Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan merupakan keadaan dimana pasien memerlukan tindakan medis
secepatnya yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa (nyawa) dan mencegah
terjadinya kecacatan (UU No 44 tahun 2004). Klien yang tidak segera mendapatkan
pemeriksaan dan pertolongan segera pada “the golden time period” akan berakibat
meninggalnya klien. Instalasi gawat darurat (IGD) merupakan unit pelayanan
rumah sakit yang dapat memberikan pelayanan terhadap klien yang mengalami
kegawatdaruratan baik sakit fisik maupun sakit yang diakibatkan oleh kecelakaan
yang telah memenuhi standar, kegawatdaruratan sendiri dapat disebabkan oleh
penyakit, kecelakaan lalu lintas maupun kebakaran

Angka kejadian kegawatdaruratan di dunia sendiri belum pasti, akan tetapi


diperoleh data bahwa kejadian kegawatdarutan mengenai IAH (Intra-abdominal
hypertension) di Uganda menunjukkan bahwa rata – rata usia 14,25 tahun usia
kanak – kanak (25%) dan 34,4 tahun pada orang dewasa (17,4%) dengan usia yang
paling dominan 65 tahun, mengalami kematian pada 6 jam pertama sebesar 2,933%
(Kuteesa et al., 2015). Di Amerika sendiri diperoleh data bahwa setiap 1000
individu sebanyak 421 individu melakukan kunjungan di unit gawat darurat,
dengan kasus berupa cedera ringan, luka terbuka, nyeri dada dan nyeri punggung
(Weiss, Wier, Stocks, & Blanchard., 2014), sedangkan kasus kegawatdaruratan
yang disebabkan oleh ST elevation myocardial Infarction (STEMI) selama 6 tahun
2006-2011 rata – rata ditemukan 258.106 kasus/pertahun (Ward et al., 2015)

Angka kejadian kegawatdarutan di Indonesia menurut Supit, Anggreni & Firdaus


(2013) yang melakukan pengamatan selama 7 hari untuk menilai angka kejadian
henti jantung-paru dan angka kejadian kematian selama 24 jam di ruang perawatan
kritis RSCM yang dinilai berdasarkan kriteria kode TMRC (Tim Medis Reaksi
Cepat) ditemukan 428 kasus selama 8 hari dan didapatkan 30% pasien yang
mengalami kematian yang diakibatkan oleh henti jantung. Kasus kecelakaan lalu
lintas (KLL) didapatkan 622 kasus selama tahun 2013, adapun angka kejadian

1
Universitas Indonesia
2

hidup tertinggi pada kecelakaan lalu lintas di IGD BLU RSUP Prof. R. D. Kandou
Manado tertinggi bulan april 2013 yaitu sebesar 11,57 % (68 orang) (Sondakh,
Siwu, & Mallo, 2013). Hal ini juga dipengaruhi oleh peningkatan kejadian cedera
secara nasional meningkat sebanyak 0,7 % (sebelumnya 7,5% menjadi 8,2%)
dengan prevalensi teringgi di Sulawesi selatan (12,8%) dengan penyebab tertinggi
yaitu jatuh sebanyak 40,9 % dan kecelakaan sepeda motor sebesar 40,6 %, dengan
angka kejadian tertinngi di Nusa Tenggara Timur sebanyak 55,5% (Riskesdas,
2013)

Kejadian kegawatdaruratan terhadap salah satu individu yang ada dalam keluarga
secara langsung akan berpengaruh terhadap anggota keluarga (caregiver) yang lain.
Hal ini karena kejadian kegawatdaruratan merupakan salah satu bentuk stressor
bagi keluarga, sedangkan keluarga sendiri merupakan suatu sistem yang
mempunyai hubungan sebab akibat, saling ketergantungan dan saling berinteraksi
maka apabila ada anggota keluarga menderita suatu penyakit (sakit) akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga yang lain (Friedman, Bowdens & Jones,
2010). Penilaian keluarga terhadap stressor kejadian kegawatdaruratan sangat
dipengaruhi oleh respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku
dan respon sosial (Stuart, 2015).

