Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

N DENGAN DIAGNOSA
KONTRAKTUR DIGIT 5 MANUS (S) DI RUANG IBS RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH WATES KULON PROGO

Disusun oleh :

Ramadhan Bayu Aji

(2720162979)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO

YOGYAKARTA

2018
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan dengan diagnosa Kontraktur digit 5 manus (S) di Ruang IBS
RSUD Wates Kulon Progo. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas individu
Praktik Klinik Keperawatan Perioperatif pada semester V, pada :

Hari : Senin
Tanggal : 17 Desember 2018
Tempat : RSUD Wates Kulon Progo

Praktikan

(Ramadhan Bayu Aji)

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik

( ) ( )
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah
Praktik Klinik Keperawatan Perioperatif pada Akademi Keperawatan Yayasan
Notokusumo Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018.
Tugas penyusunan makalah ini merupakan tugas individu yang berjudul “Asuhan
Keperawatan dengan diagnosa Kontraktur digit 5 manus (S) di Ruang IBS RSUD
Wates Kulon Progo”. Isi makalah ini membahas tentang laporan pendahuluan dan
asuhan keperawatan dengan diagnosa Kontraktur digit 5 manus (S). Penyusun
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
untuk itu penyusun membuka diri untuk masukan, saran dan kritik dari pembaca
semua.

Kulon Progo, Desember 2018


Penulis
BAB I
KONSEP DASAR

A. Definisi
Kontraktur adalah pemendekan jarak 2 titik anatomis tubuh
sehingga terjadi keterbatasan rentang gerak (range of motion). Kontraktur
adalah kontraksi yang menetap dari kulit dan atau jaringan dibawahnya
yang menyebabkan deformitas dan keterbatasan gerak. Kelainan ini
disebabkan karena tarikan parut abnormal pasca penyembuhan luka,
kelainan bawaan maupun proses degeneratif. Kontraktur yang banyak
dijumpai adalah akibat luka bakar (Perdanakusuma, 2009).

B. Klasifikasi
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan (Adu, 2011)
1. I: gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan ruang
lingkup gerak maupun fungsi.
2. II: sedikit penurunan gerakan ruang lingkup gerak atau sedikit
penurunan fungsi namun tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari
secara signifikan, tanpa penyimpangan arsitektur normal daerah yang
terkena.
3. III: terdapat penurunan fungsi, dengan perubahan awal arsitektur
normal pada daerah yang terkena..
4. IV: kehilangan fungsi dari daerah yang terkena.

C. Etiologi
Kontraktur diakibatkan karena kombinasi berbagai faktor meliputi:
posisi anggota tubuh, durasi imobilisasi, otot, jaringan lunak, dan patologis
tulang. Individu dengan luka bakar sering diimobilisasi, baik secara global
maupun lokal karena nyerinya, pembidaian, dan posisinya. Luka bakar
dapat meliputi jaringan lunak, otot, dan tulang. Semua faktor ini
berkontribusi terhadap kejadian kontraktur pada luka bakar. Berbagai hal
yang dapat menyebabkan kontraktur adalah sebagai berikut (Adu, 2011):
1. Trauma suhu
2. Trauma zat kimia
3. Trauma elektrik
4. Post-trauma (Volkmann’s)
5. Infeksi ulkus buruli
6. Idiopatik (Dupuytren’s)
7. Kongenital (camptodactyly)
Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan,
maka kontraktur dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal
tersebut dapat terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas
misalnya pada luka bakar yang dalam dan luas, loss of skin/tissue
dalam kecelakaan dan infeksi.
2. Kontraktur Tendogen atau Myogen
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon.
Dapat terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat
dan atropi, misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang
luas, trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.
3. Kontraktur Arthrogen
Kontraktur yang terjadi karena proses di dalam sendi-sendi, proses ini
bahkan dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai
akibat immobilisasi yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi
gangguan pemendekan kapsul dan ligamen sendi, misalnya pada
bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan nyeri.
D. Manifestasi Klinis
Gejala kontraktur bisa berupa:
1. Terdapat jaringan ikat adan atropi
2. Terjadi pembentukan sikatrik yang berlebih
3. Mengalami gangguan mobilisasi
4. Kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari
E. Patofisiologi
Patofisiologi yang jelas terbentuknya parut hipertrofi belum
diketahui namun banyak faktor yang berkontribusi terhadap proses
fibroproliferatif kulit tersebut. Paradigm yang sering digunakan adalah
“benih dan tanah”. Komponen selular seperti fibroblast, keratinosit, sel
induk, dan sel inflamasi merupakan benih sedangkan komponen
nonseluler seperti matriks ekstraseluler, kekuatan mekanik, tekanan
oksigen, dan cytokine milieu adalah tanah. (Wong & Gurtner, 2010).
Mekanisme dasar pembentukan kontraktur didapat dari berbagai
macam etiologi yaitu congenital, didapat, atau idiopatik. Proses ini
disebabkan oleh aktifnya miofibroblas (sebuah sel dengan fibroblas dan
dengan karakteristik seperti otot polos yang terdistribusinya granulasi di
seluruh jaringan yang ada pada luka). Kontraksi dari miofibroblas
menyebabkan luka menyusut. Hal ini juga diikuti dengan deposisi kolagen
dan saling berhubungan untuk mempertahankan kontraksi. Pada
embryogenesis, kegagalan diferensiasi jari-jari menyebabkan
terbentuknya jaringan parut yang menyebakan fleksi proksimal sendi
interfalang yang mengakibatkan camptodactyly (Adu, 2011).
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi
memendek dalam jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan
jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan menyebabkan kontraktur
sendi. Otot yang dipertahankan memendek dalam 5-7 hari akan
mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi
jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot
akan menebal dan menyebabkan kontraktur.
Kontraksi adalah proses aktif biologis untuk menurunkan dimensi
area anatomi dan jaringan yang dapat menyebabkan perlambatan
kesembuhan dari luka terbuka. Kontraktu adalah produk akhir dari proses
kontraksi. Kontraktur mengganggu secara fungsional dan estetik (Pandya,
2001)

