Anda di halaman 1dari 35

JURNAL 5 TAHUN TERAKHIR TERKAIT CHF

Dosen pengampu:
Acmad Vindo Galerasa,S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun oleh:
Dita Ameliasari(202202066)

S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2023
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN GAGAL
JANTUNG

ABSTRAK:
Gagal jantung merupakan penyakit kardiovaskuler yang mengakibatkan tingginya angka
mortalitas, morbiditas, dan berdampak secara finansial. Pengalaman pasien gagal jantung
menunjukkan sikap yang beragam dalam melaksanakan perawatan mandiri. Pentingnya
perawatan mandiri yang dilakukan oleh pasien merupakan faktor pendukung dalam proses
pengobatan, lingkungan sosial seperti keluarga dan masyarakat juga memiliki peran penting
untuk meningkatkan motivasi bagi pasien selain informasi yang didapatkan dari pelayanaan
kesehatan. Studi literatur ini bertujuan untuk mengambarkan perawatan diri yang dapat
dilakukan pada pasien gagal jantung untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, derajat NYHA, dan manajemen diri. Penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara perawatan diri dengan peningkatan kualitas hidup. Perawatan diri
yang dapat dilakukan pada pasien gagal jantung antara lain teratur minum obat, olahraga
secara rutin, dan menurunkan konsumsi garam dalam diet. Terdapat peningkatan kualitas
hidup pada pasien gagal jantung yang melakukan perawatan diri secara mandiri. Pasien
gagal jantung perlu diberikan metode perawatan diri yang beragam, agar kualitas hidup
pasien gagal jantung dapat meningkat sehingga pasien memiliki harapan hidup yang lebih
baik.

ABSTRAC:
Heart failure is a cardiovascular disease that results in high mortality, morbidity, and has a
financial impact. The experiences of heart failure patients show various attitudes in carrying
out self-care. The importance of independent care carried out by patients is a supporting
factor in the treatment process, the social environment such as family and society also has
an important role in increasing motivation for patients in addition to information obtained
from health services. This literature study aims to describe self-care that can be done in
patients with heart failure to improve their quality of life. This research was conducted
through searching published articles from Elsevier, PubMed, Science Direct, SAGE Journal,
and Google Scholar. Quality of life is influenced by several factors, including age, gender,
education, occupation, NYHA degree, and self-management. This study shows a relationship
between self-care and improved quality of life. Self-care that can be done in patients with
heart failure includes taking medication regularly, exercising regularly, and reducing salt
consumption in the diet. There is an improvement in the quality of life in heart failure
patients who perform self-care independently. Heart failure patients need to be given a
variety of self-care methods, so that the quality of life for heart failure patients can improve
so that patients have a better life expectancy.

PENDAHULUAN
Gagal jantung (heart failure) merupakan penyakit penyumbang angka mortalitas dan
morbiditas yang cukup tinggi. Data menurut World Health Organisation (WHO)
menunjukkan bahwa prevalensi gagal jantung pada tahun 2013 di Amerika Serikat kurang
lebih sebanyak 550.000 kasus pertahun, American Heart Association (AHA) menunjukkan
data di Amerika Serikat sebanyak 375.000 orang pertahun meninggal dunia akibat penyakit
gagal jantung. Data di Indonesia pada tahun 2018 diperoleh bahwa penyakit gagal jantung
masuk 10 penyakit tidak menular di Indonesia yang diperkirakan sebanyak 229,696 (0,13%)
orang menderita gagal jantung (Kristinawati & Khasanah, 2019). Pasien gagal jantung dalam
melakukan aktivitas sehari-hari akan mengalami keterbatasan sehingga pasien menjadi
sangat rentan mengalami depresi, stress, cemas, dan sulit untuk mengendalikan emosinya
sendiri. Pasien juga berfikir tentang biaya pengobatan, prognosis penyakitnya, dan lamanya
penyembuhan sehingga dapat menyebabkan kualitas hidup pasien gagal jantung menurun
(Purnamawati et al., 2018). Ukuran kualitas hidup juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, derajat New York Heart Association
(NYHA), keparahan gagal jantung, risiko mortalitas, dan kesehatan mental. Gejala yang
ditimbulkan akibat gagal jantung berupa gejala fisik (seperti dyspnea, lelah, edema,
kehilangan nafsu makan) maupun gejala psikologis (seperti kecemasan dan depresi) yang
dapat mempengaruhi kualitas hidup (Wang et al., 2016). Menurut New York Heart
Association (NYHA), gagal jantung dibagi berdasarkan 4 derajat kemampuan fisik. Derajat I
pasien menunjukkan bisa beraktifitas secara normal, derajat II pasien menunjukkan gejala
ringan saat melakukan aktivitas sehingga pasien merasa lebih nyaman bila beristirahat,
derajat III pasien sudah mulai menunjukkan adanya keterbatasan fisik, dan derajat IV pasien
sudah tidak bisa melakukan aktivitas apapun tanpa keluhan. Kondisi tersebut dapat
mempengaruhi sejauh mana pasien mampu memaksimalkan keadaan fisiknya, sehingga
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal jantung (PERKI, 2015). Kualitas hidup
dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan
usia seseorang atau peran utamanya dimasyarakat sekitar (RISKESDA, 2015). WHO
memerintahkan pengukuran kualitas hidup sebagai salah satu tolak ukur pengukuran dalam
kesehatan dan keberhasilan terapi, selain perubahan frekuensi dan derajat keparahan
penyakit. Kualitas hidup mengacu pada aspek kompleks kehidupan yang tidak bisa
diungkapkan hanya dengan menggunakan indikator yang bisa diukur, tetapi kualitas hidup
dapat menggambarkan evaluasi subjektif dari kehidupan pada umumnya (WHO, 2015). Self
care management merupakan kemampuan pasien gagal jantung dalam mengelola dirinya
sendiri, hal ini dapat ditingkatkan dengan adanya edukasi dari perawat, pasien gagal jantung
harus mempunyai pengetahuan tentang penyakit yang diderita, bagaimana cara
pencegahan timbulnya gejala, dan apa yang dapat dilakukan pasien gagal jantung jika gejala
muncul, dengan adanya self care management yang baik maka pasien gagal jantung akan
mempunyai motivasi dalam penanganan penyakitnya (Dehkordi et al., 2016). Perawatan diri
pada pasien gagal jantung meliputi minum obat secara teratur, menurunkan konsumsi
garam dalam diet, olahraga secara rutin, dan melakukan monitoring gejala secara rutin

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian narrative review. Database dalam penelitian ini terdiri
dari Elsevier, PubMed, Science Direct, SAGE Journal, dan Google Scholar. Istilah utama atau
kata kunci yang digunakan untuk pencarian literatur penelitian adalah “kualitas
hidup”,”pasien gagal jantung,dan “perawatan diri”.jangka waktu dalam pencarian artikel
penelitian yang diperoleh iniadalah dari tahun 2015 sampai 2020. Kriteria inklusi pada
narative review ini adalah artikel bahasa indonesia dan bahasa inggris dengan tanggal
publikasi 5 tahun terakhir (mulai dari 2015 sampai 2020), artikel dalam bentuk full teks, dan
artikel dengan pasien yang terdiagnosis gagal jantung untuk meningaktkan kualitas hidup
Sebelum peneliti menulis pembahasan berdasarkan literatur yang terdapat dari artikel,
peneliti terlebih dahulu melalui beberapa hal, diantaranya pemilihan tema yang telah di
konsulkan kepada dosen pembimbing, pencarian artikel melalui situs yang telah
terakreditasi seperti Elsevier,PubMed,Science,Direct,SAGE Jurnal, dan Google Scholar yang
sesuai dengan pertanyaan penelitian dan kriteria inklusi,artikel yang memakai bahasa inggris
akan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia ,artikel dibaca secara detail oleh
peneliti,kemudian dituliskan kedalam format yang telah ditentukan (seperti adanya
pendahuluan,metode penelitian, pembahasan,kesimpulan,serta referensi.
PEMBAHASAN
Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup

Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah umur, pendidikan, dan derajat New York
Heart Association (NYHA). Umur memiliki hubungan negatif terhadap kualitas hidup yang
menyatakan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang maka kualitas hidupnya akan menurun.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa fungsi jantung akan berubah bersamaan
dengan pertambahan umur. Seseorang yang berumur 40 tahun keatas, jantung kirinya akan
mengalami pengecilan sebagai respon terhadap rendahnya beban kerja yang dibutuhkan oleh
jantung.

Pendidikan memiliki hubungan positif terhadap kualitas hidup yang menyatakan bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula kualitas hidup pasien. Hal tersebut sesuai
dengan teori yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dimiliki maka semakin mudah
pula menerima informasi yang diberikan. Karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi akan mudah menyerap informasi dan memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada
seseorang yang tingkat pendidikanya lebih rendah (Pudiarifanti et al., 2015). Pendidikan
berpengaruh terhadap daya tangkap dan kemampuan seseorang dalam memahami pengetahuan
yang diperoleh dalam penerimaan informasi, dalam hal ini informasi mengenai gagal jantung,
dimana responden yang berpendidikan lebih tinggi akan semakin mudah untuk menerima informasi.
Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap upaya seseorang dalam memperoleh sarana
kesehatan, mencari pengobatan untuk penyakit yang dideritanya, dan mampu memilih serta
memutuskan tindakan yang dijalani untuk mengatasi masalah kesehatannya.
Derajat menurut NYHA memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien gagal
jantung. Klasifikasi kelas fungsional jantung berdasarkan klasifikasi NYHA I, II, III dan IV merupakan
salah satu sistem untuk menilai status fungsional penderita gagal jantung. Derajat NYHA yaitu
sebuah ukuran gejala yang ditimbulkan akibat gagal jantung berupa gejala fisik seperti adanya sesak
napas, dypnea, cepat lelah, dan edema. Kondisi fisik ini sangat mempengaruhi kemampuan dan
fungsi pasien sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Kristinawati & Khasanah, 2019).

Faktor lainnya yang juga berhubungan dengan kualitas hidup adalah jenis kelamin dan
pekerjaan. Jenis kelamin laki-laki memiliki hormon estrogen yang lebih sedikit dibandingkan dengan
perempuan. Hormon tersebut akan semakin berkurang jumlahnya ketika sudah memasuki usia
menoupose. Hormon estrogen dapat memberikan efek proteksi atau perlindungan didalam aliran
darah dari jantung ke seluruh tubuh atau sebaliknya. Sehingga ketika memasuki masa menoupause,
baik perempuan maupun laki-laki memiliki peluang yang sama mengalami gangguan kardiovaskuler
(Utomo et al., 2019). Seseorang yang memiliki pekerjaan berat yang dilakukan secara terus-menerus
dan kurang beristirahat dapat meningkatkan beban kerja jantung dalam memompa darah keseluruh
tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Self Care Management pada Pasien Gagal Jantung

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Utomo et al. (2019) , hasil uji statistik chi
square tentang hubungan self care management dengan kualitas hidup pasien gagal jantung
diperoleh nilai p=0,017 artinya p-value < alpha (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara self care management dengan kualitas hidup pasien gagal jantung
di RSUD Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2019.

Pasien dengan gagal jantung akan mengalami penurunan kualitas hidup dikarenakan pada
penderita gagal jantung muncul perasaan lelah pada otot tungkai dan mengirimkannya ke jantung
dan otak. Pasien gagal jantung sering ditemukan kehilangan memori atau perasaan disorientasi. Hal
tersebut disebabkan oleh perubahan jumlah zat tertentu didalam darah, seperti sodium yang dapat
menyebabkan penurunan kerja impuls saraf. Hal tersebut bila terjadi secara terus-menerus akan
menyebabkan penurunan kualitas hidup (AHA, 2017). Teori tersebut sejalan dengan penelitian yang
mengungkapkan bahwa program pemberian asuhan keperawatan pendidikan suportif yang
dilakukan selama 12 minggu efektif dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup
pada pasien gagal jantung.

