Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN SLE (SYSTEMIC LUPUS ERHYTEMATOSUS)

1. DEFINISI Systemic lupus erhytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh (Price A. Sylvia, 2006). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal sering sekali sulit untuk dikenali sebagai LES karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan (Mansjoer Arif, 2001). Sitemik lupus erhytematosus adalah suatu penyakit menahun yang ditandai dengan peradangan dan pembentukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kadang pada bagian tubuh lainnya (www.medicastrore.com). Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa systemic lupus erhytematosus (SLE) adalah suatu penyakiy autoimun yang menyerang berbagai system tubuh dengan manifestasi klinis yang bervariasi. 2. ETIOLOGI Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan. a. Autoimun : Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin.

Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B (Simon H, 2000). Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE (Simon H, 2000). Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga

menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan (Albar Z, 1996). Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung darah (Simon H, 2000). Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun lainnya (Lehman TJA, 2004). b. Genetik Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita SLE (Albar Z, 1996). Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9% (Albar Z, 1996). Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25 (Lamont DW, 2001).

Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsurunsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLADR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti (Albar Z, 1996). Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal (Simon H, 2000). c. Faktor lingkungan Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan (Simon H, 2000). Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal (Simon H, 2000).. Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun (Simon H, 2000). Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium (Lamont DW, 2001) Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal (Simon H, 2000) Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun (Albar Z, 1996).

3. KLASIFIKASI Ada tiga jenis lupus, yaitu : a. Lupus eritematosus sistemik (LES), dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru, lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan lainlain. b. Lupus discoid, lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit. Termasuk paling banyak menyerang. c. Lupus obat, yang timbul akibat efek samping obat dan akan sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait. Umumnya berkaitan dengan pemakaian obat hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur). 4. MANIFESTASI KLINIS a. Sistem Muskuloskeletal Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. b. Sistem Integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. c. Sistem Kardiak Perikarditis merupakan manifestasi kardiak. d. Sistem Pernafasan Pleuritis atau efusi pleura. e. Sistem Vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. f. Sistem Perkemihan Glomerulus renal yang biasanya terkena. g. Sistem Saraf Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

5. DIAGNOSA Diagnosis SLE seringkali sulit ditegakkan karena gejala klinis penyakitnya sangat beraneka ragam. Untuk menegakkan diagnosis SLE umumnya harus dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain. Kedua, mencari tanda dan gejala penyakit yang memiliki nilai diagnosis tinggi untuk SLE. Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis lupus dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria, yaitu: Bercak-bercak merah pada hidung dan kedua pipi yang memberi gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash) Kulit sangat sensitif terhadap sinar matahari (photohypersensitivity). Luka di langit-langit mulut yang tidak nyeri. Radang sendi ditandai adanya pembengkakan serta nyeri tekan sendi. Kelainan paru. Kelainan jantung. Kelainan ginjal. Kejang tanpa adanya pengaruh obat atau kelainan metabolik. Kelainan darah (berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah). Kelainan sistem kekebalan (sel LE positif atau titer anti-ds-DNA abnormal atau antibodi anti SM positif atau uji serologis positif palsu sifilis) Antibodi antinuklear (ANA) positif. Kelainan yang paling sering adalah kelainan sendi dan kelainan kulit. Sendi yang sering terkena adalah sendi jari-jari tangan, sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan sendi pergelangan kaki. Kelainan kulit berupa butterfly rash dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis lupus.

6. PENATALAKSANAAN Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit. Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan rawat inap.

Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai are klinik karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang utama. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stress dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advis tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat member dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka. 7. KOMPLIKASI Komplikasi lupus eritematosus sistemik 1. Serangan pada Ginjal a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal) b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal) c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin). 2. Serangan pada Jantung dan Paru a) Pleuritis b) Pericarditis c) Efusi pleura d) Efusi pericard e) Radang otot jantung atau Miocarditis

f) Gagal jantung g) Perdarahan paru (batuk darah). 3. Serangan Sistem Saraf a) Sistem saraf pusat Cognitive dysfunction Sakit kepala pada lupus Sindrom anti-phospholipid Sindrom otak Fibromyalgia. b) Sistem saraf tepi Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c) Sistem saraf otonom Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom. 4. Serangan pada Kulit Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an : a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin. b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh c) Lesi non spesifik - Rambut rontok (alopecia) - Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok - Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing. 5. Serangan pada Sendi dan Otot - Radang sendi pada lupus - Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata 7. Serangan pada Darah Anemia Trombositopenia Gangguan pembekuan Limfositopenia 8. Serangan pada Hati

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan. a. Pemeriksaan Autoantibodi
Antibody Prevalensi, % Antinuclear antibodies (ANA) 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis. Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia. Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNA Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE. Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada Tidak spesifik SLE; berkaitan Antigen yang Dikenali Clinical Utility

hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa

dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.