F. Pencegahan Kontraktur
Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan. Program
pencegahan kontraktur meliputi :
1. Posisi yang mencegah kontraktur
Posisi yang melindungi dari kontraktur harus dimulai dari hari pertama
sampai beberapa bulan setelah trauma. Posisi ini diaplikasikan terhadap semua
pasien baik yang mendapat terapi cangkok kulit maupun yang tidak. Posisi ini
penting karena dapat mempengaruhi panjang jaringan dengan menurunkan
ruang lingkup gerak sebagai akibat dari parut jaringan. Pasien diistirahatkan
dengan posisi yang nyaman, posisi ini biasanya adalah posisi fleksi dan juga
merupakan posisi kontraktur. Tanpa dorongan dan bantuan dari orang lain,
pasien akan meneruskan posisi yang menyebabkan kontraktur. Sekali
kontraktur mulai terbentuk dapat terjadi kesulitan untuk bergerak sempurna
seperti sediakala. Penyesuaian awal memiliki esesnsi untuk memastikan
kemungkinan terbaik hasil terapi, selain itu pula untuk meringankan nyeri.
Pasien harus selalu melakukan kebiasaan posisi pada stadium awal
penyembuhan. Pasien perlu dorongan untuk mempertahankan posisi yang
mencegah kontraktur (kecuali ketika program latihan dan aktivitas
fungsional lain), dukungan keluarga sangat penting.
Ketika luka bakar terjadi pada bagian fleksor tubuh, risiko kontraktur
akan semakin meningkat. Posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
berdasarkan luka bakar adalah sebagai berikut:
a. Leher depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi leher, dagu
ditarik ke arah dada, kontur leher menghilang sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi leher, tidak ada bantal
di belakang kepala, putar balik leher. Kepala dimiringkan bila posisi
duduk.
b. Leher belakang
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah ekstensi leher dan
pererakan leher yang lain sedangkan posisi yang mencegah terjadinya
kontraktur adalah duduk dengan posisi leher fleksi, berbaring dengan
menggunakan bantal di belakang kepala.
c. Aksila anterior, aksila posterior, maupun lipatan aksila
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah terbatasnya
abduksi dan juga protraksi ketika luka bakar juga ada di dada
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah berbaring
dan duduk lengan abduksi 900 ditopang dengan menggunakan bantal
atau alat lain diantara dada dan lengan.
d. Siku depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi siku
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah ekstensi
siku.
e. Punggung tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah hiperekstensi
metacarpalphalangeal (MCP), fleksi interphalangeal (IP), adduksi ibu
jari, dan fleksi pergelangan tangan sedangkan posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah pada pergelangan tangan diekstensi 30-
40 derajat, fleksi MCP 60-70 derajat, ekstensi sendi IP, dan abduksi
ibu jari.
f. Telapak tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah adduksi dan fleksi
jari-jari tangan, telapak tangan ditarik ke dalam sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi pergelangan tangan,
fleksi minimal MCP, ekstensi dan abduksi jari-jari tangan.
g. Groin
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi dan adduksi
pangkal paha sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah berbaring tengkurap dengan ekstensi tungkai, batasi duduk dan
berbaring posisi menyamping. Jika dengan posisi supine, berbaring
dengan posisi ekstensi tungkai, tanpa bantal di bawah lutut.
h. Belakang lutut
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi lutut
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah
ekstensi tungkai pada saat berbaring dan duduk.
i. Kaki
Kaki adalah struktur komplek yang dapat ditarik dengan arah yang
berbeda-beda oleh jaringan yang telah menyembuh. Hal ini dapat
