Anda di halaman 1dari 82

KEHAMILAN DENGAN RISIKO (1)

Yasmini F
Blok Reproduksi FK UII 2014-2015
Kompetensi dasar:
 Mampu membuat diagnosis klinis pada kehamilan dengan
risiko

Indikator pencapaian:
 Dapat menjelaskan pengertian & kriteria kehamilan risiko
tinggi
 Dapat menjelaskan etiologi, diagnosis, dan pemeriksaan
kehamilan serta monitoring pada kehamilan risiko tinggi
 Dapat menjelaskan diagnosis klinik pada IUGR
 Dapat menjelaskan diagnosis klinik pada fetal distress, fetal
death, & hipoksia fetus
 Dapat menjelaskan diagnosis klinis pada wanita hamil
dengan TORCH, AIDS, hepatitis B, dan malaria
 Dapat menjelaskan pemeriksaan penunjang/ laboratorium
pada wanita hamil dengan TORCH, AIDS, hepatitis B, dan
malaria
KEHAMILAN RISIKO TINGGI
= Kehamilan dengan risiko

Fisiologi (tanpa penyulit)

Kehamilan
Patologis (dengan penyulit)
= kehamilan risiko tinggi
DEFINISI
 Suatu keadaan dimana kondisi kesehatan ibu,
janin, atau keduanya berada dalam risiko 
terdapat risiko peningkatan morbiditas maupun
mortalitas pada ibu, janin, atau keduanya
DETEKSI KEHAMILAN RISIKO TINGGI
 Idensifikasi masalah pada ibu hamil, dan lakukan
ANC teratur

 ANC
 Ditujukan pada wanita hamil untuk mencegah komplikasi
dan menurunkan insidensi morbiditas dan mortalitas
perinatal dan maternal
 Dilakukan secara sistematik, evidence based, dan
memberikan support secara medis dan psikologis
 Kebutuhan pasien secara individual dan faktor risiko
dinilai saat pasien melakukan kunjungan pertama, lalu
dinilai ulang pada setiap kunjungan selanjutnya.
 Idealnya kunjungan awal dilakukan pada usia kehamilan
<12 minggu
ETIOLOGI
 Faktor maternal
 Karakteristik ibu  umur <20th atau >35 tahun, TB <150
cm, obesitas
 Riwayat kehamilan & persalinan sebelumnya  riwayat
prematur, riwayat keguguran berulang, riwayat IUFD,
riwayat perdarahan post partum, paritas tinggi
 Gangguan struktur anatomis rahim  kelainan bentuk
rahim, tumor pada uterus, riwayat operasi dengan skar
pada uterus (riwayat operasi mioma, riwayat sc)
 Gangguan sistemik/penyakit pada ibu  gangguan
jantung, asma, gangguan thiroid, gangguan ginjal, ibu
dengan DM, darah tinggi
 Faktor fetal  paparan obat-obatan, ketuban pecah
prematur, IUGR, infeksi torch, gemelli, postterm
 Faktor plasenta dan ketuban  plasenta previa,
oligohidramnion, hidramnion
DIAGNOSIS
ANC I (<12 minggu)
 Gali faktor risiko  skrining genetik, pola hidup,
lingkungan kerja
 Pemeriksaan langsung  BB, BMI, T
 USG TS-1
 Lab skrining  Hb/Hmt, golda+Rh, titer rubella,
HBsAg, HIV
 Identifikasi ibu hamil yang membutuhkan perawatan
tambahan
 Skrining lab tambahan sesuai yang dibutuhkan 
misal GTT, proteinuria,

 Temukan adanya faktor risiko !


IUGR
 Berat janin <10 persentil

 Faktor risiko:
 Maternal  hipertensi, DM, autoimun, gangguan
jantung, penyakit sistemik pada ibu, paparan toksik
(rokok, alkohol, kokain, obat-obatan), malnutrisi,
sosial ekonomi kurang,
 Fetal  penyakit genetik, fetal malformasi, gemelli,
plasenta abnormal (solutio, korioangioma), infeksi
pada janin (torch)
KOMPLIKASI IUGR
 Fetal:
 Oligohidramnion
 Non-reassuring fetal heart rate
 Intraventrikular hemorrhage
 NEC
 Sepsis
 Bayi dan anak-anak:
 Perkembangan motorik kasar
 Cerebral palsy
 Kecerdasan rendah
 Kemampuan membaca dan berbicara rendah
 Kemampuan belajar kurang
 Pencapaian akademik kurang
 Dewasa:
 Hipertensi
 Penyakit jantung koroner
 Diabetes
 Obesitas
 Masalah sosial dan finansial
 Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan
insidensi IUGR, terutama bila diberikan sebelum
uk < 20 minggu
 Skrining tes & diagnosis  USG

