Disusun oleh
dr. Jesi Prilly Imanuella Hana
Pembimbing/Narasumber/DPJP :
dr. Asep Purnama, Sp.PD
Pendamping :
dr. Lince Holsen
bahasan
Metode Diskusi ✓ Presentasi & Diskusi Email Pos
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium.
Parasit ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi.
Sampai saat ini telah ditemukan 172 spesies Plasmodium namun hanya 5 diantaranya yang
diketahui dapat menular pada manusia. Spesies tersebut antara lain P. falciparum, P. vivax, P.
ovale, P. malariae dan P. knowlesi (Talapko et al, 2019).
Berdasarkan laporan WHO 2020 terdapat penurunan jumlah kasus malaria secara
bertahap di dunia. Pada tahun 2000 dilaporkan terdapat 238 juta kasus malaria dari 108
negara, sedangkan pada tahun 2019 dilaporkan sebanyak 229 juta kasus malaria dari 87
negara endemik. Angka kejadian malaria juga mengalami penurunan di Indonesia.
Berdasarkan data World Malaria Report 2020 dalam lima tahun terakhir kasus malaria
mengalami penurunan dari 1,1 juta kasus pada tahun 2015 menjadi 658.000 kasus pada tahun
2019. Selain itu pada tahun 2020 dilaporkan sebanyak 18 kabupaten yang mencapai eliminasi
kasus malaria (WHO, 2019).
Perjalanan penyakit malaria yang disebabkan oleh P. vivax dan P. ovale memiliki
perbedaan dengan jenis plasmodium lainnya. Pada P. vivax dan P. ovale ditemukan
hipnozoite yang menetap di eritrosit dan hipnozoit di hepatosit sehingga dapat mencetuskan
relaps setelah beberapa tahun hingga beberapa bulan. Rekurensi malaria dapat terjadi akibat
kegagalan eradikasi infeksi pada tahap eritrosit (recrudescence) atau akibat infeksi baru dari
gigitan nyamuk (reinfeksi) (Gatton, 2004).
Satu kali inokulasi P. vivax dapat menyebabkan relaps berulang. Angka morbiditas
yang tinggi akibat P. vivax menyebabkan beban secara klinis dan ekonomi. Relaps akibat
infeksi P. vivax dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak dan pada orang
dewasa menyebabkan gangguan dalam menjalankan pekerjaan (Gatton, 2004).
Nusa Tenggara Timur saat ini merupakan daerah yang ditetapkan telah mencapai
eliminasi malaria. Adanya kasus malaria yang didapatkan dari daerah lain sebaiknya menjadi
perhatian agar penularan dari manusia ke nyamuk kemudian ke manusia lainnya dapat
dicegah. Oleh karena itu pembahasan kasus malaria masih relevan untuk didiskusikan.
PEMAPARAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 2735XX
Nama : Bp. P.K.S
Usia : 33tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Waliwatik, Nita
Tanggal kunjungan RS : 15 Juni 2021
II. ANAMNESA
A. Keluhan utama
Demam.
E. Riwayat Pengobatan
Belum mengonsumsi obat apapun terkait keluhan saat ini.
F. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat.
1. Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
2. Leher
Dalam batas normal
3. Thorax
a. Paru
• Inspeksi : dada simetris (+), ketinggalan gerak nafas (-)
• Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus (N), pengembangan dada (N)
• Perkusi : sonor (+++/++++)
• Auskultasi : vesikuler (+++/+++) , rhonki (---/---) , wheezing (---/---)
b. Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V LMCS
• Perkusi : Kesan batas jantung normal
• Auskultasi : S1/S2 normal, regular, bising (-)
4. Abdomen
Distensi (-), Bising usus (+), Timpani selruuh regio, nyeri tekan (-), tepi hepar teraba,
lien tidak teraba
5. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Oedem (-), CRT < 2 detik, akral hangat
Ekstremitas bawah : Oedem (-), CRT < 2 detik, akral hangat
Apusan Darah
15/6/2021 17/6/2021 18/6/2021 19/6/2021
Pemeriksaan Positif Positif Negatif Negatif
Malaria
Identifikasi Plasmodium Plasmodium Negatif Negatif
Parasit Vivax Vivax
Hitung Parasit 180/ 505 WBC 2/ 500 WBC - -
Aseksual
Hitung Parasit 40/ 505 WBC 8/ 500 WBC - -
Seksual
Malaria merupakan suatu infeksi parasite yang memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi. Sebagian besar kasus malaria di dunia disebabkan oleh P.