Self care management adalah aktivitas dari individu yang dilaksanakan oleh individu itu sendiri
untuk memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejateraannya. Tujuan dari
self care management adalah untuk mencapai kemampuan menyesuaikan diri secara mandiri
dengan rutinitas harian dan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pasien gagal jantung perlu mendapatkan keterampilan self care management yang
khusus, disamping mendapatkan terapi medis secara rutin (Utomo et al., 2019). Hal ini sesuai
dengan teori Self Care Orem yang menyatakan bahwa kemampuan individu untuk melakukan self
care dipengaruhi oleh basic conditioning factors seperti; umur, jenis kelamin, status perkembangan,
pola kehidupan status kesehatan, sistem perawatan kesehatan, sistem keluarga, lingkungan dan
orientasi sosial budaya (Muhlisin & Irdawati, 2010). Self care management ini dapat diketahui
melalui aktivitas hidup sehari-hari yang hanya memerlukan kemampuan tubuh untuk berfungsi
sederhana, misalnya bangun dari tempat tidur, berpakaian, makan, ke kamar mandi, berkomunikasi,
berdandan, dan berpindah tempat.
Edukasi pada pasien gagal jantung merupakan harapan untuk meningkatkan
pengetahuan pasien gagal jantung. Edukasi yang terencana dapat memberikan motivasi
untuk memperkuat kemampuan pasien dalam melakukan perawatan secara mandiri
(Purnamawati et al., 2018). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pelaksanaan edukasi gagal jantung terhadap kemampuan self management pasien gagal
jantung. Faktor-faktor lain juga berpengaruh dalam kemampuan melakukan perawatan
secara mandiri. Edukasi diberikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perawatan
mandiri sehingga kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri dapat
meningkat. Self management sangat berperan penting dalam perawatan pasien gagal
jantung. Manfaat self management gagal jantung yaitu dapat meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi rehozpitalisasi, dan dapat mengurangi biaya perawatan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Jaarsma et al. (2017) didapatkan
bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kemampuan pasien gagal
jantung dalam perawatan secara mandiri. Faktor tersebut tidak hanya edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan. Ada faktor yang lain yang berpengaruh seperti pengalaman
dan keterampilan, dukungan, motivasi, kebiasaan, keyakinan dan nilai budaya, kemampuan
fungsional dan kognitif, pengetahuan, kepercayaan, serta akses ke tempat perawatan.
Menurut beberapa penelitian self care management dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu
pemeliharaan diri (self care maintenance), pengelolaan diri (self care management), dan
kepercayaan diri (self care confidence).

Dimensi Pemeliharaan Diri (Self-Care Maintenance)


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prihatiningsih & Sudyasih (2018)
menunjukkan bahwa dimensi pemeliharaan diri merupakan dimensi dengan skor terendah
dibandingkan dengan 2 dimensi lainnya dengan frekuensi hanya sebesar 5,4% responden
saja yang memiliki perilaku adekuat dengan rata-rata skor 43,4±11,8. Pemeliharaan diri ini
menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan gaya hidup sehat, seperti minum obat
secara teratur, olahraga secara rutin, dan menurunkan konsumsi garam dalam diet.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat 6 dari 10 perilaku pemeliharaan diri
dengan skor terendah. Perilaku tersebut antara lain menimbang berat badan, berolahraga,
perilaku mencegah dari sakit, diet rendah garam, menggunakan pengingat untuk membantu
pasien mengingat jadwal minum obat, dan memeriksakan pembengkakan pada kaki pasien
gagal jantung .

Dimensi Pengelolaan Diri (Self-Care Management)


Pengelolaan diri ini melihat persepsi pasien terhadap gejala yang meliputi kemampuan
pasien dalam mendeteksi gejala dan interpretasi hasilnya (Prihatiningsih & Sudyasih, 2018).
Dari hasil interpretasi tersebut, pasien akan membuat keputusan untuk menangani gejala
dan melakukan strategi pengobatan (seperti meminum obat diuretik tambahan), maupun
melakukan evaluasi terhadap respon tindakan yang dilakukan.

Dimensi Kepercayaan Diri (Self-Care Confidence)


Kepercayaan diri ini menilai respon pasien terhadap gejala yang terjadi. Mengikuti
petunjuk pengobatan yang telah diberikan merupakan suatu komponen kepercayaan diri
yang paling tinggi didalam dimensi ini (Prihatiningsih & Sudyasih, 2018). Jika dilihat dari hasil
penelitian, maka yang dimaksudkan oleh pasien akan kepercayaan mengikuti petunjuk
pengobatan adalah kepatuhan dalam minum obat. Hal ini dapat terlihat dari tingginya
perilaku keteraturan minum obat dan rendahnya perilaku non farmakologis seperti
monitoring berat badan dan edema tungkai secara rutin, diet rendah garam, serta
melakukan olahraga secara teratur.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
peningkatan kualitas hidup pada pasien gagal jantung yang melakukan perawatan diri secara
mandiri. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, derajat NYHA, dan manajemen diri. Dalam upaya
memperbaiki keberhasilan terapi yang diberikan, pengendalian faktor resiko sangat
diperlukan, terutama pada faktor resiko yang dapat dimodifikasi, seperti tingkat depresi,
dukungan keluarga, dan manajemen perawatan diri.
Pasien gagal jantung yang memiliki kualitas hidup yang rendah akan memperlambat
proses pemulihan fungsional dan menurunkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, pasien
gagal jantung diharapkan bisa memahami keterbatasan fisiknya dan menerima perubahan-
perubahan yang dialami dalam kehidupanya sekarang dan keluarga disarankan untuk lebih
memperhatikan kebutuhan pasien gagal jantung, lebih memahami dan mengerti kondisi
yang dialami pasien gagal jantung, serta selalu memberikan dukungan kepada pasien gagal
jantung.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, A., Afiyanti, Y., & Ilmi, B. (2017). Pengalaman Pasien Gagal Jantung Kongestif
dalam
melaksanakan Perawatan Mandiri. Healthy-Mu Journal, 1(1), 6.14.
https://doi.org/https://doi.org/10.35747/hmj.v1i1.63
Akhmad, A. N., Primanda, Y., & Istanti, Y. P. (2016). Kualitas Hidup Pasien Gagal Jantung
Kongestif
(GJK) berdasarkan Karakteristik Demografi. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman
Journal of
Nursing), 11(1), 27.34. Retrieved from
http://jks.fikes.unsoed.ac.id/index.php/jks/article/view/629
American Heart Association (AHA). (2017). Cardiovascular Statistic
Dehkordi, A. H., Far, A. K., Far, B. K., & Tali, S. S. (2016). The Effect of Family Training and
Support on
The Quality of Life and Cost of Hospital Readmissions in Congestive Heart Failure Patients in
Iran. Applied Nursing Research, 31(8), 165.169. https://doi.org/10.1016/j.apnr.2016.03.005
Djamaludin, D., Tua, R., & Deria, D. (2018). Hubungan Self Care Terhadap Kualitas Hidup
pada Klien
Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, Vol. 13 (1), 2020, 10-21; p-ISSN:1979-2697; e-ISSN:2721-
1797
20
Gagal Jantung di Poli Jantung RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017.
Holistik Jurnal Kesehatan, 12(3), 178.188. Retrieved from
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/holistik/article/view/182
Jaarsma, T., Cameron, J., Riegel, B., & Stromberg, A. (2017). Factors Related to Self-Care in
Heart Failure
Patients According to the Middle-Range Theory of Self-Care of Chronic Illness: a Literature
Update. Current Heart Failure Reports, 14(2), 71.77. doi:10.1007/s11897-017-0324-1
Kessing, D., Denollet, J., Widdershoven, J., & Kupper, N. (2017). Self-Care and Health-Related
Quality of
Life in Chronic Heart Failure: A Longitudinal Analysis. European Journal of Cardiovascular
Nursing,
16(7), 605.613. https://doi.org/10.1177/1474515117702021
Kristinawati, B., & Khasanah, R. N. (2019). Hubungan Pelaksanaan Edukasi dengan
Kemampuan Self
Care Management Pasien Gagal Jantung. The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong, 1(1), 496.503. Retrieved from
http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/682
Laksmi, I. A. A., Suprapta, M. A., & Surinten, N. W. (2020). Hubungan Self Care dengan
Kualitas Hidup
Pasien Gagal Jantung di RSD Mangusada. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 8(1), 39.47.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33366/jc.v8i1.1326
Muhlisin, A. & Irdawati. (2010). Teori Self Care dari Orem dan Pendekatan dalam Praktek
Keperawatan. Berita
Ilmu Keperawatan, 2 (2)
Nurcahyati, S., & Karim, D. (2016). Implementasi Self Care Model dalam Upaya
Meningkatkan Kualitas
Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 3(2), 25.32. Retrieved
from
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jk_sriwijaya/article/view/4239
Obieglo, M., Uchmanowicz, I., Wleklik, M., Jankowska-Polanska, B., & Kusmierz, M. (2015).
The Effect of
Acceptance of Illness on The Quality of Life in Patients with Chronic Heart Failure. European
Journal of Cardiovascular Nursing, 15(4), 241.247.
https://doi.org/10.1177/1474515114564929
PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia). (2015). Pedoman
Tatalaksanan Gagal
Jantung Edisi Ketiga. Jakarta: Centra Communications
Prihatiningsih, D., & Sudyasih, T. (2018). Perawatan Diri pada Pasien Gagal Jantung. Jurnal
Pendidikan
Keperawatan Indonesia, 4(2), 140.151. https://doi.org/10.17509/jpki.v4i2.13443
Pudiarifanti, N., Pramantara, I. D., & Ikawati, Z. (2015). Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Kualitas
Hidup Pasien Gagal Jantung Kronik. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi, 5(4),
259.266.
Retrieved from https://dev.jurnal.ugm.ac.id/jmpf/article/view/29453
Purnamawati, D. A., Arofiati, F., & Relawati, A. (2018). Pengaruh Supportive-Educative
System terhadap
Kualitas Hidup pada Pasien Gagal Jantung. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 18(2), 39.44.
https://doi.org/10.18196/mm.180213
Riset Kesehatan Dasar. (2015). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI.
Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI
Sedlar, N., Lainscak, M., Mårtensson, J., Strömberg, A., Jaarsma, T., & Farkas, J. (2017).
Factors Related to
Self-Care Behaviours in Heart Failure: A Systematic Review of European Heart Failure Self-
Care
Behaviour Scale studies. European Journal of Cardiovascular Nursing, 16(4), 272 .282.
https://doi.org/10.1177/1474515117691644
Utomo, D. E., Ratnasari, F., & Andrian, A. (2019). Hubungan Self Care Management dengan
Kualitas
Hidup Pasien Congestive Heart Failure. Jurnal Kesehatan, 8(2), 1.10.
https://doi.org/10.37048/kesehatan.v8i2.145
Wang, T. C., Huang, J. L., Ho, W. C., & Chiou, A. F. (2016). Effects of a Supportive Educational
Nursing
Care Programme on Fatigue and Quality of Life in Patients with Heart Failure: A Randomised
Controlled Trial. European Journal of Cardiovascular Nursing, 15(2), 157.167.
https://doi.org/10.1177/1474515115618567
WHO. (2015). WHOQOL: Measuring Quality of Life. In Programme On Mental Health (Vol.
28, Issue 3).
https://doi.org/10.5.12
Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, Vol. 13 (1), 2020, 10-21; p-ISSN:1979-2697; e-ISSN:2721-
1797
Zeng, W., Chia, S. Y., Chan, Y. H., Tan, S. C., Ju, E., Low, H., & Fong, M. K. (2017). Factors
Impacting
KELELAHAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE

Abstract
Introduction: Fatigue is a characteristic symptom and is often found in CHF patients and has
a negative effect on daily activities, disease prognosis, and patient's quality of life. However,
fatigue is a common symptom that is often overlooked and ignored. Limited study explored
fatigue in CHF patients. The aim of this study was to explore fatigue in CHF patients.
Methods: The research design is a descriptive survey. The total research sample is 85
respondents. Data were taken using a Multidimensional Assessment Fatigue (MAF)
questionnaire with univariate data analysis in the form of a frequency distribution.
Respondents involved in the study were patients aged >18 years who suffered from CHF
based on a doctor's diagnosis and confirmed by medical records.
Results: The majority of respondents are elderly with female gender, work as household
workers, and heve income less than Rp1,500,000/month. Examination of vital signs
performed on the majority of CHF patients showed normal temperature (36.5℃ - 37.5℃),
pre-hypertensive blood pressure (120/80 - 139/89 mmHg), normal pulse (60-100x/min), and
normal respiratory rate (12-20x/minute). Most patients have a CHF duration of 1–3 years,
and are in grades 2 and 3 based on the New York Association (NYHA) classification. The
results of this study were 65.9% of CHF patients experienced moderate fatigue, 17.6%
severe fatigue, and 16.5% mild fatigue.
Conclusion: Health services can consider efforts to improve the quality of nursing services in
overcoming or minimizing fatigue experienced by CHF patients. These efforts can be a
therapy, evidence-based health education, or fatigue monitoring for preventing a worsening
of disease prognosis and improving the patient's quality of life.

Abstrak
Pendahuluan: Kelelahan menjadi gejala yang khas dan sering ditemukan pada pasien CHF
serta memberikan efek yang buruk pada kegiatan sehari-hari, prognosis penyakit, dan
kualitas hidup pasien. Masih terbatas penelitian tingkat kelelahan di Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah mengeksplorasi kelelahan pada pasien CHF.
Metode: Desain penelitian adalah deskriptif survei. Total sampel penelitian yaitu 85
responden. Data diambil menggunakan kuesioner Multidimensional Assesment Fatigue
(MAF) dengan analisis data univariat dalam bentuk distribusi frekuensi. Responden
penelitian adalah pasien berusia >18 tahun yang menderita CHF berdasarkan diagnosa
dokter dan dikonfirmasi oleh rekam medik.
Hasil: Hasil dari penelitian ini adalah mayoritas responden berusia lanjut dengan jenis
kelamin wanita, bekerja sebagai IRT, dan pendapatan <Rp1.500.000/bulan. Sebagian besar
pasien CHF memiliki durasi lama menderita 1-3 tahun, dan berada di kelas 2 serta 3 pada
klasifikasi CHF menurut New YorkAssociation (NYHA). Selain itu, sebesar 65,9% pasien CHF
mengalami kelelahan sedang, 17,6%kelelahan berat, dan 16,5% kelelahan ringan.
Kesimpulan: Pelayanan kesehatan dapat mempertimbangkan upaya-upaya peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan dalam mengatasi maupun meminimalisasi kelelahan yang
dialami pasien CHF. Upaya-upaya tersebut dapat berupa terapi, pendidikan kesehatan
berbasis bukti, maupun pemantauan

PENDAHULUAN
Congestive Heart Failure (CHF) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang
menjadi bagian dari penyakit tidak menular (PTM) dan merupakan penyebab utama
kematian secara global serta salah satu tantangan kesehatan utama di abad ke-21 (Nugraha
et al., 2018). CHF merupakan penyakit progresif yang memiliki angka mortalitas dan
morbiditas tinggi baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk
Indonesia.Kelelahan adalah gejala yang paling umum pada pasien CHF dan menjadi salah
satu yang terburuk (Polikandrioti et al., 2019). Kelelahan memberikan efek yang buruk pada
kegiatan sehari-hari, prognosis penyakit, dan kualitas hidup pasien (Schjoedt et al., 2016).
Meskipun kelelahan menjadi gejala yang sering muncul, namun seringkali kurang
diperhatikan dan diabaikan.Pengabaian kelelahan dapat penanganan kurang optimal.
Kualitas hidup yang baik dan pencegahan perburukan prognosis penyakit juga tidak tercapai
(Lainsamputty & Chen, 2018). Kelelahan menimbulkan perasaan lelah berlebih, berlangsung
secara terus menerus, dan melemahkan tubuh, sehingga menurunkan kemampuan fungsi
tubuh dan menyebabkan gangguan aktivitas fisik seseorang (Matura, 2018). Kelelahan juga
disebut sebagai prediktor signifikan yang dapat memperburuk penyakit CHF (Chen et al.,
2017). Penelitian Polikandrioti et al.(2019) menghasilkan tingkat kelelahan yang bervariasi
dari sedang hingga tinggi pada pasien gagal jantung yang diteliti. Penelitian Smith juga
mengatakan sebagian besar responden yang sudah dikaji memiliki tingkat kelelahan parah,
dan hanya melakukan mobilitas kurang dari 50 meter (Smith-love, 2019). Kelelahan dapat
dipengaruhi oleh aktifitas yang sesuai dengan budaya daerah rural. Pada masyarakat lansia,
seringkali nampak nyata adanya perbedaan aktivitas fisik antara yang di desa dan di kota.
Lansia desa seringkali tampak melakukan aktivitas fisik lebih berat daripada lansia di kota.
Hasil penelitian Putra, Dyah, dan Purnamasiwi (2018) memperoleh hasil lansia desa memiliki
angka aktivitas fisik yang lebih tinggi dibanding lansia kota. Peneliti juga melakukan studi
pendahuluan dengan wawancara terstruktur kepada lima perawat di poli penyakit dalam
rumah sakit daerah di area rural. Sebagian besar pasien CHF di poli penyakit dalam RSUD dr.
R. Goeteng Taroenadibrata merupakan orang-orang dengan usia di atas 50 tahun. Semua
perawat mengatakan bahwa gejala terbanyak yang dilaporkan pasien CHF adalah kelelahan.
Kelelahan yang dikeluhkan rata-rata adalah kelelahan fisik dan belum ada yang
mengeluhkan kelelahan mental. Karakteristik dari kelelahan yang dikeluhkan pasien di RSUD
dr. R. Goeteng Taroenadibrata adalah cepat lelah ketika berjalan dengan jarak dekat, tidak
mampu beraktivitas terlalu lama baik ringan maupun berat, dan merasa ngos-ngosan. Lima
orang perawat memaparkan bahwa tidak ada tindakan keperawatan khusus pada
pengkajian dan intervensi terkait kelelahan yang dilaporkan. Padahal, keberhasilan
pengobatan CHF bergantung pada pengkajian keperawatan yang komprehensif dari gejala.
Pengetahuan perawat tentang pendekatan permasalahan yang ditemuai juga akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan. Kelelahan memiliki sifat subjektif, sehingga memerlukan instrumen
pengukuran yang valid dan reliabel untuk mengkaji dan mengevaluasi kelelahan dengan tetap
menjadikan pelaporan individu sebagai pendekatan (Cajanding, 2017). Penelitian di Amerika
menyatakan bahwa pasien CHF memiliki tingkat kelelahan yang parah dan tidak bisa berjalan kurang
dari 50 m (Smith-love, 2019). Peneliti juga melakukan survei awal di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata yang menunjukkan bahwa pasien CHF melaporkan kelelahan. Kelelahan dapat
dipengaruhi oleh aktifitas yang sesuai dengan budaya daerah rural, sehingga perlu dilakukan
penelitian bagaimana tingkat kelelahan pasien CHF pada daerah rural. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat kelelahan pasien CHF di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata. METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif non eksperimental dengan rancangan
penelitian deskriptif survey. Populasi pada penelitian ini adalah pasien CHF yang berobat di poli
penyakit dalam di RSUD Goeteng Taroenadibrata dengan rata-rata jumlah perbulan 95 pasien.
Kriteria inklusi dari responden penelitian adalah berusia 18 tahun atau lebih, memiliki penyakit CHF
berdasarkan diagnosa medis dan dikonfirmasi oleh rekam medis, memiliki kemampuan untuk
memahami Bahasa Indonesia dengan baik, dan mampu berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi
dari penelitian ini adalah Pasien dengan kondisi tidak stabil berdasarkan rekomendasi dokter.
Kriteria drop out dari penelitian ini adalah pasien yang mengalami kelelahan saat berlangsungnya
penelitian, maka keterlibatannya akan dibatalkan. Peneliti menggunakan teknik total sampling
dengan total sampel sebanyak 85 pasien CHF. Penelitian ini dilakukan di RSUD Goeteng
Taroenadibrata pada bulan April 2021 dengan menyebarkan kuesioner Multidimensional
Assessment of Fatigue (MAF) yang dihitung dengan rumus Global Fatigue Index (GFI). Uji validitas
dan reliabilitas menunjukkan hasil validitas item individual berada pada rentang 0,88 – 1, dan hasil
uji reliabilitas menunjukkan hasil Cronbach’s alpha = 0,98 (Lainsamputty & Chen, 2018).
Multidimensional Assessment of Fatigue (MAF) scale memiliki empat domain yaitu severity, distress,
interference of ADL, dan timing. Multidimensional Assessment of Fatigue (MAF) scale menggunakan
skala 1-10 pada poin kuesioner nomor 1-14 dimana skor 1 menunjukkan tidak sama sekali dan skor
10 menunjukkan sangat berat. Sedangkan poin kuesioner nomor 15-16 menggunakan 4 poin skala
tipe likert. Skor total dikategorikan menjadi kelelahan ringan, sedang dan berat berdasarkan nilai
mean dan SD. Penelitian ini telah lolos uji etik di RS Moewardi dengan nomor surat uji etik
314/IIII/HREC/2021. Analisis data penelitian menggunakan analisis data univariat dengan tabel
distribusi frekuensi.

