 1/160
S. typhi H 1/320
S. paratyphi AH 1/80
S. paratyphi BH Negatif
S. paratyphi CH 1/160

5
Rontgen Thorax (26/11/2021)
Kesan: cor dan pulmo tak ada kelainan
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis demam tifoid.
2. Mekanisme perjalanan penyakit demam tifoid.
3. Penanganan demam tifoid di RS Pelabuhan Palembang.

Assesment
Nona AC, 18 tahun, ± 6 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien menderita
demam tinggi, naik turun, suhu tidak diukur, menggigil (+), mual (+), lidah terasa
pahit, nafsu makan berkurang (+), sakit kepala (+), terasa pegal-pegal. Pasien
diberi obat penurun panas oleh ibu pasien. Kurang lebih 3 hari sebelum masuk
rumah sakit, demam pasien masih tinggi dan naik turun, mual (+), muntah (+) 2x
isi apa yang dimakan, nafsu makan menurun, nyeri perut (+), badan terasa lemas,
tidak BAB sudah 2 hari. Kurang lebih 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
demam tinggi disertai muntah 4x isi apa yang dimakan, nafsu makan menurun,
badan lemas, BAB cair (+) 1x, BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian dibawa
berobat ke RS Pelabuhan Palembang. Pasien juga memiliki kebiasaan jajan
makanan di sekitar kampusnya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nadi 78x/menit, reguler, isi dan tegangan
cukup, suhu 38oC, RR 22x/menit, status gizi normal. Dari pemeriksaan status
lokalis, didapatkan lidah berselaput, mukosa bibir kering, dan terdapat nyeri
tekan epigastrium. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 13,3 g/dl,
Leukosit 2.400/µL, Trombosit 174.000/µL, Ht 39,1 %, Diff Count 0/0/0/74/19/7,
Rapid antigen negatif, tes widal S. typhi O dan H 1/320.

Kesimpulan: Demam tifoid


Plan
Diagnosis: Demam tifoid
Pengobatan:
Medikamentosa:
 IVFD RL gtt xxx/m

6
 Inj Ceftriaxone 2x1 gram
 Inj Ondansentron 3x4 mg
 Inj Omeprazole 2x1 vial
 Paracetamol tab 3x500 mg

Non Medikamentosa:
 Istirahat/tirah baring
 Diet BB
 Penerapan pola hidup bersih dan sehat untuk mencegah reinfeksi
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Peserta Pendamping

dr. Rahma Nur Islami dr. Sylvia Agestie

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEMAM TIFOID


3.1.1 Definisi
Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik
terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan
kantung empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi
maupun Salmonella paratyphi. Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran
pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi.4
Demam tifoid termasuk penyakit endemik di Indonesia yang mudah
menular sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Penyakit
demam tifoid terjadi pada negara dengan tingkat penghasilan yang rendah serta
menengah dan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Penyakit ini
mempunyai gejala dengan spektrum klinis sangat luas sehingga angka pasti
kejadiannya sulit ditentukan. Kasus demam tifoid secara global diperkirakan setiap
tahunnya mencapai 21 juta kasus dimana terjadi kematian sebanyak 222.000
orang.5

3.1.2. Epidemiologi
Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya
terjadi di negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah. Penyakit ini
menjadi masalah kesehatan publik yang signifikan. Berdasarkan data WHO (World
Health Organization) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17
juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan
70% nya terjadi di Asia. Berdasarkan WHO angka penderita demam tifoid di
Indonesia mencapai 81% per 100.000.5
Kejadian demam tifoid pada negara maju kurang dari 15 kasus per 100.000
poulasi sedangkan di negara berkembang diperkirakan tingkat kejadiannya lebih
besar yaitu 100 hingga 1.000 kasus per 100.000 populasi. Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan

8
kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit.6
Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan
insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.
Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus. Demam tifoid ditemukan pada masyarakat di Indonesia pada usia balita,
anak-anak dan dewasa.7

3.1.3. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram
negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.8
Bakteri Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yang merupakan kompnen protein berada dalam
flagella,bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul. Berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan
bagian terluar dinding sel terdiri dari:
a. antigen O yang sudah dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A
Ketiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membran Protein:
a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar

9
b. Fungsinya sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan
cairan ke dalam membran sitoplasma
c. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid
3.1.4. Patofisiologi9,10
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel-sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial,
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 10 5 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton
Pump Inhibitor.11
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (sel M merupakan sel epitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial

10
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ-organ RES ini kuman meninggalkan sel-
sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda-tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan
mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak-anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-
turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.

