Anda di halaman 1dari 86

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT

KECEMASAN DENGAN MEKANISME


KOPING KELUARGA PASIEN
SINDROM KORONER AKUT (SKA) DI
RUANG ICCU BRSUD KABUPATEN
TABANAN
 
BAB 1
PENDAHULUAN

◦ Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau ACS (Acute Coronary
Syndrome) merupakan kondisi umum yang muncul sebagai
komplikasi pada penderita penyakit jantung koroner. SKA
merupakan salah satu manifestasi dari kelainan arteri
koroner yang disebabkan karena pengurangan pasokan
oksigen secara akut atau subakut pada miokard dan dipicu
oleh plak ateroskleorotik (Depkes, 2013). Menurut Osborn
(2010), SKA meliputi angina pectoris tidak stabil, infark
miokard dengan elevasi ST (STEMI) dan infark miokard
tanpa eleavasi ST (NSTEMI).
Penyakit jantung dan pembuluh darah seperti SKA diperkirakan akan
menjadi penyebab utama kematian secara menyeluruh dalam waktu 15
tahun mendatang, meliputi Amerika, Eropa, dan sebagian besar Asia. Hal
tersebut dimungkinkan dengan adanya peningkatan prevalensi penyakit
kardiovaskuler secara cepat di negara-negara berkembang dan negara
Eropa Timur. Selain itu, gagal jantung merupakan penyakit yang paling
sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit (redmission)
meskipun pengetahuan rawat jalan telah diberikan secara optimal
(Ardiansyah, 2012).

Berdasarkan data dari Word Health Organization (WHO) tahun 2012,


kematian penyakit jantung menjadi peringkat tertinggi dari 10 penyebab
utama kematian dunia. Perbandingan angka yang mencolok terjadi selama
sembilan Tahun terakhir dimana Tahun 2014 tercatat 17,3 juta jiwa
meninggal setiap tahunnya, hal ini sangat berbeda dari data pada tahun
2005 yang hanya 11,8 juta orang. Diperkirakan kejadian penyakit jantung
akan terus meningkat setiap tahunnya dan akan mengalami kenaikan
angka kematian yang signifikan pada tahunb 2030 yaitu sebesar 23,6 juta
jiwa.
Hasil dari Jakarta cardiovaskuler study pada tahun 2008
mencatat prevalensi infark miokard pada wanita mencapai
4,12% dan 7,6% pada pria atau 5,29 secara keseluruhan.
Angka ini jauh diatas prevalensi infark miokard pada tahin
2000, yakni hanya 1,2% saja. Hal ini mendukung hasil
survei Departemen Kesehatan RI yang menunjukkan bahwa
prevalensi Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013,
terdapat kurang lebih 478.000 pasien di Indonesia di
diagnoa penaykit jantung koroner saat ini, prevalensi infark
miokard dengan elevasi ST (STEMI) meningkat dari 25%
ke 40% dari persentasi Infark Miokard (Depkes, 2013).
Antara 10% sampai 30% meningkat dari pasien dengan
angina tidak stabil menjadi miokard infark dalam satu tahun
29% terdapat kematian miokard infark dalam lima tahun
(American Heart Association, 2008).
Dari data lima rumah sakit besar di Pulau Jawa dan Bali
yang ikut dalam pendataan ini didapatkan bahwa usia gagal
jantung lebih muda, pasien datang lebih parah dan
terlambat, lama rawat rata-rata tujuh hari, dan angka
kematian di rumah sakit 6,7%. Tiga D (diagnosis cepat
tepat, drugs yang berbasis bukti, dan devices (alat baru)
adalah penting pada gagal jantung. Selain itu, apa yang
harus dikerjakan dan jangan dikerjakan dalam menghadapi
gagal jantung juga harus diperhatikan. Pasien dengan
penyakit jantung mendapatkan perawatan secara khusus di
Ruang ICCU (Med J Indones, 2012).
ICCU (Intensif Coronary Care Unit) merupakan unit
perawatan intensif untuk penyakit jantung, terutama
penyakit jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama
jantung yang berat, gagal jantung. Sebagai salah satu
institusi pelayanan kesehatan BRSUD Kabupaten Tabanan
juga memberikan pelayanan terhadap penyakit jantung
dengan mendirikan ruang ruang ICCU yang beroperasi sejak
bulan Desember 2017. Rata-rata jumlah pasien yang dirawat
di Ruang ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan dari Desember
2019 sampai April 2020 sebanyak 88 orang, sebagian besar
dengan keluhan SKA, 20 orang (17,6%) dengan diagnosis
STEMI, 32 orang (28,1%) dengan NSTEMI dan 16 orang
(14,1%) dengan Unstable Angina Pectoris (UAP), dan yang
penyakit jantung lainnya 20 orang (17,6%). Sedangkan tiga
bulan terakhir mulai Mei sampai Juli 2020 jumlah pasien
SKA sebanyak 30 orang.
Penyakit SKA mempunyai dampak tidak hanya terhadap
penderitanya namun bisa juga terjadi kepada keluarganya,
salah satunya yaitu mekanisme koping keluarga. Untuk
menghadapi keadaan yang penuh stress tersebut keluarga
harus beradaptasi dengan stressor. Respon adaptif
psikologs terhadap stresor disebut juga sebagai
mekanisme koping. Mekanisme koping dilihat sebagai
proses yang dinamis dari usaha pemecahan masalah.
Perilaku koping sebagai respon yang dimunculkan akan
berbeda antara individu satu dngan individu lain.
Perbedaan kemampuan yang dimiliki masing-masing
individu akan memunculkan mekanisme koping yang
berbeda pula. Respon individu dapat bervariasi tergantung
pengetahuannya tentang perilaku koping (Ihdaniyati dan
Winarsih, 2008).
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya menurut Stuart
dan Sundeen (Viela, 2010), dibagi menjadi dua yaitu mekanisme
koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Yang dimaksud
mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang
mendukung fungsi intregasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai
tujuan, sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme
koping yang menghambat fungsi intregasi, memecahkan
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cendrung menguasai
lingkungan.