PEMBAHASAN

Penyakit CHF merupakan salah satu gangguan metabolisme yang terjadi karena adanya penurunan
kadar oksigen pada sirkulasi disebabkan oleh kegagalan jantung mempertahankannya (Nugraha &
Ramdhanie, 2018). Kelelahan adalah gejala yang paling umum pada pasien CHF. Studi literatur
mengatakan bahwa pasien menggambarkan pengalaman kelelahan tubuh sebagai perasaan kantuk
dan kurang kekuatan serta energi (Matura, 2018). Beberapa penelitian menunjukkan sebagian besar
pasien CHF melaporkan kelelahan dengan rentang parah hingga sangat parah. Kelelahan
memberikan efek yang buruk pada kegiatan sehari-hari, prognosis penyakit, dan kualitas hidup
pasien (Polikandrioto, 2019; Schjoedt, 2016). Kelelahan diartikan sebagai ketidakmampuan secara
fisik dan psikologi yang mengganggu aktivitas seperti biasanya. Kelelahan menyebabkan adanya
penurunan kekuatan, energi, serta terganggunya kebutuhan istirahat tidur (Nugraha, 2018).
Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan fisik dan kelelahan mental. Kelelahan fisik (atau
kelelahan otot) adalah kelelahan yang disebabkan oleh aktivitas fisik dan didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk mempertahankan tingkat kekuatan yang diperlukan setelah penggunaan
otot yang lama. Kelelahan fisik diyakini berkembang secara bertahap segera setelah dilakukannya
aktivitas fisik yang berkelanjutan (Xu, 2018). Kelelahan fisik pada pasien CHF dapat disebabkan oleh
kaheksia jantung dan malnutrisi yang menyertai tahap metabolisme pada pasien dengan penyakit
parah (Borges, 2018). Kelelahan mental didefinisikan sebagai keadaan penurunan kewaspadaan
mental yang mengganggu kinerja seperti motivasi dan perhatian. Kelelahan mental menyebabkan
kesulitan bagi orang-orang dalam mempertahankan kinerja tugas pada tingkat yang memadai.
Kelelahan mental juga merupakan faktor penyebab beberapa kondisi medis, seperti penyakit
kardiovaskular. Tingkat kelelahan mental sulit untuk diidentifikasi dan biasanya dideteksi oleh
perubahan signifikan dari indeks kelelahan. Kelelahan mental dapat mengganggu kinerja fisik dan
menyebabkan penurunan kemampuan kontrol motorik (Xu, 2018). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Multidimensional Assesment Fatigue (MAF). MAF memiliki tiga domain yaitu
severity, distress, interference of ADL, dan timing. Domain severity menilai tingkat keparahan
kelelahan yang dialami pasien dan menunjukkan hasil sebagian besar pasien CHF mengalami
kelelahan pada tingkat sering dengan tingkat keparahan sedang. Hal ini menyebabkan pasien
terganggu dalam melakukan aktivitas. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan aktivitas fisik secara
maksimal akibat sering mengalami kelelahan. Domain distress menilai seberapa besar kelelahan
menyebabkan tekanan pada pasien CHF dan menunjukkan hasil sebagian besar pasien CHF
mengalami tekanan mulai dari tingkatan tidak sama sekali hingga sedang. Tekanan yang dimaksud
adalah gangguan psikologis seperti kecemasan yang muncul akibat kelelahan yang dirasakan yang
mengganggu pasien CHF dalam melakukan aktivitas fisik. Kecemasan ringan berhubungan dengan
ketegangan dalam aktivitas sehari-hari yang menyebabkan seseorang menjadi berhatihati dan
meningkatkan rentang persepsinya. Kelelahan menjadi salah satu gejala yang muncul pada
seseorang pada tingkat ini. Sedangkan pada kondisi kecemasan sedang, seseorang mungkin
memusatkan dan lebih memerhatikan masalah yang penting. Gejala yang muncul pada tingkat ini
adalah denyut jantung yang lebih cepat, meningkatnya kelelahan, pernapasan, dan ketegangan otot,
serta menangis (Nugraha & Ramdhanie, 2018). Domain interference of ADL menilai mengenai
seberapa besar kelelahan mengganggu aktivitas pasien CHF seperti melakukan pekerjaan rumah
tangga, memasak, mandi atau mencuci, berpakaian, bekerja, mengunjungi keluarga atau
bersosialisasi dengan teman, melakukan hubungan seksual, bersantai atau berekreasi, berbelanja
atau melakukan sebuah urusan, berjalan, dan olahraga selain berjalan. Kebanyakan pasien CHF
merasa kelelahan mengganggu aktivitas mereka pada tingkatan sedang. Melakukan pekerjaan
rumah tangga dan memasak menjadi aktivitas yang paling sering terganggu oleh kelelahan pada
pasien CHF (Zulaiha, 2019). Domain timing menilai mengenai durasi kelelahan yang dialami pasien
CHF. Kebanyakan pasien CHF mengalami kelelahan skala 3 yaitu kadang lelah kadang tidak, dan skala
4 setiap hari. Zulaihah (2019) menunjukkan hasil penelitian tingkat kelelahan yang paling banyak
dialami responden adalah kelelahan sedang dengan rata-rata skor GFI Tingkat kelelahan sedang yang
dialami pasien menyebabkan pasien merasa lelah ketika melakukan aktivitas fisik seperti biasanya
namun akan membaik ketika beristirahat. Kelelahan memberikan kontribusi terbesar terhadap
penurunan kinerja fungsional. Kelelahan bisa menjadi gejala yang sulit untuk ditangani, tetapi
pengelolaan kelelahan harus menjadi prioritas untuk pasien CHF karena efeknya yang melemahkan
(Conley, 2015; Cattadori et al., 2017). Terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan kelelahan, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor somatis yang muncul dari
dalam tubuh seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, status gizi, dan ukuran tubuh serta
faktor psikis seperti keingingan, motivasi, dan kepuasan kerja. Sementara itu, faktor eksternal
biasanya berasal dari luar tubuh seperti pekerjaan, lingkungan, aktivitas, dan istirahat (Utami, 2019).
Pasien CHF lebih banyak berada pada usia madya dimana Polikandrioti menunjukkan hasil bahwa
sebesar penderita CHF berusia lanjut (Polikandrioti et al., 2019). Kombinasi dari peningkatan
keparahan penyakit kardiovaskuler dan proses penuaan yang progresif menyebabkan prevalensi CHF
akan terus meningkat pada populasi lanjut usia (Teixeira et al., 2016). Sedangkan kelelahan yang
dirasakan lansia dapat terjadi karena adanya penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh
proses degeneratif maupun terkait dengan adanya penyakit kronis seperti gangguan metabolisme,
gangguan sistem saraf, dan gangguan psikologi (Ismahmudi & Fakhrurizal, 2020). Pasien CHF berjenis
kelamin perempuan memiliki presentase yang lebih banyak dari pada laki-laki. Hasil ini sesuai
dengan Smith (2019) yang menunjukkan bahwa pasien CHF berjenis kelamin wanita memiliki
presentase yang lebih besar (Smith-love, 2019). Pasca menopause, stress emosional, perbedaan
fisiologis pada sistem kardiovaskuler, dan adanya komorbiditas seperti penyakit jantung koroner,
hipertensi, dan diabetes mellitus, menjadi penyumbang tingginya prevalensi CHF pada wanita
(Lindenfeld & O’Connor, 2019) Penyakit kronik penyerta terbanyak yang diderita pasien CHF adalah
hipertensi. Hasil pemeriksaan tekanan darah dihasilkan mayoritas pasien CHF memiliki tekanan
darah Pra Hipertensi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa penyakit kronik
terbanyak yang dimiliki pasien CHF adalah hipertensi (Conley et al., 2015). Pada seseorang dengan
hipertensi, gagal jantung disebabkan oleh adanya tekanan berlebih akibat perkembangan hipertrofi
ventrikel kiri (LVH). yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan
gagal jantung diastolic (Slivnick & Lampert, 2019). Lama menderita CHF yang diderita pasien
mayoritas adalah 1-3 tahun. Terdapat dua pendapat berbeda terkait dengan durasi CHF, bahwa
gejala yang dialami pasien CHF seperti dyspnea, kelelahan, dan kualitas tidur yang kurang baik
tidaklah bergantung pada durasi penyakit CHF yang diderita (Böhm et al., 2018). Beberapa penelitian
lain justru menunjukkan bahwa durasi lebih lama dari diagnosis awal gagal jantung terkait dengan
hasil yang merugikan seperti komorbiditas (Sugiura et al., 2020). Klasifikasi CHF menurut NYHA yang
paling banyak diderita pasien CHF adalah kelas 2 dan kelas 3. Hal ini sesuai dengan penelitian Conley,
klasifikasi CHF menurut NYHA yang paling banyak diderita responden adalah kelas 2 dengan dan
kelas 3 (Conley et al., 2015). Semakin tinggi kelas NYHA, diduga menyumbangkan prognosis yang
buruk dan kenaikan angka mortalitas pada pasien CHF.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, tingkat kelelahan yang paling banyak dialami oleh pasien CHF
kelelahan sedang. Pasien CHF terbanyak berusia lanjut, berjenis kelamin perempuan, memiliki
hipertensi sebagai penyakit kronik penyerta. Pemeriksaan TTV menunjukkan hasil terbanyak pada
pasien CHF yaitu, tekanan darah berada pada tingkatan Pra Hipertensi. Durasi pasien menderita CHF
yang paling banyak adalah dalam kurun waktu 1-3 tahun dengan klasifikasi CHF menurut NYHA
terbanyak yang dialami responden adalah berada di kelas 2. Peneliti merekomendasikan bahwa
pelayanan kesehatan dapat mempertimbangkan upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan
keperawatan dalam mengatasi dan mengurangi kelelahan yang dialami pasien CHF seperti pijat
punggung dan pembinaan walk from home sebagi pencegahan perburukan prognosis penyakit

DAFTAR PUSTAKA

Böhm, M., Komajda, M., Borer, J. S., Ford, I., Maack, C., Tavazzi, L., Moyne, A., & Swedberg, K.
(2018). Duration of chronic heart failure affects outcomes with preserved effects of heart rate
reduction with ivabradine: Findings from SHIFT.

European Journal of Heart Failure, 20(2), 373–381. https://doi.org/10.1002/ejhf.1021 Borges JA,


Quintão MMP, Chermont SSMC, Mendonça Filho HTF de, Mesquita ET. Fatigue: A complex symptom
and its impact on cancer and heart failure. Int J Cardiovasc Sci. 2018;31(4):433–42. Bredy, C.,
Ministeri, M., Kempny, A., Alonso-Gonzalez, R., Swan, L., Uebing, A., Diller, G. P., Gatzoulis, M. A., &
Dimopoulos, K. (2018). New York Heart Association (NYHA) classification in adults with congenital
heart disease: Relation to objective measures of exercise and outcome. European Heart Journal -
Quality of Care and Clinical Outcomes, 4(1), 51–58. https://doi.org/10.1093/ehjqcco/qcx0 31
Cajanding, R. J. M. (2017). Causes, assessment and management of fatigue in critically ill patients.
British Journal of Nursing, 26(21), 1176–1181. https://doi.org/10.12968/bjon.2017.2 6.21.1176
Cattadori, G., Segurini, C., Picozzi, A., Padeletti, L., & Anzà, C. (2017). Exercise and heart failure: An
update. ESC Health Failure, 5(2), 222–232. https://doi.org/10.1002/ehf2.12225 Chen, D., Yu, W.,
Hung, H., Tsai, J., Wu, H., & Chiou, A. (2017). The effects of baduanjin exercise on fatigue and quality
of life in patients with heart failure: A randomized controlled trial. Europian Journal of
Cardiovascular Nursing, 155, 1–9

Gambaran Karakteristik Pasien CHF di Instalasi Rawat Jalan RSUD Tugurejo


Semarang
Descriptions of Characteristics Patients CHF Outpatient Hospital Installation in Tugurejo Semarang

Abstrak

Congestive Heart Failure (CHF) merupakan penyebab utama kematian di beberapa negara dan
Angka kejadiannya setiap tahunnya terus meningkat. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan CHF
merupakan penyebab kematian nomor tiga di Indonesia setelah stroke dan hipertensi. Pada tahun
2010 diperoleh data Incidence Rate penyakit jantung pada kelompok umur 15 tahun atau lebih
sebesar 2,2 %. Pada tahun 2013 jumlah penderita CHF meningkat sekitar 229.696 orang. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui karakteristik pasien CHF di Instalasi Rawat Jalan RSUD Tugurejo
Semarang pada bulan Maret-Mei 2014. Penelitian dilakukan menggunakan penelitian deskriptif
dengan desain Hospital based study. Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang berobat di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Tugurejo Semarang. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang
diperoleh dari status penderita CHF di Instalasi Rawat Jalan RSUD Tugurejo Semarang. Karakteristik
pasien CHF di Instalasi rawat jalan RSUD Tugurejo berdasarkan sosiodemografi tertinggi adalah laki
63,30%, lansia awal 40,00%, kawin 90,00%, suku jawa 100,00%, Indeks Masa Tubuh (IMT) normal
90,00%, dan penyebab terjadi CHF paling banyak adalah hipertensi, dan kardiomiopati sejumlah
70,00%.

Abstract

Congestive Heart Failure (CHF) is a major cause of death in several countries and it happens every
year figure continues to rise. Riskesdas CHF 2007 shows a third cause of death in Indonesia after
stroke and hypertension. In 2010 obtained the data Incidence Rate of heart disease in the age group
of 15 years or more at 2.2%. In 2013 the number of patients with CHF increased by about 229 696
people. The purpose of this study to determine the characteristics of CHF patients in the Hospital
Outpatient Installation Se Tugurejo marang in March-May, 2014. The study was conducted using
descriptive research design with Hospital-based study. The study population was all patients who
seek treatment at Hospital Outpatient Installation Tugurejo Semarang. The data collected is
secondary data obtained from the status of CHF patients in the Hospital Outpatient Installation
Tugurejo Semarang. Characteristics of CHF patients in hospital outpatient Installation Tugurejo by
sociodemographic highest is 63.30% male, early elderly 40.00%, 90.00% married, Java rate of 100,
00%, body mass index (BMI) normal 90.00%, and the cause of a CHF most is hypertension and
cardiomyopathy number of 70.00%

PENDAHULUAN

Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung memompakan darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan tubuh yang disebabkan kelainan sekunder dari
abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau didapat) yang merusak
kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah.1 CHF dapat berefek dalam
ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini disebabkan karena adanya
kerusakan kontraktilitas ventrikel, peningkatan preload dan afterload yang menyebabkan penurunan
curah jantung.2 Kondisi tersebut dapat merupakan penyebab kematian apabila tidak segera
mendapatkan penanganan. Angka kejadian pasien dengan CHF mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Menurut American Heart Association ( AHA) penderita CHF di Amerika Serikat pada tahun
2008 sekitar 5,7 juta jiwa, pada tahun 2010 terjadi peningkatan menjadi 6,6 juta jiwa, dan
diperkirakan pada tahun 2030 akan bertambah sebanyak 3,3 juta jiwa dari tahun 2010.3 Hasil
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan CHF merupakan penyebab kematian nomor tiga di Indonesia
setelah stroke dan hipertensi. Pada tahun 2010 diperoleh data Incidence Rate penyakit jantung pada
kelompok umur 15 tahun atau lebih sebesar 2,2 %. Pada tahun 2013 jumlah penderita CHF
meningkat sekitar 229.696 orang.4 Rumah Sakit Tugurejo merupakan salah satu rumah sakit daerah
Semarang yang belum mempunyai pelayanan Spesialis Jantung dan Pembuluh darah, tetapi
kunjungan pasien CHF di rawat jalan berkisar antara 20-30 kunjungan setiap bulan. Berdasarkan
uraian diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita CHF di instalasi
rawat jalan di RSUD Tugurejo tahun 2014.

BAHAN DAN CARA


Penelitian dilakukan menggunakan penelitian deskriptif dengan desain Hospital based study.
Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang berobat di Instalasi Rawat Jalan RSUD Tugurejo
Semarang. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari status penderita CHF di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Tugurejo Semarang. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan
menggunakan komputer melalui program SPSS, kemudian dianalisa secara deskriptif dengan
menggunakan analisa univariat.

