◦ Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau ACS (Acute Coronary
Syndrome) merupakan kondisi umum yang muncul sebagai
komplikasi pada penderita penyakit jantung koroner. SKA
merupakan salah satu manifestasi dari kelainan arteri
koroner yang disebabkan karena pengurangan pasokan
oksigen secara akut atau subakut pada miokard dan dipicu
oleh plak ateroskleorotik (Depkes, 2013). Menurut Osborn
(2010), SKA meliputi angina pectoris tidak stabil, infark
miokard dengan elevasi ST (STEMI) dan infark miokard
tanpa eleavasi ST (NSTEMI).
Penyakit jantung dan pembuluh darah seperti SKA diperkirakan akan
menjadi penyebab utama kematian secara menyeluruh dalam waktu 15
tahun mendatang, meliputi Amerika, Eropa, dan sebagian besar Asia. Hal
tersebut dimungkinkan dengan adanya peningkatan prevalensi penyakit
kardiovaskuler secara cepat di negara-negara berkembang dan negara
Eropa Timur. Selain itu, gagal jantung merupakan penyakit yang paling
sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit (redmission)
meskipun pengetahuan rawat jalan telah diberikan secara optimal
(Ardiansyah, 2012).
◦ Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi tujuan
umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum
Untuk mengetahui Hubungan antara Tingkat Kecemasan
dengan Mekanisme Koping Keluarga Pasien Sindrom
Koroner Akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD
Kabupaten Tabanan.
Tujuan Khusus:
Mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga pasien
sindrom koroner akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD
Kabupaten Tabanan.
Mengidentifikasi mekanisme koping keluarga pasien
sindrom koroner akut yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD
Kabupaten Tabanan.
Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping keluarga pasien sindrom koroner akut
yang dirawat di Ruang ICCU BRSUD Kabupaten Tabanan.
◦ Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut:
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian bisa sebagai referensi dalam pembelajaran
khususnya pada bidang keperawatan intensif serta
pengembangan penelitian terhadap pengembangan sumber
daya keperawatan. Penelitian ini juga dapat dijadikan dasar
membuktikan teori-teori mengenai kecemasan dan
mekanisme koping sebagai dampak dari situasi tertentu
yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian bermanfaat terhadap pemilihan alternative
tindakan keperawatan khususnya kepada keluarga yang
mengalami kecemasan sehingga mampu memberikan
dukungan terhadap proses kesembuhan pasien. Menambah
wawasan dan pengetahuan dalam menyusun standar
operasional prosedur terhadap penanganan kecemasan di
rumah sakit. Di samping itu Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat bermanfaat terhadap masyarakat
khususnya keluarga pasien untuk mengidentifikasi
mekanisme koping yang dilakukan ketika mengalami
kecemasan ketika ada anggota keluarga yang mengalami
penyakit yang berat.
◦ Keaslian Penelitian
Penelitian ini belum pernah dilakukan di BRSUD Kabupaten Tabanan,
Namun ada beberapa yang variabel yang hampir sama dengan
penelitian ini yaitu:
Djoni Ransun, dkk (2013), melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif di Irna F BLU RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandau Manado” Jenis penelitian deskriptif analitik terhadap 30
responden. Instrumen kuisioner kecemasan HRS-A dan kuesioner
mekanisme koping COPE. Analisis menggunakan uji Chi Square
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien CHF (p = 0,004 < a = 0,05) OR = 12.
Kesimpulan tingkat kecemasan pasien CHF terbukti berhubungan
dengan mekanisme koping dimana tingkat kecemasan ringan 12 kali
mengalami koping adaptif daripada tingkat kecemasan sedang. Saran:
peningkatan pemahaman pasien CHF perlu mendapat perhatian dan
dukungan baik dari keluarga, maupun praktisi kesehatan agar dapat
meningkatkan mekanisme koping.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulastin (2005), dengan
judul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Propil
Tekanan Darah Pada Pasien Pre Operasi Trans Ureter
Resection Prostat di IBS RSUD dr. Moerwardi Surakarta.”
