Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan sistem kardiovaskuler memberi dampak terhadap fisik dan psikologis klien.
Secara psikologis, gangguan system kardiovaskuler berdampak terhadap status
fungsional, status pekerjaan dan hubungan antar manusia (Sullivan, 2009).

Congestive heart failure (CHF) atau gagal jantung sebagai salah satu penyakit gangguan
sistem kardiovaskuler, menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, diperkirakan 22 juta
orang di seluruh dunia mengalami CHF atau gagal jantung (WHO,2002). Beberapa hasil
penelitian menuliskan bahwa hipertensi merupakan penyakit kronik yang beresiko
menyebabkan terjadinya miokard infark dan gagal jantung (CHF) (Bosworth., Bartash.,
Olsen & Steffens,2003 dalam Gorman 2007). Gagal jantung merupakan ketidakmampuan
jantung memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi kejaringan
tubuh (Smeltzer & Bare 2001).

Data yang diperoleh World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukan bahwa
pada tahun 2008 terdapat 17 juta atau sekitar 48% dari total kematian disebabkan oleh
gagal jantung kongestif. Pada penelitian di Amerika, risiko berkembangnya gagal jantung
adalah 20% untuk usia 40 tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis
gagal jantung selama beberapa dekade terakhir. Kejadian gagal jantung meningkat
dengan bertambahnya usia. Tingkat kematian untuk gagal jantung sekitar 50% dalam
waktu 5 tahun (Yancy, 2013).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Indonesia sebesar
0,3%. Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%). Sementara di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang penyakit gagal jantung tahun 2013
sebanyak 735 orang menempati urutan ke tiga dalam 10 besar diagnosa penyakit
terbanyak di rawat inap, sedangkan yang dirawat ulang sebanyak 242 orang, dan pasien
yang meninggal sebanyak 54 orang. Di rawat jalan tercatat sebanyak 5773 orang pasien
gagal jantung yang mengunjungi poliklinik penyakit jantung (Rekam Medis RSUD
Karawang, 2014). Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan 2 hasil wawancara
pada responden umur 15 tahun berupa gabungan kasus penyakit yang pernah
didiagnosis dokter atau kasus yang mempunyai gejala penyakit gagal jantung (Riskesdas,
2013).

Sementara di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang penyakit gagal jantung
tahun 2013 sebanyak 735 orang menempati urutan ke tiga dalam 10 besar diagnosa
penyakit terbanyak di rawat inap, sedangkan yang dirawat ulang sebanyak 242 orang,
dan pasien yang meninggal sebanyak 54 orang. Di rawat jalan tercatat sebanyak 5773
orang pasien gagal jantung yang mengunjungi poliklinik penyakit jantung (Rekam Medis
RSUD Karawang, 2014).

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang peneliti lakukan dengan observasi dan
wawancara terhadap pasien dan keluarga di RSUD Karawang, didapatkan 6 dari 6 orang
keluarga dan pasien yang dirawat antara 3-7 hari selama dirawat dan ketika akan pulang
mengatakan, imformasi yang diberikan oleh perawat hanya sebatas imformasi tentang
diagnosa penyakit, tempat dan waktu kontrol serta obat-obatan yang dibawa pulang dan
harus diminum di rumah, sedangkan bagaimana cara perawatan, termasuk diet, aktivitas
apa yang boleh dilakukan di rumah, tanda dan penyebab kekambuhan belum disampaikan
secara terprogram.

Hasil wawancara peneliti dengan perawat di RSUD Karawang, juga didapatkan 6 dari 6
perawat mengatakan telah melaksanakan perencanaan pulang atau discharge planning
sesuai dengan format discharge planning yang ada di rumah sakit, perawat hanya
memberi imformasi tentang tempat, waktu kontrol dan obat-obatan yang harus diminum
di rumah, sedangkan masalah perawatan di rumah, diet, aktivitas yang boleh dilakukan di
rumah, di imformasikan jika pasien atau keluarga bertanya.

Dampak gagal jantung (heart failure) atau CHF terhadap kondisi psikososial klien
membutuhkan penanganan yang menyeluruh pada semua aspek. Ratnasingam (2007)
memaparkan bahwa stressor psikososial dan dukungan sosial secara
signifikanberpengaruh terhadap penyakit jantung. Klien penyakit jantung yang
mengalami masalah psikososial akan lebih lambat proses penyembuhannya, lebih berat
gejala fisik yang dialaminya dan lebih lama proses rehabilitasinya (Lynch & Galgraith,
2003;Ratnasingam, 2007). Padahal, salah satu faktor pendukung keberhasilan suatu terapi
adalah keterlibatan klien dan keluarga pada proses terapi (Brunner & Suddarth,2009).
Gagal jantung menimbulkan berbagai gejala klinis yang dirasakan pasien beberapa
diantaranya dispnea, ortopnea, dan gejala yang paling sering dijumpai adalah paroxysmal
nocturnal dyspnea (PND) atau sesak napas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-
tiba dan menyebabkan penderita terbangun. Munculnya berbagai gejala klinis pada
pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu
kebutuhan dasar manusia salah satu diantaranya adalah kebutuhan istirahat seperti adanya
nyeri dada pada aktivitas, dyspnea pada istirahat atau aktivitas, letargi dan gangguan tidur
(Doengoes, 1999).