DISKUSI
Responden laki-laki lebih besar dibandingkan dengan responden perempuan dengan proporsi
reponden laki-laki 63,30% sementara perempuan 36,70%. Berdasarkan hasil dari beberapa
penelitian sejenis karakteristik responden laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Hasil
Penelitian yang sejenis mengungkapkan dari 30 responden 73,30% lakilaki dan 26,70% perempuan.5
Penelitian lain tahun 2010 menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan lebih cepat
terkena gagal jantung bila dibandingkan dengan perempuan.6 Hal ini sesuai dengan teori yang
mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki risiko mengalami penyakit jantung koroner 2-3 kali
daripada perempuan sebelum menopause.7 hal ini karena perempuan terlindungi oleh hormon
estrogen yang mencegah kerusakan pembuluh darah yang berkembang menjadi proses
aterosklerosis. Penyakit jantung koroner adalah faktor risiko terjadinya gagal jantung. Faktor risiko
terjadinya gagal jantung bersifat multifaktorial. Beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung
adalah bertambahnya usia, hipertensi, hiperlipidemia, kegemukan, diabetes melitus, penyakit
jantung koroner, riwayat keluarga, anemia, kardiomiopati, kelainan katup jantung, infark miocard,
merokok, drug abuse, alkoholism, dari beberapa faktor di atas hipertensi dan penyakit jantung
koroner merupakan faktor risiko tersering terjadinya gagal jantung.8 Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan peneliti bahwa faktor risiko yang paling banyak terjadi pada responden
adalah hipertensi dan penyakit jantung koroner 63,30%. Berdasarkan penyebab terjadinya gagal
jantung terdapat 21 responden (70,00 %) karena iskemia kardiomiopati dan hipertensi. Kedua
kondisi tersebut menyebabkan penurunan suplai darah ke arteri koroner dan menurunkan atau
menghentikan suplai oksigen ke otot jantung. Kematian otot jantung akan terjadi segera setelah
tidak ada suplai oksigen, yang dapat mengakibatkan gangguan pompa jantung. Penyebab lain yang
dapat mengakibatkan gagal jantung diantaranya kelainan irama, kelainan katup, dan kelebihan
beban jantung. 9 Di Amerika Serikat 80,00% kasus gagal jantung disebabkan oleh hipertensi,
penyakit jantung koroner atau keduanya.8 Seluruh responden bersuku Jawa dan 90,00% masih
mempunyai pasangan hidup. Ras kulit hitam dan Hispanic mempunyai risiko mengalami gagal
jantung lebih tinggi dari ras lain di dunia. Pasangan dan keluarga dapat menjadi sumber suport
sistem yang baik bagi penderita gagal jantung. Pasangan hidup dapat menjadi pengawas kepatuhan
pasien gagal jantung dalam menjalankan management gagal jantung. Responden yang paling banyak
pada katagori umur lansia awal yaitu sejumlah 12 dari 30 responden. Umur merupakan salah satu
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Peningkatan umur akan meningkatkan risiko terjadinya
gagal jantung.7 Hal ini berkaitan dengan proses menua yang menyebabkan peningkatan proses
aterosklerosis pada pembuluh darah. Aterosklerosis menyebabkan terganggunya aliran darah ke
organ jantung sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan
suplay oksigen. Semakin bertambahnya usia seseorang akan semakin berisiko terkena serangan
jantung.10 Teori yang lain menjelaskan bahwa penderita jantung paling banyak berada pada usia 55-
65 tahun.11 Proses penuaan yang terjadi pada individu akan dapat menyebabkan proses perubahan
intergritas lapisan dinding arteri (aterosklerosis) sehingga aliran darah dan nutrisi jaringan
terhambat.7 Selain itu akibat aterosklerosis menyebabkan terganggunya perfusi jaringan karena
kekakuan arteri yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan vaskuler perifer.7 Faktor umur
juga dikaitkan dengan kadar kolesterol yang meningkat. Peningkatan kolesterol pada laki-laki sampai
dengan umur 50 tahun lebih tinggi daripada perempuan sebelum menopause (45-50 tahun) namun
setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi daripada lakilaki.12
Sebagian besar responden mempunyai IMT dalam batas normal yaitu 18,5 -24,9 Kg/m2 . Index Masa
Tubuh >25 Kg/m2 meningkatkan risiko seseorang mengalami gagal jantung. Penderita gagal jantung
yang overweight sebaiknya mengikuti program penurunan berat badan, selain mendapatkan terapi
standar. Efekobesitas terhadap gagal jantung sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.

SIMPULAN
Hasil Penelitian ini telah mengidentifikasi karakteristik jenis kelamin, umur, status perkawinan, suku
bangsa, faktor resiko, penyebab, dan IMT. Responden sebagian besar laki-laki dari pada perempuan,
usia paling banyak di lansia awal

DAFTAR PUSTAKA

1. Braunwald. 2007. Heart Disease (Vol. 7). (U. Michigan, Ed.) W.B. Saunders. 2. Lilly, L. 2011.
Pathophysiology of Heart Disease (5th ed). (L. W. Wilkins, Ed.) 3. American Heart Association.
2012. Heart disease and stroke statistic. Diakses pada tanggal 2 Juni 2014 dari
http://circ.ahajournals.org/content/125/I/E2/ T29.expansion.html 4. Tanuwidjojo S, Rifqi
S.2003. Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiologyupdate.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 5. Cheng, T.Y.L.& Boey, K.W. 2002. The
Effectiveness Of Cardiac Rehabilitation Program On Self-Efficacy And Exercise Tolerance,
http://cnr.sagepub.com/cgi/reprint/11/1/10. diperoleh 29 Juni 2014 6. Kaplan, H.I., Sadock, B,J.,
& Sadock, V.A. 2010. Synopsis of psychiatry (10 ed.). Philadelphia : Lippincont Williams &
Wilkins. 7. Semeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
edisi8, Volume 2, Jakarta : EGC. 8. Schub T & Cabrera G. 2010. Heart failure : Diagnosis-an
overview. Cinahl Information System. 9. Black MJ & Hawk JH. 2009. Medical Surgical Nursing,
Clinical Management for Positive Outcomes 8th Ed Vol 2. Elsevier Pte Ltd. Singapore. 10.
Nicholson, C. 2007. Heart Failure a Clinical Nursing Handbook. John Wiley & Sons, Ltd. 11.
Michael S Figueroa MD, J. I. 2006 Congestive Heart Failure : Diagnosis, Pathophysiology,
Therapy, and Implications for Respiratory Care. (D. Enterprises, Ed.) Respir Care, 51(4), 403-412.
12. Djohan, T.B.A. 2004. Penyakit Jantung Dan Hypertensi
http://library.usu.ac.id/download/fk/gizibahri10.pdf diperoleh 3 Pebruari 2014. 13. Schub E &
Schub T. 2010. Heart failure : Prevention. Cinahl Information Sy
POLA PENGOBATAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI
INSTALASI RAWAT INAP RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE KOTA SAMARINDA

ABSTRACT
Congestive heart failure is a disease when the heart cannot pump blood which is sufficient
for the body's needs. CHF patients in general are responsible for their treatment as ACE
Inhibitors, Diuretics, Beta blockers and strengthening additional drugs for comorbidities so
that certain types of treatment must be given. This research aims to see and study the
pattern of care given to CHF patients. The inclusion criteria in this study were adult patients
suffering from CHF and guidance at the Abdul Wahab Sjahranie Hospital inpatient
installation in Samarinda. The study was observed with data collection conducted
prospectively and analyzed descriptively. Data about the August-October 2018 period
through medical records. The data was then analyzed by patients and patterns of CHF
patients. Most pravalence at 45-59 was equal to (56.66%), female sex was equal to
(53.33%), last education was elementary school (56.66%) and worked as an entrepreneur
for (56.66%). The most common pattern of CHF treatment is the Nitrate, Spironolactone,
Diuretic, Anti-Platelet and ARB groups of (43.33%)

ABSTRAK
Congestive Heart Failure adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa
darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Pasien CHF pada umum nya harus diberikan
sedikitnya empat jenis pengobatan yakni ACE Inhibitor,Diuretik, Beta bloker dan
memerlukan obat tambahan untuk penyakit penyerta sehinggga harus diberikan beberapa
jenis pengobatan. Penelitan ini bertujuan untuk melihat karakteristik dan mengetahui pola
pengobatan yang digunakan . Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu pasien dewasa yang
menderita CHF dan dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Adul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penelitian bersifat observasional dengan pengambilan data dilakukan secara prospektif dan
dianalisis secara deskriptif. Data diambil pada periode agustus-Oktober 2018 melalui rekam
medik. Data tersebut selanjutnya dianalisis karakteristik pasien dan pola pengobatan pasien
CHF. Pravalensi terbanyak pada usia 45- 59 sebesar (56.66%), jenis kelamin perempuan
sebesar (53.33%), pendidikan terakhir SD (56.66%) dan berkerja sebagai Wiraswasta sebesar
(56.66%). Pola pengobatan CHF yang

PENDAHULUAN
Penyakit Congestive Heart Failure (CHF) merupakan masalah yang menjadi perhatian
didunia saat ini, Congestive Heart Failure (CHF) merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi didunia. Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu keadaan dimana jantung tidak
dapat memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan
oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari
jantung. Gagal jantung kongestif diikuti oleh peningkatan volume darah yang abnormal dan
cairan interstisial jantung. (Fajriansyah,2016) Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO)
menyebutkan 17,3 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008
mewakili 30% dari semua kematian global. Dari kematian ini, diperkirakan 7,3 juta
disebabkan oleh penyakit jantung. Pravelensi (CHF) di Indonesia, penyakit kardiovaskular
telah menjadi pembunuh nomor satu dan prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Provinsi dengan prevalensi penyakit jantung koroner
pada umur ≥ 15 tahun menurut diagnosis dokter ialah Provinsi Kalimantan Timur (22%),
Nusa Tenggara Timur (4,4%). Kemudian disusul oleh Sulawesi Tengah (3,8%) dan Sulawesi
Selatan (2,9%). Sedangkan revalensi terendah terdapat di Provinsi Riau (0,3%), Lampung
(0,4%), Jambi (0,5%), dan Banten (0,2) (Riskesdas.2013). Dari data tersebut memberikan
informasi bahwa masalah Congestive Heart Failure perlu mendapatkan perhatian dan penangganan
yang baik. Mengingat prevalensi yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan cukup berat, maka dari
itu diperlukan penelitian mengenai pola pengobatan penyakit Congestive Heart Failure agar dapat
digunakan sebagai salah satu bahan acuan dalam peningkatan mutu pelayanan medis serta
peningkatan efektivitas dan tingkat keberhasilan dalam mengatasi kasus CHF.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian observasional,yaitu penelitian
yang dilakukan dengan tujuan utama untuk penjabaran datadan membuat gambaran atau
deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif. Metode pengambilan sampel yang
digunakan adalah metode purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan menganalisa
rekam medik pada setiap pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda kemudian selanjutnya ditentukan karakteristik pasien dan dan menetukan pola
pengobatan pada pasien CHF di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda periodeAgustus-
Oktober 2018. Populasi penelitian ini adalah pasien yang menderita Congestive Heart
Failure (CHF) yang berada di Instalasi rawat inap RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Sampel penelitian adalah pasien pasien CHF dengan atau tanpa penyakit penyerta yang
memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi yaitu pasien berusia lebih dari 40 taun dan memiliki rekam
medik lengkap. Pengumpulan data dilakukan dengan lembar pengumpulan data yang memuat
nomor rekam medik pasien, usia, jenis kelamin, perkerjaan , tingkat pendidikan, pengobatan yang
digunakan dan dosis obat.Data yang diperoleh selanjutnya di analisa secara deskriptif meliputi
karakteristik dan pola pengobatan disajikan dengan cara tabulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. pasien yang dikumpulkan pada
penelitian ini sebanyak 30 orang pasien yang menjadi responden. Data pasien tersebut selanjutnya
dianalisis karakteristiknya berdasarkan usia,jenis kelamin,pendidikan dan perkerjaan. Gambaran
distribusi pasien CHF rawat inap di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda disajikan pada grafik 1
dan 2.

