Anda di halaman 1dari 8

MOSI DEBAT : MEDIA SOSIAL DIBATASI UNTUK MENGHINDARI HOAX

(KONTRA)

Media sosial (sering disalahtuliskan sebagai sosial media) adalah sebuah media daring, dengan para
penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi blog, jejaring sosial, wiki,
forum dan dunia virtual.

hoax adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Arti hoax
adalah salah satu tren terburuk yang pernah ada dalam sejarah penggunaan media sosial. 

langkah pembatasan akses media sosial yang diambil pemerintah ini adalah bentuk internet throttling atau
pencekikan akses internet, yang berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan
berekspresi.

Internet throttling merupakan salah satu bentuk internet shutdown, yakni secara sengaja membatasi akses
publik pada internet untuk periode tertentu. Sejatinya pembatasan akses internet bukanlah barang baru.
Access Now, perusahaan yang menyuarakan hak digital, mencatat ada 56 kasus internet shutdown di
seluruh dunia, naik 180% dari tahun sebelumnya.

Eko Nugroho memberikan tips agar masyarakat tidak terjebak dengan berita hoaks. Hal itu
disampaikannya dalam acara 'Literasi Cerdas Bermedia Sosial' yang digagas Mudamudigital di
Kota Bandar Lampung, (3/11).
Hati-hati dengan judul provokatif
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan
langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi,
hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang
pembuat hoaks.
 
Cermati alamat situs
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL
situs dimaksud. Berita yang berasal dari situs media yang sudah terverifikasi Dewan Pers akan
lebih mudah diminta pertanggungjawabannya.

Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43 ribu situs di Indonesia yang
mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs
berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi
menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.

Periksa fakta
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi seperti
KPK atau Polri?  Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber,
pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.

Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan
opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah
pendapat dan kesan dari penulis berita, sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat
subyektif.
Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi,
melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga
mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.

Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni
dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan
menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
 
Ikut serta grup diskusi anti-hoax
Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti-hoax, misalnya Forum Anti Fitnah,
Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian
Hoaxes, dan Grup Sekoci.

Di grup-grup diskusi ini, warganet bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax
atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota
bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan
tenaga banyak orang.
Pembatasan akses ke sejumlah media sosial secara sementara pada 22-25 Mei kemarin untuk
mengurangi hoax mendapat tanggapan pro dan kontra dari warganet, sebagian setuju untuk
mengurangi hoaks, yang lainnya merasa akses menuju informasi menjadi berkurang.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara beberapa waktu lalu menyatakan pembatasan ini
sesuai dengan UU nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
berkaitan dengan manajemen konten.

Pasal 40 ayat 2 UU ITE menyebutkan pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Kepala Divisi Akses Atas Informasi SAFEnet, Unggul Sagena, berpendapat pembatasan akses ke
media sosial seperti kemarin, sebenarnya bisa saja dilakukan selama pemerintah memberikan
informasi yang jelas mengenai waktu pembatasan tersebut dan menyampaikan tahapan-
tahapannya.

"Masyarakat bisa antisipasi dan memberikan informasi kalau akan ada ketidakbisaan informasi
komunikasi dalam sekian jam sehingga klien, kerabat, dan seterusnya bisa memaklumi," kata Unggul
saat dihubungi Antara, Minggu.

Tapi, hoaks tidak hanya tersebar di hari-hari tersebut dan platform tertentu. Unggul mengakui
selama pembatasan mungkin saja konten hoaks menurun di platform-platform yang dibatasi
tersebut, namun dia khawatir hoaks tersebut sebenarnya hanya pending atau tertunda dan tetap
terkirim ketika pembatasan dicabut.

Instan
SAFEnet menilai pembatasan akses ke media sosial merupakan cara yang instan untuk mengurangi
hoaks, berbeda dengan literasi digital yang memerlukan waktu yang lama.

"Medsos hanya salah satu kanal penyebaran misinformasi, disinformasi dan malinformasi," kata dia.

Penyebaran hoax lainnya bisa dilakukan melalui komunikasi langsung dan berkaitan dengan cara
pikir dan mental penerima pesan. SAFEnet menilai literasi digital harus dikedepankan dalam
mengurangi hoax.

Jika masyarakat yang termakan hoax melakukan pelanggaran hukum, menurut dia dapat ditindak
secara hukum untuk memberikan efek jera.

"Pembatasan (medsos) tidak memberikan efek jera," kata dia.

Dia mencontohkan salah satu konsekuensi dari pembatasan media sosial ini, masyarakat awam
menggunakan virtual private network (VPN) agar bisa mengakses sejumlah fitur di media sosial yang
untuk sementara diblokir.

Dia khawatir VPN justru menjadi sarana untuk mengakses konten-konten negatif yang selama ini
ditepis.