Penanganan gagal jantung memerlukan tindakan yang tepat agar tidak memperburuk
keadaan jantung dari penderita. Istirahat serta rehabilitasi, pola diet, kontrol asupan
garam, air, monitor berat badan adalah cara-cara yang praktis untuk menghambat
progresifitas dari penyakit ini. Melihat besarnya angka mortalitas dan morbiditas yang
terjadi, banyak kemajuan telah dibuat untuk memudahkan diagnosis, penatalaksanaan,
dan terapi dalam mengatasi penyakit kardiovaskuler (Hudak & Gallo, 2010). Kegiatan
yang perlu ditekankan adalah pendidikan kesehatan dan deteksi sedini mungkin,
pengenalan awitan gejala, serta pengendalian faktor risiko di rumah, bukan hanya sekedar
pengobatan yang merupakan akibat klinis dari penyakit yang sudah terjadi.
(Price & Wilson, 2010).

Pada pasien gagal jantung keluarga sangat berperan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan. Oleh karena itu keluarga harus mempunyai kesiapan untuk melakukan
perawatan mandiri pada pasien gagal jantung di rumah. Kesiapan adalah kemampuan
yang cukup, baik fisik maupun mental. Kesiapan fisik berarti tenaga yang cukup dan
kesehatan, sementara kesiapan mental berarti memiliki minat dan motivasi yang cukup
untuk melakukan suatu kegiatan (Dalyono, 2005). Sedangkan kesiapan dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, peraturan/protokol yang jelas, sarana, dan pemberian
discharge planning pada pasien dan keluarga selama dirawat dirumah sakit.

Setelah gagal jantung dapat terkontrol, pasien dibimbing untuk secara bertahap kembali
ke gaya hidup dan aktivitas sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan hidup
sehari-hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apnu dan kelelahan.
Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan hubungan interpersonal biasanya
dilakukan. Setiap aktivitas yang menimbulkan gejala harus dihindari atau diadaptasi.
Pasien harus dibantu untuk mengidentifikasi stress emosional dan menggali cara-cara
untuk menyelesaikannya.

Biasanya pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat kekambuhan episode
gagal jantung. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan masalah piskologis, sosiologis dan
finansial tetapi beban fisiologis pasien akan menjadi lebih serius. Organ tubuh tentunya
akan rusak. Serangan berulang dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis,
pembasaran limpa dan ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen
selama epsode akut.

Nurdiana, Syafwani, Umbransyah,(2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa


keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang
diperlukan oleh pasien di rumah sehingga akan menurunkan angka kekambuhan. Hasil
penelitian tersebut dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh Dinosetro (2008),
menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka
kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat
beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Memberikan penyuluhan kepada pasien dan melibatkan pasien dalam implementasi


program terapi akan memperbaiki kerjasama dan kepatuhan. Kebanyakan kekambuhan
gagal jantung terjadi karena pasien tidak mematuhi terapi atau perawatan mandiri yang
dianjurkan.

Dukungan keluarga menjadi unsur penting dalam keberhasilan anggota keluarga dalam
melakukan dan mempertahankan perilaku kesehatan baru (Glanz.Lewis & Rinner, 1997
dalam Friedman, Bowden & Jones 2003). Memiliki dan merawat anggota keluarga
dengan gangguan sistem kardiovaskuler dapat menimbulkan stress dan beban bagi
keluarg (Hwang, 2012). Beberapa hasil studi menuliskan bahwa keluarga (caregiver)
dapat mengalami masalah psikososial dan penurunan kualitas hidup dengan penyakit
yang dialami klien. Stress keluarga dapat timbul karena merawat klien, selain stress
berbagai aspeklain juga berpengaruh. Aspek tersebut adalah fisik, mental, sosial dan
finansial. (Given, 1992; Alspach, 2009; Hwang 2012).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dibuatnya penelitian riset ini, diharapkan para penderita gagal jantung yang
sudah menjalani perawatan dirumah dapat lebih teratur dalam menjaga pola
hidupnya.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi perawatan mandiri pasien
dirumah
b. Mengatasi faktor penghambat perawatan mandiri pasien dirumah
c. Meningkatkan semangat dan kualitas hidup pasien penderita gagal jantung

C. Rumusan Masalah
Memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut: Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Mandiri Pasien Gagal
Jantung Dirumah

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi mahasiswa
Hasil penelitian di harapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang faktor- faktor
yang mempengaruhi perawatan mandiri pasien gagal jantung di rumah

2. Bagi institusi pendidik


Hasil penelitian ini menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai pentingnya
dukungan keluarga untuk meningkatkan kualitas perawatan mandiri dan mengurangi
tingkat kekambuhan pada pasien gagal jantung.

3. Bagi para perawat


Di harapkan dengan pengetahuan yang ada, dapat meningkatkan kinerja perawat
dalam melakukan tindakan discharge planning pada pasien gagal jantung dengan
baik.

Anda mungkin juga menyukai