Mekanisme dan proses koping keluarga berfungsi sebagai proses dan


mekanisme yang viral dimana melalui proses dan mekanisme
tersebut fungsi-fungsi keluarga menjadi nyata. Tanpa koping yang
efektif, fungsi efektif, ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak
dapat dicapai secara adekuat. Oleh sebab itu, koping keluarga
merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai
fungsi-fungsi keluarganya secara optimal (Friedman, 2010).
Menurut hasil penelitian Yuanita dan Sutriningsih
(2017), menyatakan bahwa sebagian besar keluarga
dengan pasien penyakit kronis sebagian besar 77%
mempunyai mekanisme koping adaptif, namun
masih terdapat 23% keluarga dengan mekanisme
koping yang mal adaptif. Sedangkan penelitian
Ihdaniyati dan Winarsih (2008), menemukan hasil
masih terdapat 16,7% keluarga pasien dengan
kelainan jantung kongestif mempunyai mekanisme
koping maladaptif. Kondisi tersebut akan
berdampak terhadap dukungan keluarga dalam
meningkatkan proses kesembuhan pasien.
Penderita
 yang mengalami serangan jantung sering dihadapkan pada
kemungkinan perubahan pola hidup sehari-hari dan kondisi ini akan
dipengaruhi oleh berat dan kompleksitas penyakitnya. Hal ini dapat
diketahui lebih jaul dengan mengenal suami, istri dan keluarganya
serta kehidupan bermasyarakat dari pasien (Dewi & Boestan dalam
Yusran Hasymi, 2009). Dukungan suami, istri serta keluarga
diharapkan mampu meningkatkan kesiapan pasien menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Intervensi keperawatan yang
melibatkan peran anggota keluarga dalam proses perawatan sangat
penting seperti kinjungan rutin, membangkitkan support system yang
menyenangkan, kegembiraan dan semangat yang dapat meningkatkan
kemampuan pasien beradaptasi terhdapa penyakit dan untuk pulih
lebih cepat. Namun disisi lain terkadang keluarga terlalu
mencemaskan kondisi penderita, memunculkan respon atau perilaku
yang maladaptif sehingga tidak dapat berperan secara maksimal dalam
memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang sakit (Myers &
Sheffield dalam Yusran Hasymi, 2009).
Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai bentuk
manifestasi rasa ketakutan akan kehilangan sesuatu yang
penting atau terjadinya peristiwa buruk dari kondisi yang
ada sekarang (Stuart & Sundeen, 2013). Bila kondisi ini
berlangsung lama dapat menimbulkan dampak buruk bagi
kesehatan, antara lain lemas, pingsan, atau dapat
memperburuk keadaan. Kecemasan yang berlarut-larut
dan tidak terkendali dapat mendorong terjadinya respon
defensive sehingga menghambat mekanisme koping yang
adaptif. Sebalikya, dengan kecemasan yang terkendali,
pasien dapat mengembangkan konsep diri dengan baik,
sehingga pasien kooperatif terhadap tindakan
keperawatan. Mekanisme koping adalah kemampuan
seseorang beradaptasi terhadap suatu interaksi atau
perubahan tertentu (Brunner & Suddarth, 2013).
Kecemasan dapat menjadi sumber masalah klinis jika sudah
sampai tingkat ketegangan yang sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kemampuan berfungsinya seseorang dalam
kehidupan sehari-hari, karena orang tersebut jatuh kedalam
kondisi maladaptif yang dicirikan reaksi fisik dan
psikologis esktrem. Pengalaman yang menegangkan,
irasional, dan tidak dapat diatasi ini merupakan dasar
gangguan kecemasan. Sekitar 28% orang Amerika Serikat
sepanjang hidupnya mengalami kecemasan (Halgin &
Whitbourne, 2010).
Hasil penelitian Smith & Custard (2014), dalam artikelnya
mengemukakan bahwa keluarga dengan anggota keluarga
yang mempunyai penyakit jantung menanggung beban
perawatan yang tinggi, hal ini dapat berdampak pada
kecemasan. Anggota keluarga pasien sakit kritis mengalami
tingkat kecemasan tinggi situasional dan stress ketika orang-
orang tercinta yang dirawat di ruang rawat intensif. Beberapa
factor yang berhubungan stress ini, kecemasan situsasional
muncul dari kekhawatiran tentang penderitaan dan kematian
pasien akan datang, kekhawatiran tentang prosedur,
komplikasi dan peralatan yang digunakan dalam perawatan
pasien. Hal ini juga relevan dengan penelitian Ihdanilati dan
Winarsih (2008), pada penderita gangguan jantung yang
menemukan bahwa sebanyak 16,7% keluarga mengalami
kecemasan ringan, 66,7% keluarga dengan kecemasan sedang
dan 16,7% keluarga dengan kecemasan berat.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan
dengan wawancara pada Bulan November 2020 terhadap
delapan keluarga pasien yang menunggu di ruang ICCU
BRSUD Kabupaten Tabanan, sebagian besar (87,5%)
mengatakan ada perasaan was-was, sedih, tegang dan
khawatir. Keluarga pasien merasa kaget dan khawatir oleh
karena harus menjalani perawatan d ruang ICCU.
Gambaran tersebut menjelaskan adanya kecemasan pada
keluarga dengan anggota keluarga yang mendapatkan
perawatan d ruang ICCU, keluarga ada yang
menyangkal/penolakan, menyalahkan orang lain bahkan
sampai ada keluarga yang berperilaku agresif.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kondisi keluarga
pasien dengan penyakit jantung sangat bervariasi.
Kecemasan akan berdampak terhadap mekanisme koping
keluarga sehingga memunculkan perilaku-perilaku baik
adaptif maupun maladaptif yang secara tidak langsung akan
berdampak terhadap perubahan kondisi pasien yang dirawat
di Ruang ICCU. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara
Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping Keluarga
pada pasien Sindrom Koroner Akut yang dirawat di Ruang
ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan.
◦ Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian yaitu “Apakah ada Hubungan
antara Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping
Keluarga Pasien Sindrom Koroner Akut yang dirawat di
Ruang ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan?”

◦ Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi tujuan
umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum
Untuk mengetahui Hubungan antara Tingkat Kecemasan
dengan Mekanisme Koping Keluarga Pasien Sindrom
Koroner Akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD
Kabupaten Tabanan.
 
Tujuan Khusus:
Mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga pasien
sindrom koroner akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD
Kabupaten Tabanan.
Mengidentifikasi mekanisme koping keluarga pasien
sindrom koroner akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD
Kabupaten Tabanan.
Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping keluarga pasien sindrom koroner akut
yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan.
◦ Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut:
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian bisa sebagai referensi dalam pembelajaran
khususnya pada bidang keperawatan intensif serta
pengembangan penelitian terhadap pengembangan sumber
daya keperawatan. Penelitian ini juga dapat dijadikan dasar
membuktikan teori-teori mengenai kecemasan dan
mekanisme koping sebagai dampak dari situasi tertentu
yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian bermanfaat terhadap pemilihan alternative
tindakan keperawatan khususnya kepada keluarga yang
mengalami kecemasan sehingga mampu memberikan
dukungan terhadap proses kesembuhan pasien. Menambah
wawasan dan pengetahuan dalam menyusun standar
operasional prosedur terhadap penanganan kecemasan di
rumah sakit. Di samping itu Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat bermanfaat terhadap masyarakat
khususnya keluarga pasien untuk mengidentifikasi
mekanisme koping yang dilakukan ketika mengalami
kecemasan ketika ada anggota keluarga yang mengalami
penyakit yang berat.
◦ Keaslian Penelitian
Penelitian ini belum pernah dilakukan di BRSUD Kabupaten Tabanan,
Namun ada beberapa yang variabel yang hampir sama dengan
penelitian ini yaitu:
Djoni Ransun, dkk (2013), melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif di Irna F BLU RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandau Manado” Jenis penelitian deskriptif analitik terhadap 30
responden. Instrumen kuisioner kecemasan HRS-A dan kuesioner
mekanisme koping COPE. Analisis menggunakan uji Chi Square
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien CHF (p = 0,004 < a = 0,05) OR = 12.
Kesimpulan tingkat kecemasan pasien CHF terbukti berhubungan
dengan mekanisme koping dimana tingkat kecemasan ringan 12 kali
mengalami koping adaptif daripada tingkat kecemasan sedang. Saran:
peningkatan pemahaman pasien CHF perlu mendapat perhatian dan
dukungan baik dari keluarga, maupun praktisi kesehatan agar dapat
meningkatkan mekanisme koping.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulastin (2005), dengan
judul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Propil
Tekanan Darah Pada Pasien Pre Operasi Trans Ureter
Resection Prostat di IBS RSUD dr. Moerwardi Surakarta.”
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif non eksperimen
dengan desain deskriptif korelatif dengan rancangan cross
sectional. Tingkat kecemasan diukur dengan kuesioner.
Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan yang
bermakna antara tingkat kecemasan dengan propil tekakan
darah pada pasien pre operasi Trans Ureter Resection
Prostat. Pasien yang mengalami kecemasan, tekanan
darahnya cenderung meningkat secara signifikan.
 Penelitian yang dilakukan oleh Dhodo Prasetyo Wibowo (2016),
dengan judul “Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Koping
Keluarga Pada Pasien Cidera Kepala di Ruang ICU RS Surakarta”
Metode Penelitian ini menggunakan penelitian non eksperimental
dengan pendekatan kuantitatif dengan rancangan diskriptif korelatif
desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Sampel
dalam peneltian ini berjumlah 44 responden. Teknik Analisis data
dengan uji Kendall Tau, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara tingkat kecemasan keluarga dengan mekanisme koping yang
digunakan oleh keluarga, dengan asumsi penelitian ordinal dan
nominal. Berdasarkan hasil analis uji korelasi Kendall tau diperoleh
nilai r = -0.539 dengan p = 0,001. Nilai p< 0,05 menunjukkan bahwa
H0 ditolak artinya ada hubungan antara kecemasan dengan koping
keluarga pada kasus cedera kepala di ruang ICU RSI Surakarta.
Perbedaan penelitian ini menggunakan subjek keluarga pasien
penyakit jantung di Ruang perawatan ICCU, instrumennya memakai
kuesioner DASS dan Suart,G.W. dengan tekhnik analisis data yang
berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sindroma Koroner Akut (SKA)