falciparum dan P.vivax. Malaria yang disebabkan oleh P. falciparum memiliki resiko untuk
berkembang menjadi malaria berat dengan angka mortalitas yang tinggi. Sedangkan malaria
non falciparum yang disebabkan oleh P. vivax dan P. ovale memiliki angka rekurensi yang
tinggi sehingga dapat menyebabkan morbiditas dalam jangka waktu yang lama. Beberapa
definisi kasus rekurensi pada malaria tertiana yang disebabkan oleh P. vivax dan P. ovale
antara lain antara lain:
1. Recrudescence (Rekrudensi)
Rekurensi malaria akibat terapi yang tidak adekuat membasmi parasit di darah (blood-
stage). Pada rekrudensi, rekurensi malaria biasanya akan terjadi dalam 8 minggu
setelah gejala pertama.
2. Relapse
Rekurensi malaria akibat reaktivasi hipnozoit. Hipnozoit adalah plasmodium yang
dorman di dalam hepatosit yang berkembang menjadi skizon dan akhirnya dapat
melepaskan merozoite ke dalam darah. Rekurensi akibat relaps secara umum akan
terjadi dalam 8- 24 minggu setelah gejala pertama.
3. Reinfection
Rekurensi malaria akibat inokulasi parasit baru yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina.
Pasien dalam kasus ini sebelumnya tinggal di Papua yang merupakan daerah endemis
malaria. Namun ± 6 bulan sebelum MRS ini pasien sudah pindah ke Maumere yang
merupakan daerah bebas malaria. Mengingat masa inkubasi P. vivax berkisar antara 12-
17 hari, maka dapat diperkirakan bahwa reinfeksi bukan merupakan penyebab malaria
pasien saat ini.
Pada pasien dalam kasus ini pula terjadi kekambuhan malaria > 8 minggu setelah sakit
malaria sebelumnya sehingga kemungkinan rekurensi saat ini bukan akibat rekrudensi.
Namun batas waktu antara rekrudensi dan relaps saat ini tidak tegas mengingat beberapa
laporan kasus yang menemukan adanya ‘long term recrudescence’. Salah satu cara untuk
membedakan antara rekrudensi/ relaps dengan reinfeksi ialah dengan menentukan ada/
tidaknya perbedaan strain P. vivax antara sakit malaria sekarang dan sebelumnya.
Pada kasus relaps jenis anti malaria yang digunakan tetap sama namun dengan dosis
primakuin yang berbeda.
ACT (3 hari) + Primakuin 0.5 mg/Kg BB (14 Hari)
2. Malaria Tropikana (P. falciparum)
Tatalaksana malaria tertiana yang ialah menggunakan ACT yakni Dihidroartemisin
ditambah Piperaquin (DHP) dan Primakuin dosis tunggal.
ACT (3 hari) + Primakuin 0.25 mg/Kg BB (Dosis Tunggal)
Bila menyebabkan malaria berat, maka terapi parenteral menggunakan Artesunat
intravena atau Artemeter intramuscular.
Pada pasien dalam laporan ini mengalami rekurensi P. vivax oleh karena itu tatalaksana yang
diberikan yakni kombinasi antara ACT dan Primakuin.
1) Artemisin Combination Therapy (ACT)
Merupakan kombinasi antara Dihidroartemisin dan Piperaquine diberikan
selama 3 hari. Dihirdroartemisin merupakan bentuk sintetik dari artemisin yang
dikembangkan dari ekstrak Artemisia annua. Obat ini merupakan salah satu terapi
antimalaria yang paling efektif terhadap plasmodium stadium seksual mapun
aseksual. Efek plasmosidal dapat ditemukan dalam beberapa menit setelah pemberian
pertama sehingga menimbulkan perbaikan klinis yang juga cepat (Cui, 2009).
Pada pasien dalam kasus ini dilakukan pemeriksaan apusan darah tebal dan
tipis secara berkala. Pada hari kedua setelah pemberian terapi sudah tidak ditemukan
P.vivax stadium seksual maupun aseksual di dalam darah. Hal ini sesuai dengan sifat
Dihirdroartemisin yang merupakan rapid plasmosidal pada parasite di darah.
Adapun dihidroartemisin memiliki masa tengah eliminasi (elimination half
life) yang tergolong cepat yakni kurang lebih satu jam. Hal ini dapat menurunkan
kemungkinan resistensi parasite yang tersisa terhadap dihidroartemisin. Namun hal ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya recrudescence pada pemberian terapi
dihidroartemisin jangka pendek (< 5 hari) (Meshnick, 1996).
2) Primakuin
Primakuin merupakan obat antimalaria golongan 8-aminoquinoline. Primakuin
memiliki kemampuan sebagai skizontosida di jaringan terutama di hepar. Mekanisme
kerja dari primakuin belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa primakuin dapat menghambat fungsi mitokondria dan
mencetuskan stress oksidatif pada plasmodium (Giovanella, 2015).
Kemampuan menyebabkan reaksi stress oksidatif membuat primakuin
memiliki efek samping berupa hemolisis. Oleh karena itu penggunaan primakuin
perlu mendapat pemantauan yang ketat terutama bila diberikan dengan dosis tinggi
seperti pasien pada kasus ini.
Salah satu kontraindikasi penggunaan primakuin ialah defisiensi G6PD. G6PD
merupakan suatu enzim yang diperlukan untuk mereduksi glutathione yang berfungsi
sebagai antioksidan terhadap radikal bebas. Penggunaan primakuin akan memicu
reaksi stress oksidatif dan pada penderita defisiensi G6PD fungsi glutathione sebagai
antioksidan akan terganggu. Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat
memicu hemolisis sel darah merah. Oleh karena itu jika memungkinkan pemeriksaan
fungsi G6PD sebaiknya dilakukan sebelum pemberian primakuin (Camarda, 2019).
Pada pasien dalam laporan ini tidak dapat dilakukan penapisan terkait
defisiensi G6PD. Oleh karena itu pemantauan tehadap tanda-tanda hemolisis
intravascular seperti hemoglobinuria terus dipantau pada pasien.
2) Stress Oksidatif
Penelitian oleh Erel et al (1998) radikal bebas berperan dalam destruksi trombosit
pada infeksi malaria. Penelitian tersebut mengungkapkan adanya korelasi negatif
antara angka trombosit dengan lipid peroksidase (radikal bebas) dan korelasi negatif
dengan gluthation (anti-oxidant).
Trombositopenia bukan merupakan kriteria malaria berat yang ditetapkan oleh WHO.
Namun beberapa peneltian mengungkapkan adanya korelasi antara derajat trombositopenia
dengan keparahan infeksi Plasmodium. Trombositopenia berat (angka trombosit < 50 000
platelet/ uL) pada P. falciparum dan P. vivax diasosiasikan dengan perdarahan dan
disseminated intravascular coagulation (DIC). Selain itu trombositpenia berat juga
berhubungan dengan mortalitas pada pasien malaria (Lampah, 2014). Penelitian oleh Lampah
et al (2014) menyatakan bahwa resiko mortalitas pada pasien malaria dengan angka trombosit
< 20.000 platelet/ uL meningkat yakni 5.6% pada malaria falciparum dan 3.6% pada malaria
vivax.s
DAFTAR PUSTAKA
Baird, J.K., Hoffman, S. (2014) Primaquine Therapy for Malaria, Clinical Infectious
Diseases, Volume 39, Issue 9, pp1336–1345.
Camarda, G., Jirawatcharadech, P., Priestley, R., Saif, A., March, S., & Wong, M. et al.
(2019). Antimalarial activity of primaquine operates via a two-step biochemical
relay. Nature Communications, 10(1). doi: 10.1038/s41467-019-11239-0
Chu CS, White NJ. Management of relapsing Plasmodium vivax malaria. Expert Rev Anti
Infect Ther. 2016 Oct;14(10):885-900. doi: 10.1080/14787210.2016.1220304. Epub
2016 Aug 31. PMID: 27530139; PMCID: PMC5039400.
Cui, L., & Su, X. Z. (2009). Discovery, mechanisms of action and combination therapy of
artemisinin. Expert review of anti-infective therapy, 7(8), 999–1013.
https://doi.org/10.1586/eri.09.68
Erel O, Kocyigit A, Bulut V, Avci S, Aktepe N. Role of lipids, lipoproteins and lipid
peroxidation in thrombocytopenia in patients with vivax malaria. Haematologia
(Budap). 1998;29(3):207-12
Ferreira, M., Nobrega de Sousa, T., Rangel, G., Johansen, I., Corder, R., Ladeia-Andrade, S.,
& Gil, J. (2021). Monitoring Plasmodium vivax resistance to antimalarials: Persisting
challenges and future directions. International Journal For Parasitology: Drugs And
Drug Resistance, 15, 9-24. doi: 10.1016/j.ijpddr.2020.12.001
Gatton ML. Costs to the patient for seeking malaria care in Myanmar. Acta
Trop. 2004;92(3):173–177
GIOVANELLA, F., FERREIRA, G., PRÁ, S., CARVALHO-SILVA, M., GOMES, L., &
SCAINI, G. et al. (2015). Effects of primaquine and chloroquine on oxidative stress
parameters in rats. Anais Da Academia Brasileira De Ciências, 87(2 suppl), 1487-
1496. doi: 10.1590/0001-3765201520140637\
Hankey DD, Jones R Jr, Coatney OR, Alving AS, Coker WO, Garrison PL, Donovan WN:
Korean vivax malaria. I. Natural history and response to chloroquine. Am J Trop Med
Hyg 1953, 2:958-969.
Lacerda MV, Mourão MP, Coelho HC, Santos JB. Thrombocytopenia in malaria: who cares?
Mem Inst Oswaldo Cruz. 2011 Aug;106 Suppl 1:52-63. doi: 10.1590/s0074-
02762011000900007
Lampah, D. A., Yeo, T. W., Malloy, M., Kenangalem, E., Douglas, N. M., Ronaldo, D.,
Sugiarto, P., Simpson, J. A., Poespoprodjo, J. R., Anstey, N. M., & Price, R. N.
(2015). Severe malarial thrombocytopenia: a risk factor for mortality in Papua,
Indonesia. The Journal of infectious diseases, 211(4), 623–634.
https://doi.org/10.1093/infdis/jiu487
Meshnick, S. R., Taylor, T. E., & Kamchonwongpaisan, S. (1996). Artemisinin and the
antimalarial endoperoxides: from herbal remedy to targeted
chemotherapy. Microbiological reviews, 60(2), 301–315.
https://doi.org/10.1128/mr.60.2.301-315.1996
Talapko, J., Škrlec, I., Alebić, T., Jukić, M., & Včev, A. (2019). Malaria: The Past and the
Present. Microorganisms, 7(6), 179. https://doi.org/10.3390/microorganisms7060179
White, N. (2011). Determinants of relapse periodicity in Plasmodium vivax malaria. Malaria
Journal, 10(1). doi: 10.1186/1475-2875-10-297
World Health Organization . World Malaria Report 2020. sWHO; Geneva, Switzerland: 2020