mengakibatkan mobilitas yang tidak normal. Posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah pergelangan kaki diposisikan 90 derajat
terhadap telapak kaki dengan menggunakan bantal untuk
mempertahankan posisi. Jika pasien dalam keadaan duduk maka
posisi kakinya datar di lantai (tanpa edem).
j. Wajah
Kontraktur pada wajah dapat meliputi berbagai hal termasuk
ketiakmampuan untuk membuka maupun menutup mulut dengan
sempurna, ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, dan lain
sebagainya.posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah secara
teratur merubah ekspresi wajah dan peregangan seperlunya. Tabung
empuk dapat dimasukkan ke dalam mulut untuk melawan kontraktur
mulut.
2. Bidai
Pembidaian sangat efektif untuk membantu mencegah kontraktur dan
merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai program rehabilitasi
komprehensif. Pembidaian membantu mempertahankan posisi yang
mencegah kontraktur terutama terhadap pasien yang mengalami nyeri hebat,
kesulitan penyesuaian atau dengan area luka bakar yang dengan
menggunakan posisi pencegahan kontraktur saja tidak cukup.
Pembidaian dilakukan dengan posisi yang diregangkan sehingga
memberikan suatu latihan peregangan awal yang lebih mudah. Parut tidak
hanya berkontraksi namun juga mengambil rute terdekat, parut sering
menimbulkan selaput atau anyaman diantara jari-jari, leher, lutut, aksilda, dan
lain-lain. Bidai membantu merenovasi jaringan parutkarena membentuk dan
mempertahankan kontur anatomis. Bidai adalah satu-satunya modalitas
terapeutik yang tersedia dan berlaku yang dapat mengatur tekanan pada
jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan remodeling jaringan.
Bidai dapat dibuat dari berbagai macam bahan. Bahan yang ideal adalah
yang memiliki temperature rendah dan ringan, mudah dibentuk, dan
disesuaikan kembali kemudian juga sesuai dengan kontur.
3. Peregangan dan mobilisasi awal
Sendi yang terkena luka bakar harus digerakkan dan diregangkan beberapa
kali setiap harinya. Pasien membutuhkan pendamping baik dari tim medis
maupun keluarganya untuk mencapai pergerakan yang penuh terutama untuk
anak-anak yang memerluka perhatian yang lebih dari orang tua. Pasien perlu
mengembangkan kebiasaan tersebut dari hari ke hari.
4. Melakukan aktivitas sehari-hari
Pasien luka bakar sering merasa kehilangan rasa dan kemampuan untuk
beraktivitas secara normal. Aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi sangat
penting untuk melatih pasien dapat hidup mandiri.
5. Pijat dan pemberian moisturiser
Pijatan pada parut sangat dianjurkan sebagai bagian dari penatalaksanaan
luka parut meskipun mekanisme efeknya belum begitu diketahui. Hal yang
dapat dilakukan adalah:
a. Pemberian moisturiser luka sering kehilangan kelembaban tergantung
dari dalamnya luka dan sejauh kerusakan struktur kulit. Luka tersebut
dapat menjadi sangat kering dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal
ini dapat menimbulkan retak dan pecahnya parut. Pemijatan dengan
moisturizer atau minyak tanpa parfum pada bagian teratas parut dapat
melembutkan sehingga pasien merasa lebih nyaman dan untuk
mengurangi gatal.
b. Jika parut menjadi tebal dan meninggi dapat menggunakan pijatan kuat
dan dalam menggunakan ibujari atau ujung jari untuk mengurangi
kelebihan cairan pada tempat tersebut.
c. Parut akibat luka bakar mengandung kolagen empat kali dibandingkan
dengan luka parut biasa. Pijatan yang dalam dengan pola sedikit
memutar dapat meningkatkan kesegarisan luka parut.
d. Penurunan sensoris dan perubahan sensasi dapat terjadi. Pijatan rutin
dan sentuhan pada parut dapat membantu desensitisasi dari luka yang
sebelumnya hipersensitif
e. Faktor psikologis dari seseorang yang memiliki kesulitan dan merasa
tidak enak dipandang dapat dikurangi dengan menyentuh parut dan
belajar bagaimana menerima keadaannya.