 Amniosentesis:
 Menyingkirkan kelainan kromoson
 Menyingkirkan infeksi  PCR (toxo, CMV)
Pelacakan pada ibu  IgG/IgM CMV dan toxo,
antifosfolipid antibodi, kmk adanya penyakit
sistemik
 Terapi pada janin terbatas.
 Follow up dan management dengan
pemeriksaan Doppler USG
 Pemberian kortikosteroid  ada direncanakan
terminasi prematur 2-7 hari sebelumnya
FETAL DISTRESS, HIPOKSIA FETUS, &
FETAL DEATH,

 Fetal distress  terdapat tanda distress pada


janin
 Hipoksia fetus  terdapat kekurangan oksigen
pada janin
 Fetal death  terjadi kematian pada janin
 Kematian janin usia kehamilan > 13 minggu
(embrionic death  kematian janin usia ≤ 12
minggu)
 Early fetal death : 13-19 minggu
 Intermediate fetal death : 20-27 minggu
 Late fetal death : ≥28 minggu
 Still birth  lahir meninggal
FETAL DEATH
 Diagnosis : DJJ (-)
 Kepastian penyebab : otopsi, analisis kromosom

 Persiapan kehamilan ke depan  temukan


faktor risiko, dan lakukan terapi
FAKTOR RISIKO IUFD
 Maternal :
hipertensi kronik, preeklamsia, gangguan metabolik
(DM, thiroid), penyakit ginjal kronik, AFS,
ketergantungan obat-obatan (kokain, alkohol),
merokok, infeksi TORCH, anemia berat, penyakit
jantung sianotik, isoimunisasi
 Fetal :
malformasi kongenital, abnormalitas kromosom,
IUGR, solusio plasenta, vasa previa, chronic villitis,
TTTS, lilitan erat tali pusat, tali pusat terpilin,
oligohidramnion, asfiksia intrauterin, PPROM,
postdate,
 Faktor lain  uneksplained fetal death (mencapai
50%)
KEHAMILAN DENGAN INFEKSI
 TORCH
 AIDS

 Hepatitis B

 Malaria
TORCH GO

ISK
Infeksi
pada
HIV/AIDS
kehamilan

Malaria Hepatitis
INFEKSI DALAM KEHAMILAN
 Berdasarkan penyebabnya dikelompokan
menjadi tiga penyebab, yaitu:
 Infeksi Virus  varisella zooster, influenza,
parotitis, rubeola, virus pernafasan, enterovirus,
parfovirus, rubella, sitomegalovirus, HIV.
 Infeksi bakteri  Streptokokus grup A,
Streptokokus grup B, Listeriosis, Salmonella,
Shigella, Mourbus Hansen.
 Infeksi protozoa  Toksoplasmosis, malaria
 Infeksi jamur.
RUBELLA
 = campak Jerman
 Walau biasanya tidak begitu penting pada
keadaan tidak hamil, tetapi dapat menjadi
penyebab langsung outcome kehamilan yang
jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab
malformasi kongenital berat.
 Hubungan antara rubela maternal dan
malformasi kongenital serius, pertama-tama
dikenali oleh Gregg (1942), seorang ahli
oftalmologi Australia.
 Infeksi rubella disebabkan oleh virus rubella, bisa
menyerang anak-anak dan dewasa muda.
 Biasanya infeksi karena virus ini ditandai dengan
demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran
kelenjar getah bening.
 Apabila terjadi pada wanita hamil muda infeksi
rubella sangat berbahaya karena menyebabkan
kelainan pada bayi. Menurut American College of
Obstetrician and Gynekologyst (1981):
 jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka
resiko kelainan adalah 50%,
 sedangkan jika infeksi terjadi di trimester pertama maka
resikonya menjadi 25%.
 Cara penularan (transmisi) infeksi ini adalah
melalui
• Saluran pernafasan
• Janin terinfeksi dari ibu

 Penentuan diagnosis  pemeriksaan


laboratorium.

