Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke adalah suatu keadaan dimana sel-sel otak mengalami kerusakan

karena kekurangan oksigen yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah

ke otak. Stroke terbagi menjadi dua kategori diantaranya yaitu stroke iskemik

(85%) dan stroke hemoragik (15%). Stroke iskemik diakibatkan oleh adanya

sumbatan pada pembuluh darah yang menyebabkan jaringan otak kekurangan

oksigen. Stroke hemoragik disebabkan oleh adanya pendarahan yang berkaitan

dengan pecahnya pembuluh darah di otak. Apabila aliran darah ke otak

mengalami gangguan, maka otak akan mengalami gangguan kekurangan oksigen.

Hal ini akan menyebabkan gangguan fungsi di bagian otak dan dapat

menimbulkan gangguan fisik dalam jangka waktu yang panjang bahkan kematian

(Smeltzer & Bare, 2010). Stroke merupakan 10% penyebab kematian di seluruh

dunia dan menjadi penyebab keenam dari kecacatan (disability), tidak

adanya penanggulangan dan pencegahan yang

tepat. Stroke dapat menjadi penyebab keempat dari kecacatan pada tahun 2030

yang akan datang (Arofah, 2011, dalam Riyanto, 2017). Menurut World Health

Organization (WHO), 15 juta orang menderita stroke di seluruh dunia setiap

tahun. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan

5 juta lainnya dinonaktifkan secara permanen. Tekanan darah tinggi

menyumbang lebih dari 12,7 juta stroke di dunia. Kematian stroke

di Eropa sekitar 650.000 setiap tahun. Di negara maju, angka kejadian stroke

menurun, sebagian besar karena upaya untuk menurunkan tekanan darah dan

1
2

mengurangi merokok. Namun, tingkat keseluruhan stroke tetap tinggi karena

penuaan penduduk (WHO, 2016). Stroke merupakan salah satu penyebab

kematian dan kecacatan yang utama di Indonesia. Provinsi Jawa Barat dalam

rentang tahun 2013-2018 didapatkan data pada tahun 2013 penderita stroke 7%

dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 10,9% (Riset Kesehatan Dasar, 2018).

Akibatnya timbulah berbagai macam gejala sesuai dengan daerah otak

yang terlibat, seperti kehilangan fungsi motorik (hemiplegi), juga kehilangan

komunikasi atau kesulitan berbicara (disartria), gangguan persepsi, kerusakan

fungsi kognitif..dan efek psikologik, atau disfungsi kandung kemih, bahkan

pasienpun mengalami keadaan bedrest total bahkan sampai koma yang dapat

mengancam jiwa (Muhlisin, 2013; Kanggeraldo, 2018). Dari uraian di atas gejala-

gejala tersebut sangat berbahaya. Dapat disimpulkan dari uraian diatas, jika pasien

telah mengalami gejala-gejala tersebut maka akan membutuhkan bantuan

perawatan baik oleh perawat maupun oleh keluarga yang merawatnya,

dikarenakan bedrest total sehingga segala kebutuhan yang harus terpenuhinya

harus dibantu.

Pengobatan stroke seperti diketahui memerlukan penanganan jangka

waktu yang lama (seumur hidup), karena stroke hanya dapat dikurangi bukan

dihilangkan. Namun masih terdapat juga penderita yang melakukan pengobatan

tidak teratur. Penanggulangan stroke harus dilakukan secara berkesinambungan,

oleh karenanya peran keluarga sangat penting untuk membantu pasien dalam

merubah pola kebiasaan hidup keluarga, perawatan dan pengobatan secara teratur

(Setiadi, 2012). Pengobatan dengan jangka panjang, contohnya seperti pengobatan

fisioterapi, yang dimana pengobatan tersebut dapat terlaksanakan apabila

penderita stroke tersebut


3

mempunyai motivasi dan dukungan yang kuat dari keluarga yang merawatnya

(Damayanti, 2007; Hidayat, 2015).

Ketika keluarga sedang merawat pasien stroke, akan timbul penderitaan

dan ketegangan, karena stres itu dapat ditimbulkan karena masalah kesehatan.

