Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP KELUARGA DALAM PELAKSANAAN

ROM PADA PASIEN STROKE DI RUANG FLAMBOYAN 2 RSUD SALATIGA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke merupakan penyebab utama kematian ketiga yang paling
sering setelah penyakit kardiovaskuler di Amerika Serikat (WHO, 2014).
Angka kematiannya mencapai 160.000 per tahun dan biaya langsung
sebesar 27 milyar dolar AS setahun. Insiden bervariasi 1,5 – 4 per 1000
populasi. Selain penyebab utama kematian juga merupakan penyebab
utama kecacatan. Data beberapa rumah sakit besar di Indonesia
menunjukkan bahwa jumlah pasien stroke senantiasa meningkat,
diperkirakan hampir 50 % ranjang bangsal pasien saraf diisi oleh
penderita stroke, yang didominasi oleh pasien dengan usia lebih dari 40
tahun (Handayani, 2013). Studi Framingham juga menyatakan, insiden
stroke berulang dalam kurun waktu 4 tahun pada pria 42 % dan wanita
24 % (Lamsudin, 1998 dalam Handayani, 2013).
Stroke disebabkan oleh gangguan suplai darah ke otak, biasanya
karena pembuluh darah semburan atau diblokir oleh gumpalan darah. Ini
memotong pasokan oksigen dan nutrisi, menyebabkan kerusakan pada
jaringan otak (WHO, 2014). Gejala yang paling umum dari stroke adalah
kelemahan mendadak atau mati rasa wajah, lengan atau kaki, paling
sering pada satu sisi tubuh. Gejala lain termasuk: kebingungan, kesulitan
berbicara atau memahami pembicaraan; kesulitan melihat dengan satu
2
atau kedua mata; kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan
atau koordinasi; sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya;
pingsan atau tidak sadarkan diri.
Ketidakmampuan pasien stroke untuk mobilisasi dapat
mengganggu sistem metabolisme tubuh, ketidak seimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal,
perubahan kulit, perubahan eliminasi, perubahan sistem
muskuloskleletal, perubahan perilaku, dan lain sebagainya (Hidayat,
2006).
Beberapa rehabilitasi yang umum dilakukan pada pasien stroke
antara lain rehabilitasi emosi dengan melatih pasien untuk mengontrol
emosi, rehabilitasi sosial untuk mempersiapkan pasien untuk kembali
dalam lingkungan sosial pasca stroke, rehabilitasi fisik untuk melatih
kekuatan otot dan sendi agar tidak terjadi kekakuan otot dan sendi
maupun atropi otot sebagai akibat komplikasi dari stroke sehingga pasien
pasca stroke mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan
melakukan aktifitas sehari-hari tanpa harus menjadi beban bagi
keluarganya.
Penelitian Maimurahman dan Fitria (2012) menemukan bahwa
sesudah dilakukan terapi ROM, derajat kekuatan otot pasien stroke
termasuk kategori derajat 2 (mampu mengerakkan persendian, tidak
dapat melawan gravitasi) hingga derajat 4 (mampu menggerakan sendi,
dapat melawan gravitasi, kuat terhadap tahanan ringan).
3
Rehabilitasi fisik merupakan tindakan rehabilitasi yang
pertamakali dilaksanakan setelah pasien melawati masa kritis dengan
memperhatikan keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Berbagai
tindakan yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medik terdapat tiga hal
yaitu rehabilitasi medikal, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi vokasional.
Rehabilitasi medikal bertujuan untuk mengembalikan kemampuan fisik
pada keadaan semula sebelum sakit dalam waktu sesingkat mungkin.
Salah satu caranya adalah dengan range of motion (ROM) adalah latihan
gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan
otot dimana klien menggerakkan persendiannya sesuai gerakan normal
baik aktif ataupun pasif (Potter and Perry, 2006). Tujuan ROM adalah
untuk mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, memelihara
mobilitas persendian, melancarkan sirkulasi darah dan mencegah
kelainan bentuk (Wirawan, 2009).
Hasil penelitian Sonatha dan Gayatri (2012) menunjukkan bahwa
pengetahuan keluarga akan mempengaruhi kesiapan anggota keluarga
dalam memberikan perawatan stroke. Pengetahuan memiliki peran yang
sangat besar bagi keluarga dalam memberikan perawatan pasien stroke,
pengalaman sebelumnya menjadi dasar pengetahuan yang baik bagi
keluarga.