Kecemasan dan stress merupakan respon yang sering dihadapi oleh keluarga
(caregiver) ketika mengahadapi kegawatdaruratan, hal ini dikarenakan ketika
individu menghadapi situasi kegawatdaruratan akan menggunakan energy
emosional yang lebih daripada yang mereka sadari. Filho, Xavier, Vieira (2008)
melakukan penelitian kualitatif terhadap keluarga yang anggota keluarganya
mengalami kecelakaan lalu lintas dan dirawat di IGD mengungkapkan bahwa
mereka merasa cemas, depresi, sedih, takut, dan kuatir mengenai kondisi
keluarganya tersebut. Hal ini diperkuat oleh penelitian Jabre et. al (2013) yang
menemukan bahwa anggota keluarga yang masuk di IGD dan tidak mendampingi
anggota keluarganya dalam tindakan resusitasi mereka merasakan kecemasan yang
tinggi.

Universitas Indonesia
3

Smith et al., (2010) menyatakan bahwa keluarga yang keluarganya mengalami


gejala akut penyakit terminal di unit gawat darurat mengalami kecemasan, hal ini
disebabkan oleh waktu lama untuk menunggu dan ketidakpastian mengenai
perawatan dirumah sakit. Zdravkovic (2012) menambahkan kecemasan banyak
berkaitan dengan penyakit, proses hospitalisasi, dan lamanya menjalani rawat inap

Akan tetapi kenyataan berbeda ditemukan Annisa, Chayati, & Musharyanti (2014)
bahwa keluarga (caregiver) yang menunggu anggota keluarganya di UGD sebagain
besar (60,3%) tidak mengalami kecemasan dan sisanya (39,7%) mengalami
kecemasan ringan. Hal ini didukung oleh temuan Simamorra (2012) bahwa
keluarga pasien yang anggota keluarganya dilakukan perawatan kegawatdaruratan
setengah responden mengalami kecemasan ringan (27,3%), lebih dari setengah
responden mengalami kecemasan sedang (51,5%), dan sebagian kecil responden
mengalami kecemasan berat (12,1%) dan 9,1 % tidak mengalami kecemasan. Hal
ini menunjukkan bahwa keluarga (caregiver) yang anggota keluarganya mengalami
keadaan kritis (terminal) ataupun mengalami kegawatdaruratan tidak selalu
mengalami kecemasan ataupun stress

Kecemasan dan stress biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor


psikologis ataupun faktor kepribadian, Selain itu juga bisa disebabkan oleh beban
yang ditanggung keluarga (caregiver) berupa durasi penyakit dan usia caregiver
(Ampalam, Gunturu, & Padma, 2012). Selain itu juga tingkat kecemasan dan stress
dapat dipengaruhi oleh sumber koping individu, apabila individu mempunyai
koping yang baik maka akan mampu mengontrol kecemasan yang dimiliki dan
dapat mencegah individu tersebut dalam keadaan yang lebih buruk lagi (Davis,
2009)

Koping merupakan suatu upaya secara terus menerus baik perilaku dan kognitif
dalam mengelola stressor yang muncul baik dari internal maupun eksternal
(Fitzpatrick, & Wallace, 2011). Adapun Sumber koping (faktor pelindung) yang
dapat digunakan dalam keluarga yaitu keyakinan spiritual, keterampilan
penyelesaian masalah, keterampilan sosial, modal material, pengetahuan dan
intelegensi, identitas ego yang kuat, komitmen pada jaringan, stabilitas budaya,

Universitas Indonesia
4

sistem nilai dan keyakinan yang stabil serta orientasi kesehatan yang bersifat
preventif (Stuart,2015). Hasil ini sesuai dengan penelitian Peni (2014) yang
menunjukkan bahwa tingkat kecemasan keluarga yang anggota keluarga
mendapatkan perawatan di ruang intensif care unit dipengaruhi oleh faktor
hubungan keluarga dengan pasien serta mekanisme koping yang digunakan oleh
keluarga.