Setiap penyakit, berat atau ringan (Hartono, 2007). Ketika ada salah satu anggota

keluarga yang sakit, pasti seluruh anggota keluarga akan menjadi stres dan tidak

bisa tidur pulas. Stres yang normal itu merupakan suatu reaksi alamiah yang

berguna, karena stres dapat mendorong kemampuan seseorang untuk dapat

mengatasi kesulitan ataupun masalah kehidupan. Tetapi, jika tekanan stres

terlampau besar sehingga melampaui daya tahan seseorang, maka dapat

menimbulkan gejala-gejala contohnya sakit dibagian kepala, mudah marah, tidak

dapat tidur, gejala-gejala tersebut yaitu reaksi non-spesifik dari pertahanan diri

dan ketegangan jiwa.

Secara patofisiologi timbulnya stres itu, berawal dari ketegangan jiwa

yang akan merangsang kelenjar anak ginjal untuk melepaskan hormon

adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat, sehingga

tekanan darah menjadi naik, lalu aliran darah ke otak, paru-paru, dan otot

perifer meningkat. Apabila stres berlangsung dalam waktu yang cukup lama,

tubuh akan berusaha mengalami penyesuaian sehingga timbul perubahan

patologis berupa hipertensi, dan serangan jantung. Jika hipertensi sudah timbul,

sedangkan stres tetap berkelanjutan akan timbul komplikasi serangan jantung

(Hartono, 2007). Stres dapat bersumber dari dalam diri individu, dan sumber stres

dapat berasal pula dari keluarga (Fajriyati & Asyanti, 2017).


4

Sebelum timbul komplikasi kesehatan yang serius akibat stres, ada gejala-

gejala awal berupa gangguan fisik ataupun mental. Beberapa gejala awal akibat

dari stres dapat terbagi menjadi keluhan somatik, psikis, dan juga gangguan

psikomotor. Keluhan somatik atau sakit seperti contohnya nyeri dada, sakit

kepala, dan gangguan cerna. Sedangkan keluhan psikis berupa putus asa, mudah

marah, sedih, selalu tegang, dan merasa bersalah (Hartono, 2007).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ilma (2017) menemukan

bahwa, tingkat stres family caregiver menunjukkan bahwa hampir setengah dari

responden sebanyak 38 orang (49,3%) memiliki tingkat stres sedang, sebagian

dari responden yaitu 30 orang (40,3%) memiliki tingkat stres ringan dan hanya

sebagian kecil dari responden yang memiliki tingkat stres berat yaitu 8 orang

(10,4%). Penelitian tersebut dilakukan kepada family caregiver pasien stroke yang

mengunjungi poli saraf dan rehabilitasi medis di RSUD Sayang di Cianjur. Hasil

penelitian tersebut menyebutkan bahwa, keluarga yang merawat pasien stroke

mengalami stres dikarenakan beban yang tinggi ketika merawat anggota keluarga

yang sakit. Hal tersebut terjadi dikarenakan, ketika merawat anggota keluarga

yang menderita stroke d irumah, keluarga yang merawat tersebut selain merawat

juga melakukan pekerjaan rumah yang lainnya. Sehingga, apabila pekerjaan

rumahnya tidak ada yang membantu, maka timbulah stres dalam merawat pasien

stroke tersebut.

Penelitian yang telah dilakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya,

karena penelitian yang telah dilakukan di ruang rawat inap pasien stroke, yang

dimana keluarga melakukan perawatan kepada pasien stroke di rumah sakit.

Peneliti ingin mengetahui apakah keluarga yang merawat pasien stroke di rumah
5

sakit khususnya di ruang rawat inap lebih tinggi tingkat stresnya dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya yang dimana keluarga tersebut merawat pasien

stroke di rumahnya.