 Apabila memungkinkan, bisa dilakukan


vaksinasi agar memiliki kekebalan terhadap
infeksi virus tersebut.
PENCEGAHAN
 Imunisasi populasi dewasa, khususnya populasi
wanita usia reproduktif:
Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan
dan masyarakat luas mengenai bahaya infeksi
rubella.
 Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari
perawatan medis dan obstetrik rutin ·
 Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik
keluarga berencana
 Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum
memiliki kekebalan sesudah melahirkan bayi atau
mengalami abortus
 Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai
kerentanan yang diketahui lewat pemeriksaan serologi
sebelum perkawinan
 Jaminan imunitas bagi semua petugas rumah sakit yang
dapat terpapar pasien rubela atau yang mengalami kontak
dengan ibu hamil
 Vaksinasi rubela dianjurkan tidak dilakukan
sesaat sebelum kehamilan atau pada saat
kehamilan, mengingat vaksin tersebut
merupakan virus hidup yang dilemahkan.

 The Centers for Disease Control (1987)  pencatatan


sejak tahun 1971 untuk memantau efek vaksinasi
terhadap janin.
 Sampai tahun 1986, 1.176 wanita yang rentan terhadap
infeksi rubela telah diimunisasi dalam waktu 3 bulan
sejak pembuahan dan untungnya tidak terdapat bukti
yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin tersebut
menimbulkan malformasi pada bayi atau janin.
 Kasus-kasus di mana wanita yang rentan diimunisasi
selama kehamilannya harus dilaporkan ke bagian
pencatatan ini (Centers for Disease Control, Atlanta,
Georgia, 404-329-1870).
DIAGNOSIS
 Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan.
 Gambaran klinisnya serupa dengan penyakit lain,
 Kasus-kasus subklinis dengan viremia dan infeksi
pada embrio serta janin tidak didapatkan.
 Tidak adanya antibodi terhadap rubela
menunjukkan defisiensi imunitas.
Adanya antibodi menandakan respon imun
terhadap viremia rubela, yang mungkin sudah
diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu
atau bertahun-tahun sebelumnya.
 Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat
terpapar rubela atau sebelumnya 
kemungkinan janin terkena infeksi tersebut
sangat kecil.
 Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremia
akan memperlihatkan titer antibodi yang
puncaknya terjadi 1-2 minggu sesudah
dimulainya gejala ruam, atau 2-3 minggu
sesudah onset viremia, mengingat viremia secara
klinis terlihat lebih dahulu sebagai penyakit yang
nyata sekitar 1 minggu sebelumnya.
 Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit
diagnosis, kecuali bila serum sudah diambil dahulu dalam
waktu beberapa hari sesudah dimulainya gejala ruam.
 Jika,misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari
sesudah ruam, maka deteksi antibodi tidak akan
berhasil membedakan antara kedua kemungkinan
ini: (1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-
benar rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut
bukan rubela, namun orang tersebut sudah kebal
terhadap rubela.
 Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil
menunjukkan suatu infeksi primer dalam
waktu beberapa bulan. Tes yang paling sering
digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition)
tes. Pada tes ini terlihat rubela antibodi menghalangi
aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela.
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik
yang kompleks sehingga digantikan dengan dengan
teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang baru
berupa ELISA (enzyme linked immunoabsorbent
assay), PHA (passive agglutination), IFA
(Immunofluoresence assay), RIA (radioimmunoassay),
dan radial immunodiffusion tes
SINDROM RUBELLA KONGENITAL
 Seperti halnya pada infeksi virus yang lain,
konsep tentang bayi yang terinfeksi versus bayi
yang terjangkit harus dipahami.
 Rubela merupakan teratogen yang poten, dan 80
% dari ibu yang mendapatkan infeksi rubela
serta ruam dalam usia kehamilan 12 minggu
akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital
(Miller dkk., 1982).
 Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14,
insiden ini besarnya 54 persen, dan pada akhir
trimester kedua 25 persen.
 Dengan semakin tinggi usia kehamilan,
semakin kecil kemungkinan bagi infeksi
tersebut untuk menimbulkan kelainan
kongenital. Sebagai contoh, cacat rubela
terlihat pada semua bayi yang terbukti
menderita infeksi intrauteri sebelum usia
gestasional 11 minggu, namun hanya 35 persen
bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13
hingga 16 minggu
 Meskipun tidak terlihat cacat pada 63 anak yang
terinfeksi setelah usia gestasional 16 minggu,
namun anak-anak tersebut diikuti
perkembangannya dalam waktu 2 tahun, dan
extended rubella syndrome dengan panensefalitis
progresif dan diabetes tipe 1 mungkin baru
terlihat secara klinis setelah 20 atau 30 tahun.
 Kemungkinan sepertiga dari bayi yang
asimtomatik pada saat lahir akan
memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut.
(American College of Obstetricians and Gynecologists,
1988).
 Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau
lebih abnormalitas berikut:
 Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma,
mikroftalmia dan berbagai abnormalitas lainnya
 Penyakit jantung, termasuk patent ductus arteriosus,
defek septum jantung dan stenosis arteri pulmonalis
 Cacat pendengaran
 Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis
 Retardasi pertumbuhan janin
 Trombositopenia dan anemia
 Hepatosplenomegali dan ikterus
 Pneumonitis interstisialis difusa kronis
 Perubahan tulang
 Abnormalitas kromosom
SITOMEGALO VIRUS (CMV)
 Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada
di mana-mana serta pada hakekatnya
menginfeksi sebagian besar manusia, bukti
adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 & 2
% dari semua neonatus.
 Virus ini termasuk golongan keluarga herpes,
dan dapat tinggal secara laten di dalam tubuh.
 Sesudah terjadinya infeksi primer yang
biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin
menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-
25 % meninggalkan sekuele.
 Pada beberapa negara infeksi CMV 1 %
didapatkan infeksi in utero dan 10-15 % pada
masa prenatal
 Jika ibu hamil terinfeksi CMV maka janin
yang dikandung mempunyai resiko tertular
sehingga terjadi gangguan yang bervariasi
dari yang ringan sampai yang berat.
Umumnya bayi lahir prematur dengan berat
badan lahir rendah, ada gangguan gejala kuning,
pembesaran hati dan limpa, ketulian,
pengkapuran otak, mikrosefali (kepala kecil),
retardasi mental dan sebagainya.
Infeksi akut virus ini mempunyai resiko yang
lebih tinggi daripada infeksi berulang.
 Cara penularan (transmisi) penyakit ini adalah
melalui:
• Kontak langsung/tidak langsung
• Hubungan seksual
• Transfusi darah
• Transplantasi organ
• Janin terinfeksi dari ibu
• Bayi infeksi saat menyusui