Sumber koping yang dimiliki keluarga jika tidak dapat digunakan secara optimal
dalam mengahadapi stressor (kecemasan dan stress) yang muncul, maka secara
otomatis mekanisme koping yang ada dalam individu keluarga akan berespon
terhadap stressor yang ada. Mekanisme koping merupakan upaya yang dilakukan
untuk mengelola stress yang bersifat konstruktif ataupun destruktif (Stuart, 2015).
Mukwato, Mweemba, Makukula, & Makoleka (2010) mengungkapkan bahwa
mekanisme koping yang dapat digunakan dalam merawat anggota keluarga yang
sakit yaitu: mencari dukungan sosial, berdoa pada Tuhan, memberikan sugesti atau
afirmasi positif, dan mencari informasi dan pengetahuan. Adapun pendapat
(Carver, 1997) bahwa secara umum mekanisme koping yang biasa digunakan
adalah problem focused coping yang hasilnya cenderung mengarah kehasil positif
jika dibandingkan dengan emotion focused coping, yang lebih banyak
menggunakan emosional dan penghindaran

Mekanisme koping yang dibawa oleh pikiran seseorang secara sadar tidak
semuanya membawa koping positif (konstruktif), melainkan ada bebarapa jenis
mekanisme koping negatif (maladaptif/destruktif) yang mengkutinya. Mekanisme
koping maladaptif disebut juga sebagai “Non Coping” karena seseorang merespon
dengan mekanisme koping akan tetapi secara positif tidak mampu menangkal
stressor atau memecahkan situasi stress (Sincero, 2013). Hal ini senada dengan
O'Doherty & Doherty (2008) menemukan keluarga yang mempunyai anak retradasi
mental mayoritas keluarga menggunakan strategi koping dengan perilaku aktif,
kadang-kadang dikombinasikan dengan aktif kognitif atau strategi menghindar. Hal
ini didukung temuan Shyhrete Rexhaj, Python, Morin, Bonsack, & Favrod (2013)
bahwa gambaran jenis penyakit mempengaruhi gaya koping caregiver, adapun

Universitas Indonesia
5

mekanisme koping yang banyak digunakan adalah kekerasan, penghindaran dan


pasrah terhadap kondisi.

Mekanisme koping yang kurang tepat dapat mengakibatkan kecemasan maupun


stress keluarga tidak dapat teratasi dengan baik, sehingga dapat mengakibatkan
kecemasan yang kronik (kecemasan menyeluruh) dan dapat berlangsung seumur
hidup, Buccelleti at. al (2013) melakukan penelitian 2001-2009 terhadap 469
responden, didapatkan sebanyak 108 (23.0%) masih mengalami kecemasan, 361
(77.0%) berlanjut ke panic, dan 18 (16.7%) mengalami gangguan kardiovaskuler.
Penelitian epidemiologis menyebutkan rata-rata tingkat kejadian gangguan panik
seumur hidup adalah sebesar 2-4 % dan rata-rata kejadian selama satu tahun adalah
sebesar 2%. Gangguan panik seringkali berkomplikasi dengan gangguan depresif
mayor (50-65% tingkat komorbiditas seumur hidup) disusul oleh penyalahgunaan
alcohol dan zat terlarang. Gangguan panik pada umumnya dijumpai bersamaan
masalah kecemasan lainnya, termasuk phobia sosial (sampai 30%), gangguan
cemas umum (s/d 25%), phobia khusus (s/d 20 %) dan gangguan obsesif kompulsif
(s/d 10 %) (DSM-IV).

