Anda di halaman 1dari 13

1.

Definisi
Chronic Limb Ischemia (CLI) atau iskemia tungkai kronik merupakan penyakit arteri
perifer atau peripheral arterial disease (PAD) yang terjadi akibat inadekuat perfusi pada
jaringan perifer yang disebabkan sumbatan (trombus atau emboli) atau stenosis pada
pembuluh darah perifer, dan memiliki gejala lebih dari 2 minggu, seperti nyeri tungkai bawah
saat aktivitas atau istirahat, muncul perlukaan seperti ulkus atau gangren pada tungkai bawah.
Predileksi tersering adalah pembuluh darah distal, seperti pembuluh darah tungkai bawah dan
tangan (Beard, 2000; Slovut & Sullivan, 2008).

2. Etiologi dan Faktor Risiko


CLI adalah fase lanjut dari PAD yang merupakan hasil progresif dari penebalan arteri yang
disebabkan oleh penimbunan plak aterom atau proses aterokslerosis. Faktor risiko terjadinya
CLI sama dengan risiko terjadinya aterosklerosis, antara lain:
1. Usia. Pada Framingham Heart Study didapati usia > 65 tahun meningkat resiko PAD.
Hubungan yang kuat bertambahnya usia (>70 tahun)
2. Merokok, merupakan salah satu factor resiko yang sangat penting terjadi PAD dan
komplikasinya : intermitten claudicatio dan critical limb ischemia
3. Diabetes. Diabetes mellitus akan meningkatkan resiko PAD asimptomatik atau
simptomatik PAD sebesar 1.5 – 4 kali lipat dan berhubungan dengan kejadian
kardiovaskuler dan mortalitas pada individu dengan PAD. Penyakit ini sangat
berhubungan dengan penyakit oklusi pada arteri tibialis. Pasien dengan PAD lebih sering
mendapat mikroangiopati atau neuropati dan terjadi gangguan penyembuhan luka. Pasien
DM juga mempunyai resiko lebih tinggi terjadi ulkus iskemik dan gangren.
4. Obesitas
5. Gaya hidup minim aktivitas (pekerjaan dibalik meja, tidak rutin berolahraga),
6. Kolesterol tinggi.
7. Hipertensi. Pasien dengan hipertensi dan PAD peningkatannya lebih besar terjadi stroke
dan miokard infark.
8. Hiperkoagulasi
9. Penyakit Kelainan vaskuler. Tromboangitis obliterans (Buerger’s disease) merupakan
salah satu penyebab terjadinya iskemia tungkai bawah pada pasien muda.
10. Gagal ginjal
11. Riwayat keluarga atherosklerosis atau penyakit jantung koroner dan stroke (Santili &
Santili, 2000; VC, 2013).

3. Klasifikasi
Berdasarkan The Fontaine Score, yang dibentuk Rene Fontaine pada 1954, CLI
diklasifikasikan menjadi 4 kelas (Slovut & Sullivan, 2008; Allison et al., 2011) :
Tabel 2.1 The Fontaine Score for CLI Classification
Staging Deskripsi

Stage I Asymptomatic

Stage IIa Mild Claudication

Stage IIb Moderate to severe claudication

Stage III Ischemic Rest Pain

Stage IV Ulceration or gangrene, or both

Stage I: pasien tidak menunjukkan gejala atau asimptomatik. Pada tahap ini obstruksi yang
terjadi masih inkomplit.
Stage II: Mild claudication. Klaudikasio adalah rasa sakit, kram, atau gatal pada tungkai
yang disebabkan akibat kurangnya aliran darah yang muncul saat berjalan dan
beraktivitas dan hilang saat beraktivitas. Apabila nyeri muncul saat berjalan
lebih dari 200 meter maka dimasukkan dalam kategori stage IIa dan kategori 1
pada . Apabila gejala tersebut muncul saat berjalan kurang dari 200 meter, maka
dimasukkan dalam kategori stage IIb.
Stage III : Rest pain. Gejala muncul saat pasien beristirahat atau saat tidak sedang
menggerakkan kaki. Pada fase ini dapat disebut critical limb ischemia, dan
bersifat irreversibel.
Stage IV: apabila telah muncul kerusakan jaringan seperti ulkus atau gangren yang bersifat
irreversibel.
Menurut klasifikasi yang dibentuk Rutherford, CLI diklasifikasikan menjadi 6 kelas:
Tabel 2.2 Klasifikasi Rutherford
Grade Category Clinical