Kehadiran keluarga disamping pasien merupakan aspek positif
yang dapat dimanfaatkan keberadaannya oleh tenaga kesehatan, supaya
kehadiran keluarga disamping pasien memberikan arti, bukan hanya
4
sekedar mendampingi selama di rumah sakit, tetapi keluarga mampu
berperan maksimal dalam perawatan pasien. Keluarga yang belum
mendapatkan informasi tentang ROM dapat diberikan informasi serta
pelatihan sederhana yang dapat dilakukan oleh fisioterapis ataupun oleh
perawat, sehingga banyaknya waktu luang yang dimiliki keluarga dapat
dimanfaatkan untuk memberikan latihan ROM secara benar dan
bermanfaat bagi pasien.
Fungsi perawatan kesehatan keluarga bukan hanya fungsi esensial
dan dasar keluarga, namun fungsi yang mengemban fokus sentral dalam
keluarga yang berfungsi dengan baik dan sehat. Akan tetapi memenuhi
fungsi perawatan kesehatan bagi semua anggota keluarga akan menemui
kesulitan akibat adanya tantangan eksternal dan internal (Friedman,
Bowden & Jones, 2003 dalam Ramlah, 2011). Fungsi perawatan
kesehatan keluarga diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan
kesehatan seluruh anggota keluarga, tetapi pada kenyataannya tidak
semua keluarga memahami dengan baik dalam melaksanakan tugas
kesehatan keluarga khususnya yang berkaitan dengan kejadian
pengabaian lansia.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting pada perawatan
pasien stroke. Pemenuhan kebutuhan pasien penyandang stroke pada
umumnya dibantu oleh anggota keluarga. Hal ini dikarenakan stroke
survivor pada umumnya tinggal bersama keluarga. Perawatan pasien
stroke yang dilakukan oleh keluarga harus dilakukan secara baik dan
5
benar. Keluarga yang akan memberikan perawatan pasien stroke perlu
mendapatkan pengetahuan yang benar. Oleh karena itu, tenaga kesehatan
khususnya perawat diharapkan meningkatkan edukasi kepada setiap
keluarga selama proses perencanaan pemulangan (discharge planning)
dari rumah sakit. Bentuk edukasi yang perlu diajarkan perawat berupa
ajakan kepada keluarga untuk tetap menjalin hubungan dekat dengan
pasien pasca stroke, mengerti akan keterbatasan pasien, dan bentukbentuk
perawatan pasien pasca stroke di rumah.
Terdapat beberapa penelitian yang menggambarkan kondisi
keluarga dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang
terkena stroke. Penelitian Smith, dkk (2004) pada 90 orang keluarga
dekat penderita stroke menunjukkan bahwa 32,2% mengalami
kecemasan terkait kondisi stroke penderita, 33,3% merasa kesehatannya
menurun, dan 14,4% mengalami depresi ringan. Smith mengatakan
kondisi keluarga menjadi cemas terhadap kondisi pasien pasca stroke.
Peran keluarga dapat ditingkatkan melalui pembelajaran yang diberikan
oleh perawat selama keluarga mendampingi perawatan pasien di rumah
sakit. Pembelajaran kepada keluarga dapat diberikan melalui bentuk
pendidikan kesehatan secara spesifik pada masalah stroke.
Merawat penyandang stroke secara langsung akan berdampak
pada tersitanya waktu keluarga penyandang stroke. Penelitian Van Exel,
et al (2005) pada 151 pasien stroke dan keluarganya menunjukkan bahwa
seorang keluarga penderita stroke rata-rata menghabiskan waktu 3,4 jam
6
sehari untuk bersama pasien stroke (mengantar kedokter, mandi, dan
berpakaian), dan 10,8 jam sehari untuk mengawasi pasien
stroke (mengawasi saat jalan dan makan). Selain itu, keluarga
(suami/istri, anak,dan kerabat lainnya) juga akan mengalami masalah
kesehatan baik fisik, mental, maupun sosial.Anggota keluarga tidak
jarang mengalami gangguan tidur, baik karena kelelahan maupun karena
stres karena mereka selalu menunggu pasien sembuh.
Upaya untuk meminimalkan dampak lanjut dari stroke tersebut
sangat diperlukan dukungan dari keluarga, baik dalam merawat maupun
dalam memberi dukungan baik secara fisik maupun psikologis, sehingga
pasien stroke dapat mengoptimalkan kembali fungsi dan perannya. Tanpa
pengetahuan dalam merawat pasien stroke maka keluarga tidak akan
mengerti dalam memberikan perawatan yang memadai dan dibutuhkan
oleh penderita stroke. Keluarga perlu mengetahui akibat yang
ditimbulkan oleh penyakit stroke serta kemungkinan komplikasi yang
akan terjadi pasca stroke, kesembuhan pasien juga akan sulit tercapai
optimal jika keluarga tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk
memperbaiki kondisi penyakit pasien setelah terjadi stroke dan
perawatan apa yang sebaiknya diberikan untuk keluarganya yang
mengalami stroke (Yastroki, 2011).