a. Pengertian Sindroma Koroner Akut (SKA)
(SKA) merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan suatu fase akut dari penyakit iskemik arteri
koroner dengan atau tanpa nekrosis miokard. SKA
didefinisikan sebagai suatu spekturm manifestasi klinis
sebagai akibat dari terganggunya plak aterosklerosis pada
arteri koroner, yang disertai berbagai komplikasi, mulai dari
thrombosis, embolisasi, hingga obstruksi perfusi miokard.
(Osborn, 2010).
Manifestasi klinis SKA bergantung pada berat dan luasnya
iskemia miokard. Oklusi total atau sub total dari arteri
koroner yang tidak memiliki pembuluh darah kolateral
dapat menimbulkan STEMI (ST-segment Elevation
Myocardial Infarction) atau NSTEMI (Non ST-segment
Elevation Myocardial Infarction). Oklusi sebagian atau
sementara dari arteri koroner dapat menimbulkan
embolisasi thrombus dan fragmen plak ke sirkulasi
koroner bagian distal. Apabila proses embolisasi tersebut
menimbulkan nekrosis miokard, yang dapat diketahui dari
peningkatan penanda biokimia yang sensitif terhadap
nekrosis miokard 9misal, troponin) maka dikategorikan
sebagai NSTEMI. Apabila tidak dijumpai peningkatan
penanda biokimia nekrosis miokard maka dikelompokkan
ke dalam kategori APTS (Angina Pektoris Tak Stabil).
Pada situasi klinik istilah SKA umumnya digunakan sebagai
diagnosis kerja awal pada kondisi pasien dengan nyeri dada angina
akut. Berdasarkan hasil rekaman elektrokardigrafi (EKG) dan
penanda biokimia selanjutnya diagnosis akhir ditegakkan. (Osborn,
2010)
b. Faktor Risiko SKA
1) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko SKA dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu: faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang itdak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi
umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga menderita Penyakit
Jantung Koroner. Umur merupakan predictor independen untuk
terjadinya SKA yang paling kuat. Pada laki-laki, risiko meningkat
setiap 10 tahun peningkatan umur. Pada wanita pre-menopause risiko
SKA sebanding dengan risiko laki –laki yang umurnya 10 tahun lebih
muda. Akan tetapi risiko pada wanita akan meningkat hingga
menyamai risiko pada laki-laki setelah menopause (Panel, 2012).
Berbagai studi menunjukkan bahwa riwayat keluarga
mengalami PJK pada usia lebih muda (prematur)
merupakan faktor risiko independen terjadinya PJK.
Risiko relative seseorang dengan riwayat keluarga positif
untuk mengalami PJK adalah berkisar antara 2x hingga
12x lipat dibandingkan dengan populasi umum (Panel,
2012).
2) Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor risiko utama
penyakit kardiovaskular. Hal ini didukung oleh banyak
data epidimologi yang menunjukkan DM, baik tipe I
maupun tipe II, sebagai faktor risiko independen
terjadinya PJK. Pasien dengan DM memiliki risiko 4x
lipat lebih tinggi untuk menderita PJK dibandingkan
dengan populasi umum (Greenland, dkk, 2010).
DM sering juga dikenal sebagai ekuivalen PJK oleh karena risiko
terjadinya infark miokard pada pasien DM sama dengan risiko
terjadinya infark berulang pada penderita PJK non DM. peningkatan
risiko PJK disebabkan terutama oleh kondisi hiperglikemia pada
pasien pasien DM. Faktor lain yang turut berperan adalah adanya
dislipidemia, kondisi protrombotik, serta hipertensi yang sering
menyertai penderita DM (Greenland, dkk, 2010).

3) Hipertensi
Berbagai studi observasional telah menunjukkan bahwa tekanan
darah yang tinggi memiliki hubungan yang kuat terhadap risiko PJK.
Hubungan ini dijumpai baik pada usia tua maupun usia yang lebih
muda serta jenis kelamin laki-laki maupun wanita. Bahkan individu
yang memiliki sedikit peningkatan tekanan darah di bawah kriteria
hipertensi (tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan/atau diastolik
85-89 mmHg) diketahui memiliki peningkatan risiko untuk
terjadinya PJK (Panel, 2012).
Pada penderita hipertensi terjadi peningkatan kadar
angotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat yang
berpengaruh terhadap proses aterogenesis dengan
menstimulasi pertumbuhan dari otot polos. Hipertensi juga
mempunyai aktivitas pro inflamasi, meningkatkan
pembentukan hydrogen peroksida, radikal bebas anion
superoxide dan radikal hidroksil pada plasma. Substansi
tersebut akan menekan pembentukan nitric oxide pada
endotel sehingga terjadi peningkatan adesi leukosit, serta
meningktnya resistensi pembuluh darah perifer (Ceriello,
2008).
4) Hiperlipidemia
Studi pada binatang maupun manusia menunjukkan bahwa kondisi
hiperplidemia/hiperkolesterolemia dibutuhkan untuk terjadinya proses
aterogenesi. Studi epidomolgi mendapatkan kadar kolesterol LDL (low
density lipoprotein) yang tinggi memegang peranan penting sebagai
komponen aterogenik yang utama. Infiltrasi dan retensi kolesterol LDL
memicu respon inflamasi pada dinding vascular (Hansson, 2005).
 