Warganet memiliki hak digital, dalam konteks Indonesia, hak digital yang dianut di sini berkaitan
dengan hak asasi manusia secara universal pada ruang siber, antara lain hak kebebasan berekspresi
dan hak untuk mencari, menerima dan memberi informasi.

Hak tersebut, menurut Unggul, tercederai ketika pemerintah secara sepihak dan tanpa memberikan
paramater ketika memberlakukan pembatasan media sosial, serta menimbulkan ketidakjelasan
informasi.

"Rakyat sesungguhnya dapat menerima apabila ada alasan disampaikan dan jangka waktu jelas,
terutama pada real time jam-jam rawan yang disebut 'urgent' atau 'darurat', dan itu penetapan
darurat pun ada mekanisme prosedurnya," kata dia.
Pemerintah, menurut dia cukup memberi imbauan untuk tidak menyebarkan hoaks dan akan
menindak para pelanggar dalam menyikapi informasi-informasi yang menyesatkan saat aksi 22 Mei
kemarin. Secara paralel Kominfo, kepolisian, tentara, intelijen dan lembaga-lembaga terkait bekerja
sama dengan penyedia layanan untuk melakukan cara agar dampak hoaks tidak meluas, tanpa
mengurangi hak digital masyarakat.

CJR (Institute for Criminal Justice Reform) mempertanyakan inisiatif pembatasan


akses medsos oleh pemerintah. Sementara AJI (Aliansi Jurnalis Independen)
mendesak agar langkah ini dihentikan.

ICJR menilai, pembatasan akses tidak diperlukan karena dua alasan.

"Ini bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta
kebebasan berekspresi. Pembatasan yang dilakukan terhadap media sosial dan
aplikasi messaging telah menghambat komunikasi masyarakat, terutama melalui
aplikasi Whatsapp dan Line," jelas Anggara, Direktur Eksekutif ICJR dalam rilis yang
diterima Beritagar.id.

Padahal, Pasal 28F UUD 1945 telah melindungi hak masyarakat untuk
berkomunikasi, memperoleh informasi, serta mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.

Alasan kedua, pembatasan akses medsos tanpa pemberitahuan adalah tidak tepat.
Pasalnya, kondisi negara tidak memenuhi syarat jika sampai harus membatasi hak
masyarakat,

"Ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi
manusia yaitu: pertama, situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam
kehidupan bangsa dan Kedua, presiden harus penetapan secara resmi bahwa
negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden," papar Anggara.

Senada dengan pernyataan ICJR, AJI pun tak sependapat dengan pembatasan
akses medsos. Di satu sisi langkah ini diambil untuk menghindari hoax, di sisi lain,
masyarakat jadi kesulitan mendapatkan informasi yang benar.

"Menyikapi langkah ini, AJI menyatakan sikap, mendesak pemerintah segera


mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial," ungkap Ketua Umum AJI
Indonesia, Abdul Manan dalam keterangan resmi pada wartawan.
AJI mengimbau seluruh pihak memanfaatkan kebebasan berekspresi sebaik-
baiknya. "Juga mendorong pemerintah meminta penyelenggara medsos untuk ikut
mencegah penyebarluasan hoaks, fitnah, hasut, dan ujaran kebencian secara
efektif, melalui mekanisme yang transparan, sah, dan bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum," tambah Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim.

Pemerintah, menurut ICJR, perlu mengkaji batasan yang jelas agar tidak
mengurangi hak orang berkomunikasi.

"Kalaupun keadaan tidak darurat, namun pemerintah merasa perlu melakukan


tindakan yang mengakibatkan pembatasan HAM, tindakan tersebut harusnya
merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di
Indonesia, yaitu Jaksa Agung. Sehingga kebijakan yang diambil pemerintah
merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis," Anggara menjelaskan.

Menkopolhukam mengungkap, pembatasan akses berlandaskan Undang-Undang


(UU) No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
dilakukan untuk meningkatkan literasi masyarakat akan kemampuan teknologi
digital, serta manajemen konten serta pembatasannya.
Namun, pada praktiknya sebagian masyarakat tak bisa hidup tanpa media sosial.
Berbagai cara pun dilakukan untuk mendapatkan dan mengirim informasi di media
sosial, termasuk penggunaan virtual private network (VPN) yang bisa berbahaya.
Pengamat keamanan siber, Alfons Tanujaya mengungkap setidaknya tiga ancaman
yang dihadapi pengguna layanan VPN yang tidak tepercaya. Mulai dari pencurian
data, malware, dan profiling.
"Pada prinsipnya kerja (VPN) sama kayak proxy server. Apapun yang lewat proxy
server bisa diliat oleh pemilik proxy," terang Alfons dinukil CNN.com.
Saat gawai terhubung dengan server penyedia VPN, pemilik server bisa melihat
konten data pada gawai. Username, password, data finansial, dan lainnya bisa saja
diekstraksi tanpa sepengetahuan pemilik ponsel.
Selain itu, VPN berisiko disusupi malware. Jika ponsel sudah kena malware, risiko
keamanannya menurut Alfons cukup tinggi.
Pengguna juga perlu waspada jika menggunakan layanan VPN dalam jangka waktu
lama. "Profil kita bisa ketahuan. Misal ketahuan kita suka otomotif, pilihan politik
seperti apa, bisa disalahgunakan kayak kasus Cambridge Analytica," papar Alfons.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih layanan VPN. Menurut
Francis Dinha, CEO dan Co-Founder OpenVPN Inc., gratis adalah salah satu yang
sebaiknya dihindari.
"Provider yang menawarkan layanan cuma-cuma mengganti biaya dengan cara lain,
cara yang berpotensi berkaitan dengan penjualan data pribadi Anda. Sebagai
gantinya, cari penyedia layanan berbiaya rendah. Itu sepadan untuk mencegah
kehilangan dan pencurian data yang mahal," pungkas Dinha.

