BAB 1
PENDAHULUAN
Secara gasis besar uraian diatas membuktikan bahwa kecatatan akibat stroke
memang dapat menurunkan kualitas hidup penderita stroke, baik dari aspek
fisik, psikologis, fungsional dan sosial. Perubahan kemampuan dan stres yang
dirasakan penderita stroke setelah serangan menjadi faktor utamanya. Hasil
temuan ini menjadikan dasar kekhawatiran lainnya, dimana meningkatnya
angka kejadian stroke terutama kasus baru, memungkinkan bertambah pula
penderita stroke yang sembuh tetapi menderita kecacatan. Irfan (2012) dalam
bukunya menguraikan rata-rata tingkat kejadian stroke mencapai 114 per
100.000 orang, dengan sekitar 75% adalah orang yang pertama kali terkena
serangan stroke dan 25% adalah dengan stroke berulang.
2
angka stroke mencapai 739 kasus, tahun 2017 meningkat menjadi 4.603 kasus
dan tahun 2018 meningkat kembali menjadi 9.361 kasus. Data hasil rekapan
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan juga menunjukan bahwa ibu
Kota Provinsi yaitu Kota Banjarmasin menjadi peringkat pertama kasus
stroke dari 13 kabupaten di Kalimantan Selatan sejak tahun 2016 hingga
tahun 2018 (DINKESPROV-KALSEL, 2019).
Data stroke dari salah satu rumah sakit rujukan utama di Kota Banjarmasin
yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin tercacat sejak
tahun 2012-2015 telah merawat ±1.601 pasien dengan stroke (Basit &
Rahmiyani, 2017). Data Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin (2018)
menunjukan kejadian stroke di Kota Banjarmasin hingga 2018 mencapai
4.046 jiwa dan menduduki peringkat 3 dari 11 Penyakit Tidak Menular
(PTM) di Kota Banjarmasin. Peningkatan angka ini terjadi karena adanya
jumlah penderita dengan kasus lama yang masih terdiagnosa stroke dan
menjalani rehabilitasi ditambah dengan kasus stroke yang baru terdiagnosa.
Hal ini tergambar dari data Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin yaitu dari
4.046 jiwa sekitar 2.436 jiwa dengan kasus lama dan 805 jiwa dengan kasus
baru. Jumlah kematian penderita stroke hanya mencapai 15 jiwa, berarti
terdapat ±4.031 jiwa penderita stroke yang kemungkinan besar saat ini
sembuh dengan kondisi kecacatan (Banjarmasin, 2019). Tingginya angka
stroke yang sembuh dengan kondisi kecacatan inilah yang menjadi masalah
karena Handayani & Dewi (2009) menyebutkan dalam penelitiannya,
penderita stroke yang mengalami gejala sisa berupa kecacatan akan sangat
berdampak pada kualitas hidup penderita tersebut.
3
Support system yang baik dan positif dari keluarga sangat penting untuk
membantu proses penyembuhan/pemulihan akibat penyakit stroke (Maria,
2014), karena keluarga seharusnya mampu memberikan rasa nyaman, rasa
percaya, empati dan perhatian dari anggota keluarganya karena adanya ikatan
(Dewi & Darliana, 2017). Hal ini diperkuat dengan hasil temuan penelitian
Moral-Fernandez, et al (2018), yang mengungkapkan bahwa keluarga
harusnya memiliki rasa tanggung jawab dan keluarga juga berkewajiban
untuk terlibat langsung dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarganya
dengan stroke dengan dasar sikap kepedulian.