Proses oksidasi dan enzimatik memodifikasi kolesterol LDL menjadi LDL
yang teroksidasi (ox-LDL) di tunika intima dan menyebabkan pelepasan
fosfolipid. Fosfolipid mengaktivasi sel endotel terutama di tempat terjadinya
shear stress. Kondisi ini akan menginduksi sel endotel untuk
mengekspresikan molekul adesi leukosit dan gen inflamasi. Molekul adesi
leukosit mempengaruhi monosit dalam sirkulasi terutama di bagian endotel
terkativitas untuk menempel dan selanjutnya bermigrasi melewati inter-
endothelial junctions menuju subendotelial. Monosit/makrofag menangkap
ox-LDL melalui reseptor scavenger dan membnetuk foam cell. Akumulasi
lipid dan shear stress inilah yang memicu proses inflamasi pada dinding
arteri (Hansson, 2005).
5) Merokok
Merokok telah sejak lama diketahui sebagai salah satu contributor
terkuat terhadap risiko penyakit kardiovaskular khususnya PJK.
Hubungan antara merokok dengan risiko PJK adalah berbanding
lurus dengan banyaknya paparan (dose dependent). Merokok
memicu terbentuknya radikal bebas dan menimbulkan stres
oksidatif yang menyebabkan terjadinya disfungsi edontel (Panel,
2012).
6) Faktor risiko lain
Faktor risiko lain yang diperkirakan meningkatkan risiko
terjadinya PJK meliputi obesitas, kurang olahraga, serta diet yang
aterogenik. Obestias abdominal adalah akumulasi lemak
abdominal., diidentifikasi dengan lingkar perut, yang merupakan
parameter body fat/visceral fat. Obesitas abdominal dan innate
immunity memegang peranan penting pada proses inflamasi,
resistensi insulin dan sindroma metabolik (Jiamsripong dkk, 2008).
c. Patofisiologi SKA
1) Proses aterosklerosis
Ateroskleosis merupakan penyebab terbanyak dari PJK, penyakit arteri
karotis, dan penyakit arteri perifer (Libby, dkk, 2011). Keberadaan suatu
plak aterosklerosis sendiri jarang menimbulkan sesuatu yang fatal. Kondisi
ini menjadi sesuati yang berpotensi mengancam jiwa, seperti pada SKA,
bila terjadi proses thrombosis akut akibat plak yang pecah atau mengalami
erosi (Thim, dkk, 2008). Aterosklerosis merupakan penyakit
imunoinflamasi kronik pada pembuluh arteri sedang dan besar akibat
akumulasi lipid yang mengakibatkan terjadinya fibroproliferasi pada
dinding arteri (Falk, 2006). Proses aterosklerosis dimulai sejak awal
kehidupan dan terus berlanjut dengan berjalannya waktu. Pada individu
yang rentan atau terpapar faktor risiko proses perkembangan plak
aterosklerosis hingga menimbulkan obstruksi atau plak yang rentan
mengalami thrombosis (vulnerable plaque) membutuhkan waktu puluhan
tahun. Proses aterosklerosis diawali dengan disfungsi endotel pada arteri
koroner. Faktor-faktor risiko seperti diabetes, hipertensi,
hiperkolesterolemia, dan merokok dapat merusak endotel pembuluh darah
dan menimbulkan disfungsi endotel (Kumar dan Cannon, 2009).
Perkembangan proses aterosklerosis selanjutnya sebagian
besar dipengaruhi oleh proses inflamasi. Endotel yang
mengalami disfungsi menarik sel-sel inflamasi, terutama
monosit, untuk bermigrasi menuju endotel yang rusak
(Libby, dkk, 2009). Di dalam subendotelium monosit
berubah menjadi makrofag dan kemudian memfagosit LDL
teroksidasi (ox-LDL) yang telah juga memasuki dinding
arteri. Makrofag kemudian berubah menadi sel-sel busa
(foam cell) yang membentuk cikal bakal plak ateroma yang
disebut fatty streak. Makrofag yang teraktivasi melepaskan
sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang berfungsi
menarik lebih banyak makrofag dan sel otot polos menuju
lokasi terbentuknya plak (Libby, dkk, 2010).
2) Plak yang tidak stabil
Komposisi plak aterosklerosis sangat heterogen bahkan
pada individu yang sama sekalipun. Demikian pula
stabilitas dari suatu plak aterosklerosis bervariasi antara
satu plak dengan plak yang lainnya. Suatu plak
dikatakan tidak stabil (vulnerable plaque) dan berisiko
tinggi untuk mengalami ruptur bila memiliki
karakteristik sebagai berikut: inti lipid yang besar,
selaput fibrosa (fibrous cap) yang tipis, jumlah
makrofag dan limfosit T yang banyak, jumlah seloto
polos yang sedikit, meningkatnya ekspresi matrix
metalloproteinase, remodeling eksentrik ke luar lumen
pembuluh darah, dan peningkatan neovaskularisasi dan
perdarahan di dalam plak (Kumar dan Cannon, 2009).
3) Trombosis akut
Patogenesis SKA melibatkan hubungan kompleks antara
endothelium, sel-sel inflamasi, dan trombogenisitas darah. Lesi
koroner yang non-kritikal pada angiografi (stenosis <50% dari
diameter pembuluh darah) bila mengalami gangguan dapat
berkembang dengan cepat menjadi stenosis berat atau total oklusi.
Proses ini bertanggung jawab terhadap 2/3 dari semua kasus SKA
yang terjadi (Kumar dan Cannon, 2009).
 
Studi otopsi mendapatkan rupture plak sebagai dasar dari 75%
infark miokard akut yang fatal, sedangkan 25% lainnya disebakan
oleh erosi pada permukaan endotel plak. Setelah suatu plak
mengalami ruptur atau erosi maka matriks subendotel yang kaya
akan tissue factor (suatu prokoagulan yang kuat) akan terpapar
aliran darah. Paparan ini akan merangsang adesi dan aktivasi
platelet yang selanjutnya yang akan menyebabkan agregasi platelet
membentuk thrombus (Kumar dan Cannon, 2009).
Terdapat dua jenis trombus yang mungkin terbentuk, yaitu
tombus yang kaya platelet (white thrombus) dan trombus
yang kaya fibrin (red thrombus). White thrombus terbentuk
pada area dengan shear stess yang tinggi dan menyebabkan
oklusi sebagian dari lumen arteri. Red thrombus terbentuk
akibat aktivasi kaskade koagulasi dan menyebabkan
penuruan darah di arteri. Red thrombus sering kali ikut
menggumpal di sekitar white thrombus sehingga
menyebabkan oklusi total pada lumen pembuluh darah
(Kumar danCannon, 2009).
Starifikasi Risiko SKA
Pasien SKA yang datang kerumah sakit pertama kalinya
dapat memiliki presentasi klinis yang berbde-beda mulai
dari manifestasi keluhan yang ringan hingga komplikasi
yang mengancam nyawa. Kondisi saat awal saat
hospitalisasi dapat berubah secara drastis baik selama
periode perawatan maupun pasca keluar rumah sakit. Hal
ini disebababkan karena SKA merupakan kondisi koroner
tidak stabil yang dinamis yang rentan terjadi untuk iskemia
berulang dan berbagai komplikasi fatal jangka pendek
maupun jangka panjang (Hamm, dkk, 2011).
Penatalaksanaan pasien SKA harus melibatkan
penilaian prognosis untuk menentukan pasien mana
yang memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga dapat
diberikan intervensi yang tepat. Stratifikasi risiko dapat
dilakukan dengan cara penilaian risiko secara klinis,
petanda biokimia, atau system skor. Stratifikasi risiko
ini tidak hanya menilai risiko jangka pendek pada
pasien SKA namun juga risiko jangka panjang (Hamm,
dkk, 2011).
Klasifikasi SKA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardigram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut
dibagi menjadi:
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI:
ST segment elevation myocardial infarction)
Infark miokard dengan non elevasi segmen ST
9NSTEMI: non ST segment elevation myocardial
infarction)
 Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
 Infark miokard dengan segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pectoris
akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Diagnosis NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inverse gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
nomalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangklan angina
pectoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan bedasarkan kejadian
infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-
MB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,
maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen
ST Non Elevasi (Non ST-elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). Pada sindrom koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberap unit melebihi nilai normal atas (upper
limits of normal, ULN). Jika dalam pemeriksaan EKG
awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara
angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang
10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien
dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap enam jam
dan setiap terjadi angina berulang. (Hamm, dkk, 2011).
Komplikasi SKA
Disfungsi Ventrikular

Ventrikel mengalami perubahan serial dalam bentuk,


ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark
dan noninfark. Proses ini disebut remodeling ventriculal
yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
tersebar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada pasien dengan kasus STEMI.
Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.
Infark ventrikel kanan

Infark ventrikel kanan menyebakan tanda gagal ventrikel kanan


yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmuaul,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
Perikarditis

Perikarditis biasanya bersifat sementara, yang tampak pada minggu


pertama setelah infark. Nyeri dada dari perikarditis akut terjadi tiba-
tiba dan berat serta konstan pada dada anterior. Nyeri ini memburuk
dengan inspirasi dan biasanya dihubungkan dengan takikardi,
demam ringan, dan friction rub pericardial yang trifasik dan
sementara.
Ruptur Miokardium
Rupture miokardium menimbulkan kematian sebanyak
10% di rumah sakit karena infark miokard. Ruptur ini
menyebabkan temponade jantung dan kematian.
Aneurisma Ventrikel