 Adanya infeksi tersebut bisa diketahui dengan


pemeriksaan laboratorium.
 Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi
periodik dengan pelepasan virus meskipun ada
antibodi di dalam serum.
 Antibodi humoral diproduksi, namun imunitas
yang diperantarai oleh sel tampaknya
merupakan mekanisme primer untuk
terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan
yang terganggu baik terjadi secara alami maupun
akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan
kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus
yang serius.
 Diperkirakan bahwa berkurangnya surveilans imun
yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi
tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk
terjadinya sekuele pada infeksi ini.
 Infeksi Maternal  Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi sitomegalovirus maternal.
 Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 %
mempunyai mononucleosis like syndrome
dengan gejala: demam, paringitis,
limpodenopathy, dan polyartritis.
 Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin
pada sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan
dengan morbiditas parah (Stagno dkk., 1986).
 Meskipun infeksi transplasental tidak universal,
janin yang terinfeksi lebih besar kemungkinannya
disertai dengan infeksi maternal selama paruh-
pertama kehamilan.
 Imunitas maternal terhadap
sitomegalovirus tidak mencegah timbulnya
rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak
mencegah terjadinya infeksi kongenital.
 Infeksi kongenital yang terjadi akibat infeksi
rekuren lebih jarang disertai dengan sekuele
yang terlihat secara klinis dari pada infeksi
kongenital yang disebabkan oleh infeksi primer.
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS KONGENITAL
 Disebut penyakit inklusi sitomegalik
 Menimbulkan suatu sindrom yang mencakup
 berat badan lahir rendah,
 mikrosefalus,
 kalsifikasi intrakranial,
 korioretinitis,
 retardasi mental serta motorik,
 gangguan sensorineural,
 hepatosplenomegali,
 ikterus,
 anemia hemolitik
 purpura trombositopenik.
 Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi
secara kongenital ini dpt mencapai 20 & 30 %
 Lebih 90 % bayi yang berhasil hidup 
menderita retardasi mental, gangguan
pendengaran, gangguan perkembangan
psikomotorik, epilepsi atau pun gangguan sistem
saraf pusat lainnya (Pass dkk., 1980).
 Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat
dideteksi dengan USG dan Magnetic Resonace
Imaging dengan ditemukan mikrosephal,
vetriculomegali dan serebral kalsifikasi.
 Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah
kultur virus.
 Diagnosis infeksi primer dibuat berdasarkan
peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada
serum, baik dalam keadaan akut maupun
konvalesensi yang diukur sekaligus, atau dibuat
dengan mendeteksi antibodi IgM terhadap
sitomegalovirus di dalam serum maternal.
 Sayangnya, tidak satupun di antara kedua metode ini
yang benar-benar akurat dalam memastikan infeksi
maternal.
 Celakanya tidak ada metode yang handal untuk
memeriksa efek dari infeksi janin tersebut, termasuk
pemeriksaan sonografi atau kultur cairan amnion untuk
menemukan sitomegalovirus.
 USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi
CMV tetapi terbatas dimana janin sudah mengalami
gejala yang berat.
TOKSOPLASMOSIS
 Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa
yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
 Parasit ini biasa hidup di dalam usus hewan
peliharaan rumah seperti kucing, berkembang
dalam sel epitel usus kucing berubah menjadi
kista (ookista) yang keluar bersama tinja
kucing tersebut. Sehingga sumber
penularannya adalah kotoran hewan
tersebut. Hewan lain yang dapat menjadi
pembawa Toxoplasma adalah tikus, burung
merpati, ayam, anjing dan mamalia lain yang
mencari makan di tanah.
 Cara penularan penyakit ini dapat melalui
berbagai cara yaitu:
• Mengkonsumsi daging mentah/kurang matang
yang mengandung ookista
• Menkonsumsi sayuran/buah mentah yang
mengandung ookista tidak dicuci bersih.
• Kontaminasi lewat darah (transfusi/suntikan)
atau saliva (ludah) yang mengandung ookista.
• Transplantasi organ yang terinfeksi
toxoplasma.
• Janin terinfeksi dari ibu (parasit dapat
menembus sawar plasenta)
 Pada umumnya, infeksi toxoplasma terjadi
tanpa disertai dengan gejala yang spesifik,
sehingga penderita sering tidak menyadari
bahwa dirinya telah terkena infeksi.
 Kira-kira hanya 10 - 20% kasus infeksi toxoplasma
yang disertai gejala ringan mirip influenza, bisa
timbul rasa lelah, malaise, demam ringan, sakit
kepala, nyeri otot, dan umumnya tidak menimbulkan
masalah yang berat.
 Kecurigaan terhadap toxoplasmosis baru timbul bila
gejala klinis disertai pembesaran kelenjar limfe,
khususnya di sudut rahang, di daerah depan dan
belakang telinga, dan tidak nyeri tekan.
 Infeksi toxoplasma lebih berbahaya bila terjadi
saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh terganggu misalnya
penderita AIDS, pasien transplantasi organ yang
mendapat obat penekan respon imun (seperti
kortikosteroid), mendapat radioterapi dan
lainnya.
 Bila terjadi pada kehamilan yang lebih muda
akan menimbulkan gejala yang lebih berat
bahkan dapat fatal.
 Patogenesis Imunitas maternal tampaknya
memberikan perlindungan terhadap penularan
transplasental parasit tersebut;
 Toksoplasmosis kongenital terjadi bila ibu
mendapatkan infeksi tersebut pada masa
kehamilannya.
 Sekitar sepertiga dari para wanita di Amerika
Serikat, mendapatkan antibodi pelindung sebelum
hamil dan kadar antibodi ini lebih tinggi di antara
wanita yang memelihara kucing sebagai binatang
kesayangan.
 Keluhan mudah lelah, nyeri otot dan kadangkala
limfadenopati ditemukan pada ibu yang terinfeksi,
namun infeksi maternal tersebut paling sering
terjadi secara subklinis.
 Infeksi pada kehamilan dapat menyebabkan abortus
atau mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan gejala
penyakit tersebut.
 Risiko terjadinya infeksi meningkat menurut
lamanya kehamilan
 15%  TS I
 30%  TS II
 60 %  TS III (Remington dan Desmonts, 1983).
 Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi
maternal didapat secara awal dalam kehamilan 
untungnya keadaan ini jarang terjadi.
 Kurang dari 10% neonatus dengan toksoplasmosis
kongenital memperlihatkan tanda-tanda sakit secara
klinis pada saat lahir.
 Bayi yang terkena biasanya memperlihatkan
tanda-tanda penyakit yang menyeluruh dengan
berat badan lahir rendah,
hepatosplenomegali, ikterus dan anemia.
 Sebagian bayi terutama menderita penyakit
neurologi dengan konvulsi, kalsifikasi
intrakranial dan hidrosefalus atau
mikrosefalus.
 Kedua kelompok bayi tersebut pada akhirnya
akan mengalami korioretinitis.
 Diagnosis Tes yang paling membantu untuk
menegakkan diagnosis ini adalah fieldman dye
tes dan IgM- IFA ( IgM indirect fluorosence
antibody tes).
 Sabin- fieldman tes ini dilakukan pada akut
infeksi frekuensi 2 bulan untuk mencapai kadar
maksimum yaitu lebih dari 300 IU/ml atau
bahkan lebih dari 3000 IU/ml.
 Titer yang tinggi didapatkan untuk beberapa bulan
atau tahun.
 Titer yang rendah didapatkan sepanjang hidup.
 Pedoman untuk interpretasi adalah:
 1. Bila dye tes ini negatip  tidak imun dan resiko
pada kehamilannya.
 2. Bila positip  perlu dilakukan segera tes IgM- IFA
dan bila Tes IgM- IFA hasilnya negatip, pasien
sudah terinfeksi sebelum masa kehamilan.
 3. Jika dye tes dibawah 300 IU/ml dan IgM-IFA
positip, dye tes harus diulang 3 minggu kemudian.
Jika ada peningkatan titer artinya pasien terinfeksi
dua bulan sebelumnya dan kemungkinan terjadinya
infeksi kongenital.
 4. Jika dye tes diatas 300 IU/ml dan IgM- IFA positip
 kemungkinan besar ibu menderita toksoplasma
aktif dan janin kemungkinan terinfeksi.
 Infeksi kongenital didiagnosa dari :
 1. Didapatkan toksoplasma dari cairan amnion dan
darah janin.
 2. Ditemukan IgM antibodi spesifik dan gamma
glutamiltransferase dalam darah bayi setelah 22
minggu.
 Cara untuk menghindarkan diri dari Toxoplasmosis,
antara lain:
 Pencegahan terjadinya Toxoplasmosis kongenital adalah
dengan menjaga tidak terjadi infeksi akut selama selama
kehamilan, atau jika infeksi akut segera diobati.
 Menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan sebelum
makan, atau setelah kontak dengan kucing dan atau
kotoran kucing.
 Konsumsi makanan yang dimasak sampai matang benar
(kista dalam jaringan mati pada pemanasan > 66° C)
 Jangan makan daging dan atau telur mentah atau
setengah matang
 Cuci bersih semua buah dan sayuran sebelum dimakan
mentah.
 Gunakan sarung tangan (karet) saat berkebun,
membersihkan kandang hewan, dan terutama
selama berhubungan dengan kotoran kucing. Setelah
selesai cuci tangan, sarung tangan dan semua
peralatan yang dipakai dengan sabun sampai bersih.
Jangan meletakkan peralatan tersebut sembarangan
(harus jauh dengan makanan atau peralatan
makan).
 Binatang yang dapat memindahkan toxoplasma
seperti tikus, kecoa, lalat dan binatang merayap
lainnya harus dibasmi.
 Karena kucing bisa menghasilkan oosit, pembuangan
fesesnya harus diperhatikan benar.
HERPES
 Infeksi herpes pada alat genital (kelamin)
disebabkan oleh virus herpes simplex tipe II
(HSV II).
 Virus ini dapat berada dalam bentuk laten,
menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan
berdiam di ganglion sistem syaraf otonom.
 Bila terjadi pada ibu hamil dapat menyebabkan
kelainan serius pada janin.
 Kelainan pada bayi yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi HSV II, dapat berupa lepuh pada
kulit (tidak selalu muncul), stomatis rekuren,
mikrosefali (kepala kecil), radang otak, radang
mata, radang hati dan sebagainya.
 Penularan (transmisi) penyakit ini melalui
• Kontak langsung/tidak langsung
• Hubungan seksual
• Janin terinfeksi dari ibu
• Bayi terinfeksi saat lahir (kontak dengan
leher rahim yang terinfeksi)