Berdasarkan pada grafik.1 diketahui bahwa usia terbanyak yang menderita CHF antara usia
>40 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan data kemenkes 2013 bahwa penderita gagal
jantung paling banyak pada rentang umur 40 tahun ke atas. Secara teoritis fungsional organ-
organ tubuh akan menurun seiring dengan bertambahnya usia hal tersebut merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung pada pasien lanjut usia dan
selain itu gagal jantung biasanya berkembang menjadi memburuk. Gagal jantung dapat
terjadi akibat penyakit kardiovaskular yang di derita lama diikuti dengan kerja organ yang
menurun (Villanuve, Alfonso, 2016). Berdasarkan Grafik 2 jenis kelamin diketahui bahwa
perempuan lebih banyak menderita CHF dbandingkan dengan laki-laki yaitu dengan
presentase (53,33%) dimana hal tersebut sesuai dengan data Riset Kesehatan 2013 jumlah
penderita CHF yang paling banyak Perempuan. Secara teoritis ada perbedaan risiko antara
pria dan wanita pada usia muda.pria lebih berisiko dibandingkan wanita karena secara alami
wanita memproduksi hormon estrogen, sehingga berisiko rendah terkena penyakit jantung
dibandingkan pria. Namun perbedaan ini akan hilang saat wanita mengalami menopause,
dimana pada saat itu kolesterol LDL meningkat yang menyebabkan perempuan lebih
berisiko terkena penyakit jantung (Yenni, Sabrian.2014) Kelompok pravelensi tertinggi
sebagian besar yaitu 17 orang yaitu (56,66%) pendidikan terakhir SD (Sekolah
Dasar).Dimana seseorang yang memiliki pendidikan rendah menyebabkan seseorang
tersebut memiliki keterbatasan pengetahuan dan informasi sehingga kurangnya motivasi
untuk menjaga kesehatan dengan tingkat pendidikan yang tingggi akan meningkatkan
pengetahuan serta mudah dalam menerima informasi sehingga memiliki keinginan untuk
menjaga kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup (Agrina ed al,2011). Sebagian besar
responden yaitu 17 pasien (56.66%) berkerja sebagai Wiraswasta. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya dimana angka kejadian pada pasien CHF paling banyak pada
seseorang yang berkerja sebagai wiraswasta (Yenni,Sabrian.2014).Secara teoritis seseorang
yang melakukan kerja yang berat dan belebihan mempunyai resiko terkena penyakit
hipertensi, dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri yang terjadinya disfungsi
diastolik dan meningkatkan resiko gagal jantung. (Kaplan,Schub,2010). Dari data yang
diperoleh pola pengobatan Pasien CHF di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. terdapat
pasen dengan atau tanpa penyakit penyerta seperti Diabetes Militus dan PPOK dimana obat
yang diberikan juga ditujukkan untuk mengatasi penyakit penyerta. Pola pengobatan di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. yaitu dimana pola
pengobatan pasien CHF Sebanyak 30 pasien CHF di RSUD Abdul Wahab Sjahranie menerima
obat golongan Diuretik dan Nitrat. Dimana dapat dilihat jelas penggunaan obat yaitu ISDN,
Spirnolakton dan Furosemide terdapat 6 orang (20%), pola pengobatan selanjutnya yaitu
ISDN, Spirnolakton dan penambahan obat CPG dan Candensartan dimana terdapat 13 orang
(43,33%) dan pola pengobatan ketiga yaitu digunakan obat ISDN, Spirnolakton, Furosemide
dan Captopril terdapat 6 orang (20%). Pengunaan Furosemide pada pasien CHF di Instalasi
Rawat Inap di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yaitu digunakan untuk membuang
cairan atau garam berlebih didalam tubuh melalui urine dan meredakan pembengkakan
yang disebabkan oleh gagal jantung. Secara teoritis golongan diuretik berperan penting
dalam CHF dengan mengurangi volume cairan melalui penghambatan reabsorbsi garam dan
air dan penggunaan spironolakton atau diuretik hemat kalium dikombinasikan dengan
diuretik loop membuat terjadinya diuresis natrium tanpa terjadi hyperkalemia atau
hipokalemia dan dapat menurunkan gangguan pernafasan pada pasien akibat edema
faringeal (Tammy,Scot,2002) dikombinasikan dengan diuretik loop membuat terjadinya
diuresis natrium tanpa terjadi hyperkalemia atau hipokalemia dan dapat menurunkan
gangguan pernafasan pada pasien akibat edema faringeal (Tammy,Scot,2002) menuju otot
jantung. Pengguaan captopril pada pasien CHF digunakan dalam pemeliharaan tekanan
darah sehingga tekanan darah tetap berada pada rentan normal. Secara teoritis golongan
ACEInhibitor dapat menghambat kerja angiotensin II yang berperan dalam patofisiologi
gagal jantung dan patologi remodeling miokaridum yang menyebabkan perburukan kondisi
jantung. (Gilman et al.2008) Penggunaan obat Candensartan pada beberapa pasien gagal
jantung dimana penggunaan obat ini dapat digunakan untuk memelihara tekanan darah
sehingga tidak meningkat dan memerparah kondisi pasien. Pengobatan Candensartan juga
dapat diberikan pada pasien yang intoleran dengan ACE Inhibitor. Penggunaan Clopiidogril
pada pasien CHF juga digunakan pada beberapa pasien CHF di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Sesuai dengan teoritis dimana obat ini diberikan kepada pasien yang berisiko
mengalami serangan jantung dan mencegah terjadinya penyakit jantung lain. Dimana obat
ini berkerja dengan memblok reseptor adenosine difosfat (ADP) sehingga tidak terjadi
aktivitasi platelet dan pembekuaan darah. (Amir Syarif.et al.2007) Pasien CHF dengan
penyakit penyerta PPOK diperoleh presentase (10%) obat yang diberikan sama dengan
pengobatan CHF tunggal namun ditambahkan obat Nebu Combivent dimana obat ini
merupakan kombinasi dari albuterol dan ipratropium yang bermanfaat untuk terapi
penjagaan kronik dari PPOK (Williams,Judith.2014). Pasien CHF dengan penyakit penyerta
Diabetes diperoleh presentase (6.66%) diberikan obat tambahan Novorapid dimana dapat
menekan tingkat gula darah berlebih didalam tubuh. (Utami.2003) Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi pemberian obat pada pasien diantaranya pertimbangan manfaat
resiko, penggunaan obat yang aling dikenal dan teruji secara klinis, penyesuaian obat
dengan kebutuhan individu, penyesuaian dosis obat secara individual dan pemilihan cara
pemberian obat yang aman dan memberikan hasil baik. (Junaidi.2012)

KESIMPULAN
Pravalensi terbanyak pada usia 45-59 sebesar (56.66%), jenis kelamin perempuan sebesar
(53.33%), pendidikan terakhir SD (56.66%) dan berkerja sebagai Wiraswasta sebesar
(56.66%). Pola pengobatan CHF yang paling banyak terdapat yaitu golongan Nitrat,
Spironolakton, Diuretik, Anti Platelet dan ARB sebesar (43.33%).

DAFTAR PUSTAKA
[1] Agrina, Rini, Hairitama.2011. Kepatuhan Lansia Penderita Hipertensi dalam Pemenuhan
Diet Hipertensi. Jurnal keperawatan Universitas Riau. Vol. No. 1. [2] Amir Syarif,
Purwantyastuti Ascorbat, Ari Estuningtyas, Rianto Setiabudy, Arini Setiawati, Armen
Muchtar.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Gaya Baru: Jakarta:Balitbang Kemenkes
Republik Indonesia.2013. [3] Depkes RI.2013.Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. [4] .Fajriansyah Tahir,
Kombong.2016. Kajian Drug Relation Problem (DRPs) pasien gagal jantung kongestif di RSUD
Hasanudin. Journal Farmasi. No.1. Vol.5. [5] Gilman, Hardman Joel dan Lee Limbird.2008.
Farmakologi dan Terapi.Terjemahan oleh Tim Ahli bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. [6] Junaidi Iskandar.2012. Pedoman untuk Praktis Obat
Indonesia (O.I). Jakarta : Bihuna Ilmu Populer. [7] Kaplan, Schub.2010. Heart Failure In
Women.Cinahl Information System. .Jurnal medical. No. 1 Vol.4:57-63. [8] Tammy,
Scoot.2002. Manual Washington Terapi Rawat Jalan Pasien. Penerbit Buku Kedokteran EGC
[9] Utami.2003. Tanaman Obat Yang Dapat Mengatasi Diabetes Mellitus. Agromedia
Pustaka. Jakarta. [10]Villanuve, Alfonso.2011. Heart Failure in the elderly. Jurnal Of Geratric
Cardiolodigy. Vol.13. [11]William, Wilkins.2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam
Penyakit. Ahli Bahasa Paramita Indeks:Jakarta [12]WHO. 2013. About Cardiovascular
diseases. World Health Organization. Geneva [13]Yenni, Sabrian.2014. Pengaruh Pendidikan
Kesehatan dan Latihan Rehabilitas Jantung Congestive Heart Failure. Jurnal Keperawatan.
Program Studi Ilmu Keperawatan Univertas Riau.Vol.1.No.3.

KAJIAN KARAKTERISTIK PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RUMAH SAKIT SULTAN SYARIF
MOHAMAD ALKADRIE PONTIANAK

ABSTRAK

Penyakit Gagal Jantung Kongestif (GJK) menjadi salah satu masalah kesehatan dalam sistem
kardiovaskuler yang jumlahnya meningkat cepat dan umumnya disertai komplikasi penyakit lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik pasien GJK yang dirawat di RSUD Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie Pontianak. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan
studi potong lintang (cross sectional) yang bersifat deskriptif, pengumpulan data dilakukan secara
retrospektif berdasarkan catatan rekam medik pasien. Pengambilan data secara retrospektif dengan
teknik total sampling, diperoleh 34 data rekam medik pasien dan data dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 34 sampel terdapat 18 pasien (52,94%) dengan jenis
kelamin laki-laki dan terdapat 16 pasien (47,05%) dengan jenis kelamin perempuan. Berdasarkan
kelompok usia 40-60 tahun sebanyak 20 kasus (58,82%) sedangkan usia ≥60 tahun sebanyak 14
kasus (41,18%), serta penyakit penyerta diantaranya dyspepsia dengan jumlah 6 kasus (18,75%),
unstable angina pectoris (UAP) dan diabetes mellitus dengan jumlah 2 kasus (6,25%), acute kidney
injury dengan jumlah 3 kasus (9,37%) dan penyakit lain yang berjumlah 19 kasus (59,37%).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan, usia lebih
banyak pada rentang 40-60 tahun, dan penyakit penyerta lebih banyak yaitu dyspepsia.

ABSTRACT

Congestive Heart Failure (CHF) is a health problem in the cardiovascular system whose numbers
are increasing rapidly and are generally accompanied by complications of other diseases. This study
aims to examine the characteristics of CHF patients who are treated at the Sultan Syarif Mohamad
Alkadrie Hospital Pontianak. This study is an observational study with a cross-sectional study design
that is descriptive in nature, data collection is done retrospectively based on the patient's medical
records. Retrospective data collection with total sampling technique, obtained 34 patient medical
record data and the data were analyzed descriptively. The results showed that out of 34 samples, 18
patients (52.94%) were male and there were 16 patients (47.05%) with female gender. Based on the
age group of 40-60 years, there were 20 cases (58.82%), while those aged ≥60 years were 14 cases
(41.18%), as well as comorbidities including dyspepsia with a total of 6 cases (18.75%), unstable
angina pectoris (UAP) and diabetes mellitus in 2 cases (6.25%), acute kidney injury in 3 cases (9.37%)
and other diseases with 19 cases (59.37%). The conclusion of this study is that there are more males
than females, more in the range of 40-60 years, and more comorbidities are dyspepsia

PENDAHULUAN

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan keadaan dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah untuk mencukupi kebutuhan nutrien dan oksigen sel-sel tubuh
secara adekuat sehingga mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) yang berfungsi untuk
menampung darah lebih banyak untuk dipompakan keseluruh tubuh atau mengakibatkan otot
jantung kaku dan menebal. (1) CHF menjadi salah satu masalah kesehatan dalam sistem
kardiovaskuler yang jumlahnya meningkat cepat.(2) Prevalensi CHF berdasarkan diagnosis dokter di
Indonesia adalah 1,5%. Sedangkan prevalensi CHF di Kalimantan Barat diperkirakan sebesar 1,31. (3)
Pasien CHF pada umumnya disertai komplikasi penyakit lain. Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya CHF yaitu usia lanjut dan adanya penyakit penyerta. Penyakit penyerta CHF diantaranya
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus (DM), dislipidemia, dan sebagainya.(4) Gagal
jantung merupakan sindrom klinis hasil dari progesivitas beberapa penyakit yang dapat menurunkan
fungsi diastolik maupun sistolik jantung sehingga pasien gagal jantung memiliki risiko tinggi memiliki
penyakit penyerta. Penyakit penyerta pada pasien CHF akan membutuhkan kombinasi terapi,
pemberian obat yang bermacam-macam tanpa dipertimbangkana dengan baik akan meningkatkan
risiko terjadinya DRP. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui karakteristik pasien gagal
jantung kongestif yang di rawat RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental dengan pendekatan potong lintang
(cross sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dengan metode pengambilan
sampel total sampling, dimana kriteria inklusi : pasien rawat inap yang didiagnosis gagal jantung
kongestif dengan kode ICD-10 I 50.0 dengan atau tanpa penyakit penyerta, pasien dengan usia ≥18
tahun dan pasien yang menjalani rawat inap. Pengumpulan data dimulai dengan penelusuran data
rekam medis pasien rawat inap yang mendapatkan terapi obat yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Data yang diperoleh kemudian disalin pada lembar pengumpulan data. Data hasil pengamatan
dianalisis secara deskriptif.