11
Bagan 1.1. Patofisiologi Demam Tifoid

3.1.5. Manifestasi Klinis


Gejala dari demam tifoid beragam. Gejala dari demam tifoid biasanya
berkembang sekitar 1-3 minggu setelah terpapar. Demam, pusing, sakit kepala, rasa
tidak nyaman di perut, mual muntah, diare, batuk merupakan gejala klinis yang
timbul pada minggu pertama. Setelah itu, pada minggu kedua pasien merasakan
demam yang lebih berat dimana akan meningkat pada sore dan malam hari. Selain
itu, muncul gejala seperti rose-spot pada dada serta hepatosplenomegali.12
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada September 2015 hingga
Desember 2016, ditemukan gejala tifoid yang mana gejala yang paling umum
adalah demam (100%), diikuti anoreksia (61%), muntah (44%), sakit perut (18%),
diare (16%), sakit kepala (12%), serta batuk (10%).13 Selain itu, berdasarkan studi

12
yang dilakukan oleh Dr Amit Kumar pada tahun 2019, didapatkan beberapa
manifestasi klinis umum dari demam tifoid yaitu demam, malaise, anoreksia,
muntah, sakit kepala, diare, serta organomegali (meliputi splenomegali,
hepatomegali dan hepatosplenomegali).14
a. Demam
Tanda karakteristik yang terjadi adalah demam berkepanjangan, ringan hingga
berat. Demam naik secara bertahap pada minggu pertama kemudian demam
menetap atau remiten pada minggu kedua. Demam biasanya terjadi pada sore
atau malam hari. Biasanya demam mencapai 38ºC hingga 40ºC. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid, dimana muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia akibat dari
Salmonella typhi. Demam terjadi disertai dengan gejala seperti gangguan pada
saluran perncernaan, diare, menggigil, sakit kepala, rasa sakit bahkan
hepatosplenomegali.15
b. Gangguan saluran pencernaan
Pasien tifoid juga mengalami manifestasi seperti gangguan pada
pencernaannya. Gangguan yang dirasakan berupa nyeri yang menyebar dan
tertekan, kadang-kadang dirasakan, nyeri kolik pada kuadran kanan atas.
Terjadi infiltrasi monosit pada Peyer’s patch yang menyebabkan radang dan
lumen usus menjadi sempit sehingga terjadilah konstipasi.16
c. Hepatosplenomegali
Salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien demam tifoid yaitu
hepatosplenomegali dimana hati dan atau limpa mengalami pembesaran. Hati
juga terasa kenyal dan nyeri saat ditekan. Gejala klinis ini terjadi dikarenakan
kuman penyebab infeksi masuk ke dalam hepar dimana akan mengeluarkan
endotoksin yang akan merusak hepar sehingga menyebabkan terjadinya
hepatomegali serta mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan
peningkatan SGOT atau SGPT.2
d. Penurunan kesadaran
Pada pasien demam tifoid terkadang terjadi gejala klinis seperti gangguan atau
penurunan kesadaran akut seperti kesadaran berkabut, apatis, delirium, atau

13
koma dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.2 Umumnya terjadi
penurunan kesadaran ringan. Sering terjadi kesadaran adaptis dengan kesadaran
seperti berkabut. Pasien bisa saja koma atau mengalami gejala psychosis jika
gejala klinis yang dirasakan berat. Gejala delirium lebih menonjol pada pasien
dengan toksik.17

3.1.6. Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis demam tifoid akan mulai berkembang sekitar 1-3 minggu setelah
terpapar bakteri. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat
terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik
penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam
tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan
bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam
lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.3
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan
psikosis.3
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1) Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau

14
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila
disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis
didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift
to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran
sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal,
jumlah megakariosit dalam batas normal.18
2) Pemeriksaan serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk
uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi
masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal)
dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).16
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi:
a. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S. typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan

15
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu:
 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
 Aglutinin H (flagel kuman)
 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi
O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 6-12 bulan
(puncak titer pada minggu ke-3 hingga ke-5), sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama hingga 2 tahun (puncak titer minggu ke-4 hingga ke-6).
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita
sembuh dari sakit. Pada pengidap S. typhi, antibodi Vi cenderung
meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis
infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S. typhi.17
b. Uji TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O-9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.19
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ®
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian pada tahun 2014 menyebutkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.20

16
Ada 4 interpretasi hasil:
 Skala 2-3 adalah negatif borderline: tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah positif: menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif: indikasi kuat infeksi demam tifoid
c. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada
fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari
metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik. Penelitian menyebutkan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur
untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.16
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan dengan menggunakan primer H1-d ini memiliki
sensitivitas untuk mendeteksi satu bakteri dalam beberapa jam. Tujuan
pemeriksaan ini adalah untuk mengamplifikasi gen spesifik Salmonella
typhi. Pemeriksaan ini menjanjikan dan cepat dilakukan namun memiliki
kendala seperti resiko kontaminasi yang menyebabkan positif palsu jika
dalam prosedur pelaksanaan terjadi ketidaksesuaian. Sensitifitas dari tes ini
sama dengan kultur darah namun kurang spesifik. Selain itu, teknis yang
dilakukan cukup rumit serta biaya yang dikeluarkan cukup tinggi.18
Polymerase Chain Reaction (PCR) tidak memenuhi kriteria “Gold
standard” dikarenakan hanya dapat mendiagnosa tifoid pada antigen 14, 15

17
dan 18 dalam satu tesnya. Sehingga perihal sensitivitas dan spesifisitasnya
tidak memenuhi kriteria. Selain itu, tes ini tidak tersedia di daerah
terpencil.16
3) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Isolasi bakteri penyebab dengan mengambil biakan dari berbagai bagian
dalam tubuh. Biakan darah menunjukkan hasil positif pada 40-60% kasus. Pada
minggu pertama sakit, didapatkan sensitivitas biakan darah yang paling baik.
Kemudian positif sampai minggu kedua dan setelah itu ditemukan hasil positif.
Faktor yang menyebabkan isolasi mikroorganisme gagal bisa dikarenakan oleh
terbatasnya media laboratorium, penggunaan antibiotik, volume darah yang
digunakan, serta waktu pengambilan sampel dimana media empedu dari sapi
merupakan media pembiakan yang direkomendasikan. Hal ini karena
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi memiliki kemampuan untuk
tumbuh pada media tersebut sehingga dapat meningkatkan hasil positif.18

3.
3.1.
3.1.7. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat
menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan
gastroenteritis. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, bruselosis, tularemia tifoidal dan malaria juga
perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat didiagnosis banding dengan
sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin.3

3.1.8. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pemberian medikamentosa berupa obat simptomatik dan antibiotik.17
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol Dewasa: 4x500mg (2g) 1. Merupakan obat yang sering
selama 14 hari digunakan dan telah lama dikenal
Anak:50-100mg/KgBB/ efektif untuk tifoid
hari maksimal 2 g selama 2. Murah dan dapat diberi peroral

18
10-14 hari dengan sensitivitas masih tinggi
Dibagi 4 dosis 3. Pemberian Peroral atau IV tidak
diberikan bila leukosit
<2000/mm3
Seftriakson Dewasa: (2-4) g/hr selama 1. Cepat menurunkan suhu, lama
3-5 penurunan pendek serta dapat
Anak: 80mg/KgBB/hari dosis tunggal dan cukup aman
Dosis tunggal selama 5 hari untuk anak
2. Pemberian IV
Ampisillin dan Dewasa: (3-4) g/hr selama 1. Aman untuk penderita hamil
amoksisilin 14 hari 2.Sering dikombinasi dengan
Anak: 100mg/KgBB/hari kloramfenikol pada pasien kritis
selama 10 hari 3. Tidak mahal
4. Pemberian peroral atau IV
Kotrimoksazol Dewasa: 2x (160-800) 1. Tidak mahal
selama 2 minggu 2. Pemberian peroral
Anak:TMP
6-10mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50mg/Kg/hari
selama 10 hari
Quinolone 1. Siprofloksasin: 1. Pefloksasin dan fleroksasin
2x500mg selama 1 lebih cepat menurunkan suhu
minggu 2. Efektif mencegah relaps dan
2. Ofloksasin: karier
2x(200400)mg selama 1 3. Pemberian peroral
minggu 4. Anak: tidak dianjurkan karena
3. Pefloksasin: 1x400 mg efek samping pada pertumbuhan
selama 1 minggu tulang
4. Fleroksasin: 1x400mg
selama 1 minggu
Sefiksim Anak: 1. Aman untuk anak
15-20mg/KgBB/hari 2. Efektif
dibagi 2 dosis selama 10 3. Pemberian peroral
hari
Thiamfenikol Dewasa: 4×500mg 1. Dapat digunakan untuk anak
Anak: 50mg/KgBB/hari dan dewasa
selama (5-7) hari bebas 2. Dilaporkan cukup sensitif pada
panas beberapa daerah
2. Non medikamentosa 17

a. Tirah baring

19
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus (mencegah perdarahan dan perforasi). Diet
untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
d. Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.
e. Menjaga kebersihan
3.1.9. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian.3
1. Komplikasi intestinal
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
dengan tanda-tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto
rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis

20
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Pada
kondisi ini ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi ekstraintestinal
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat
timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi
adalah abses paru, efusi, dan empiema.

b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan
otak dalam batas normal. Bila disertai kejang-kejang maka biasanya
prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan
lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak
jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah
Salmonella havanadan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas.Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta
sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat
bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan
gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.