 Kemungkinan terjadinya infeksi virus ini bisa


dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
HIV/AIDS
 Jumlah wanita sebagai penderita HIV/AIDS
semakin meningkat.

 Dari 38,56 juta penderita HIV pada 2005


(UNAIDS)  17,3 juta adalah wanita (sebagian
besar di usia reproduktif)  diperkirakan 3,28
juta wanita hamil terinfeksi HIV akan
melahirkan.
 Penularan:
 Kontak sexual
 Penggunaan jarum suntik
 Dari ibu ke janin

 Bayi yang dilahirkan dari ibu yg positif HIV 


dapat terinfeksi sebelum atau saat persalinan,
atau melalui pemberian ASI setelah
persalinan dikenal sebagai transmisi vertikal
 Faktor yang mempengaruhi transmisi vertikal:
 Anak sebelumnya dg HIV
 Ibu dg AIDS
 Persalinan preterm
 CD4 ibu rendah
 Viral load ibu tinggi
 Chorioamnionitis
 Perdarahan/perlukaan pada persalinan
PENATALAKSANAAN
 Identifikasi infeksi HIV pada kehamilan 
penting untuk mencegah transmisi perinatal

 Mencegah transmisi vertikal


 Menurunkan maternal viral load <1000 kopi/ml

 Laju transmisi perinatal berkorelasi dengan


maternal viral load
 Universal skiring disarankan untuk dilakukan
pada semua wanita hamil
 Pada area dengan prevalensi HIV yang tinggi 
hasil test HIV yang negatif dapat diulang
beberapa waktu ke depan pada kehamilan
 Pada wanita dalam persalinan yang tidak
diketahui status HIVnya  rapid test  bila
positif lakukan terapi tanpa menunggu hasil
konfirmasi tes.
PENATALAKSANAAN
 Semua wanita dengan HIV (+)  perlu
mendapat kombinasi antiretroviral termasuk
AZT (azidothymidine-zidovudin)
 memaksimalkan supresi replikasi virus,
 menurunkan risiko transmisi perinatal,
 meminimalkan risiko perkembangan resistensi virus

 Wanita dengan viral load >1000 kopi/ml  perlu


mendapat konseling untuk melakukan
persalinan secara sesar elektif pada usia
kehamilan 38 minggu  untuk menurunkan
risiko transmisi
UPAYA MENURUNKAN RISIKO TRANSMISI
PERINATAL

 Pemberian antiretroviral terapi hingga viral load


tdk terdeteksi
 Selektif c-section

 Tidak menyusui
 Upaya penurunan transmisi dari ibu ke janin:
 Penggunaan kombinasi (HAART = Highly Active
Antiretroviral terapi)  penularan 1%
 Elective C-section before ruptur of membran 
pada viral load ibu >1000 kopi/mL
 Pada persalinan vaginal, untuk menurunkan
transmisi maka hindari:
 Memecah ketuban
 Pengambilan sample fetal scalp
 Penggunaan fetal elektrode
 Tindakan episiotomi
 Tindakan operatif persalinan
 Newborn diberi antiviral oral azidothymidine
(sirup 2 mg/kg setiap 6 jam selama 6 minggu
pertama sejak persalinan)
HEPATITIS B
 Peradangan pada liver yang disebabkan oleh
virus hepatitis B (HBV).
 Virus ditransmisikan melalui paparan darah,
cairan tubuh (sperma, cairan vagina).

 Infeksi perinatal banyak dijumpai di


negara berkembang.
 Semua wanita hamil  harus skrining hepatitis
B dengan pemeriksaan HBsAg
 Vertikal transmisi HBV terjadi pada 90% wanita
dengan HBeAg (+), dan 90% pada wanita dengan
akut hepatitis pada trimester ke-3
 Vertikal transmisi terjadi 10-20% wanita dengan
HBsAg (+) tanpa kondisi di atas
 90% newborn yg terinfeksi HVB berkembang
menjadi hepatitis B
 Semua neonatus dari ibu dengan HBsAg (+)
sebaiknya mendapatkan HBIg dan vaksin
hepatitis B dalam 12 jam persalinan 
mencegah 85-95% infeksi HVB neonatal
 Transmisi virus hepatitis B berasal dari paparan
darah yang terinfeksi atau cairan tubuh yang
mengandung darah yang terinfeksi  Tidak
menular dengan memegang tangan, gelas
minum, batuk, bersin, menyusui.
 Transmisi bisa terjadi pada kontak seksual,
transfusi darah, penggunaan jarum yang
terkontaminasi, dan transmisi dari ibu pada
janin (MTCT = mother to child transmision)
selama proses persalinan.
 Dikatakan bahwa skrining maternal dan
pemberian imunoprofilaksis mengurangi
transmisi perinatal atau vertikal dari virus
hepatitis B.
 Transmisi perinatal masih memungkinkan
terjadi walau janin mendapat imunoprofilaksis
bila kadar virus dalam tubuh ibu tinggi dan
HBeAg (+)  pemberian antiviral selama
trimester ke-3 pada wanita dengan risiko tinggi
infeksi HBV kronis menurunkan viral load
dalam tubuh ibu sehingga menurunkan risiko
transmisi perinatal.
 Profilaksis masih menjadi metode paling
baik dalam mencegah transmisi perinatal.
GEJALA
 Malaise
 Mual, muntah

 Jaundice  10%

 5% infeksi HVB menjadi kronik  sirosis,


hepatoseluler karsinoma, dan kematian
MANAJEMEN DALAM KEHAMILAN
 Tujuan : mencegah transmisi vertikal

 Breastfeeding setelah pemberian imunoprofilaksi


tidak berisiko terjadi MTCT pada HBV.
MALARIA
 Berasal dari kata ‘mal + aria’ = udara yang jelek
 Disebabkan oleh plasmodium (parasit intra
eritrositik)
 Ditularkan oleh nyamuk anopheles betina

 Macam plasmodium:
 Plasmodium falciparum  banyak menyebabkan
kematian
 Plasmodium vivax  risiko dormant
 Plasmodium ovale  risiko dormant
 Plasmodium malariae
DIAGNOSIS
 Demam, menggigil, nyeri kepala
menggigil  1-2 jam
demam  39-42 C, berlangsung sekitar 6 jam
berkeringat banyak  suhu turun, gejala menghilang,
merasa lemah
 Serangan berat  P falciparum
 Gagal ginjal
 Gross hemoglobinuria – lisis RBC  black water fever
 Edema pulmo non-cardiogenik
 Anemia berat
 Jaundice
 Kejang
 Parasitemia
 Koma
 Kolaps sirkulasi
 hipoglikemia
LAB PENUNJANG
 Pewarnaan Giemsa  intraeritrositik parasit
 Lab lain:
 Imunofluoresensi
 Tes ELISA  deteksi antigen P falciparum
 Teknik PCR
RISIKO MATERNAL & FETAL
 Risiko berkembang menjadi berat &
berkomplikasi  meningkat 3x pada ibu hamil

 Risiko mobiditas & mortalitas meningkat


bermakna
 IUGR

 Keguguran

 Persalinan preterm

 Infeksi kongenital

 Kematian perinatal
TERAPI
 Kloroquin  aman dalam dosis yang sesuai,
banyak resistensi
 Quinin

 Mefloquin

 Klindamisin
KEPUSTAKAAN

 Berghella V. Maternal-Fetal vc Evidence Based


Guidelines. Informa Healthcare. USA. 2009
 Creasy RK, Resnik R, Lam JD, Lockwood CJ,
Moore TR, Greene MF. Maternal Fetal Medicine
Principles and Practice. 7th edition. Elsevier
Saunders. Philadelphia. 2014
 James, Steer, Weiner, Gonik, Crowther, Robson.
High Risk Pregnancy Management Options.
Elsevier Saunders. 2011

Anda mungkin juga menyukai