Pasien penderita CHF yang dirawat inap di RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadri Pontianak periode
Januari hingga Desember 2019 paling tinggi terjadi pada pasien berjenis kelamin laki-laki (52,94%)
sedangkan perempuan (47,05%) dari total 34 subyek. Hasil tersebut serupa dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Hamzah tahun 2016, yaitu persentase CHF pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan sebesar 60%.(5) Hal ini dikarenakan laki-laki mempunyai resiko lebih besar
dari perempuan dan mendapat serangan lebih awal dalam kehidupannya dibandingkan perempuan
karena kebanyakan faktor resikonya yang tidak mau diubah seperti merokok dan alkohol. Efek
nikotin rokok akan merangsang otak untuk melepas hormon adrenalin. Hormon tersebut akan
menurunkan kadar lemak baik (HDL) sehingga kadar kadar lemak jahat (trigliserida) akan meningkat.
(6) Berdas

arkan karakteristik usia pasien CHF menunjukkan bahwa usia dewasa (40-60 tahun) yang paling
banyak menderita CHF sebesar 58,82%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi tahun
2015 yang menunjukkan bahwa CHF paling banyak terjadi pada usia dewasa dengan persentase
73,3%. (7) Pasien dengan usia produktif (40-60 tahun) memiliki pekerjaan seperti buruh dan
karyawan perkantoran kebanyakan memiliki pola hidup yang kurang teratur. Pola hidup merokok,
mengkonsumsi alkohol, mengkonsumsi makanan tidak sehat dan jarang berolahraga serta memiliki
riwayat keturunan penyakit jantung memicu terjadinya gagal jantung.(8)
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 2 menunjukkan bahwa penyakit penyerta yang diderita oleh
pasien yaitu dyspepsia sebanyak 6 orang (18,75%). Penelitian sebelumnya oleh Prastika Y tahun 2019
dyspepsia termasuk jenis penyakit penyerta pada pasien CHF. (9) Dyspepsia merupakan kumpulan
keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit perut pada saluran cerna bagian
atas. Dyspepsia adalah keadaan stres yang berarti merupakan penyebab salah satu terjadinya gagal
jantung baik lansia, dewasa muda dan usia pertengahan. Adanya stress dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat salah satunya dyspepsia. Hal ini
disebabkan karena asam lambung yang berlebihan dan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. (10) KESIMPULAN Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan karakteristik jenis kelamin lebih banyak laki-
laki daripada perempuan, usia sebagian besar berada pada rentang 40-60 tahun, serta penyakit
penyerta terbanyak adalah dyspepsia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Udjianti W. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika ; 2011.

2. Schiling J.D Evaluation of Acute Heart Failure. In : Cuculid Ps, Kates Ani Editors. Cardiology
Subspecialty Consult (3rd ed). Philadelphia : Walters Klower ; P.71-2. 2014.

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Utama Riskesdas 2018. Provinsi Kalimantan
Barat : Kementrian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan ; 2018

4. Baransyah L, Rohman M.S, dan Suharsono T. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian
Gagal Jantung pada Pasien Infark Miokard Akut di Rumah Sakit dr.Saiful Anwar Malang. Majalah
Kesehatan FKUB. 2014;1(4):200- 213

5. Hamzah R. Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Kualitas Hidup

pada Penderita Gagal Jantung di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Aisyiyah; 2016.

6. Lukito A A, Rahajoe U A, Rilantono I L, Harimurti M G, Soesanto M A, Danny S S. Pedoman


Tatalaksana Pencegahan Penyakit Kardiovaskular pada Perempuan Edisi Pertama. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015

7. Dewi S, Bayhakki, dan Misrawati. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Insomnia pada
Penderita Congestive Heart Failure (CHF). Jurnal Online Mahasiswa. 2015; 2(1); 768-776.

8. Harigustian Y, Dewi A, dan Khoiriyati A. Gambaran Karakteristik Pasien Gagal Jantung Usia 45-65
Tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping Sleman. Indonesian Journal of Nursing
Practices. 2016; 1(1): 55-60.

9. Pratiska Y, Agustina R, dan Rusli R. Kajian Interaksi Obat pada Pasien Gagal Jantung di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Kota Samarinda.. mulawarman Pharmaceutical Conference. 2019; ISSN 2614-4778:
143-146.

10. Hawari D. Manajemen Stress Cemas Dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011

KUALITAS HIDUP PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF (GJK) BERDASARKAN


KARAKTERISTIK DEMOGRAFI
ABSTRACT

Patients of Congestive Heart Failure (CHF) basically have some symptoms, such as fatigue, dyspnea,
and high mortality contributing to affects on their quality of life. Various factors may be related to
quality of life, such as age, gender, education, occupation, and NYHA (New York Heart Association)
level. This research aims at identifying and explaining demography factors related to quality of life
on Congestive Heart Failure (CHF) patients. This research uses descriptive correlation and cross
sectional design with 62 patients of Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta as the sample. Data obtained by
using demographic data questionnaire and the SF-36 version of Indonesian. Data were analyzed with
Spearman's test. The results showed respondents with a median age 51.14 years (SD = 12.40). Most
patients are male (71%), unemployed (69%). and less educated (53%). Quality of life has correlation
with NYHA class (p value= 0,001), educational (p value= 0,001), and age (p value= 0,014). There is no
correlation between quality of life and gender and occupation. It can be concluded that NYHA class,
educational, and age are independent factors related to quality of life

ABSTRAK

Pasien gagal jantung kongestif (GJK) mengalami kelelahan dan dyspnea yang berkontribusi
memperburuk kualitas hidupnya. Berbagai faktor demografi yang berkaitan dengan kualitas hidup
diantaranya umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan derajat NYHA (New York Heart
Assosiation). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis kualitas hidup
berdasarkan data demografi pasien gagal jantung kongestif (GJK). Desain penelitian adalah deskriptif
korelasi secara cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 62 responden yang diperoleh dengan
cara purposive sampling. Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner data demografi dan SF-36
versi bahasa Indonesia. Data dianalisis dengan uji Spearman. Hasil penelitian menunjukkan
responden rata-rata berusia 51,14 tahun (SD= 12,40). Sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-
laki (71%), memiliki pekerjaan (69%). dan berpendidikan rendah (53%). Kualitas hidup memiliki
hubungan dengan pendidikan (p = 0,001), umur (p = 0,014), sedangkan kualitas hidup memiliki
perbedaan dengan derajat menurut NYHA (p = 0,001). Tidak ditemukan hubungan antara kualitas
hidup dengan jenis kelamin, dan pekerjaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa derajat menurut
NYHA, pendidikan, dan umur merupakan faktor independen yang berkaitan dengan kualitas hidup

PENDAHULUAN

Gagal jantung menjadi penyakit yang umum diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika
Serikat menderita gagal jantung kongestif (GJK), dimana jumlah tersebut didominasi oleh orang tua,
dengan hampir 80% kasus terjadi pada pasien di atas usia 65 tahun. Namun demikian, beberapa
studi telah menemukan bahwa GJK dikaitkan dengan angka kematian sekitar 45-50% selama kurun
waktu dua tahun terakhir, jumlah ini mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit
keganasan . Prevalensi kasus gagal jantung kongestif di Indonesia terutama di Yogyakarta sebanyak
3.459 orang pada tahun 2012 dengan pasien rawat inap yang mengalami GJK sebanyak 401 orang.
Berbagai terapi seperti terapi farmakologi dan non farmakologi hanya mampu mengurangi gejala
pada gagal jantung kongestif, sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Raghu et al, 2010;
Dimos et al, 2009). Kualitas hidup pasien dengan GJK dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur,
jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan derajat NYHA (New York Heart Assosiation). Umur dan
jenis kelamin merupakan faktor yang sangat penting pada pasien GJK. Semakin bertambah tua umur
seseorang, maka penurunan fungsi tubuh akan terjadi baik secara psikologis maupun fisik
(Nurchayati, 2011). Begitu juga dengan jenis kelamin, pria lebih cenderung memiliki kemampuan
fungsi tubuh yang lebih baik daripada wanita terutama fisik (Juenger et al, 2002). Dampak dari
kemampuan fungsi fisik yang menurun akan mempengaruhi derajat GJK seseorang.

Menurut NYHA, GJK dibagi berdasarkan 4 derajat kemampuan fisik. Derajat I menunjukkan
seseorang bisa beraktifitas secara normal, pada derajat II pasien menunjukan gejala ringan saat
melakukan aktivitas sehingga pasien merasa lebih nyaman bila beristirahat, pada derajat III pasien
sudah mulai menunjukan adanya keterbatasan fisik, dan pada derajat IV pasien sudah tidak bisa
melakukan aktivitas apapun tanpa keluhan
2¶&RQQRU HW DO
. Kondisi tersebut akan mempengaruhi sejauh mana pasien mampu memaksimalkan fisiknya,
sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Faktor tersebut juga dipengaruhi tingkat pendidikan
dan pengetahuan seseorang dalam mengenal masalahnya (Ose et al., 2014). Tingkat pendidikan dan
pengetahuan merupakan faktor yang berkaitan dengan kualitas hidup pasien GJK (Rognerud & Zahl5
f cd, 2006). Pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mudah untuk
mendapatkan informasi terkait kondisi yang sedang dialami, maupun menganalisis masalah yang
akan timbul, serta bagaimana mengatasi masalah tersebut (Nurchayati, 2011). Semakin tinggi tingkat
pengetahuan seseorang maka akan semakin baik dalam memilih tindakan terapi yang tepat dalam
pemulihan kondisinya sehigga kualitas hidup pasien juga akan meningkat (Van Der et al, 2006).
Tujuan dari studi ini yaitu untuk mengidentifikasi dan menganalisis kualitas hidup berdasarkan data
demografi pasien gagal jantung kongestif (GJK) di RSUP Dr. Sardjito yogyakarta.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korela dengan
menggunakan pendekatan cross sectional study yang dilaksanakan di poliklinik jantung RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta dengan waktu yang digunakan selama 2 bulan yaitu Mei-Juli 2013. Tehnik
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu sebesar 62 UHVSRQGHQ GHQJDQ NULWHULD XPXU ï tahun, dan
terdiagnosis GJK berdasarkan catatan medis pasien. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah
melakukan ethical clearence di fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta sehingga
penelitian ini bisa dilaksanakan. Instrument penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa
kuesioner data demografi, dan kuisioner kualitas hidup (SF-36) versi indonesia yang diterjemahkan
oleh Saryono (2010). Statistik yang digunakan meliputi distribusi frekuensi untuk analisis data
demografi dan uji Spearman, uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dan dependen.

HASIL

Karakteristik Demografi Karakteristik

demografi responden adalah sebagai berikut: umur responden ratarata (mean) sebesar 51,14 (SD=
12,40) yang terdistribusi normal (p-value= 0,200). Umur termuda adalah 30 tahun dan umur tertua
adalah 74 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 44 orang (71 %),
sedangkan sisanya yaitu 18 orang (29 %) berjenis kelamin perempuan. Responden yang bekerja lebih
banyak yaitu 43 orang (69 %) dibandingkan dengan yang tidak bekerja yaitu 19 orang (31%). Tingkat
pendidikan sebagian besar responden berpendidikan rendah 33 orang (53%)

Derajat GJK menurut NYHA (New York Heart Assosiation).