0 0 Asymptomatic

I 1 Mild claudication

I 2 Moderate claudication

Severe claudication

I 3

II 4 Ischemic Rest pain

III 5 Minor tissue loss

III 6 Major tissue loss

4. Patofisiologi
Proses aterosklerosis dianggap sebagai faktor utama terjadinya kelainan vaskular perifer.
Keadaan dislipidemia yang ditandai peningkatan LDL, penurunan HDL dan peningkatan
trigliserid mampu menginisasi terjadinya aterosklerosis. LDL akan mengalami oksidasi pada
pembuluh darah arteri dan menginisiasi pelepasan sitokin IL-1, TNF α, dan monosit
kemoatraktan protein 1, yang meningkatkan ekspresi leukosit dan monosit di endotel.
Leukosit dan monosit akan masuk ke tunica intima arteri dan monosit akan mengalami
perubahan menjadi makrofag. Makrofag ini akan memakan lemak-lemak LDL teroksidasi
pada vaskuler, dengan harapan menurunkan jumlah lemak arteri. Namun apabila jumlah
lemak terlampau banyak, makrofag akan penuh dengan lemak dan membentuk foam cells,
yang menjadi fatty streak dan akan menjadi prekusor pembentukan plak aterosklerosis
(NHLBI, 2009).
Fatty streak ini bersifat rapuh dan mudah pecah. Pecahan plak ini akan menyebabkan
terjadinya cedera endotel, yang menginisasi pelepasan faktor pembekuan dan pembentukan
trombus. Trombus ini dapat pecah dan menyumbat pada tempat yang lain menjadi emboli.
Diabetes juga memiliki peran dalam terjadinya pembentukan aterosklerosis melalui
mekanisme angiopati dan neuropati. Pembentukan aterosklerosis atau embolus pada
pembuluh darah perifer di tungkai bawah akan menyebabkan terjadinya oklusi pembuluh
darah yang menyebabkan gangguan perfusi pada tungkai bawah (NHLBI, 2009).
Oklusi yang inkomplit tidak akan menimbulkan gejala apapun. Apabila oklusi telah lebih
dari 50%, akan muncul gejala klaudikasio (nyeri saat beraktivitas) yang diakibatkan karena
metabolisme anaerob dari otot-otot tungkai akibat hipoperfusi. Penurunan aliran darah disertai
perlambatan aliran darah yang menuju tungkai dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya kematian sel tungkai perifer dan risiko terjadinya infeksi dan ulkus
apabila bagian tersebut mengalami luka. Proses ini lebih sering terjadi pada ekstremitas bawah
dibandingkan dengan ekstremitas atas karena aliran darah balik dari tungkai bawah lebih
lambat dibandingkan dengan aliran darah ekstremitas atas (Slovut & Sullivan, 2008; Stephens,
2014).
Emboli merupakan penyebab tertinggi atas kejadian iskemia mendadak, biasanya berasal
dari jantung (80%). Emboli juga dapat terbentuk dari aterom proksimal, tumor, atau benda
asing. Emboli sering muncul pada percabangan arteri atau area pembuluh darah yang sempit.
Arteri femoralis menjadi tempat tersering (43%), diikuti arteri iliaca (18%), aorta (15%) dan
arteri popliteal (15%). Keadaan emboli merupakan faktor morbiditas tertinggi pada CLI.
Umumnya, pasien CLI dapat meninggal karena tromboemboli pada organ-organ penting
seperti otak, jantung atau paru (Slovut & Sullivan, 2008; Stephens, 2014).

5. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul umumnya bervariasi tergantung derajat klasifikasi yang dialami
pasien. Pada pasien dengan oklusi inkomplit mungkin tidak ditemukan gejala apapun.
Pada pasien dengan oklusi yang lebih luas hingga oklusi maksimal, dapat ditemukan
gejala-gejala sebagai berikut:
a. Claudicatio intermitten
Rasa nyeri dan kram yang muncul saat sedang berjalan dan berkurang saat istirahat.
Hal ini disebabkan karena kurangnya oksigen pada jaringan diakibatkan suplai darah
yang tidak sesuai dengan kebutuhan jaringan saat sedang berjalan, sehingga terjadi
metabolisme anaerob dari sel. Keluhan ini muncul pada iskemi tungkai derajat 2
menurut klasifikasi Fontaine.
b. Rest Pain
Nyeri berat pada kaki, bersifat menetap, tidak membaik dengan istirahat dan sering
memberat pada malam hari. Hal ini disebabkan iskemi berkepanjangan pada tungkai.
Rasa nyeri ini sering dirasakan pada punggung kaki atau bahkan seluruh kaki.
c. Non-healing ulcers
Beberapa pasien mengeluh muncul luka yang tak kunjung sembuh pada ibu jari atau
kaki bagian distal. Riwayat trauma perlu ditanyakan pada pasien dengan ulkus tungkai
bawah. Ulkus dapat terasa nyeri, namun umumnya tidak terasa nyeri akibat
mekanisme neuropati dan angiopati oleh iskemia berkepanjangan. Gangguan ulkus
ini umumnya bersifat irreversibel.
d. Gangren
Munculnya luka basah yang terinfeksi
e. Warna kulit tungkai yang berubah (menghitam) (Rai, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis dari CLI pada beberapa kasus dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
fisik yang sederhana dengan melakukan palpasi pada arteri tungkai bawah dan mencari
bukti-bukti lain adanya iskemia.
a. Pulsasi arteri yang lemah atau tidak ada
Pembuluh darah femoral, popliteal, dorsalis pedis dan tibialis posterior harus
dipalpasi pada kedua sisi, seperti pada pembuluh darah karotis, brachial dan radialis.
Tidak adanya pulsasi ipsilateral (ketika pulsasi dari kontralateral terasa) merupakan
tanda diagnosis dari PAD. Pasien yang dicurigai CLI dapat pula diminta melakukan
aktivitas jalan di tempat selama 5 menit agar pulsasi di pergelangan kaki (dorsalis
pedis) dapat teraba. Apabila pulsasi arteri tersebut tidak terasa, maka hal tersebut juga
merupakan patognomonik dari PAD (Slovut & Sullivan, 2008; Rai, 2009).
b. Bruit
Arteri-arteri besar dapat diauskultasi untuk mendengarkan suara bruit. Adanya
bruit mengindikasikan stenosis pada arteri bagian proksimal (Rai, 2009).
c. Tanda-tanda lain iskemia kronik
Hilangnya lemak subkutan, atrofi kulit, hilangnya rambut pada bagian yang
mengalami iskemia, penonjolan kuku, dan infeksi jamur diantara jari-jari kaki
merupakan tanda-tanda iskemia pada tungkai bawah. Warna kulit yang memucat saat
tungkai diangkat dan merah saat ditekan merupakan karakteristik iskemia
dikarenakan hilangnya tonus vasomotor, namun sulit dinilai pada pasien dengan kulit
gelap. Pemanjangan waktu capillary dan venous refill juga merupakan salah satu
tanda iskemia. Ulkus dan gangren adalah tanda iskemia yang lanjut. Gejala-gejala ini
muncul pada pasien yang telah memasuki derajat critical limb ischemia, merupakan
kondisi serius dan lanjut dari iskemia tungkai bawah yang memerlukan tatalaksana
segera dengan mengembalikan aliran darah ke area yang mengalami iskemia sebelum
terjadinya kegagalan sirkulasi (Rai, 2009; VC, 2013).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. ABI (Ankle Brachial Index)
Tes ini mudah dalam mendeteksi penyakit arteri perifer dengan menghitung rasio
tekanan darah sistolik pembuluh darah arteri lengan dibagi sistolik pada pembuluh
darah arteri pergelangan kaki. Pada PAD, tekanan darah pergelangan kaki menurun.
Penurunan dibawah dari 90 mmHg mengkonfirmasi adanya iskemia tungkai bawah.
Interpretasi ABI menurut :
1) American Collage of Cardiology/American Diabetes Association (ACC/ADA)
a) >1.3 : dugaan kalsifikasi arteri
b) 0.91 – 1-3 : normal
c) 0.9-0.8 : ringan
d) 0.79 – 0.5 : sedang
e) <0.5 : berat
2) Hiat dkk
a) >1.30 : dugaan kalsifikasi arteri
b) 0.91 – 1.30: normal
c) 0.41 – 0.90: ringan – sedang
d) 0.00 – 0.5 : berat
Hasil ABI dibawah <0.8 dapat mengkonfirmasi diagnosis iskemia tungkai bawah.
Apabila hasil ABI tidak dapat mendeteksi penyakit arteri perifer karena pembuluh
darah yang kaku, maka digunakan test toe-brachial index. Tes ini lebih baik untuk
menilai perfusi ke tungkai bawah bila nilai ABI ≥1.30. Nilai toe-brachial index <0.70
dapat menegakkan adanya gangguan pembuluh darah perifer (Rai, 2009).
b. Segmental limb pressure