Kejadian ini adalah komplikasi paling lambat dari infark


miokard yang meliputi penipisan, penggembungan dan
hipokinesis dari dinding ventrikel kiri setelah infark
transmural,. Aneurisma ini sering menimbulkan gerakan
paroksismal pada dinding ventrikel, dengan
penggembungan keluar segmen aneurisma pada kontraksi
ventrikel. Kadang-kadang aneurisma ini ruptur dan
menimbulkan tamponade jantung, tetapi biasanya masalah
yang terjadi disebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel
atau embolisasi. (Hamm, dkk, 2011).
 2.2Mekanisme Koping pada keluarga
a. Pengertian Mekanisme Koping
Rasmun (2009), menyebutkan mekanisme koping adalah cara
yang dilakukan untuk mengubah lingkungan atau situasi atau
menyelesaik masalah yang sedang dirasakan/dihadapi.
Sedangkan Stuart (2013, mengatakan mekanisme koping
adalah tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan
stress., termasuk upaya penyelesaian masalah langusng dan
mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi
diri. Pendapat senada disampaikan oleh Keliat (Mustikasari,
2015). Keliat (Mustikasari, 2015) menyebutkan mekanisme
koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyeseuaikan diri dengan
perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam.
Semua pernyataan diatas tidak berbeda jauh dengan yang
diutarakan oleh Davison et al, (2006).
Davison et al, (2006) menyebutkan koping merupakan
bagaimana orang berupaya mengatsi masalah atau menangani
emosi yang umumnya negatif yang ditimbulkan. Sedangkan
untuk pengertian keluarga, menurut Friedman (2010),
menyebutkan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang
atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan
emosional, kemudian tiap individu mempunyai peran masing-
masing yang merupakan anggota dari keluarga.
 Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat ditarik
sebuah definisi. Mekanisme koping pada keluarga adalah
suatu upaya untuk menyelesaikan masalah keluarga yang
biasanya bersifat negatif dan mengancam yang dilakukan oleh
individu yang mengalami penurunan fungsi ginjal yang
bersifat progresif dan ireversibel yang memerlukan
pengobatan dan rawat jalan menjalani hemodialisis dalam
jangka waktu yang lama.
b.Sumber Koping
Menurut Stuart (2013), ada empat sumber koping yang dapat
mempengaruhi mekanisme koping seseorang:
Kemampuan Personal

Kemampuan ini dipengaruhi oleh keahlian dalam menyelesaikan


masalah, kesehatan dan energy, kemampuan dalam berinteraksi
social, pengetahuan dan intelegensi individu, serta identitas ego yang
kuat.
Dukungan Sosial

Dalam dukungan social ini, yang dimaksud adalah hubungan antar


individu, keluarga dan masyaratkat, komitmen dengan jaringan
social, serta budaya di sekitar.
Aset Materi

Penghasilan individu seseorang dapat menjadi sumber koping yang


mempengaruhi mekanisme koping seseorang. Selain itu, benda-
benda atau barang-barang yang dimiliki dan pelayanan kesehatan
juga menjadi sumber koping pada asset materi ini.
Keyakinan Positif
Keyakinan dan nilai, motivasi, dan orientasi kesehatan pada
pencegahan dapat mempengaruhi mekanisme koping
seseorang. Keyakinan positif dapat mengarahkan seseorang
pada mekanisme koping yang adaptif.
Macam-macam koping
Menurut Stuart dan Sundeen 9Rasmun, 2009),
mengemukakan bahwa terdapat dua kategori koping yang
bisa dilakukan untuk mengatasi stress dan kecemasan:
Rekasi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction)
Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction)
cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah,
menyelesaikan konflik, dan memenuhi kebutuhan dasar.
Terdapat tiga macam reaksi yang berorientasi pada tugas
yaitu:
Perilaku menyerang (fight)
Individu menggunakan energinya untuk melakukan
perlawanan dalam rangka mempertahankan intregitas
pribadinya. Perilaku yang ditampilkan dapat merupakan
tindakan konstruktif maupun destruktif, destruktif yaitu
tindakan agresif 9menyerang) terhadap sasaran/objek dapat
merupakan benda, barang, atau orang, atau bahkan terhadap
dirinya sendiri. Sedangkan sifat bermusuhan yang
ditampilkan adalah berupa rasa benci, dendam, dan marah
yang bemanjang dan tindakan kosntruktif adalah upaya
individu dalam menyelesaikan masalah secara asertif yaitu
mengungkapkan dengan kata-kata terhadap rasa
ketidaksenangannya.
Perilaku menarik diri (withdrawal)
Menarik diri adalah perilaku yang menunjukkan
pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain,
jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar
pergi menginggalkan lingkungan yang menjadi
sumber stressor misalnya: individu melarikan diri
dari sumber stress, menjauhi sumber beracun,
polusi, dan sumber infeksi. Sedangkan reaksi
psikologis individu menampilkan diri seperti: apatis,
pendiam, dan munculnya perasaan tidak berminat
yang menetap pada individu.
Kompromi

Kompromi adalah merupakan tindakan kosntruktif yang dilakukan


oleh individu untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi
dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, secara umum
kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat
diselesaikan.
Rekasi yang berorientasi pada ego

Rekasi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi


stress, atau kecemasan, jika individu melakukannya dalam waktu
sesaat maka akan dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika
digunakan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan
gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal
dan menurnnya produktivitas kerja. Koping ini bekerja tidak sadar
sehingga penyelesaiannya sering sulit dan tidak realistis. Ada
beberapa jenis mekanisme pertahanan diri yang bersumber dari
ego, antara lain dijelaskan pada table 2.1 berikut.
Tabel2.1 Mekanime Pertahanan Diri yang Bersumber Dari Ego (Deffence
mechanisme)
Mekanisme Pertahanan Definisi Diri
Kompensasi Kelemahan yang ada pada
dirinya ditutupi dengan meningkatkan
kemampuan di bidang lain untuk mengurangi
kecemasan.
Mengingkari Perilaku menolak realita yang
terjadi pada dirinya, dengan berusaha mengatakan tidak
terjadi apa-apa pada dirinya.
Mengalihkan Mengalihkan emosi yang diarahkan
pada benda/objek yang kurang/tidak berbahya.
Disosiasi Kehilangan kemampuan
mengingat peristiwa yang terjadi pada dirinya.
Identifikasi Individu menyamakan dirinya
dengan bintang pujaannya dengan meniru pikiran, penampilan,
perilaku, atau kesukaannya.
 Intelektualisasi Alasan atau logika yang
berlebihan untuk menekan perasaan yang
tidak menyenangkan.
 Introyeksi Perilaku dimana individu
menyatukan nilai orang lain atau
kelompok ke dalam dirinya.
 Proyeksi Keinginan yang tidak dapat
ditoleransi, mencurahkan emosi
kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukan
sendiri.
 Rasionalisasi Memberikan alasan yang dapat
diterima secara sosial, yang
tampaknya masuk akal untuk membenarkan
kesalahan dirinya.
Reaksi formasi Pembentukan sikap kesadaran
dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa yang
benar-benar dirasakan atau dilakukan oleh orang lain.
Regresi Menghindari stres,
kecemasan dengan menampilkan perilaku seperti
perkembangan pada anak.
Represi Menekan
perasaan/pengalaman yang menyakitkan atau konflik
atau ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat
mekanisme ego lainnya.
Spliting Kegagalan individu dalam
mengintregasikan dirinya dalam menilai baik-buruk yang
memandang seseorang semuanya baik-semuanya buruk
yang tidak konsisten.
Supresi Menekan
perasaan/pengalaman yang menyakitkan ke alam tidak sadar
sampai dia melupakan peristiwa yang menyakitkan tersebut.
 Undoing Bertindak atau
berkomunikasi yang
sebagian diingkarinya
sebagaimana yang pernah
dikomunikasikan
sebelumnya.
 Sublimasi Penerimaan tujuan
pengganti yang
diterima secara secara sosial karena
dorongan yang
merupakan saluran normal dari ekspresi
yang terhambat.
Sumber: Stuart dan Sundeen (Rasmun, 2009).
Sesuai dengan uraian diatas, mekanisme dapat
dikelompokkan menjadi mekanisme koping adaptif dan
mekanisme koping maladaptive. Perilaku menyerang,
kompromi, kompensasi, identifikasi, introyeksi, represi, dan
sublimasi termasuk dalam mekanisme koping adaptif,
sedangkan yang termasuk dalam mekanisme koping
maladaptive, yaitu: perilaku menarik diri,
mengingkari,mengalihkan, disosiasi, intelektualisasi,
proyeksi, rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, supresi,
splitting, dan undoing.
Proses Mekanisme Koping
Menurut Guyton dan Hall (2007), dalam otak manusia
terdapat system limbic yang mengatur tingkah laku
emosional dan dorongan motivasional. Bagian utama
system limbic adalah hipotalamus yang mengatur perilaku
dan megatur banyak kondisi internal dari tubuh. Area
hipotalemik lateral merupakan area hipotalamus yang
berguna untuk pengatruan rasa haus, rasa lapar, dan
sebagian besar hasrat emosional. Beberapa struktur limbic
terutam berhubungan dengan siat-sifat afektif, yakni sensasi
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Kualitas
afektif ini juga disebut ganjaran atau hukuman.
Pusat ganjaran utama terletak di sepanjang rangkaian berkas bagian medial
otak depan, khususnya pada nuclei lateral dan nukle ventromedia
hipotalamus. Bila area ini diberi rangsangan kuat akan timbul rasa hukuman
, sedangkan pusat hukuman terdapat di area kelabu sentral di sekeliling
akuaduktus sylvius dalam mesensafalon dan menyebar ke atas ke zona peri
ventrikula hipotalamus dan thalamus. Rangsangsn pada area ini
menyebabkan timbulnya perilaku-perilaku tidak senang, takut, panik, rasa
sakit, rasa terhukum, dan bahkan penyakit.