Sebagian besar responden gagal jantung kongestif (GJK) adalah derajat 1 menurut NYHA sebesar 28
responden (45,2%), derajat 2 sebesar 25 responden (40,3%), derajat 3 sebesar 8 responden (12,9),
dan derajat 4 sebesar 1 responen (1,6%) dengan distribusi data tidak normal (pvalue= 0,000).
Kualitas Hidup Kualitas hidup responden rata-rata (mean) sebesar 56,91 (SD= 14,43) yang
terdistribusi normal (p-value= 0,200).

Kualitas hidup
Kualitas hidup responden rata-rata (mean) sebesar 56,91 (SD= 14,43) yang terdistribusi normal (p-
value= 0,200). Kualitas hidup terendah bernilai 28 dan kualitas hidup tertinggi bernilai 88.
Hubungan antara Umur dan Kualitas Hidup
Terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan kualitas hidup (r= - 0,311, p-value = 0,014).
Besaran koefisien determinan umur sebesar 0,096 (9,6%), berarti umur menentukan 9,6% kualitas
hidup, sedangkan sisanya 90,4% ditentukan oleh faktor lain. Arah hubungan bersifat negatif, artinya
bahwa semakin bertambah umur maka kualitas

Hubungan antara Jenis Kelamin dan Kualitas Hidup.


Hasil uji statistik antara Jenis kelamin dengan kualitas hidup diperoleh nilai pvalue = 0,131 (r = -
0,194) yang menunjukan bahwa hubungan antara jenis kelamin dengan kualtas hidup adalah tidak
bermakna dengan arah hubungan bersifat negatif.

Hubungan antara pendidikan dengan kualitas hidup


. Hasil uji statistik antara pendidikan dengan kualitas hidup diperoleh nilai pvalue =0,001 (r = 0,379)
yang menunjukan bahwa hubungan antara pendidikan dengan kualtas hidup adalah bermakna. Arah
hubungan bersifat positif yang berarti semakin tinggi pendidikan maka semakin baik kualitas hidup
pasien

Hubungan antara Pekerjaan dan Kualitas Hidup


Hasil uji statistik antara pendidikan dengan kualitas hidup diperoleh nilai pvalue =0,561 (r = 0,075)
yang menunjukan bahwa hubungan antara pekerjaan dengan kualtas hidup adalah tidak bermakna
dengan arah hubungan bersifat positif.

Perbedaan antara derajat GJK dan Kualitas Hidup Hasil analisis menggambarkan bahwa rata-rata
kualitas hidup yang paling rendah adalah yang mempunyai derajat 4 menurut NYHA (1,01%) dan
yang paling tinggi adalah derajat 1 menurut NYHA (2,26%). Analisis statistik menggambarkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara derajat NYHA dengan kualitas hidup (p-value= .
PEMBAHASAN
Kualitas hidup
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap
posisi mereka dalam kehidupan pada konteks budaya dan nilai dimana mereka hidup dalam
hubunganya dengan tujuan hidup, harapan, standar, dan perhatian (Dunderdale et al, 2005). Konsep
yang sangat luas ini mempengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologi, tingkat
ketergantungan, hubungan sosial, keyakinan personal, dan keinginan di masa yang akan datang
terhadap lingkungan sekitarnya (Isa & Baiyewu, 2006). Penelitian ini didapatkan hasil bahwa rata-
rata kualitas hidup pasien sebesar 56,91. Pada responden dalam penelitian ini sebagian besar
mendapatkan biaya untuk berobat dari Askes atau Jamkesmas, ditinjau dari pola komunikasi dan
presepsi diri sebagian besar baik dan tanpa keluhan yang mengganggu. Dengan adanya dukungan
yang baik dari segi finansial, presepsi diri yang baik serta tanpa keluhan yang mengganggu dapat
membantu mengurangi gangguan psikologis akibat penyakit gagal jantung kongestif (GJK) ini,
sehingga kualitas hidup responden meningkat. Berbeda halnya dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Lee et al (2005) di rumah sakit umum di Hong Kong, China dengan jumlah sample (N)
sebesar 227 responden. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata (mean= 16,78 ± 3,44) pasien gagal
jantung kongestif memiliki kualitas hidup rendah, dengan gangguan psikologis merupakan faktor
yang paling mempengaruhi kualitas hidup pasien (p value= 0,000). Hal tersebut menunjukkan bahwa
gangguan psikologis yang meningkat dapat memperburuk kualitas hidup pasien GJK di china.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti yaitu terdapat pada kondisi
derajat GJK menurut NYHA. Menurut penelitian Lee et al (2005) mengatakan bahwa dominan pasien
GJK yang memiliki derajat II menurut NYHA sebesar 49, 8 % lebih tinggi jumlahnya dan tingkat
derajatnya dibandingkan yang dilakukan peneliti yaitu 45,2 % dengan dominan pasien memiliki
derajat I menurut NYHA. Dari perbandingan ini membuktikan bahwa derajat NYHA sangat
berhubungan dengan kualitas hidup pasien

Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup Umur.


Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa umur memiliki hubungan dengan kualitas hidup (p
value= 0,014). Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa fungsi jantung akan
berubah bersamaan dengan pertambahan usia. Pada lansia berumur 40 tahun keatas yang tidak
aktif, jantung kirinya mengalami pengecilan sebagai respon terhadap rendahnya beban kerja yang
dibutuhkan (Smeltzer et al, 2008). Terbukti bahwa pasien yang berumur rata-rata (mean) umur
pasien lebih dari 51,14 tahun. Heo et al (2009) juga mengatakan bahwa penuaan dapat
mengakibatkan penurunan elastisitas dan pelebaran aorta, penebalan dan kekakuan katup jantung,
serta peningkatan jaringan ikat yang mengakibatkan terjadinya gagal jantung pada manula.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Banerjee et al (2013) pada 423 pasien yang mengalami gagal
jantung membuktikan bahwa faktor umur berpengaruh secara signifikan (p value = 0,001) sebesar
54% terhadap kualitas hidup. Hal ini membuktikan bahwa faktor umur mempengaruhi kualitas hidup
pasien. Pendidikan. Berdasarkan pendidikan pasien, pasien yang memiliki pendidikan rendah
sebanyak 33 orang (53%) dan berpendidikan tinggi sebanyak 29 orang (47%). Hasil penelitian ini
didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng
daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmodjo, 2007). Azwar (2005)mengatakan bahwa
semakin tinggi tingkat Pendidikan seseorang maka dia akan cenderung untuk berperilaku positif
karena pendidikan yang diperoleh dapat menjadi dasar pemahaman seseorang terhadap kebutuhan
akan informasi terkait self management pasien dan perilaku mencari pelayanan kesehatan yang
tepat. Penelitian yang dilakukan secara randomized controlled trial (RCT) pada 540 responden
dengan gagal jantung membuktikan bahwa program edukasi mengenai monitor gejala, aktifitas fisik,
dan penggunaan obat terbukti efektif dalam self management pasien yang sedang menjalankan
rehabilitasi (Meng et al., 2013).

Derajat GJK menurut NYHA


Pasien yang mengalami gagal jantung kongestif memiliki gejala seperti rasa cepat lelah, sesak napas,
takipnea dan takikardi. Kondisi fisik ini sangat mempengaruhi kemampuan dan fungsi pasien
sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. (Arroll et al, 2010) Hal ini dibuktikan
dengan hasil penelitian ini yang menyatakan secara signifikan (p-value= 0,001) bahwa derajat gagal
jantung kongestif menurut New York Heart Assotiation (NYHA) mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Hasil ini di dukung penelitian yang dilakukan oleh Juenger et al (2002) yang membuktikan secara
signifikan (0,0001) bahwa kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh derajat gagal jantung kongestif
menurut NYHA pada 205 pasien di Jerman. Pada pasien GJK, fungsi fisik sangat berperan sebanyak
51 % terhadap derajat menurut NYHA, dikarenakan apabila fungsi fisik tidak bisa digunakan secara
optimal ,maka secara otomatis aktivitas fisik akan berkurang yang menyebabkan menurunya kualitas
hidup pasien.

Dari hasil data distribusi responden yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa derajat 1 lebih
banyak diderita oleh pasien di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yaitu sebesar 45,2 %. Hal ini dikarenakan
sebagian besar pasien berobat dan treadmill secara rutin sehingga kondisi fisik pasien tetap terjaga
dan berfungsi secara makaimal yang membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.

KESIMPULAN
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah umur, pendidikan dan derajat GJK.
Umur memiliki hubungan negatif terhadap kualitas hidup yang menyatakan bahwa semakin
bertambahnya umur seseorang maka kualitas hidupnya akan menurun. Pendidikan memiliki
hubungan positif terhadap kualitas hidup yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan pasien
maka semakin baik kualitas hidup pasien. Derajat menurut NYHA memiliki perbedaan yang signifikan
terhadap kualitas hidup pasien gagal jantung kongestif (GJK). Faktor yang tidak berhubungan dengan
kualitas hidup adalah jenis kelamin, dan pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA
Arroll, B., Doughty, R., and Andersen, V. (2010). Investigation and management of congestive heart
failure, BMJ, 341, pp.190-195 Azwar, S. (2005). Sikap Manusia dan Pengukurannya, Pustaka Setia,
Jakarta. Banerjee, T, Lee, K.S., Browning, S.R., Hopenhayn, C., Westneat, S., et al. (2013). Limited
Association Between Perceived Control and Heald Related Quality of Life in Patient With Heart
Failure, Journal of Cardiovascular Nursing, pp.1-5. Dimos, A.K., Stougiannos, P.N., Kakkavas, A.T., and
Trikas, A.G. (2009). Depression And Heart Failure. Hellenic J Cardiol, 50, pp.410-417. Dunderdale, K.,
Thompson, D.R., Miles, J.N.V., Beer, S.F., and Furze G. (2005). Quality-of-life measurement in chronic
heart failure: do we take account of the patient perspective?. The European Journal of Heart Failure,
pp.572± 582. Heo, S., Lennie, T. A., Okoli, C., & Moser, D. K. (2009). Quality of Life in Patients With
Heart Failure: Ask the Patients, Heart Lung, 38(2), pp.100± 108. Isa, B.A., and Baiyewu, O. (2006).
Quality Of Life Patient With Diabetes Mellitus In A Nigerian Teacihng Hospital, Hongkong Journal
Psychiatry, 16, pp.27-33. Juenger, J., Schellberg, D., Kraemer, S., Haunstetter, A., Zugck, C., Herzog,
W., and Haass, M. (2002). Health Related Quality Of Life In Patients With Congestive Heart Failure:
Comparison With Other Chronic Diseases And Relation To Functional Variable, Heart Journal, 87,
pp.235- 241. Lee, D.T.F., Yu, D.S.F., Woo, J., and Thompson, D.R. (2005). Healthrelated quality of life
in patients with congestive heart failure. The European Journal of Heart Failure, pp.419± 422. Meng,
K., Musekamp, G., Seekatz, B., Glatz, J., Karger, G., Kiwus, U., . . . Faller, H. (2013). Evaluation of a
selfmanagement patient education program for patients with chronic heart failure undergoing
inpatient cardiac rehabilitation: study protocol of a cluster randomized controlled trial. BMC
Cardiovasc Disord, 13, 60. doi: 10.1186/1471-2261-13-60 Notoadmodjo, S. (2007). Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Nurchayati, S. (2011). Analysis of Factors
Related to Quality of Life of Patients With Chronic Kidney Disease Undergroing Hemodialysis at the
Islamic Hospital Fatimah Cilacap and Banyumas District General Hospital, Thesis Magister
Keperawatan, Universitas Indonesia. 2¶&RQQRU, C.M., Whellan, D.J., Lee, K.L., Keteyian, S.J.,
Cooper, L.S., et al. (2013). Efficacy and Safety of Exercise Training in Patients With Chronic Heart
Failure: HF-ACTION Randomized Controlled Trial, JAMA, 301 (14), pp.1439-1450. Ose, D., Rochon, J.,
Campbell, S. M., Wensing, M., Freund, T., van Lieshout, J., . . . Ludt, S. (2014). Health-related quality
of life and risk factor control: the importance of educational level in prevention of cardiovascular
diseases. Eur J Public Health, 24(4), 679-684. doi: 10.1093/eurpub/ckt139 Raghu, K.V., Srinivas. V,
Kishore, B.A.V., Mohanta, G.P., and Uma, R.R. (2010). A Study on Quality of Life of Patients with
Congestive Cardiac Failure. Indian Journal of Pharmacy Practice, 3, pp.33-39.

Anda mungkin juga menyukai