Segmental limb pressure dapat menilai adanya penyakit arteri perifer serta
lokasinya yang dicatat dengan alat Doppler Plaethysmographic Cuffs yang
ditempatkan pada arteri brakialis dan daerah tungkai bawah ternasuk di atas paha, di
bawah lutut dan pergelangan kaki. Tes ini mempunyai batasan yang sama dengan ABI
tentang adanya pembuluh darah yang kaku (Beard, 2000; Rai, 2009).
c. Pulse Volume Recording
Pulse Volume Recording, digunakan dengan system cuffs,
PneumoPlaethysmograph mendeteksi perubahan volume pada tungkai melalui siklus
jantung. Perubahan kontur nadi dan amplitude juga dapat dianalisa. Gelombang
normal bila kenaikannya yang tinggi, puncak sistolik yang menajam, pulsasi yang
menyempit, adanya dicrotic notch sampai dasar. Pada gangguan arteri perifer, terdapat
gambaran gelombang yang mulai landai, puncak yang melingkar, pulsasi yang
melebar, dicortic notch yang menghilang dan melengkung ke bawah.
d. Duplex ultrasonography
Alat ini berguna dalam mendeteksi penyakit arteri perifer tungkai bawah yang juga
dapat berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi stenosis
dan oklusi. Duplex Ultrasonography merupakan kombinasi analisa gelmobang
Doppler dan kecepatan aliran (velocity).
e. Arteriografi. Merupakan gold standard dari diagnosis PAD pada tungkai bawah.
Arteriografi dapat menggambarkan:
1) Tempat dan keadaan dari perlukaan arteri,
2) Bagian arteri proksimal hingga oklusi,
3) Bagian arteri distal hingga ke lesi,
4) Bagian sirkulasi kolateral
f. MRA dan CTA
Magnetic Resonance Angiography (MRA) adalah alat yang khusus digunakan
sebagai diagnose radiologi penyakit arteri perifer. MRA dilakukan sebagai tindakan
lanjutan persiapan evaluasi revaskularisasi
Computed Tomographic Angiography (CTA) digunakan sebagai alat diagnostic
arteri perifer dengan kemampuan resolusi tampilan gambar lebih baik dan tiap
scanning menampilkan 64 channel menggunakan multidetector scanner (Rai, 2009).
6. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
Ada beberapa terapi konservatif yang dapat menurunkan perkembangan gejala iskemia
tungkai bawah dengan gejala yang masih bersifat irreversibel (intermitten claudicatio),
antara lain:
1. Berhenti merokok
Rokok merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan memperlambat aliran
darah. Perbaikan klinis yang ditandai dengan perbaikan jarak langkah dijumpai pada
pasien yang berhenti merokok.
2. Latihan berjalan dan latihan fisik ringan
Pasien umumnya takut untuk berjalan karena menganggap akan memperburuk
kondisi klinisnya. Sebaliknya, latihan berjalan akan membentuk perkembangan
pembuluh darah kolateral dan memperbaiki jarak tempuh saat berjalan. Beberapa studi
RCT menunjukkan bahwa program latihan rutin berjalan terbukti sama efekif dengan
PTA (percutaneous transluminal angioplasty) dalam memperbaiki jarak tempuh jalan
pada pasien dengan intermitten claudicatio. Studi menunjukkan bahwa latihan fisik
ringan pada tungkai atas memiliki manfaat dalam menurunkan angka kematian akibat
kejadian jantung.
3. Perawatan kaki
Penggunaan alas kaki yang memadai akan menurunkan risiko terjadi luka yang
berujung pada ulkus atau gangren, terutama pada pasien dengan diabetes.
4. Meninggikan posisi tumit
Meninggikan tumit satu inchi dengan menggunakan sepatu dapat menurunkan beban
kerja otot tungkai dan meningkatkan maximum walk distance pada pasien dengan
intermitten claudication.
5. Perubahan gaya hidup
Pasien moderate intermitten claudication dengan usia lanjut disarankan untuk
merubah pola hidup dibandingkan mengambil opsi pembedahan vaskuler.
Peningkatan aktivitas fisik dan latihan, makan makanan rendah lemak dan kolesterol,
berhenti merokok akan meningkatkan harapan hidup pasien.
b. Farmakologis
1. Aspirin
Aspirin merupakan obat NSAID yang memiliki efek anti inflamasi, analgesik, anti-
piretik dan dapat menghambat agregasi trombosit. Efek mengurangi agregasi
trombosit diakibatkan dari peningkatan aktivitas fibrinolitik, penurunan konsentrasi
vitamin K dan faktor-faktor koagulasi. Diharapkan akan menurunkan pembentukan
trombus dan risiko terjadinya embolus. Pemberian aspirin dalam dosis 40-300 mg
terbukti memiliki manfaat untuk pasien PAD akibat aterosklerosis. Pemantauan efek
samping seperti perdarahan perlu diperhatikan. Aspilet merupakan salah satu obat
aspirin dengan sediaan tablet 80 mg.
2. Agen anti-platelet lain
Clopidogrel dapat berperan penting seperti aspirin, namun dengan harga sediaan yang
lebih mahal. Kombinasi clopidogrel dengan aspilet dapat digunakan, utamanya pada
pasien post PTA. Anti-platelet dapat menurunkan risiko efek samping vaskuler seperti