Anti-La (SS-B)

10

47-kDa protein pada hY RNA

Biasanya terkait dengan antiRo; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis

Antihistone

70

Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin) Phospholipids,2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin

Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE. Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia. Diukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis.

Antiphospholipid

50

Antierythrocyte

60

Membran eritrosit

Antiplatelet

30

Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet.

Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antineuronal (termasuk antiglutamate receptor) Antiribosomal P

60

Neuronal dan permukaan antigen limfosit

Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif. Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

20

Protein pada ribosome

Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE b. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. c. Ruam kulit atau lesi yang khas d. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis e. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung f. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein g. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah h. Biopsi ginjal i. Pemeriksaan saraf.

9. ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian 1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien. 2. Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher. 3. Kardiovaskuler Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga. 4. Sistem Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. 5. Sistem integument Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 6. Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura. 7. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 8. Sistem Renal Edema dan hematuria. 9. Sistem saraf Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

b. Diagnosa, tujuan, kriteria hasil, intervensi 1. Pola Nafas tidak efektif


Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan : - Penurunan energi/Kelelahan NOC : Respiratory ventilation Respiratory status: airway patency DO: Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi Penurunan pertukaran udara permenit Penggunaan otot bantu pernafasan Tahap ekspirasi berlangsung cepat Penurunan kapasitas vital Respirasi < 11-24x/mnt Vital sign status Setelah dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan selama.. keefektifan status: Intervensi NIC : Pressure Management Posisikan pasien untuk Rencana keperawatan

memaksimalkan ventilasi Lakukan fisioterpi dada jika perlu Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan Berikan bronkodilator:.... Atur intake untuk cairan

mengoptimalkan keseimbangan Monitor respirasi dan status O2 Bersihkan mulut, hidung dan sekret trakea Pertahankan jalan nafas yang paten Observasi adanya tanda hipoventilasi Monitor TTV Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk

pola nafas pasien teratasi dengan kriteria hasil: Mendemostrasikan batuk efektif dan tidak ada pursed lips Menunjukkan jalan

nafas yang paten tidak tercekik dan RR normal TTV normal dalam rentang

memperbaiki pola nafas Monitor pola nafas Ajarkan bagaimana batuk efektif

2. Gangguan perfusi jaringan Perifer


Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Gangguan perfusi jaringan Perifer berhubungan dengan : penurunan komponen NOC : CRT normal Nadi kuat Vital sign status Setelah dilakukan tindakan Intervensi NIC : Pressure Management Kaji perubahan yang tiba-tiba Kaji adanya pucat (akral dingin) Observasi tanda-tanda vital Kaji kekuatan nadi perifer Rencana keperawatan

seluler yang penting untuk pengangkutan oksigen dan

nutrisi ke sel DO: warna kulit pucat saat elevasi penurunan nadi CRT >2dtk Perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut, kelembapan, kuku, sensasi suhu)

keperawatan

selama..

Kaji tanda-tanda dehidrasi Observasi intake dan output cairan Observasi

gangguan jaringan perifer teratasi hasil: dengan kriteria

tanda-tanda tiba-tiba

iskemik misalnya

ekstremitas

o
Akral hangat Anemia CRT < 2dtk BGA normal

penurunan suhu, peningkatan nyeri.

3. Kerusakan integritas kulit


Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan : Internal : - Defisit imunologi NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes Wound Healing : primer dan sekunder DO: Gangguan pada bagian tubuh Kerusakan lapisa kulit (dermis) Gangguan permukaan kulit (epidermis) Setelah dilakukan tindakan keperawatan kerusakan pasien selama.. integritas kulit Intervensi NIC : Pressure Management Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar Hindari kerutan pada tempat tidur Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali Monitor kulit akan adanya kemerahan Oleskan lotion atau minyak/baby oil kulit yang bisa pada derah yang tertekan Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien Monitor status nutrisi pasien Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat Kaji lingkungan dan peralatan yang luka/lesi menyebabkan tekanan Observasi kedalaman luka luka, : lokasi, dimensi, Rencana keperawatan

teratasi

dengan

kriteria hasil: Integritas baik dipertahankan (sensasi, temperatur, pigmentasi) Tidak ada elastisitas, hidrasi,

pada kulit Perfusi jaringan baik Menunjukkan

karakteristik,warna

cairan, granulasi, jaringan nekrotik,

pemahaman

dalam

tanda-tanda traktus

infeksi

lokal,

formasi

proses perbaikan kulit dan terjadinya berulang Mampu melindungi kulit dan mempertahankan mencegah sedera

Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin Cegah kontaminasi feses dan urin Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril Berikan posisi yang mengurangi

kelembaban kulit dan perawatan alami Menunjukkan terjadinya proses

tekanan pada luka

penyembuhan luka

4. Nyeri
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Nyeri akut berhubungan dengan: Kerusakan jaringan Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC : Pain Level, pain control, comfort level DS: - Laporan secara verbal DO: - Posisi untuk menahan nyeri - Tingkah laku berhati-hati - Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai) - Terfokus pada diri sendiri - Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) - Tingkah laku distraksi, Setelah dilakukan tinfakan keperawatan Pasien tidak selama NIC : Lakukan pengkajian nyeri secara lokasi, Intervensi

komprehensif

termasuk

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi reaksi nonverbal dari . Observasi Bantu

mengalami

ketidaknyamanan pasien dan keluarga untuk

nyeri, dengan kriteria hasil: Mampu mengontrol nyeri (tahu mampu tehnik penyebab

mencari dan menemukan dukungan lingkungan nyeri yang seperti dapat suhu

nyeri, Kontrol

menggunakan nonfarmakologi

mempengaruhi

ruangan, pencahayaan dan kebisingan Kaji

untuk mengurangi nyeri, Kurangi faktor presipitasi nyeri mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

dengan Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin analgetik untuk mengurangi nyeri: ...

menggunakan manajemen nyeri

Mampu mengenali nyeri Berikan (skala, intensitas,

contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) - Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) - Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) - Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)

frekuensi dan tanda nyeri)

Tingkatkan istirahat

Menyatakan rasa nyaman Berikan informasi tentang nyeri seperti setelah nyeri berkurang Tanda vital dalam rentang normal Tidak gangguan tidur penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi

ketidaknyamanan dari prosedur mengalami Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Berhubungan dengan : Ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis. DS: Mual NOC: a. Nutritional status: Adequacy of nutrient b. Nutritional Status : food and Fluid Intake c. Weight Control Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.nutrisi kurang teratasi dengan indikator: Albumin serum Pre albumin serum Hematokrit Hemoglobin Intervensi Kaji adanya alergi makanan Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Rencana keperawatan

menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien Yakinkan mengandung diet tinggi yang serat dimakan untuk

mencegah konstipasi Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah Monitor lingkungan selama makan Jadwalkan pengobatan tidak selama jam makan dan tindakan

- Muntah - Rasa penuh tiba-tiba setelah makan DO: - Diare

- Rontok rambut yang berlebih - Kurang nafsu makan - Bising usus berlebih - Konjungtiva pucat - Denyut nadi lemah

Total capacity

iron

binding Monitor turgor kulit Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht Monitor mual dan muntah Monitor pucat, kemerahan, dan

Jumlah limfosit

kekeringan jaringan konjungtiva Monitor intake nuntrisi Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi Kolaborasi dengan dokter tentang

kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan Kelola pemberan anti emetik:..... Anjurkan banyak minum Pertahankan terapi IV line Catat adanya edema, hiperemik,

hipertonik papila lidah dan cavitas oval

DAFTAR PUSTAKA Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Agung Waluyo. Jakarta : EGC Price, Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih bahasa brahm. Jakarta : EGC Lewis, Sharon Mantik. 2000. Medical Surgical Nursing 5th Edition 2nd Volume. United States of America : Mosby, Inc. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Anda mungkin juga menyukai