Bila stimulus ternyata menimbulkan rangsangan ganjaran atau rasa


terhukum bukan sikap acuh tak acuh, rangsangan berulang-ulang, rasa
kortikal cerebri justru semakin kuat, dan respon itu dikatakan mengalami
penguatan. Jadi, ketika seorang individu menerima stimulus yang berupa
stress, timbul jejak ingatatan yang kuat terhadap sensasi ganjaran atau
sensasi hukuman yang pernah dialami sehingga muncul mekanisme koping
yang nantinya mempengaruhi perilaku dari individu tersebut dan
membentuk rasa terbiasa terhadap rasa stimulus tersebut. Jelaksna bahwa
pusat-pusat ganjaran dan rasa terhukum di system limbic sangat berperan
dalam mempengaruhi mekanisme koping seseorang.
KlasisfikasiMekanisme Koping
Menurut Stuart & Sundeen (2013) mekanisme koping
berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu:
Mekanisme Koping Adaptif

Mekanisme koping adaptif adalah meknisme koping yang


mendukung fungsi intregasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan remaja
lain, memecahkan masalah secara efektif. Teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktifitas konstruktif.
Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping
yang menghambat intregasi, memecah pertumbuhan,
menrunkan otonomi, dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan atau
tidak makan, bekerja berlebihan atau menghindar.
Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping
Menurut Nazila (Cahyo ismawati, 2009), mekanisme
koping dipengaruhi oleh:
Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri


meliputi umur, kepribadian, intelegensi, pendidikan, nilai
kepercayaan, budaya, emosi, kecemasan, dan kognittif.
Faktor eksternal

Faktor eskternal adalah faktor yang berasal dari luar diri


meliputi dukungan sosial, lingkungan, keadaan keuangan
dan penyakit.
2.3 Konsep Dasar Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
gangguan ansietas adalah sekelompok kondisi yang member
gambaran penting tentang ansietas yang berlebihan, disertai
respon perilaku, emosional, dan fisiologis. Individu yang
mengalami gangguan ansietas dapat memperlihatkan perilaku
yang tidak lazim seperti panic tanpa alas an terhadap objek
atau kondisi kehidupan, melakuakn tindakan berulang-ulang
tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali peristiwa yang
traumatic, atau rasa khwatir yang tidak dapat dijelaskan atau
berlebihan (Videbeck, 2008). Kecemasan (ansietas) adalah
perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika merasa cemas individu merasa tidak nyaman atau takut
atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka
padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam
tersebut terjadi (Videbeck, 2008)
Menurut Stuart (2013), kecemasan adalah kekkhawatiran yang tidak
jelas dan menyebar yang berkaitan degan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya. Kecemasan berbeda dengan rasa takut yang
merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. Kecemasan adalah
respon emosional terhadap penilaian intelektual pada rasa takut.
b. Penyebab Kecemasan
menurut Videbeck (2008), kecemasan terjadi akibat respon sistem
saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas
involunter pada tubuh yang termasuk dalam pertahanan diri. Serabut
saraf simpatis “mengaktifkan” tanda-tanda vital pada setiap tanda
bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Kelenjar adrenal
melepas adrenalin (epinefrin), yang menyebabkan tubuh mengambil
lebih banyak oksigen, mendilatasi pupil, dan meningkatkan tekanan
arteri serta frekuensi jantung dan memvasokontroksi pembuluh
darah perifer dan memirau darah dari sistem gastrointestinal dan
reproduksi serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas
guna menyokong jantung, otot, dan sistem saraf pusat.
Menurut Stuart (2013), penyebab atau faktor pencetus kecemasan
dapat berasal dari sumber internal dan eksternal, dikelompokkan
menajdi dua kategori:
Ancaman terhadap intregitas fisik meliputi disabilitas fisiologis
yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari.
Ancaman terhadap sistem diri dapat mebahayakan identitas, harga
diri dan fungsi sosial yang terintregasi pada individu.
Menurut Soewadi (2013), munculnya kecemasan menurut konsep
psikodinamika bahwa kecemasan muncul apabila individu
mengalami ketakutan terhadp keinginan-keinginan yang mungkin
bertentangan dengan hati nuraninya. Stimulus untuk stressor
dapat berasal dari luar (interpersonal) atau bersumber dari dalam
(interpsikis). Bila stressor tersebut tidak dapat diatasi oleh
kemampuan dan adaptasi individu, akan menimbulkan konflik
dan untuk selanjutnya dihayati sebagai kecemasan.
Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif
merupakan penyebab utama terjadinya perilaku yang tidak
sesuai atau perilaku patologis/sindroma psikiatri. Stressor
pencetus kecemasan/anxietas bisa berasal dari dalam diri
(internal) atau dari luar (eskternal). Individu menggunakan
berbagai mekanisme untuk mengatasinya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan


Menurut Soewadi (2013), kecemasan dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
Potensi stressor

Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang


menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga
orang tersebut perlu mendapatkan adaptasi untuk
menanggulangi stressor yang timbul sesuai dengan berat
ringannya stress.
Maturitas

Indvidu yang matur yaitu individu yang memiliki


kematangan kepribadian sehingga akan lebih tahan
menghadapi gangguan akibat stres, sebab individu yang
matur mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap
stressor yang timbul.
Status pendidikan dan status ekonomi

Status pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan


menyebakan seseorang mudah mengalami kecemasan.
Keadaan fisik

Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cedera,


penyakit badan (akut dan kronis), operasi, aborsi, dan cacat
badan akan mudah mengalami stress. Disamping itu orang
yang mengalami kelelahan fisik juga lebih mudah
mengalami kecemasan.
Tipe kepribadian
Orang dengan tipe kepribadian yang tidak memiliki mekanisme
koping lebih mudah mengalami gangguan kecemasan akibat
adanya stres dari pada orang dengan tipe kepribadian yang
memiliki mekanisme koping terhadap stressor yang dialami.
Sosial budaya

Cara hidup dimasyarakat juga mempengaruhi timbulnya


kecemasan individu yang mempunyai cara hidup yang teratur
dan falsafah hidup yang jelas maka pada umumnya lebih susah
untuk mengalami kecemasan. Demikian juga keyakinan agama
yang kuat jauh lebih sukar mengalami kecemasan dibandingkan
dengan mereka yang keyakinan agamanya lemah.
Lingkungan dan situasi

Orang yang memulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru


yang ternyata lebih mudah mengalami kecemasan.
Umur

Menurut Kaplan dan Sadock (2007), gangguan


kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering
pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita.
Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45
tahun.
Jenis kelamin

Gangguan panik merupakan suatu gangguan kecemasan


yang ditandai oleh kecemasan yang spontan dan
episodic. Gangguan ini lebih sering dialami wanita
daripada pria.
Tingkatan Respon Terhadap Kecemasan

Respon terhadap kecemasan menurut Videbeck (2008),


dibagi menurut tingkat kecemasan yang dialami:
Kecemasan ringan
Respon fisik: ketegangan otot ringan, sadar akan
lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, penuh perhatian dan
individu menjadi rajin.
Respon kognitif: lapang persepsi luas, terlihat tenang,
percaya diri, perasaan gagal sedikit, waspada, dan
memperhatikan banyak hal, mempertimbangkan informasi,
dan tingkat pembelajaran optimal.
Respon emosional: perilaku ototmatis, sedikit tidak sabar,
aktivitas menyendiri, terstimulasi dan tenang.
Kecemasan sedang
Respon fisik: ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital
meningkat, pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering
mondar-mandir, memukulkan tangan, suara berubah:
bergetar, nada suara tinggi, kewaspadaan dan
ketegangan meningkat, sering berkemih, sakit kepala,
pola tidur berubah dan nyeri punggung.
Respon kognitif: lapang persepsi menurun, tidak
perhatian secara selektif, focus terhadap stimulus
meningkat, rentang perhatian menurun, penyelasaian
masalah menurun, dan pembelajaran terjadi dengan
memfokuskan.
Respon emosional: tidak nyaman, mudah tersinggung,
kepercayaan diri goyah, tidak sabar, dan gembira.
Kecemasan berat
Respon fisik: ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak
mata buruk, pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat,
nada suara tinggi, tindakan tanpa tujuan dan serampangan,
rahang menegang, menggertakkan gigi, kebutuhan ruang
gerak meningkat, mondar-mandir, berteriak, meremas
tangan dan gemetar.
Respon kognitif: lapang persepsi terbatas, proses berpikir
terpecah-pecah, sulit berpikir, penyelesaian masalah buruk,
tidak mampu mempertimbangkan informasi, hanya
memperhatikan ancaman, preokupasi dengan pikiran sendir
dan egosentris.
Respon emosional: sangat cemas, agitasi, takut, bingung,
merasa tidak adekuat, menarik diri, penyangkalan dan
ingin bebas.
Panik
Respon fisik: flight, fight, atau freez,, ketegangan otot
sangat berat, agitasi motorik kasar, pupil dilatasi, tanda-
tanda vital meningkat kemudian menurun, tidak dapat
tidur, hormone stress dan neurotransmitter berkurang,
wajah menyeringai dan mulut ternganga.
Respon kognitif: persepsi sangat sempit, pikiran tidak
logis, terganggu, kepribadian kacau, tidak dapat
menyelesaikan masalah, focus pada pikiran sendiri, tidak
rasional, sulit memahami stimulus eksternal, halusinasi,
waham dan ilusi mungkin terjadi.
Respon emosional: merasa terbebani, merasa tidak mampu,
tidak berdaya, lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah,
sangat takut, mengharapkan hasil yang buruk, kaget, takut
dan lelah.
Menurut Hawari (2008), keluhan-keluhan yang sering
dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan
kecemasan antara lain sebagai berikut:
Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya
sendiri, mudah tersinggung.
Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang mengangkan.
Gangguan kosentrasi dan daya ingat.
Keluhan-keluhan somatik ,misalnya rasa sakit pada otot
dan tulang, pendengaran berdenging (tinnitus), berdebar-
debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan
perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.
Mekanisme Kecemasan
respon sistem saraf otonom terhadap kecemasan menimbulkan
aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam pertahanan
diri. Serabut saraf simpatis berhubungan langsung dengan organ
yang dituju serta mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap tanda
bahaya untuk mepersiapkan pertahanan tubuh (Videbeck, 2008),.
Efek dari reaksi saraf otonom meliputi peningkatan frekuensi nadi
dan pernafasan, relaksai otot polos pada kandung kemih, dilatasi
pupil dan mulut kering (Smeltzer dan Bare, 2010). Kelenjar
adrenal akan mengeluarkan epinefrin yang menyebabkan tubuh
mengambil lebih banyak oksigen, mendilatasi pupil dan
meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil
membuat kontriksi pembuluh darah perifer dan memirau darah dai
sistem gastroinstestinal dan reproduksi serta meningkatkan
glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna menyokong jantung,
otot dan sistem saraf pusat (Videbeck, 2008).
Menurut Smletzer dan Bare (2010), jalur neural dan
neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan
diaktifkan dalam respon stress. Cemasa adalah reaksi
yang normal terhadap stress dan ancaman bahaya.
Hipotalamus dan sistem limbik mengatur emosi dan
beberap kegiatan viseral yang diperlukan untuk bertahan
hidup. Hipotalamus mensekresi Corticotropin Realeasing
Factor yang akan menstimulasi pituitary anterior untuk
memproduksi adenocorticotropic hormone (ACTH).
ACTH akan menstimulasi pituitary anterior untuk
memproduksi glukokortikoid terutam kortisol. Kortisol
akan menstimulasi katabolisme protein, pelepasan asam
amino oleh hepar dikonversi menjadi glukosa
(glukoneogenesis) dan menghinbisi ambilan glukosa oleh
berbagai sel tubuh selain otak dan jantung.
Penatalaksanaan Kecemasan
Menurut Pangkalan Ide (2008), penatalaksanaan kecemasan
dibagi sebagia berikut:
Psikotherapi

Istilah ini digunakan untuk banyak sekali metode


pengobatan gangguan kejiwaan dan emosi, lebih banyak
pada teknik-teknik psikologi daripada melaui obat-obatan
atau pengobatan fisik. Ada dua jenis psikotherapi dalam
menghadapi kecemasan. Keadaan ini mencakup psikotherapi
wawasan dalam dan psikotherapi pendukung.
Yoga dan Meditasi

Yoga dan meditasi bisa melemaskan otot-otot dan


meningkatkan pikiran. Banyak studi menunjukkan, orang
yang melakukan meditasi secara teratur memproduksi lebih
sedikit hormone stress.
Terapi Musik
Terapi instrument tertentu yang disukai membuat diri menjadi
lebih rileks. Music dengan tempo 60-70 ketukan merupakan
mimic yang baik dan bisa meredakan ketegangan,
menurunkan tekanan darah, dan meningkatkan sistem imun.
Terapi Mijat

Menurut studi yang di publikasikan dalam internasional


journal of neuroschance dalam pangkal ide (2008), terapi
pijat dalam 30 menit dapat menurnkan kadar kortisol,
hormone pemicu stress, hingga hamper menjadi sepertiga.
Obat-obatan