Fenomena masalah yang muncul saat saat ini adalah peran dan dukungan
keluarga di Banjarmasin cukup rendah terutama ketika merawat dan merawat
anggota keluarga dengan stroke (Basit & Rahmayani, 2017). Keluarga juga
beberapa kali merasa emosional ketika memberi dukungan bagi penderita
stroke (Audia, Ivana, & Maratning, 2016). Pengalaman peneliti sendiri yang
pernah terlibat langsung dalam membantu perawatan pasien stroke di RSUD
Ulin Banjarmasin, menemukan beberapa anggota keluarga menunjukan sikap
negatif selama merawat anggota keluarganya dengan stroke. Keluarga sering
menunjukan sikap kurang peduli terutama berkaitan dengan masalah
personal hygene. Keluarga jarang memberikan respon untuk melapor kepada
perawat ketika menemukan pakaian pasien basah dan kotor karena rembesan
air kemih, tempat tidur yang kotor dan berantakan, ataupun ketika leher dan
pipi pasien yang basah karena air liur. Padahal tenaga perawat sendiri dengan
beban kerja yang tinggi mengharapkan sistem dukungan dari keluarga yaitu
dengan melaporkan segala kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan
pasien. Tujuannya agar peran perawat dalam memberikan asuhan dapat
berjalan dengan maksimal walaupun beban kerja yang tinggi (Sari, Syuhaimi,
& Nurhikmah, 2018).
4
Fenomena lainnya adalah respon negatif tersebut mayoritas berasal dari
keluarga inti yang bersuku banjar seperti yang diungkapkan oleh Basit dan
Rahmiyani (2017). Hal ini juga dibuktikan dari hasil studi pendahuluan yang
dilakukan pada 26 September 2019 di Poli Syaraf RSUD Ulin Banjarmasin
dengan mewawancarai 2 partisipan. Kedua partisipan ini merupakan anggota
keluarga inti dari penderita stroke dan bersuku banjar yang saat itu sedang
menemani anggota keluarganya untuk pemeriksaan rutin. Hasil wawancara
didapatkan bahwa anggota keluarga memiliki pengalaman negatif berkaitan
dengan rasa emosional, seperti rasa marah karena merasa terbebani. Rasa
emosional tersebut sering dirasakan oleh anggota keluarga selama merawat
anggota keluarganya dengan kondisi stroke. Seharusnya respon positif yang
ditunjukan oleh keluarga, karena dasar tanggung jawab dan kepedulian serta
nilai budaya yang sudah menjadi warisan. Suku banjar juga memiliki nilai
dari suatu kebudayaan yang berfungsi sebagai pedoman sikap dan perilaku
manusia dan terbentuk dalam tata krama. Salah satu nilai tersebut adalah
berelaan yang berarti ikhlas dan selalu bersyukur atas semua nikmat yang
diberikan Tuhan sebagai bukti hubungan manusia dengan Tuhan. Nilai
lainnya yaitu babuhan, bedingsanakan, betutulungan, bakalah bamanang
yang berarti musyawarah, tolong menolong, penyesuaian diri dalam
perwujudan hubungan manusia dengan sesama manusia (Istiqomah &
Setyobudihono, 2014). Unsur filsafat hidup dalam budaya Banjar juga
menekankan untuk selalu bermanfaat bagi kehidupan orang lain, baik
keluarga dan orang banyak seperti yang tertuang dalam konsep batuah
(Parhani, 2016) . Hal ini juga dibenarkan oleh salah satu tokoh masyarakat
banjar dari Kota Banjarmasin yang menyebutkan budaya banjar menjunjung
tinggi rasa dan sikap kepedulian terhadap sesama manusia terlebih pada
keluarga karena kewajiban dari ajaran Agama.
5
fenomena yang diteliti melalui pengungkapan intuisi peneliti secara
maksimal terhadap fenomena yang diteliti (Afiyanti & Rachmawati, 2014).
Penelitian menggunakan desain fenomenologi ini diharapkan tema-tema
dasar masalah yang ada pada keluarga dapat terkaji lebih dalam berdasarkan
pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarga dengan stroke,
karena keterlibatan keluarga memang sangat diperlukan oleh penderita stroke
terutama dalam membantu penderita karena keterbatasannya (Handayani &
Dewi., 2009).
6
social; 7) Pencegahan bahaya bagi kehidupan manusia, fungsi manusia, dan
kesejahteraan manusia; 8) Promosi fungsi dan perkembangan manusia dalam
kelompok sosial sesuai dengan potensi manusia, keterbatasan manusia yang
dikenal dan keinginan manusia untuk menjadi normal.