Mekanisme koping merupakan pilihan atau strategi dalam merespon stressor yang
muncul dari situasi kondisi kegawatdaruratan, yang mana hal ini tidak terlepas dari
pengaruh standar keselamatan pasien (patient safety) yang ada di rumah sakit,
standar keselamatan pasien di rumah sakit salah satunya adalah standar keselamatan
pasien dan kesinambungan pelayanan (Depkes, 2006). Yang mana standar tersebut
berkaitan erat dengan sikap perawat, menurut Woitalangi (2012) dan Setiowati,
Allenidekania, & Sabri (2013) perawat memilki sikap sangat mendukung terhadap
patient safety (51,5%), akan tetapi pengetahuan perawat masih kurang terhadap
patient safety (84,8%) tersebut, untuk meningkatkan patient safety diperlukan
peningkatakan pengetahuan head nurse dan juga pelatihan mengenai budaya
patient safety. Dengan standar pelayanan keselamatan pasien dapat meningkatkan
mutu pelayanan, hal ini berarti menunjukkan bahwa semakin baik mutu pelayanan
maka secara tidak langsung patient safety juga semakin tinggi (Astuti, 2013).

Universitas Indonesia
6

Mutu pelayanan rumah sakit yang tinggi harus didukung oleh kemampuan tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, salah satunya adalah pelayanan
keperawatan. Dengan pelayanan keperawatan yang baik dan sesuai standar yang
ada, maka kualitas pelayanan juga akan semakin meningkat. Sikap caring perawat
juga merupakan cerminan dari pelayanan yang diberikan, sikap caring juga
merupakan tolak ukur mutu pelayanan keperawatan dan dapat juga meningkatkan
kepuasan pasien (Wicaksono & Prawesti, 2012; Mony & Afandi, 2014). Selain itu
juga dengan perawat berperilaku caring dapat menurunkan tingkat kecemasan
keluarga yang anggota keluarga mendapatkan perawatan di rumah sakit, seperti
halnya temuan Setyawan (2014) bahwa perawat yang mempunyai perilaku caring
baik mempunyai dampak terhadap penurunan tingkat kecemasan ibu yang anaknya
dirawat di rumah sakit. Hal ini senada dengan pendapat Philips (2003) bahwa
pelayanan keperawatan dengan pendekatan caring dapat mengurangi tingkat
kecemasan dan tingkat stress terhadap keluarga.

Perilaku caring yang ditunjukan perawat terhadap keluarga selain berpengaruh


terhadap tingkat kecemasan dan stress, dapat juga berdampak terhadap mekanisme
koping keluarga. McKay, Rajacich, & Rosenbaum (2002) menyebutkan bahwa
keluarga yang mendampingi keluarganya yang sakit sangat memerlukan sikap
caring, sehingga keluarga mampu memberikan perhatian terhadap keluarganya.
Hal ini dikarenakan keluarga merupakan suatu sistem yang tidak terpisahkan antara
anggota keluraga, sehingga apabila ada anggota keluarga yang sakit maka akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. Termasuk dalam penentuan
pengambilan keputusan penanganan pasien gawat darurat tidak terlepas dari peran
keluarga (caregiver). Kitter & Sharman (2015) menyatakan bahwa peran caregiver
akan menentukan kualitas hidup pasien dengan cedera kepala, mempengaruhi
rehabilitasi pasca cedera kepala dan juga akan menentukan tingkat keparahan
cedera kepala. Hal ini didukung oleh Hwang, Fleischmann, Esquivel, Stotts, &
Dracup (2011) dengan adanya caregiver dapat meminimalkan dampak negative
terhadap pasien dengan gagal jantung setelah mendapatkan perawatan di rumah
sakit

Universitas Indonesia
7

Studi pendahuluan yang dilakukan pada Maret 2016 didapatkan data bahwa
terdapat 11559 kasus di UGD RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dengan
perincian 5373 kasus baru dan 6186 kasus lama (kunjungan). Dari interview awal
yang dilakukan terhadap kepala ruangan bahwa tindakan yang diberikan kepada
keluarga yang masuk IGD hanya sebatas pemberian informasi secara umum
mengenai ruang perawatan, tindakan keperawatan maupun informasi mengenai
penyakit dan tindakan medis yang harus dilakukan. Untuk informasi ruang
perawatan keluarga memperoleh dari staff pendaftaran IGD, sedangkan mengenai
informasi penyakit dan tindakan medis disampaikan oleh tim medis yang ada
diruangan. Hal ini senada yang disampaikan oleh perawat pelaksana bahwa
keinginan/harapan terbesar dari keluarga saat anggota keluarga masuk di IGD
adalah kejelasan mengenai ruangan, keadaan anggota keluarga dan dapat
mendampingi anggota keluarganya yang sakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perilaku caring perawat terhadap pasien ataupun keluarga sudah dilakukan oleh
perawat akan tetapi belum dilakukan secara optimal.