Keluarga sangat berperan dalam rehabilitasi pasien paska stroke, karena

pemulihan pasien akan sangat terbantu jika keluarga memberikan dorongan,

memperlihatkan kepercayaan pada perbaikan pasien, dan memungkinkan pasien

melakukan sebanyak mungkin kegiatan yang dapat mereka lakukan dan hidup

semandiri mungkin (Feigin et al., 2007; Astuti, 2010). Pemberian bantuan dan

perawatan kepada penderita stroke membutuhkan alokasi waktu yang banyak,

pikiran, tenaga, emosi dan juga memiliki orientasi pemenuhan kebutuhan pada

keluarga yang merawat (Lutz & Young, 2010). Dapat disimpulkan dari penelitian

diatas bahwa stres keluarga disebabkan oleh faktor tingkat kemandirian pasien,

dimana pasien stroke benar-benar ketergantungan kepada keluarga yang

merawatnya, sehingga keluarga harus mempunyai banyak waktu untuk merawat

pasien stroke tersebut. Dari uraian tersebut dapat mempengaruhi munculnya stres

pada keluarga ketika merawat anggota keluarga yang menderita stroke (Losada,

Perez, Sanchez, Marcos, Rios, Carrera et al., dalam Okoye & Asa, 2011). Ketika,

keluarga yang merawat itu muncul stres dalam batas wajar/normal, maka stres

tersebut tidak akan berpengaruh buruk terhadap diri keluarga yang merawat pasien

stroke tersebut. Stres yang berpengaruh buruk terhadap diri keluarga yang

merawat penderita stroke itu apabila muncul stres yang berlangsung lama.

Epidemiologi pembelajaran mengenai seseorang yang menderita stroke

dan keluarga yang merawat penderita stroke menemukan aspek stres berat yang

dihadapi oleh keluarganya (Haley et al., 2009; Godwin, 2012). Pada penelitian
6

Godwin (2012) menemukan, kemungkinan keluarga yang merawat pasien stroke

mengalami stres itu dikarenakan keluarga yang merawat pasien stroke berfokus

pada kebutuhan dasar pada pasien stroke yang harus terpenuhi. Banyak penderita

stroke yang berjuang untuk hidup dengan penyakit stroke yang dideritanya

dialihkan pemberian keperawatannya kepada anggota keluarganya sehingga

menyebabkan terjadinya ketegangan fisik dan emosional yang signifikan (Visser-

Meily et al., 2006; Godwin, 2012).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 2 November 2018 di

RSUD dr. Slamet Garut, terdapat data pasien stroke pada tahun 2017 baik yang

rawat jalan maupun yang rawat inap sebanyak 683 orang. Berikut data stroke

pasien rawat inap di ruang Cempaka bulan Oktober 2018 terdapat 76 pasien.

Didapatkan hasil dari ruang Cempaka terdapat 10 penyakit terbanyak, stroke

menduduki urutan pertama di Ruang Cempaka. Berdasarkan hasil wawancara

yang dilaksanakan oleh peneliti di Ruang Cempaka RSUD dr. Slamet Garut pada

lima anggota keluarga yang merawat pasien stroke. Tiga anggota keluarga

mengatakan bahwa mereka merasa cemas, lelah, dan kesulitan untuk tidur ataupun

beristirahat karena terus menerus menjaga dan memberikan bantuan kepada

pasien stroke tersebut, karena pasien tersebut sangat bergantung kepada

keluarganya. Sehingga, berdampak buruk kepada pasien stroke tersebut, yaitu bisa

mengakibatkan motivasi pasien untuk sembuh menurun, dan merasa dukungan

keluarga kurang. Pasien mengatakan tidak ada harapan untuk sembuh seperti

semula. Kemudian, dua orang anggota keluarga lainnya mengatakan merasa tidak

begitu kelelahan dalam merawat pasien stroke dikarenakan saling bergantian

merawat pasien tersebut dengan anggota keluarga lainnya. Apabila, penderita

stroke tidak mendapatkan perawatan dari anggota


7

keluarganya, maka akan berdampak lebih buruk terhadap motivasi pasien stroke

tersebut terhadap kesembuhannya. Dari uraian diatas dapat diketahui, jika

keluarga yang merawat telah timbul tanda-tanda stres ketika merawat, maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran tingkat stres

keluarga yang merawat anggota keluarga penderita stroke di Ruang Cempaka

RSUD dr. Slamet Garut, berada di tingkat manakah stres keluarga yang merawat

anggota keluarga penderita stroke tersebut. Ruangan Cempaka RSUD dr. Slamet

Garut merupakan stroke center yang berada di RSUD dr. Slamet tersebut. Ketika

keluarga yang merawat di Ruangan Cempaka itu mengalami stres, dapat menjadi

suatu kekhawatiran bagi perbaikan kondisi pasien, jangan sampai keluarga

menjadi sakit karena merawat anggota keluarganya yang sakit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena dalam latar belakang peneliti menemukan rumusan

masalah yaitu “bagaimanakah gambaran tingkat stres keluarga yang merawat

anggota keluarga penderita stroke di Ruang Cempaka RSUD dr. Slamet Garut.”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat stres keluarga

yang merawat anggota keluarga penderita stroke di Ruang Cempaka RSUD dr.