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif non eksperimen
dengan desain deskriptif korelatif dengan rancangan cross
sectional. Tingkat kecemasan diukur dengan kuesioner.
Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan yang
bermakna antara tingkat kecemasan dengan propil tekakan
darah pada pasien pre operasi Trans Ureter Resection
Prostat. Pasien yang mengalami kecemasan, tekanan
darahnya cenderung meningkat secara signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dhodo Prasetyo Wibowo (2016),
dengan judul “Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Koping
Keluarga Pada Pasien Cidera Kepala di Ruang ICU RS Surakarta”
Metode Penelitian ini menggunakan penelitian non eksperimental
dengan pendekatan kuantitatif dengan rancangan diskriptif korelatif
desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Sampel
dalam peneltian ini berjumlah 44 responden. Teknik Analisis data
dengan uji Kendall Tau, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara tingkat kecemasan keluarga dengan mekanisme koping yang
digunakan oleh keluarga, dengan asumsi penelitian ordinal dan
nominal. Berdasarkan hasil analis uji korelasi Kendall tau diperoleh
nilai r = -0.539 dengan p = 0,001. Nilai p< 0,05 menunjukkan bahwa
H0 ditolak artinya ada hubungan antara kecemasan dengan koping
keluarga pada kasus cedera kepala di ruang ICU RSI Surakarta.
Perbedaan penelitian ini menggunakan subjek keluarga pasien
penyakit jantung di Ruang perawatan ICCU, instrumennya memakai
kuesioner DASS dan Suart,G.W. dengan tekhnik analisis data yang
berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3) Hipertensi
Berbagai studi observasional telah menunjukkan bahwa tekanan
darah yang tinggi memiliki hubungan yang kuat terhadap risiko PJK.
Hubungan ini dijumpai baik pada usia tua maupun usia yang lebih
muda serta jenis kelamin laki-laki maupun wanita. Bahkan individu
yang memiliki sedikit peningkatan tekanan darah di bawah kriteria
hipertensi (tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan/atau diastolik
85-89 mmHg) diketahui memiliki peningkatan risiko untuk
terjadinya PJK (Panel, 2012).
Pada penderita hipertensi terjadi peningkatan kadar
angotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat yang
berpengaruh terhadap proses aterogenesis dengan
menstimulasi pertumbuhan dari otot polos. Hipertensi juga
mempunyai aktivitas pro inflamasi, meningkatkan
pembentukan hydrogen peroksida, radikal bebas anion
superoxide dan radikal hidroksil pada plasma. Substansi
tersebut akan menekan pembentukan nitric oxide pada
endotel sehingga terjadi peningkatan adesi leukosit, serta
meningktnya resistensi pembuluh darah perifer (Ceriello,
2008).
4) Hiperlipidemia
Studi pada binatang maupun manusia menunjukkan bahwa kondisi
hiperplidemia/hiperkolesterolemia dibutuhkan untuk terjadinya proses
aterogenesi. Studi epidomolgi mendapatkan kadar kolesterol LDL (low
density lipoprotein) yang tinggi memegang peranan penting sebagai
komponen aterogenik yang utama. Infiltrasi dan retensi kolesterol LDL
memicu respon inflamasi pada dinding vascular (Hansson, 2005).
Proses oksidasi dan enzimatik memodifikasi kolesterol LDL menjadi LDL
yang teroksidasi (ox-LDL) di tunika intima dan menyebabkan pelepasan
fosfolipid. Fosfolipid mengaktivasi sel endotel terutama di tempat terjadinya
shear stress. Kondisi ini akan menginduksi sel endotel untuk
mengekspresikan molekul adesi leukosit dan gen inflamasi. Molekul adesi
leukosit mempengaruhi monosit dalam sirkulasi terutama di bagian endotel
terkativitas untuk menempel dan selanjutnya bermigrasi melewati inter-
endothelial junctions menuju subendotelial. Monosit/makrofag menangkap
ox-LDL melalui reseptor scavenger dan membnetuk foam cell. Akumulasi
lipid dan shear stress inilah yang memicu proses inflamasi pada dinding
arteri (Hansson, 2005).
5) Merokok
Merokok telah sejak lama diketahui sebagai salah satu contributor
terkuat terhadap risiko penyakit kardiovaskular khususnya PJK.
Hubungan antara merokok dengan risiko PJK adalah berbanding
lurus dengan banyaknya paparan (dose dependent). Merokok
memicu terbentuknya radikal bebas dan menimbulkan stres
oksidatif yang menyebabkan terjadinya disfungsi edontel (Panel,
2012).
6) Faktor risiko lain
Faktor risiko lain yang diperkirakan meningkatkan risiko
terjadinya PJK meliputi obesitas, kurang olahraga, serta diet yang
aterogenik. Obestias abdominal adalah akumulasi lemak
abdominal., diidentifikasi dengan lingkar perut, yang merupakan
parameter body fat/visceral fat. Obesitas abdominal dan innate
immunity memegang peranan penting pada proses inflamasi,
resistensi insulin dan sindroma metabolik (Jiamsripong dkk, 2008).
c. Patofisiologi SKA
1) Proses aterosklerosis
Ateroskleosis merupakan penyebab terbanyak dari PJK, penyakit arteri
karotis, dan penyakit arteri perifer (Libby, dkk, 2011). Keberadaan suatu
plak aterosklerosis sendiri jarang menimbulkan sesuatu yang fatal. Kondisi
ini menjadi sesuati yang berpotensi mengancam jiwa, seperti pada SKA,
bila terjadi proses thrombosis akut akibat plak yang pecah atau mengalami
erosi (Thim, dkk, 2008). Aterosklerosis merupakan penyakit
imunoinflamasi kronik pada pembuluh arteri sedang dan besar akibat
akumulasi lipid yang mengakibatkan terjadinya fibroproliferasi pada
dinding arteri (Falk, 2006). Proses aterosklerosis dimulai sejak awal
kehidupan dan terus berlanjut dengan berjalannya waktu. Pada individu
yang rentan atau terpapar faktor risiko proses perkembangan plak
aterosklerosis hingga menimbulkan obstruksi atau plak yang rentan
mengalami thrombosis (vulnerable plaque) membutuhkan waktu puluhan
tahun. Proses aterosklerosis diawali dengan disfungsi endotel pada arteri
koroner. Faktor-faktor risiko seperti diabetes, hipertensi,
hiperkolesterolemia, dan merokok dapat merusak endotel pembuluh darah
dan menimbulkan disfungsi endotel (Kumar dan Cannon, 2009).
Perkembangan proses aterosklerosis selanjutnya sebagian
besar dipengaruhi oleh proses inflamasi. Endotel yang
mengalami disfungsi menarik sel-sel inflamasi, terutama
monosit, untuk bermigrasi menuju endotel yang rusak
(Libby, dkk, 2009). Di dalam subendotelium monosit
berubah menjadi makrofag dan kemudian memfagosit LDL
teroksidasi (ox-LDL) yang telah juga memasuki dinding
arteri. Makrofag kemudian berubah menadi sel-sel busa
(foam cell) yang membentuk cikal bakal plak ateroma yang
disebut fatty streak. Makrofag yang teraktivasi melepaskan
sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang berfungsi
menarik lebih banyak makrofag dan sel otot polos menuju
lokasi terbentuknya plak (Libby, dkk, 2010).
2) Plak yang tidak stabil
Komposisi plak aterosklerosis sangat heterogen bahkan
pada individu yang sama sekalipun. Demikian pula
stabilitas dari suatu plak aterosklerosis bervariasi antara
satu plak dengan plak yang lainnya. Suatu plak
dikatakan tidak stabil (vulnerable plaque) dan berisiko
tinggi untuk mengalami ruptur bila memiliki
karakteristik sebagai berikut: inti lipid yang besar,
selaput fibrosa (fibrous cap) yang tipis, jumlah
makrofag dan limfosit T yang banyak, jumlah seloto
polos yang sedikit, meningkatnya ekspresi matrix
metalloproteinase, remodeling eksentrik ke luar lumen
pembuluh darah, dan peningkatan neovaskularisasi dan
perdarahan di dalam plak (Kumar dan Cannon, 2009).
3) Trombosis akut
Patogenesis SKA melibatkan hubungan kompleks antara
endothelium, sel-sel inflamasi, dan trombogenisitas darah. Lesi
koroner yang non-kritikal pada angiografi (stenosis <50% dari
diameter pembuluh darah) bila mengalami gangguan dapat
berkembang dengan cepat menjadi stenosis berat atau total oklusi.
Proses ini bertanggung jawab terhadap 2/3 dari semua kasus SKA
yang terjadi (Kumar dan Cannon, 2009).
Studi otopsi mendapatkan rupture plak sebagai dasar dari 75%
infark miokard akut yang fatal, sedangkan 25% lainnya disebakan
oleh erosi pada permukaan endotel plak. Setelah suatu plak
mengalami ruptur atau erosi maka matriks subendotel yang kaya
akan tissue factor (suatu prokoagulan yang kuat) akan terpapar
aliran darah. Paparan ini akan merangsang adesi dan aktivasi
platelet yang selanjutnya yang akan menyebabkan agregasi platelet
membentuk thrombus (Kumar dan Cannon, 2009).
Terdapat dua jenis trombus yang mungkin terbentuk, yaitu
tombus yang kaya platelet (white thrombus) dan trombus
yang kaya fibrin (red thrombus). White thrombus terbentuk
pada area dengan shear stess yang tinggi dan menyebabkan
oklusi sebagian dari lumen arteri. Red thrombus terbentuk
akibat aktivasi kaskade koagulasi dan menyebabkan
penuruan darah di arteri. Red thrombus sering kali ikut
menggumpal di sekitar white thrombus sehingga
menyebabkan oklusi total pada lumen pembuluh darah
(Kumar danCannon, 2009).
Starifikasi Risiko SKA
Pasien SKA yang datang kerumah sakit pertama kalinya
dapat memiliki presentasi klinis yang berbde-beda mulai
dari manifestasi keluhan yang ringan hingga komplikasi
yang mengancam nyawa. Kondisi saat awal saat
hospitalisasi dapat berubah secara drastis baik selama
periode perawatan maupun pasca keluar rumah sakit. Hal
ini disebababkan karena SKA merupakan kondisi koroner
tidak stabil yang dinamis yang rentan terjadi untuk iskemia
berulang dan berbagai komplikasi fatal jangka pendek
maupun jangka panjang (Hamm, dkk, 2011).
Penatalaksanaan pasien SKA harus melibatkan
penilaian prognosis untuk menentukan pasien mana
yang memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga dapat
diberikan intervensi yang tepat. Stratifikasi risiko dapat
dilakukan dengan cara penilaian risiko secara klinis,
petanda biokimia, atau system skor. Stratifikasi risiko
ini tidak hanya menilai risiko jangka pendek pada
pasien SKA namun juga risiko jangka panjang (Hamm,
dkk, 2011).
Klasifikasi SKA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardigram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut
dibagi menjadi:
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI:
ST segment elevation myocardial infarction)
Infark miokard dengan non elevasi segmen ST
9NSTEMI: non ST segment elevation myocardial
infarction)
Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pectoris
akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Diagnosis NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inverse gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
nomalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangklan angina
pectoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan bedasarkan kejadian
infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-
MB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,
maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen
ST Non Elevasi (Non ST-elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). Pada sindrom koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberap unit melebihi nilai normal atas (upper
limits of normal, ULN). Jika dalam pemeriksaan EKG
awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara
angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang
10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien
dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap enam jam
dan setiap terjadi angina berulang. (Hamm, dkk, 2011).
Komplikasi SKA
Disfungsi Ventrikular
Kecemasan Mekanisme
Keluarga Koping Keluarga