21
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun
pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di
sekretnya.Karier temporer-ekskresi S. typhi pada feces selama tiga
bulan.Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-
10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan
pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti
semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan
traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

3.1.10. Pencegahan
Ada 3 strategi pokok dalam memutuskan transmisi tifoid, yaitu:17
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimptomatik, karier dan
akut
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut maupun
karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah mengidap demam tifoid.
3. Proteksi pada orang beresiko terinfeksi
Pada daerah non-endemik:
 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan.
 Penyaringan pengelolaan pembuatan/ distributor/ penjualan makanan dan
minuman.
 Pencarian dan pengobatan pada kasus tifoid karier.

22
Pada daerah endemik:
 Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standart prosedur kesehatan (Perebusan > 570oC,iodisasi, dan klorinisasi).
 Pengunjung yang mengunjungi daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendahuluan dan menjauhi makanan segar (sayur/ buah).
 Vaksinasi secara menyeluruh kepada masyarakat setempat maupun
pengunjung.

3.1.11. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka
kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.3

23
BAB IV
ANALISIS KASUS

Nona AC, 18 tahun, datang ke RS Pelabuhan Palembang dengan keluhan ±6


hari sebelum masuk rumah sakit menderita demam tinggi, naik turun, suhu tidak diukur,
menggigil (+), mual (+), muntah (-), lidah terasa pahit, nafsu makan berkurang (+), sakit
kepala (+), batuk (-), pilek (-), nyeri belakang bola mata (-), terasa pegal-pegal, mimisan
(-), BAB cair (-), BAB berdarah (-), gusi berdarah (-), BAK tidak ada keluhan. Pasien
diberi obat penurun panas oleh ibu pasien. Kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, demam pasien masih tinggi dan naik turun, mual (+), muntah (+) 2x isi apa yang
dimakan, nafsu makan menurun, nyeri perut (+), badan terasa lemas, tidak BAB sudah 2
hari. Kurang lebih 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien demam tinggi disertai muntah
4x isi apa yang dimakan, nafsu makan menurun, badan lemas, BAB cair (+) 1x, BAK tidak
ada keluhan. Pasien kemudian dibawa berobat ke RS Pelabuhan Palembang. Pada
anamnesis tambahan, didapatkan kebiasaan pasien jajan makanan di warung di sekitar
kampus yang belum terjamin kebersihannya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nadi 78x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup,
suhu 38oC, RR 22x/menit, status gizi normal. Dari pemeriksaan status lokalis, didapatkan
lidah berselaput, mukosa bibir kering, dan terdapat nyeri tekan epigastrium. Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 13,3 g/dl, Leukosit 2.400/µL, Trombosit
174.000/µL, Ht 39,1 %, Diff Count 0/0/0/74/19/7, Rapid antigen negatif, tes widal S. typhi
O dan H 1/320.
Pada kasus demam tifoid, tetap harus dipikirkan diagnosis banding berupa
penyakit infeksi lain gejala klinisnya mirip dengan demam tifoid, seperti
gastroenteritis, demam dengue, dan infeksi saluran pernapasan. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi virus seperti pada
demam dengue ataupun tanda-tanda infeksi saluran pernapasan. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis adalah demam tifoid.
Dasar diagnosis demam tifoid pada kasus ini adalah adanya demam yang
muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang
menyerupai septisemia akibat dari Salmonella typhi. Demam juga disertai dengan
gejala seperti gangguan pada saluran pencernaan, menggigil, sakit kepala, nafsu
makan menurun, dan nyeri perut. Pada pemeriksaan fisik juga menunjukkan tanda-