Data yang diperoleh dari keluarga melalui observasi diruang tunggu maupun di
ruang IGD didapatkan sebagian keluarga (caregiver) menunjukkan ekspresi wajah
rileks, bercanda dengan anggota keluarganya yang lain, dan ada sebagian keluarga
yang mondar-mandir, duduk berdiri diruang tunggu, duduk dengan menghentakan
kedua kaki kelantai, ekspresi wajah tegang bahkan ada keluarga yang menangis
setelah melihat kondisi anggota keluarganya yang sakit. Adapun menurut salah satu
anggota keluarga yang sakit menyampaikan bahwa dirinya merasa kuatir, cemas
mengenai kondisi anggota keluarganya, dan berharap semoga keluarganya cepat
sembuh dan memperoleh pertolongan yang sebaik-baiknya.

Penjelasan diatas menjelaskan bahwa dengan perilaku caring perawat dapat


mempengaruhi tingkat kecemasan, tingkat stress dan strategi koping keluarga yang
secara tidak langsung akan berdampak terhadap kualitas asuhan keperawatan
terhadap pasien yang mendapatkan perawatan di instalasi gawat darurat.

Universitas Indonesia
8

1. 2 Rumusan Masalah

Pasien yang mendapatkan perawatan di instalasi gawat darurat menimbulkan


respon yang komplek bagi keluarga (caregiver). Hal ini dikarenakan kejadian yang
menimpa salah satu anggota keluarga merupakan salah satu stressor yang sangat
berpengaruh terhadap keluarga.

Keluarga merupakan suatu sistem yang mempunyai hubungan timbal balik, saling
interaksi dan saling ketergantungan sehingga apabila ada anggota keluarga yang
sakit akan berpengaruh terhadap anggota yang lain. Pengaruh stressor terhadap
keluarga sangat dipengaruhi oleh respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis,
respon perilaku dan respon sosial.

Respon psikososial yang dapat muncul akibat stressor kejadian kegawatdarutan


terhadap anggota keluarga yaitu kecemasan dan stress. Tingkat kecemsan dan stress
sendiri sangat dipengaruhi oleh mekanisme koping yang ada dalam keluarga.
Mekanisme koping muncul bisa bersifat adaptif dan maladaptive, akan tetapi pada
umumnya mekanisme koping yang biasa digunakan adalah problem focused coping
dan emotion focused coping.

Mekanisme koping keluarga saat menghadapi anggota keluargnya yang dirawat di


instalasi gawat darurat tidak terlepas dari perilaku caring perawat saat memberikan
pelayanan keperawatan di instalasi gawat darurat. Perilaku caring perawat
merupakan tindakan keperawatan yang sangat berpengaruh terhadap mutu
pelayanan kesehatan maupun kualitas asuhan keperawatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku caring perawat


dengan tingkat kecemasan, tingkat stress dan strategi koping keluarga (caregiver)
yang anggota keluarganya dirawat di instalasi gawat darurat, adapun pertanyaan
penelitian ini yaitu:

1.2.1 Apakah ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan tingkat
kecemasan keluarga (caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di
Instalasi Gawat Darurat

Universitas Indonesia
9

1.2.2 Apakah ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan tingkat stress
keluarga (caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di Instalasi Gawat
Darurat

1.2.3 Apakah ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan strategi
koping keluarga (caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di Instalasi
Gawat Darurat

1. 3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku
caring perawat dengan tingkat kecemasan, tingkat stress keluarga dan strategi
koping keluarga (Caregiver) yang mempunyai anggota keluarga dirawat di
Instalasi Gawat Darurat.