Obat-obatan, diantaranya clobazam, bromazepam, lorazepam,


buspiron HCL, meprobamate, alprazolam, chlordiazepoxide
HCL, oxazolam, hidroxyzine HCL, dan kava-kava rhizome
dapat menurunkan tingkat kecemasan.
Latihan fisik
Melakukan latihan fisik 30 menit dapat menstimulasi
pelepasan hormon endofrin dan menrunkan hormnon
kortisil di dalam tubuh. Berkurangnya kadar kortisol di
dalam tubuh akan menyebakan kesimbangan mental. Ketika
mengalami kecemasan, individu menggunakan berbagai
mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya
ketidakkemapuan mengatasi cemas secara konstruktif
merupakan penyebab utama perilaku patologis. Kecemasan
ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar.
Cemas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme
koping (Stuart, 2003).
f. Skala pengukuran tingkat kecemasan
Menurut Hawari (2018), untuk mengetahui sejauh mana derajat
kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali
menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal dengan nama
Halmiton Anexiety Rating Scile (HARS). Alat ukur ini terdiri dari 14
aspek penilaian dan interfal skor 0-56. Dari 14 aspek penilaian tersebut
adalah perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan
kecemasan, perasaan depresi, gejala somatic atau fisik (otot), gejala
somatic atau fisik (sensorik), gejala kardivaskular, gejala respiratori,
gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, dan tingkah
laku. Masing-masing kelompok di beri penilaian angka (skor) antara 0-4
yang artinya adalah: 0=tidak ada gejala, 1=gejala ringan, 2=gejala
sedang, 3=gejala berat dan 4= gejala berat sekali. Masing-masing skor
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan dapat diketahui tingkat
kecemasan seseorang. Skor kurang dari empat belas yang artinya tidak
memiliki gejala cemas, 14-20 cemas ringan, 21-27 cemas sedang, 28-41
cemas berat dan 42-56 cemas berat sekali. Kelompok gejala yang
masing-masing dirinci lagi dengan gejala-gejala yang spesifik.
2.4 Hubungan Kecemasan dengan Mekanisme Koping
Keluarga Pasien Sindrom Koroner Akut
Sindrom Koroner Akut ( SKA) atau ACS ( Acute Coronary
Syndrome ) merupakan kondisi umum yang muncul sebagai
komplikasi pada penderita penyakit jantung coroner dan
diperkirakan akan menjadi penyebab utama kematian.
Penyakit SKA mempunyai dampak tidak hanya terhadapat
penderitanya namun bisa juga terjadi kepada keluarganya,
salah satunya yaitu keremasan keluarga. Penderita yang
mengalami serangan jantung sering dihadapkan pada
kemungkinan perubahan pola hidup sehari-hari dan kondisi ini
akan dipengaruhi oleh berat dan kompleksitas penyakitnya.
Hal ini dapat diketahui lebih jauh dengan mengenal suami,
istri dan keluarganya serta kehidupan bermasyarakat dari
pasien ( Dewi & Boestan dalam Yusran Hasymi, 2009 ).
Untuk menghadapi keadaan yang cemas dan penuh stress
tersebut keluarga harus beradabtasi dengan stressor. Respon
adaptif psikologis terhadap stressor disebut juga sebagai
mekanisme koping. Mekanisme koping dilihat sebagai
proses yang dinamis dari usaha pemecahan masalah.
Perilaku koping sebagai respon yang dimunculkan akan
berbeda antara individu satu dengan individu lain.
Perbedaan kemampuan yang dimiliki masing- masing
individu akan memunculkan mekanisme yang berbeda
koping pula. Respon individu dapat bervariasi tergantung
pengetahuannnya tentang perilaku koping baik adaptif
maupun maladaptif ( Ihdaniati dan Winarsih, 2008 ).
2.2 Kerangka Teori
Faktor yang
mempengar Sindrom Koroner
uhi Akut (SKA)
kecemasan:
•Potensi
stressor Mekanisme Koping keluarga:
Kecemasan •Adaptif
•Maturitas Keluarga
•Status •Maladaptif
pendidikan
dan Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping:
ekonomi •Faktor internal: umur, kepribadian, intelegensi,
•Keadaan
pendidikan, nilai, kepercayaan, budaya, emosi,
fisik kecemasan dan kognitif.
•Sosial •Faktor eskternal: dukungan sosial, lingkungan,
budaya keadaan keuangan dan penyakit.
•Lingkunga
n dan
2.3. Kerangka Konsep
Pasien Sindrom Koroner Akut
(SKA)

Kecemasan Mekanisme
Keluarga Koping Keluarga

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Hubungan Kecemasan denan Mkeanisme


Koping Keluarga Pasien Sindrom Koroner Akut
Keterangan:

Variabel yang diteliti


Variabel yang tidak
diteliti
Hubungan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif korelasional yang
bertujuan untuk mencari hubungan antara kecemasan dengan
mekanisme koping pada keluarga pasien Sindrom Koroner Akut.
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan rancangan cross
sectional. Cross sectionaladalah jenis penelitian yang menekankan
pada waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat dan tidak ada tindak lanjut,
dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel
dukungan keluarga dan tingkat depresi hanya satu kali pada satu saat
(Nursalam 2008).
3.2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini populasinya
adalah seluruh keluarga pasien dengan Sindrom Koroner Akut yang
dirawat di Ruang ICCU BRSUD Tabanan dengan jumlah tiga bulan
terakhir yaitu dari bulan September sampai bulan November 2020
sebanyak 70 orang.
b. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat
digunakan sebagai subjek penelitian melalui teknik sampling (Nursalam,
2008). Dalam penelitian keperawatan, kriteria sampel terdiri dari kriteria
inklusi dan eksklusi yang menentukan dapat dan tidaknya sampel
tersebut digunakan (Hidayat, 2011). Dari penelitian ini, peneliti ingin
mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme
koping keluarga pasien Sindrom Koroner Akut yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian
ini menggunakan rumus besar sampel (Nursalam, 2008) yaitu:
n = N. z2, p.q.
d2 (N-1) + z. p.q
Keterangan:
n = perkiraan jumlah sampel
N = jumlah populasi (populasi rata-rata perbulan)
d = tingkat signifikansi yang digunakan (d untuk 0,1)
z = nilai standar normal untuk α untuk 0,05 (1,96)
p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q = 1-p

Berdasarkan data yang didapat, diketahui bahwa jumlah pasien Sindrom


Koroner Akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan tiga
buln terakhir sebanyak 90 orang. Sehingga dengan menggunakan rumus diatas
didapatkan:
n =90.(1,69)2 (0,5)(0,5)
0,12 (90 – 1) + 91,96)2 (0,5)(0,5)
n = 46, 48 orang
n = 47 orang
Berdasarkan ketentuan tersebut, jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 47 orang. Pada penelitian ini, keluarga
pasien Sindrom Koroner Akut diinklusi dan eksklusi kemudian
keluarga yang telah memenuhi syarat tersebut dipilih sebagai sampel
dalam penelitian. Berikut ini adalah kriteria insklusi dan eksklusi dari
penentuan sampel penelitian.
1) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu:
a) Pasien jantung dengan diagnosa UAP, STEMI, dan NSTEMI
b) Keluarga pasien Sindrom Koroner Akut yang bisa membaca dan
menulis
c) Keluarga pasien Sindrom Koroner Akut yang bersedia menjadi
responden
2) Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu:
a) Pasien jantung dengan diagnosa UAP, STEMI, dan NSTEMI yang
tidak tinggal dengan keluarga
3) Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik Nonprobability Sampling yaitu
Consecutive Sampling untuk menyeleksi sampel yang diteliti.
Consecutive Sampling adalah pemilihan sampel dengan menetapkan
subjek yang memenuhi kriteria penelitian yang dimasukan dalam
penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah responden
dapat terpenuhi.

3.3. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2021 yang akan
dilakukan di Ruang ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan.

Anda mungkin juga menyukai