7
selama melakukan pendampingan dapat membuka peluang untuk
menentukan cara menyelesaikan masalah , karena keluarga memang
dipersiapkan untuk mampu menjadi caregiver bagi penderita stroke, dengan
dasar tanggung jawab dan panutan budaya setempat. Salah satu pakar teori
keperawatan Dorothea E. Orem dengan self care teory juga menekankan
bahwa kecacatan pada penderita stroke menjadikan penderita ketergantungan
dalam pemenuhan perawatan diri (self care) dan membutuhkan bantuan
keluarga dan/teman untuk memenuhinya.
8
1.3.2.2 Mengeksplorasi kegiatan perawatan dan sikap yang ditunjukan
keluarga suku banjar selama merawat anggota keluarganya
dengan kondisi stroke.
1.3.2.3 Mengeksplorasi perubahan kehidupan keluarga suku banjar
selama merawat anggota keluarganya dengan kondisi stroke.
1.3.2.4 Mengeksplorasi respon hambatan dan tantangan yang dihadapi
keluarga suku banjar selama merawat anggota keluarganya
dengan stroke
1.3.2.5 Mengeksplorasi gambaran tentang dukungan pelayanan
kesehatan yang diterima keluarga suku banjar untuk
mengoptimalkan perawatan anggota keluarganya dengan
stroke
1.3.2.6 Mengeksplorasi gambaran harapan keluarga suku banjar
selama merawat anggota keluarganya dengan stroke.
9
anggota keluarga yang menderita stroke terutama dalam hal perawatan
diri dan bagaimana masyarakat luas nantinya ketika berhadapan dalam
merawat anggota keluarga yang menderita stroke.
10
1.5. Penelitian Terkait
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Tahun dan judul Penelitian Nama Peneliti Metode dan Hasil Perbedaan Penelitian
1 (2010) : Pengalaman Rosyidah Arafat Metode Penelitian : Kualitatif Penelitian mengidentifikasi
Pendampingan Keluarga terdapat 6 tema yang dihasilkan yaitu : pengalaman keluarga dalam
Dalam Merawat Anggota 1. Respon biopsikososiospiritual keluarga merawat anggota
Keluarganya Pada Kondisi 2. Keterlibatan keluarga dalam pendampingan keluarganya dengan kondisi
Vegetative Dalam Konteks perawatan vegetative di ruang
Asuhan Keperawatan di 3. Permasalahan yang dihadapi keluarga ICU/ICCU
RSUP. Fatmawati Jakarta 4. Mekanisme koping keluarga
5. Asuhan kepearwatan yang telah diterima dari
perawat
6. Harapan keluarga dalam melakukan
pendampingan perawatan.
2 (2017) Mohammad Basit Metode Penelitian : Kualitatif Penelitian ini lebih mengarah
The Quality of Life Of Post- & Dini Rahmayani terdapat 3 tema yang dihasilkan yaitu kepada gambaran kualitas
Stroke Patients At The Nerve 1. Rendahnya kualitas hidup pasien pasca stroke hidup pasien
of Ulin General Hospital in 2. Dukungan keperawatan dan peran keluarga
Banjarmasin bagi pasien pasca stroke
3. Peran besar keluarga bagi pasien pasca stroke
3 (2015) Chien-Ning Tseng, Metode Penelitian : Kualitatif Penelitian ini lebih mengarah
A Qualitative Study of Guey-Shiun Huang terdapat 4 tema yang dihasilkan yaitu : kepada mengidentifikasi
Family Caregiver & Meei-Fang Lou 1. Kekacauan pengalaman pengasuh yaitu
Experiences of Managing 2. Hypervigilance keluarga selama merawat
Incontinence In Stroke 3. Kelelahan perawatan pasien stroke
Survivors 4. Tercipatanya kehidupan yang baru dengan inkontinensia urine
11
12