6. Terapi tekanan
Terapi tekanan adalah modalitas primer dalam penatalaksanaan parut
akibat luka bakar meskipun efektivitas klinis secara sains masih belum
terbukti. Pemberian tekanan pada area luka bakar diduga dapat mengurangi
parut dengan mempercepat maturasi parut dan mendorong reorientasi
terbentuknya serta kolagen. Pola parallel yang bertentangan dengan pola luka
yang berputar pada parut. Mekanisme yang diduga adalah, pemberian tekana
dapat menciptakan hipoksia lokal pada jaringan parut sehingga mereduksi
aliran darah yang sebelumnya hipervaskuler pada luka parut. Hal ini
mengakibatkan menurunnya influks kolagen dan penurunan pembentukan
jaringan parut. Sesegera setelah luka menjadi tertutup dan dapat menerima
tekanan, pasien menggunakan pakaian tekanan.

G. Penatalaksanaan
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah
pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota
badan untuk ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang
tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan program
pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan
tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren. Penanganan
kontraktur dapat dliakukan secara konservatif dan operatif :
1. Konservatif
Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini
lebih mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita,
meliputi :
a. Proper positioning
Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya
kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu
selama penderita dirawat di tempat tidur. Posisi yang nyaman
merupakan posisi kontraktur. Program positioning antikontraktur
adalah penting dan dapat mengurangi udem, pemeliharaan fungsi
dan mencegah kontraktur.
Proper positioning pada penderita luka bakar adalah sebagai
berikut :
1) Leher : ekstensi /hiperekstensi
2) Bahu : abduksi, rolasi eksterna
3) Antebrakii : supinasi
4) Trunkus : alignment yang lurus
5) Lutut : lurus, jarak antara lutut kanan dan kiri 20 derajat
6) Sendi panggul tidak ada fleksi dan rolasi eksterna
7) Pergelangan kaki : dorsofleksi
b. Exercise
Tujuan exercise untuk mengurangi udem, memelihara lingkup
gerak sendi dan mencegah kontraktur. Exercise yang teratur dan
terus-menerus pada seluruh persendian baik yang terkena luka
bakar maupun yang tidak terkena, merupakan tindakan untuk
mencegah kontraktur. Adapun macam-macam exercise adalah :
1) Free active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita
sendiri.
2) Isometric exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita
sendiri dengan kontraksi otot tanpa gerakan sendi.
3) Active assisted exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita
sendiri tetapi mendapat bantuan tenaga medis atau alat mekanik
atau anggota gerak penderita yang sehat.
4) Resisted active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita
dengan melawan tahanan yang diberikan oleh tenaga medis atau
alat mekanik.
5) Passive exercise : latihan yang dilakukan oleh tenaga medis
terhadap penderita.
c. Stretching
Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit, sedangkan
kontraktur berat dilakukan stretching selama 30 menit atau lebih
dikombinasi dengan proper positioning. Berdiri adalah stretching
yang paling baik, berdiri tegak efektif untuk stretching panggul
depan dan lutut bagian belakang.

d. Splinting/bracing
Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada luka bakar,
untuk mempertahankan posisi yang baik selama penderita tidur
atau melawan kontraksi jaringan terutama penderita yang
mengalami kesakitan dan kebingungan.
e. Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh
luka bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik,
pemberiannya selama 10 menit per lapangan. Ultrasound
merupakan modalitas pilihan untuk semua sendi yang tertutup
jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi besar.

2. Operatif
Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan
kontraktur dan terapi konservatif tidak memberikan hasil yang
diharapkan, tindakan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara :
a. Z – plasty atau S – plasty
Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya
sayap dan dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat
panjang sehingga memerlukan beberapa Z-plasty.
b. Skin graft
Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar.
Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh
lapisan parut, selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut
secukupnya. Sebaiknya dipilih split thickness graft untuk l
potongan, karena full thickness graft sulit. Jahitan harus berhati--
hati pada ujung luka dan akhirnya graft dijahitkan ke ujung-ujung
luka yang lain, kemudian dilakukan balut tekan. Balut diganti pada
hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada minggu ketiga
post operasi.
c. Flap
Pada kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya
terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari
parut dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan saraf
tanpa ditutupi dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan
transplantasi flap untuk menutupi defek tadi. Indikasi lain
pemakaian flap adalah apabila gagal dengan pemakaian cara graft
bebas untuk koreksi kontraktur sebelumnya. Flap dapat dirotasikan
dari jaringan yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.