24
tanda demam tifoid seperti lidah berselaput, mukosa bibir kering, dan adanya nyeri
tekan epigastrium.
Pada kasus dilakukan pemeriksaan darah tepi dan pemeriksaan Widal untuk
membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Selaras dengan teori, pada kasus
terjadi peningkatan titer Widal O dan H, yaitu 1/320, yang artinya saat ini pasien
sedang mengalami infeksi aktif dari Salmonella typhi.
Terapi yang saat ini diberikan pada pasien adalah terapi suportif yaitu cairan
intravena Ringer Laktat dengan tetesan 30x/menit, pemilihan cairan didasarkan
oleh kondisi pasien yang lemas dan ketersediaan cairan di rumah sakit. Selain terapi
cairan, diberikan pula antibiotik Ceftriaxone dengan dosis 2 gram per hari sebagai
pengobatan definitif terhadap bakteri penyebab demam tifoid. Terapi simptomatik
yang diberikan pada pasien yaitu parasetamol 3x500 mg per hari, injeksi
ondansentron 3x4 mg, dan injeksi omeprazole 2x1 vial per hari.
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien adalah monitoring diet dan
kebiasaan pasien. Selama proses penyembuhan, pasien diberikan bubur untuk
membantu pemulihan usus dan mencegah perforasi usus. Pasien juga diminta untuk
beristirahat agar bisa memaksimalkan proses pemulihan. Kebiasaan pasien jajan
sembarangan diedukasi untuk dihindari karena kebersihan makanan yang belum
terjamin merupakan pintu masuk bakteri Salmonella typhi. Kebiasaan hidup bersih
dan sehat perlu diterapkan oleh pasien mengingat bakteri Salmonella typhi dapat
bertahan hidup hingga 1 tahun di dalam kantong empedu dan bisa terjadi reinfeksi
jika imunitas pasien menurun.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Algerina A. Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri Salmonella. 2008.
2. Soedarmo S, Garna H, Hadinegoro S. Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua.
dalam Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.
3. Sudoyo A. Demam Tifoid. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4.
Jakarta: FKUI; 2006.
4. Alba S, Bakker M, Hatta M. Risk Factors Of Typhoid Infection In The
Indonesian Archipelago. 2016;1–14.
5. World Health Organization. Guidelines for the Management of Typhoid Fever.
2016.
6. Ahmad S, Banu F, Kanodia P, Bora R, Ranhotra A. Evaluation Of Clinical and
Laboratory Profile of Typhoid Fever in Nepalese Children - A Hospital - Based
Study. International Journal Medical Pediatri Oncology. 2016;2(2):60–6.
7. Pratiwi I, Aziz S, Kusumastuti E. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik
Ciprofloxacin pada Penderita Demam tifoid. Biomed J Indonesia.
2018;4(2):46–51.
8. Paul UK, Bandyopadhyay A. Typhoid fever: a review. International J Adv Med.
2017;4(2):300–6.
9. Kaur J, Jain SK. Role of antigens and virulence factors of Salmonella enterica
serovar Typhi in its pathogenesis. Microbiol Res. 2012;167(4):199–210.
10. Nelwan RHH. Tata laksana terkini demam tifoid. Cermin Dunia Kedokteran.
2012;39(4):247–50.
11. Nuruzzaman H, Syahrul F. Analisis risiko kejadian demam tifoid berdasarkan
kebersihan diri dan kebiasaan jajan di rumah. J Berk Epidemiology.
2016;4(1):74–86.
12. Dougan G, Baker S. Salmonella enterica serovar Typhi and the pathogenesis
of typhoid fever. Annu Rev Microbiol. 2014;68:317–36.
13. Devaranavadagi RA, Srinivasa S. A study on clinical profile of typhoid fever
in children. Int J Contemp Pediatr. 2017;4(3):1067–73.
14. Kumar R, Priyanka K. Rare presentation of typhoid fever in an
immunocompetent patient. J Med Sci Res. 2019;2(3):238.
15. Ardiaria M. Epidemiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan Demam

26
Tifoid. J Nutr Heal. 2019;7(2):32–8.
16. Upadhyay R, Nadka MY, Muruganathan A, Tiwaskar M, Amarapurkar D,
Banka NH, et al. API Recommendations for the Management of Typhoid
Fever. J Assoc Physicians India. 2015;63(11):77–96.
17. Kemenkes RI. Pedoman pengendalian demam tifoid. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2006;
18. Sucipta A. Baku emas pemeriksaan laboratorium demam tifoid pada anak. J
Skala Husada. 2015;12(1):22–6.
19. Marleni M, Iriani Y, Tjuandra W, Theodorus T. Ketepatan Uji Tubex TF®
dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-4. J
Kedokteran dan Kesehatan Publik Ilmu Fak Kedokteran Univ Sriwijaya.
2014;1(1):7–11.
20. Kusumaningrat IBV, YI S. Uji Tubex untuk Diagnosis Demam Tifoid di
Laboratorium Klinik Nikki Medika Denpasar. E-Jurnal Med Udayana.
2014;3(1):22–37.

27

Anda mungkin juga menyukai