stroke, infark miokard dan kematian hingga 25%, dan dapat meningkatkan
pembentukan cabang pembuluh darah.
3. Statin
Obat yang termasuk golongan HMG-CoA inhibitor ini dapat menurunkan kadar
kolesterol serum dan LDL. Selain itu, statin dapat memperbaiki fungsi sel endotelial
dan menurunkan kadar plasma fibrinogen.
4. Cilostazol
Berperan sebagai inhibitor phosphodiesterase-III yang meningkatkan aktivitas seluler
cAMP. Berperan dalam menghambat agregasi platelet, menurunkan proliferasi otot
polos vaskuler dan vasodilatasi. Empat studi RCT menunjukkan bahwa penggunaan
cilostazol dapat meningkatkan jarak tempuh pada pasien intermitten claudication.
Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg dalam 2 kali sehari. Kontra indikasi pada
hamil dan gagal jantung kongestif. Memberikan respons 2-3 minggu setelah
pemberian.
5. Pentoxyfiline
Merupakan agen hemorheologik yang menurunkan viskositas darah dan meningkatkan
fleksibilitas eritrosit. Beberapa studi menunjukkan pemberian pentoxyfiline dapat
meningkatkan jarak tempuh pada 60-70 % pasien intermitten claudication. Dosis: 400-
800 mg dalam 3x sehari.
6. Prostaglandin I & E
Infus prostaglandin telah digunakan untuk penyelamatan tungkai bawah pada critical
limb ischemia yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan. Dilaporkan
pemberian prostaglandin dapat menyelamatkan 60% kasus critical limb ischemia.
Harga obat ini cenderung mahal (9000 Rs per vial) dengan pemberian selama 14-28
hari sehingga jarang digunakan.
7. Heparin
Bersifat anti koagulan dan mencegah terjadinya pembentukan trombus. Unfractioned
atau low molecular weight Heparin sering digunakan dokter bedah vaskular segera
pasca operasi pembedahan direct arterial untuk mencegah timbulnya bekuan darah.
Pemberian dosis awal adalah 5000 iu IV.
8. Antikoagulan oral
Warfarin dan acitrom telah digunakan dalam pemberian antikoagulan jangka panjang
pasca bypass pembuluh darah lutut.
9. Analgesik
Obat analgesik umumnya diberikan pada pasien dengan gejala rest pain. Pemberian
diawali dengan kombinasi agen analgesik ringan (paracetamol, na diklofenak,
ibuprofen, dll). Codein, ketorolac dan tramadol dapat pula diberikan. Analgetik
narkotik seperti morfin sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan
ketergantungan, disebabkan efek analgesik yang hanya 48-72 jam pasca pemberian.
Pada pemberian agen antikoagulan ataupun antiplatelet perlu dilakukan pemantauan
ada tidaknya gejala perdarahan spontan, pemantauan darah lengkap (Hb, Ht, Trombosit)
dan nilai marker pembekuan darah (PT, APTT, penilaian faktor-faktor koagulasi lain).
Adanya kelainan koagulasi dan manifestasi perdarahan menjadi indikasi mutlak
penghentian obat-obat tersebut (Slovut & Sullivan, 2008; Rai, 2009).
c. Terapi pembedahan
Terapi invasif endovascular sering menjadi pilihan dalam perawatan CLI. Beberapa
prosedur endovascular digunakan untuk mengobati CLI meliputi:
1. Angioplasty : Sebuah balon kecil dimasukkan melalui tusukan di pangkal paha. Balon
mengembang satu atau beberapa kali, dengan menggunakan larutan garam untuk
membuka arteri.
2. Cutting ballon : Sebuah balon tertanam dengan mikro-pisau yang digunakan untuk
melebarkan daerah yang sakit.
3. Cold ballon (CryoPlasty) : Balon digelembungkan menggunakan nitrous oxide. Gas
membekukan plak selama dilatasi, pertumbuhan plak dihentikan, dan jaringan parut
sedikit dihasilkan.
4. Stent : Tabung logam yang diperluas dan dibiarkan di tempat untuk memberikan
perancah untuk arteri yang telah dibuka dengan menggunakan percutaneous
transluminal balloon angioplasty (PTA).
5. Balon-expanded : balon A digunakan untuk memperluas stent. Stent ini lebih kuat,
tapi kurang fleksibel.
6. Self-expanding : Compressed stent dikirim ke jaringan yang sakit. Stent ini lebih
fleksibel.
7. Laser atherectomy: potongan kecil dari plak yang menguap oleh ujung probe laser.
8. Atherectomy Directional: Sebuah kateter dengan pisau potong berputar digunakan
untuk fisik menghilangkan plak dari arteri, membuka saluran aliran.
9. Bedah perawatan
Pengobatan luka atau ulkus gangren dapat ditindak lanjuti oleh prosedur bedah
tambahan.
10. Amputasi
Diperlukan apabila telah muncul gangren dan sebagai tatalaksana critical limb
ischemia saat pilihan terapeutik lainnya tidak menimbulkan hasil yang diharapkan,
dan pembedahan bypass diprediksi tidak akan memperbaiki vaskularisasi meski
operasi bypass telah dilaksanakan (Slovut & Sullivan, 2008; Rai, 2009).
7. Komplikasi
1. Tromboemboli, merupakan penyebab kematian tersering pada CLI.
2. Gangren
DAFTAR PUSTAKA

Allison, M., Denenberg, J. & Criqui, M., 2011. Family History of Peripheral Artery Disease Is
Associated With Prevalence and Severity of Peripheral Artery Disease. Journal of The
American College of Cardiology, 58, p.13.

Beard, J., 2000. Chronic Lower Limb Ischemia. Western Journal of Medicine, 173(1), pp.60-63.

NHLBI,2009.Atherosclerosis.[Online]Availableat:www.nhlbi.nih.gov/./atherosclerosis/atheroscl
erosis_whatis.html [Accessed 6 Agustus 2014].

Rai, K.M., 2009. Approach to Management of Chronic Lower Limb Ischemia. Journal of GMC-
Nepal, 2(2), pp.77-88.

Santili, J.D. & Santili, S.M., 2000. Chronic Critical Limb Ischemia: Diagnosis, Treatment and
Prognosis. American Family Physician, 7(1), pp.1899-908.

Slovut, D.P. & Sullivan, T.M., 2008. Critical limb ischemia: medical and surgical management.
Society for Vascular Medicine, 13, pp.281-91.

Stephens, E., 2014. Peripheral Vascular Disease. [Online] Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/761556-overview#a0104 [Accessed 6 Agustus
2014].

VC, 2013. Critical Limb Ischemia. [Online] Available at: http://www.vascularcures.org/about-


vascular-disease/2011-05-05-02-02-59/critical-limb-ischemia-cli [Accessed 6 Agustus
2014].

Anda mungkin juga menyukai