Ruang Flamboyan 2 di RSUD Salatiga merupakan ruang rawat
inap kelas tiga dengan kapasitas 30 tempat tidur dengan jumlah perawat
15 orang yang merawat pasien dengan kasus bedah dan gangguan sistem
7
persyarafan, termasuk pasien stroke. Jumlah pasien stroke selama tahun
2014 yang dirawat di ruang Flamboyan 2 sejumlah 188 penderita. Di
RSUD Salatiga latihan ROM biasa dilakukan hanya oleh fisioterapis
dengan frekuensi 1 kali sehari selama 15 menit.Keluarga pasien stroke
cenderung menyerahkan sepenuhnya latihan gerak sendi atau ROM
kepada petugas kesehatan dirumah sakit.
Menurut wawancara yang peneliti lakukan pada tiga keluarga
pasien stroke, mereka menyampaikan bahwa secara umum belum
mengetahui manfaat dan cara melakukan latihan ROM. Ketiga pasien
yang dilakukan wawancara mengatakan belum pernah diberikan
informasi mengenai kegiatan ROM tersebut, keluarga hanya mampu
memberikan latihan ROM sebatas pengetahuan mereka yang diperoleh
dengan memperhatikan petugas rehabilitasi medik saat melatih keluarga
mereka yang menderita stroke. Keluarga hanya mengerti bahwa latihan
ROM sekedar menekan dan meluruskan tangan dan kaki yang
mengalami kelemahan.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti selama di ruang stroke,
kebanyakan keluarga dari pasien stroke hanya menunggu dan
mendampingi pasien selama masa perawatan di rumah sakit. Keluarga
memberikan bantuan pemenuhuan kebutuhan dasar pasien seperti mandi,
makan, gosok gigi, buang air, pindah posisi dan ganti pakaian. Jarang
sekali keluarga pasien melatih pergerakan anggota gerak atas maupun
bawah pada pasien stroke. Secara umum keluarga belum mengetahui
8
manfaat dan cara melakukan latihan ROM. Keluarga memberikan latihan
ROM sebatas pengetahuan mereka yang diperoleh dengan
memperhatikan petugas rehabilitasi medik dengan sekedar menekuk dan
meluruskan tangan atau kaki saja.
Pentingnya pengetahuan dan sikap keluarga dalam pelaksanaan
ROM pada pasien stroke guna mencegah kecacatan dan mengembalikan
kemampuan penderita stroke dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
maka penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan Antara Pengetahuan
Dengan Sikap Keluarga Dalam Pelaksanaan ROM Pada Pasien Stroke di
Ruang Flamboyan 2 RSUD Salatiga”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka
dapat dirumuskan masalah penelitiannya sebagai berikut: Apakah ada
hubungan antara pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pelaksanaan
ROM pada pasien stroke di RSUD Salatiga?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara pengetahuan dengan sikap
keluarga dalam pelaksanaan ROM pada pasien stroke di Ruang
Flamboyan 2 RSUD Salatiga.
9
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik responden meliputi usia, pendidikan
dan pekerjaan.
b. Mengetahui gambaran pengetahuan keluarga tentang latihan
ROM di Ruang Flamboyan 2 RSUD Salatiga.
c. Mengetahui distribusi sikap keluarga pasien stroke di Ruang
Flamboyan 2 RSUD Salatiga.
d. Menganalisis hubungan antara pengetahuan dengan sikap
keluarga dalam pelaksanaan ROM pada pasien stroke di Ruang
Flamboyan 2 RSUD Salatiga.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi rumah sakit
Meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan bagi
penderita stroke yang mengalami kelemahan anggota gerak dan
sendi.
1.4.2 Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan
pengetahuan bagi masyarakat terutama keluarga yang memiliki
anggota keluarga menderita stroke berkaitan dengan latihan
pelaksanaan ROM pada pasien stroke.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi
institusi pendidikan dalam pembelajaran mata kuliah neurologi.
10
1.4.4 Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan fungsi kemandirian keluarga
selama mendampingi pasien dirawat dirumah sakit.
1.4.5 Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan
pengetahuan bagi peneliti dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan
terhadap keluarga pasien.

Anda mungkin juga menyukai