1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian


Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.3.2.1 Mengidentifikasi karakteristik keluarga (Caregiver) yang anggota
keluarganya dirawat di Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.2 Mengidentifikasi perilaku caring perawat terhadap keluarga


(caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di Instalasi Gawat
Darurat

1.3.2.3 Mengidentifikasi tingkat kecemasan (caregiver) yang anggota


keluarganya dirawat di Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.4 Mengidentifikasi tingkat stress (caregiver) yang anggota keluarganya


dirawat di Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.5 Mengidentifikasi strategi koping yang digunakan keluarga (caregiver)


yang anggota keluarganya dirawat

Universitas Indonesia
10

1.3.2.6 Mengidentifikasi hubungan antara perilaku caring perawat dengan


tingkat kecemasan keluarga (Caregiver) yang anggota keluarganya
dirawat di Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.7 Mengidentifikasi hubungan antara perilaku caring perawat dengan


tingkat stress keluarga (Caregiver) yang anggota keluarganya dirawat
di Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.8 Mengidentifikasi hubungan perilaku caring perawat dengan strategi


coping keluarga (Caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di
Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.9 Mengidentifikasi variabel confounding (usia, jenis kelamin, agama,


pendidikan, pekerjaan dan penghasilan) dengan tingkat kecemasan
keluarga (Caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di Instalasi
Gawat Darurat

1.3.2.10 Mengidentifikasi variabel confounding (usia, jenis kelamin, suku


bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan) dengan tingkat
stress keluarga (Caregiver) yang anggota keluarganya dirawat di
Instalasi Gawat Darurat

1.3.2.11 Mengidentifikasi variabel confounding (usia, jenis kelamin, suku


bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan) dengan
strategi coping keluarga (Caregiver) yang anggota keluarganya
dirawat di Instalasi Gawat Darurat

1. 4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh diharapakan mampu memberikan manfaat bagi
managemen rumah sakit dalam pengembangan perilaku caring perawat sehingga
dapat meningkatan perilaku caring perawat di instalasi gawat darurat. Selain itu
dapat bermanfaat untuk perawat pelaksana, dalam mengevaluasi diri dalam

Universitas Indonesia
11

berperilaku caring serta perawat akan mempunyai motivasi meningkatkan perilaku


caring terhadap keluarga maupun pasien yang dirawat di instalasi gawat darurat
1.4.2 Manfaat bagi Keilmuan Keperawatan
Hasil penelitian mengenai hubungan antara perilaku caring perawat, dengan
tingkat kecemasan, tingkat stress dan strategi koping keluarga (caregiver) yang
anggota keluarganya dirawat di instalasi gawat darurat diharapkan dapat
menentukan terapi spesialis jiwa yang sesuai dan meningkatkan kemampuan
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan psikososial sehingga dapat
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan ditatanan rumah sakit umum

1.4.3 Manfaat Penelitian


1.4.1.1 Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat untuk peneliti lain yang
mempunyai ketertarikan melakukan penelitian yang berkaitan dengan
perilaku caring perawat, tingkat kecemasan, tingkat stress dan strategi
koping keluarga. Peneliti lain dapat mengembangkan penelitian
berdasarkan keterbatasan yang ditemukan dari hasil penelitian ini.

1.4.1.2 Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat bagi peneliti karena
mendapatkan gambaran nyata dalam melakukan penerapan ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh selama pendidikan akademik dalam
tatanan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan mendapatkan pengalaman
yang berharga selama proses penelitian.

1.4.1.3 Penelitian ini menggunakan alat ukur penelitian yang digunakan untuk
mengukur perilaku caring perawat, tingkat kecemasan, tingkat stress dan
strategi koping keluarga pada situasi dan kondisi yang berbeda, sehingga
hasilnya dapat dimanfaatkan oleh pihak lain (peneliti lain) yang
berkepentingan dalam pengembangan ilmu pengetahuan

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai