Anda di halaman 1dari 28

Asuhan Keperawatan

Klien dengan SLE


Oleh
Dr. Yuly Peristiowati,S.Kep Ns,M.Kes
Definisi
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah
penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi
dalam tubuh.
SLE merupkan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003)
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan
sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh
darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang
kompleks.
ETIOLOGI
 penyakit collagen-vascular
sering tidak diketahui tetapi  Faktor genetik mempunyai
sistem imun terlibat sebagai peranan yang sangat penting
mediator terjadinya penyakit dalam kerentanan dan ekspresi
tersebut (Delafuente, penyakit SLE.
2002).  Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first
degree relative)
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan antara lain :
1. haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3,
2. komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3,
C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel
T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor Lingkungan
sinar UV : mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit.
iinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi
di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA)
untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al.,
2000)
Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung
asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari
sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE
(Delafuente, 2002).
infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan
pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan
peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel
B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE
(Herfindal et al., 2000).
Klasifikasi SLE
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam
yaitu :
1. Discoid lupus,
2. Systemic lupus erythematosus,
3. Lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh
batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan
folikuler, dan telangiektasia.
Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan
jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya
apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erithematus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall,1998)
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem
imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,
2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,
1998).
Lupus karena obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000).
Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria
dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang
diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia
produktif yaitu 15 – 64 tahun
Prevalensi
Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis
Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus
per 2000 populasi,
Cina 1 dalam 1000 populasi, 1
2 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris,
39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia.
Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara
etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi
dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam
100.000 populasi (Bartels, 2006).
Patofisiologi

Bahan Gangguan Regulasi


kimia, DNA Kekebalan
Bakteri,
antigen
Aktivasi sel B
virus
fosfolipid,
Peningkatan
Autoantibodi

Hipergamaglobulinemia,
pembentukan komplek
imun
Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang
dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen.

interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan


sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul
CD 40, CTLA-4

Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang


diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1
sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Kriteria SLE (American Rheumatism
Association (ARA)
(1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi,
pada daerah hidung dan pipi.
(2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi
dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan
folikel, dapat terjadi jaringan parut.
(3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat
abnormalitas terhadap cahaya matahari.
Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring,
umumnya tidak nyeri.
(5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi
perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
(6) Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi
pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau
terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
(7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b.Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau
campuran.
(8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis
tanpa sebab.
(9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau
leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau
limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau
trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat
penginduksi gejala tersebut.
Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif
atau adanya antibodi antifosfolipid
(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal
pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada
obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente,
2002).
Manifestasi Klinis
Gejala Umum: Gejala muskuloskeletal :
rasa lelah, berupa artritis,
malaise,  atralgia, dan
 mialgia umumnya timbul
demam,
mendahului gejala yang lain.
penurunan nafsu makan, Yang paling sering terkena
dan penurunan berat adalah sendi interfalangeal
badan (Hahn, 2005). proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku,
dan pergelangan kaki
(Delafuente, 2002).
Gejala di Kulit
 Gejala di kulit yang khas yaitu
ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash)
berupa eritema yang agak
edematus pada hidung dan
kedua pipi..
Gejala di jantung Gejala di Paru
 perikarditis, miokarditis,  pleuritis dan efusi pleura.
gangguan katup jantung Pneumonitis lupus
(biasanya aorta atau mitral) menyebabkan demam, sesak
termasuk gejala endokarditis napas, dan batuk.
Libman-Sachs.
Pemeriksaan LAB
Anti ds-DNA Antinuclear antibodies (ANA)
Batas normal : 70 – 200 Harga normal : nol
IU/mL ANA digunakan untuk
Negatif diagnosa SLE dan penyakit
: < 70 IU/mL
autoimun yang lain. ANA
Positif : > 200 adalah sekelompok antibodi
IU/mL protein yang bereaksi
Antibodi ini ditemukan menyerang inti dari suatu
pada 65% – 80% sel. ANA cukup sensitif untuk
mendeteksi adanya SLE, hasil
penderita dengan SLE yang positif terjadi pada 95%
aktif penderita SLE.
Pemeriksaan LAB lain
(Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau
C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), u
rinalisis,
serum kreatinin,
tes fungsi hepar,
 kreatinin kinase (
Pagana and Pagana, 2002).
Penatalaksanaan
Terapi non farmakologi: istirahat, hindari kerja yang
terlalu berlebihan ,menghindari merokok, Penggunaan
sunblock (SPF 15), penggunaan minyak ikan pada pasien
SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet
dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti
IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi
anti-DNA (Venkatraman et al.,
Terapi farmakologi : NSAID, memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002), antimalaria ,
krtikosteroid
Pengkajian Fisik
Kepala : (butterfly rash) berupa eritema yang agak
edematus pada hidung dan kedua pipi
Kulit : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik
keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi
jaringan parut.
Diagnosa Keperawatan
Kelemahan berhubungan dengan proses penyakit yang
dimanifestasikan oleh kekurangan energi,
ketidakmampuan mempertahankan aktifitas sehari-hari
Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit dan
ketidakadekuatan ukuran rasa nyaman yang
dimanifestasikan dengan keluhan nyeri pada persendian
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
fotosensitif, rash pada kulit dan alopesia
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan arthralgia,
kelemahan dan kelelahan
Ketidakefektifan manajemen/penatalaksanaan regimen
terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan dari
pengobatan penyakit jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai