Anda di halaman 1dari 4

Cyber Bawaslu Team (CBT): Upaya Pemberantasan Hoax oleh state auxiliary bodies dalam

Menyambut Pemilihan Umum

Setiap manusia di dunia ini mempunyai hak untuk dapat berekspresi, baik itu berbicara, berpendapat,
dan lain-lain. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (DUHAM
PBB) pun menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan
tidak memandang batas-batas”. Hal itu menandakan bahwa hak freedom of speech (kebebasan berbicara)
juga pasti dimiliki oleh setiap individu, baik dalam lingkup universal maupun lingkup negara kita sendiri.
Kebebasan berbicara disini bukan hanya dalam bentuk secara manifes melalui pembicaraan secara langsung,
tetapi juga mencakup kebebasan berbicara di media sosial.
Eksistensi dari media sosial memang memberikan dampak positif bagi penggunanya, salah satunya
adalah sebagai saluran penyebaran informasi ter-update yang kredibel. Akan tetapi, tidak sedikit dampak
negatif yang diakibatkan oleh media sosial, salah satunya penyebaran berita bohong atau yang biasa kita
sebut hoaks. Implementasi dari hak freedom of speech inilah yang banyak disalahgunakan oleh banyak
netizen (orang yang aktif dalam internet) untuk memunculkan berita-berita yang tidak kredibel. Sensasi ini
memang sengaja dibuat oleh pihak yang menyalah-gunakan hak freedom of speech-nya untuk merebut
perhatian lebih banyak netizen serta untuk mencari perhatian publik agar mendapatkan jumlah pengunjung
yang banyak di setiap website yang berisi berita hoaks. Di Indonesia, fenomena hoaks atau berita bohong
sedang menjadi trending topic dalam tenggat akhir-akhir ini, dimana hal inilah yang menjadi salah satu
persoalan yang tidak dapat dipandang remeh di Indonesia. Persoalan inilah yang dapat memicu perpecahan
bangsa, dimana banyak netizen Indonesia yang saling ‘adu lempar’ argumentasi yang menurut mereka
masing-masing ialah yang alasan pembenar. Berita yang sifatnya provokatif inilah yang akan mendorong
penerima dan pembaca untuk ikut ‘termakan’ atas penggiringan opini ‘sesat’ yang telah dibuat penulis.
Opini-opini yang telah ditulis mayoritas berisi dengan fitnah-fitnah, ujaran kebencian, data serta fakta
manipulatif alias dibuat-buat, yang sebenarnya ini semua ditujukan untuk mendiskreditkan atau menyerang
seseorang atau suatu pihak, agar pihak yang dituju ini mendapatkan pandangan serta pretensi yang buruk di
mata masyarakat. Salah satu berita hoax yang muncul di media sosial adalah website skandalsandiaga.com.
Website skandalsandiaga.com berisikan tuduhan bahwa Sandiaga Uno yang notabene adalah salah
satu kandidat calon wakil presiden (Cawapres) periode 2019-2024 mempunyai perempuan simpanan. Dalam
website tersebut menyebutkan bahwa adanya perselingkuhan antara Sandiaga Uno dengan seorang wanita
yang berstatus sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta, serta dalam situs itu disebutkan bahwa
perselingkuhan tersebut terjadi ketika Sandiaga Uno masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Situs itu juga menampilkan beberapa artikel yang mendiskreditkan Sandiaga Uno, contohnya artikel yang
berjudul “Kantor Wagub DKI menjadi Sarang Mesum Sandiaga dan Shinta Bubu”, lalu ada artikel yang
berjudul “Mirsya Mondar-Mandir ke Kantor Gubernur untuk Spa Plus-Plus Sandiaga”, kemudian juga ada
artikel berjudul “Kisah Threesome Sandiaga”. Situs ini memang telah diblokir oleh Kominfo karena telah
melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (selanjutnya
disebut UU ITE), sehingga tidak dapat lagi diakses sejak 25 September 2018.
Kasus skandalsandiaga.com ini termasuk delik aduan, dikarenakan terdapat tindak pidana sehingga
jelas melanggar UU ITE. Sehingga Mabes Polri akan melakukan penyelidikan jika ada laporan dari
masyarakat yang dirinya merasa telah dirugikan dengan adanya situs tersebut. Jika berhasil ditangkap,
pelaku pembuat situs ini dapat dikenakan sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah tertulis
“setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.” Ancaman pidana bagi pelaku yang telah melanggar ketentuan Pasal 27
ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Berdasarkan UU ITE tersebut terdapat asas kehati-hatian yang mempunyai maksud bahwa pihak-
pihak yang bersangkutan (yang menggunakan media sosial) harus memperhatikan segenap aspek yang
berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik. Seseorang atau kelompok cenderung percaya dengan informasi
sekalipun itu hoaks jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap politik yang telah mereka miliki. Jika
seseorang atau kelompok tidak berhati-hati dalam menyebarkan sebuah berita dengan fakta atau data yang
ada, atau bahkan tidak meverifikasi dahulu isi dari berita tersebut, maka secara otomatis akan dapat
menimbulkan hoaks.
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 baik Jokowi-Ma’ruf Amin ataupun Prabowo-
Sandiaga Uno sebenarnya juga telah menyampaikan dan mengajak kepada masyarakat untuk tidak
menyebarkan berita-berita hoaks yang menyangkut nama kandidat calon Presiden maupun Wakil Presiden.
Sangat disayangkan ketika ditengah-tengah ajakan kampanye damai yang telah dideklarasikan oleh kedua
pasangan calon yang akan maju dalam Pemilihan Presiden 2019, ada pihak yang memperkeruh suasana dan
menganggu kelancaran Pemilihan Umum 2019 dengan munculnya situs skandalsandiaga.com. Pemilihan
Presiden 2019 yang menjadi bagian dari Pemilihan Umum 2019 seharusnya diisi dengan adu ide dan
gagasan antara dua pihak pasangan calon agar terciptanya demokrasi yang sejuk, bukan maraknya hoaks
yang dilakukan dengan cara adu lempar fitnah maupun argumentasi yang tak berdasar satu sama lain yang
sebenarnya hal inilah yang menyebabkan instabilitas politik di Indonesia.
Solusi dari permasalahan diatas adalah dibentuknya Cyber Bawaslu Team (CBT) independen dari
pihak Bawaslu sendiri. Hal ini dikarenakan sejak perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018
pihak banwaslu telah bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) serta
Kominfo1. Untuk saat ini hanya Kominfo yang berhak2 men-take down akun-akun yang melakukan
kampanye negatif dan menyebarkan berita hoaks di media sosial. Maka dari itu, perlu adanya dasar hukum
agar bawaslu dapat men-take down sendiri tanpa harus berkoordinasi dengan kominfo. Sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 40 Ayat (2b) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
diberikan penjelasan lebih detail akan frasa ‘pemerintah’ dalam bagian penjelasan umum, dikarenakan
Bawaslu sendiri juga merupakan bagian dari pemerintah, tepatnya sebagai bagian dari KPU 3, yang mana
KPU sendiri merupakan state auxiliary bodies4.
Pembentukan CBT ini bertugas untuk memantau aksi-reaksi atau kemelut netizen yang memposting
ujaran kebencian ataupun berita hoaks untuk menjatuhkan dukungan politik satu sama lain, yang dimana hal
ini bisa dideteksi dengan melihat sumber berita yang telah di share oleh netizen. Setelah melihat sumber
berita tersebut, jika dipastikan berita tersebut hoaks, tim cyber bawaslu ini berwenang untuk melacak siapa
pemilik akun di sosial media, yang biasanya akun-akun ini merupakan akun 'abal-abal' yang tidak
memunculkan foto profil diri sendiri. Cara melacak ini dapat dilihat dengan cara mencari IP Address dari
pengguna, maka akan diketahui alamat dari pemilik akun penyebar hoaks tersebut. Dalam penanganannya di
lapangan, dibentuk sebuah densus khusus. Penulis mengusulkan dengan nama densus 15, dimana angka 15
diambil dari dasar hukum pendirian Bawaslu yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Densus 15 ini bertugas untuk meng-crosscheck keadaan di lapangan,
yang mana artinya menemui pelaku dari penyebar hoaks untuk dimintai keterangan lebih lanjut akan
perbuatan yang telah dia lakukan. 
Hoaks merupakan salah satu bentuk dari implementasi hak freedom of speech yang salah. Kebebasan
kita berpendapat bukanlah berarti kita bebas yang sebebas-bebasnya dalam mengemukakan pendapat,
melainkan kita mempunyai batasan. Batasan yang dimaksud adalah adanya hak orang lain yang patut kita
hargai dan hormati, sehingga diharapkan manusia sebagai makhluk sosial wajib menghargai satu sama lain,
yang mana hal ini sesuai dengan butir-butir pancasila sila kelima butir ketiga yang berbunyi menghormati
hak orang lain. Hak kebebasan masing-masing individu untuk mengemukakan pendapat harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab. Dalam mengemukakan pendapat harus dilandasi dengan nalar yang baik,
data dan fakta disertai bukti yang akurat, dan dengan niat baik. Sedangkan hoaks adalah tindakan yang tak
bertanggung jawab, berisi data dan fakta tidak sesuai bahkan manipulatif, dan dilakukan dengan niat yang

1
Dwi Andayani, “Lawan Hoax di Pilkada 2018, Bawaslu-KPU-Kominfo Jalin Kerja Sama”,
(https://news.detik.com/berita/3842549/lawan-hoax-di-pilkada-2018-bawaslu-kpu-kominfo-jalin-kerja-sama, diakses pada 7
Oktober 2018, 2018)
2
Pasal 40 Ayat (2b) UU Nomor 19 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang berbunyi
“Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses
dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”
3
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dan Nomor 81/PUU-IX/2011 menjelaskan bahwa KPU,
Bawaslu, dan DKPP adalah bagian dari komisi pemilihan umum yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
memiliki sifat mandiri.
4
Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden sebagai bentuk kelembagaan bantu
buruk. Maka dari itu hoaks sangat bertentangan dengan esensi kebebasan mengemukakan pendapat yang
sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011

Website
Dwi Andayani, “Lawan Hoax di Pilkada 2018, Bawaslu-KPU-Kominfo Jalin Kerja Sama”,
https://news.detik.com/berita/3842549/lawan-hoax-di-pilkada-2018-bawaslu-kpu-kominfo-jalin-kerja-
sama. diakses pada 7 Oktober 2018, 2018

Anda mungkin juga menyukai