Slamet Garut.

1.3.2 Tujuan Khusus


8

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat stres keluarga

yang merawat anggota keluarga penderita stroke di Ruang Cempaka RSUD dr.

Slamet Garut.

1. Mengetahui tingkat stres keluarga yang merawat dalam kategori ringan.

2. Mengetahui tingkat stres keluarga yang merawat dalam kategori sedang.

3. Mengetahui tingkat stres keluarga yang merawat dalam kategori berat.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan khususnya tentang stres

keluarga yang merawat anggota keluarga penderita stroke di rawat inap rumah

sakit.

1.4.2 Praktis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi

perawat agar lebih menyadari kondisi keluarga pasien stroke tersebut sehingga

dapat memberikan dan mengembangkan intervensi keperawatan yang tepat.

1.5 Kerangka Pemikiran


9

Stroke mengakibatkan gangguan jangka panjang dalam sistem saraf dan

atau gangguan kognitif sehingga dapat memunculkan beban baik bagi penderira

stroke maupun keluarga yang merawatnya. Dampak yang dialami pasien dapat

terjadi secara fisik maupun emosional. Dampak fisiknya tersebut ialah paralisis,

kelemahan otot, kekakuan otot, afasia, disartria, disfagia, perubahan kognitif,

contohnya seperti kehilangan memori, ketidakmampuan menyelesaikan masalah,

kemudian dampak emosional tersebut ialah depresi, cemas, sulit mengontrol

emosi, apatis, marah, frustasi, perubahan kepribadian, dan menunjukkan

minat yang kurang pada aspek yang dulu disukai (Stroke Association, 2015).

Keluarga sangat berperan dalam rehabilitasi pasien paska stroke, karena

mempengaruhi asuhan pada penderita stroke. Pemulihan pasien akan sangat

terbantu jika keluarga memberikan dorongan, memperlihatkan kepercayaan

pada perbaikan pasien, dan memungkinkan pasien melakukan sebanyak mungkin

kegiatan yang dapat mereka lakukan dan hidup semandiri mungkin (Feigin et

al., 2007; Astuti, 2010). Peran baru sebagai seorang keluarga yang merawat

penderita stroke merupakan peran yang harus dilakukan oleh keluarga.

Jumlah dan durasi yang dibutuhkan dalam perawatan, tanggung jawab

terhadap pasien stroke dan berkurangnya waktu yang tersedia untuk memikirkan

kesehatan, dan kegiatan sosial masing-masing keluarga yang memberikan

perawatan dapat menyebabkan menurunnya sumber daya fisik, psikologis dan

sosial dari keluarga yang merawat penderita stroke tersebut (Pierce et al., 2012,

dalam Cheng et al., 2014). Tingkatan stres dalam penelitian ini terbagi dalam tiga

tingkatan, yaitu ringan, sedang, dan berat yang disesuaikan dengan hasil ukur

kuisioner Kingston Caregiver Stress Scale (KCSS). Kerangka pemikiran

penelitian
10

ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres keluarga yang

merawat anggota keluarga penderita stroke di Ruang Cempaka RSUD dr. Slamet

Garut.
1

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Hal yang terjadi atau dampak pada penderita stroke yang menyebabkan keluarga menjadi stres
Dampak bagi pasien baik fisik maupun emosional.
Dampak jangka
Jumlah biaya.
panjang dari
STROKE Perawatan stroke memerlukan waktu yang lama.
Ketergantungan pasien terhadap keluarga.
penyakit Stroke

Stres keluarga yang merawat pasien stroke


Ringan

Sedang

Berat

Mempengaruhi asuhanyang
diberikan keluargapadapasien
stroke

Keterangan : Diteliti

Sumber : (Cheng et al.,


Tidak 2014), (Stroke Association, 2015), dan (Feigin et al., 2007;
Diteliti
Astuti, 2010).

Anda mungkin juga menyukai