BAB II
PROSEDUR PEMBEDAHAN

Full Thickness Skin Graft (FTSG)


Full Thickness Skin Graft (FTSG) merupakan skin graft yang
menyertakan seluruh bagian dari dermis. Karena komponen dermis
dipertahankan selama proses graft, karakteristik kulit normal dapat terjaga
setelah proses graft selesai. Hal ini disebabkan karena jumlah kolagen,
pembuluh darah dermis, serta komponen epitelial yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan Split Thickness Skin Graft (STSG).
FTSG jarang digunakan dalam penanganan luka bakar yang baru. Hal
ini disebabkan FTSG cukup membebani jaringan resipien karena
memerlukan vaskularisasi yang cukup banyak dan adanya kontaminasi
bakteri. Indikasinya terbatas pada luka bakar yang kecil dan berbatas tegas
yang memiliki fungsi cukup penting misalnya wajah dan jari-jari
tangan. Donor pada daerah wajah sering diambil dari post-aurikuler, dan
daerah supraklavikula karena kulit pada daerah tersebut lebih serupa dengan
daerah resipien. FTSG juga mengalami kontraksi lebih sedikit pada saat
penyembuhan dibandingkan STSG. Hal ini penting untuk daerah wajah,
tangan dan daerah sendi.

1. Teknik operasi perlu dilakukan dengan berhati-hati untuk


menjaga kelangsungan hidup graft tersebut.
2. Setelah pemberian anestesia yang tepat, luka dipersiapkan untuk
proses grafting. Hal ini diawali dengan membersihkan luka
dengan betadine yang diencerkan atau normal saline,
debridement dengan lembut, dan hemostasis yang cermat.
3. Hemostasis dapat dilakukan dengan ligasi, penekanan perlahan,
penggunaan vasokonstriktor topikal (misal epinefrin), atau
elektrokauter. Penggunaan elektrokauter harus diminimalisasi
karena dapat mengakibatkan jaringan mati.
4. Penggunaan epinefrin pada lokasi donor atau resipien tidak
mempengaruhi keberhasilan graft.
5. FTSG diambil dengan skalpel. Pola luka ditandai pada lokasi
donor dan diperluas kira-kira 3-5% untuk mengatasi kontraktur
primer yang akan muncul akibat komponen elastic fiber dari graft
dermis. Lokasi donor kemudian diinfiltrasi dengan anestesi lokal
dengan atau tanpa epinefrin. Infiltrasi dilakukan setelah
menandai graft untuk menghindari distorsi kulit akibat volume
infiltrasi.
6. Setelah pola diinsisi, kulit dinaikkan dengan skin-hook, sisi
epidermis dari graft ditahan oleh jari tangan non-operasi. Hal ini
menghasilkan tekanan dan kesadaran akan ketebalan graft saat
tangan yang lain melakukan diseksi untuk melepaskan graft dari
jaringan lemak subkutan.
H. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
a. Biodata
a. Biodata Anak
b. Biodata Penanggungjawab
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan dahulu
e. Riwayat imunisasi
f. Riwayat penyakit keluarga
g. Riwayat lingkungan
8. Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas/Istirahat
Badan lemah, penurunan kekuatan, keterbatasan rentang gerak pada
area yang sakit
2. Sirkulasi
Hipotensi (syok), takikardi
3. Integritas Ego
Adanya faktor stress, perasaan tak berdaya/tak ada harapan
Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung
4. Eliminasi
Penurunan bising usus/tidak ada
Haluan urine menurun/tidak ada
5. Makanan/Cairan
Anoreksia, mual/muntah
6. Keamanan
Cedera kimia : tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab.
7. Interaksi Sosial
Penyuluhan atau pembelajaran
Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas
fisik untuk melaksanakan peran
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan/tahanan.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan
kulit.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidak tahuan tentang
proses/ penyembuhan penyakit.

3. Intervensi Keperawatan dan Rasional


1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan/tahanan.
Tujuan : Menunjukkan perilaku mampu melakukan aktivitas.
a. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan
pasif kemudian aktif.
R/ mencegah secara progresif mengencangkan jaringan parut,
kontraktur, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot dan sendi
dan menurunkan kehilangan kalsium dan tulang.
b. Instruksikan dan bantu dalam mobilitas, contoh tongkat, walker
secara tepat.
R/ meningkatkan keamanan ambulasi.
c. Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang terdekat pada
latihan rentang gerak.
R/ memampukan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih
konstan/konsisten.
d. Masukkan aktivitas sehari-hari dalam terapi fisik, hidroterapi, dan
asuhan keperawatan.
R/ komunikasi aktivitas yang menghasilkan perbaikan hasil
dengan meningkatkan efek masing-masing.
e. Dorong partisipasi pasien dalam semua aktivitas sesuai
kemampuan individual.
R/ meningkatkan kemandirian, meningkatkan harga diri, dan
membantu proses perbaikan.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan


kulit.
Tujuan : Menunjukkan penyembuhan tepat waktu.
a. Observasi kemerahan, pucat, ekskoriasi.
R/ area meningkat resikonya untuk kerusakan dan memerlukan
pengobatan lebih intensif.
b. Evaluasi proses penyembuhan. Kaji ulang harapan terhadap
penyembuhan dengan pasien.
R/ penyembuhan mulai dengan segera, tetapi penyembuhan
lengkap memerlukan waktu.
c. Diskusikan pentingnya perubahan posisi sering, perlu untuk
mempertahankan aktivitas.
R/ meningkatkan sirkulasi dan perfusi kulit dengan mencegah
tekanan lama pada jaringan.
d. Dorong mandi tiap 2 hari sekali.
R/ sering mandi membuat kekeringan kulit.

3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan : Berkurangnya ansietas ketingkat yang bisa diatasi.
a. Dorong pasien untuk mengungkapkan kecemasannya, jangan
menyangkal.
R/ menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk
mekanisme koping.
b. Evaluasi mekanisme koping/pertahanan yang digunakan untuk
berhadapan dengan perasaan ataupun ancaman yang
sesungguhnya.
R/ mungkin dapat menghadapi situasi dengan baik pada waktu
itu, misalnya penolakan dan regresi mungkin dapat mekanisme
koping untuk waktu tertentu.
c. Anjurkan untuk melakukan pendekatan spiritual.
R/ pendekatan spiritual dapat membantu penerimaan pasien
terhadap kondisi yang dialami sehingga mengurangi rasa cemas.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidak tahuan tentang


proses/ penyembuhan penyakit.
Tujuan : Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
a. Kaji ulang prognosis dan harapan yang akan datang.
R/ memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan berdasarkan informasi.
b. Diskusikan harapan pasien untuk kembali ke rumah, bekerja, dan
aktivitas normal.
R/ pasien sering kali mengalami kesulitan memutuskan pulang.
Masalah sering terjadi (contoh gangguan tidur, kesulitan
melakukan aktivitas) yang mempengaruhi keberhasilan menilai
tindakan hidup normal.
c. Kaji ulang perawatan luka, graft kulit dan luka. Identifikasi
sumber yang tepat untuk perawatan pasien rawat jalan.
R/ meningkatkan kemampuan perawatan diri setelah pulang dan
meningkatkan kemandirian.
d. Dorong kesinambungan program latihan dan jadwalkan periode
istirahat.
R/ mempertahankan mobilitas, menurunkan komplikasi, dan
mencegah kelelahan, membantu proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Adu EJK. (2011). Management of contractures: a five-year experience at komfo


anokye teaching hospital in kumasi. Ghana Medical Journal
Goel A & Shrivastava P. (2010). Post-burn scars and scar contractures. Indian
Journal of Plastic Surgery
Ogawa R & Pribaz JJ. (2010). Diagnosis, assessment, and classification of scar
contractures. Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer
Heidelberg Dordrecht London NewYork.
Pandya AN. (2001). Burn injury. Repair & Recontruction
Perdanakusuma, DS. (2009). Surgical management of contracture in head and neck.
Annual Meeting of Indonesian Symposium on Pediatric Anesthesia &
Critical care, JW Marriot Hotel Surabaya.
Procter F. (2010). Rehabilitation of the burn patient. Indian Journal of Plastic
Surgery
Wong VW & Gurtner GC. (2010). Strategies for skin regeneration in burn patients.
Color Atlas of Burn Reconstructive Surgery. Springer Heidelberg
Dordrecht London NewYork.

Anda mungkin juga menyukai