PRO

-menghindari hoax

-menghindari agar tidak tersulut emosi

-menghindari penyalahgunaan media sosial

Kontra

-bertentangan dengan hak asasi

-media sosial untuk informasi yg jelas

-menggunakan vpn dan bisa berefek negatif

-tidak efektif karena hoax bisa lewat komunikasi lgsg

Penyampaian akan informasi begitu cepat dimana setiap orang telah dengan mudah
memproduksi informasi, dan informasi yang begitu cepat tersebut melalui beberapa
media sosial seperti facebook, twitter, ataupun pesan telpon genggam
seperti, whatsapp dan lain sebagainya yang tidak dapat difilter dengan baik.
Informasi yang dikeluarkan baik orang perorang maupun badan usaha melalui media
sosial dan elektronik ketika telah terkirim dan dibaca oleh banyak orang dapat
mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran  bahkan tindakan seseorang atau kelompok.
Sangat disayangkan apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi
yang tidak akurat terlebih informasi tersebut adalah informasi bohong (hoax) dengan
judul yang sangat provokatif mengiring pembaca dan penerima kepada opini yang
negatif. Opini negatif, fitnah, penyebar kebencian yang diterima dan menyerang pihak
ataupun membuat orang menjadi takut, terancam dan dapat merugikan pihak yang
diberitakan sehingga dapat merusak reputasi dan  menimbulkan kerugian materi.

CNN Indonesia menyebutkan bahwa dalam data yang dipaparkan oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia
yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate
speech) (Pratama, 2016). Kemkominfo juga selama tahun 2016 sudah memblokir 773
ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya
mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian,
radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Dari jumlah itu, paling banyak yaitu unsur pornografi (Jamaludin, 2016).
Dampak Positif Pembatasan Jejaring Sosial
Para pengguna media sosial bisa mengambil pelajaran dari pemblokiran dengan mengerem hasrat
untuk memprovokasi masyarakat berbuat anarkhis, mengurangi meluasnya ajaran-ajaran radikal
yang meresahkan masyarakat, mempersempit ruang gerak terorisme dan tentu saja di bulan
Ramadan hendaknya manusia lebih sibuk menilai diri sendiri, mengendalikan diri untuk tidak
membuat kata-kata yang berdampak menyakitkan dan melukai perasaan orang lain. 

Lebih banyak menulis status positif, mengurangi untuk memviralkan gambar, video, artikel yang
kurang akurat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

dampak positif pemblokiran antara lain mencegah maraknya uajran kebencian dan viral gambar
provokatif yang memicu kemarahan massa (tekno.kompas.com)

Masyarakat semakin kritis untuk tidak hanya membaca judul provokatif tanpa melihat keseluruhan
isinya, sebab kadang judul sama isinya berbeda. 

Masyarakat harus semakin cerdas dengan melihat, menelaah sebuah peristiwa dengan bijak, tidak
mudah terpancing dengan video atau konten yang isinya hanya hoax dan zonk, tidak bermutu.

Saat Facebook dan media sosial lainnya libur menayangkan gambar manusia Indonesia perlu
introspeksi dengan membaca sejumlah alasan yang sudah saya tulis di atas.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Septiaji Eko Nugroho selaku Inisiator Masyarakat Anti-Fitnah
Indonesia (MAFINDO) dan Ketua Masyarakat Indonesia Antihoax menjelaskan bahwa orang Indonesia
kerap percaya pada hoaks kesehatan dan keuangan. Karena itu, tak mengherankan jika ribuan orang
kerap jadi korban investasi bodong. "Kejadian tersebut terjadi karena orang Indonesia kurang edukasi
literasi digital. Kampanye publik dapat digalakkan untuk menangkal hoax," kata Septiaji.  Menurut dia,
keluarga adalah garda terdepan mencegah hoaks. Orangtua harus aktif saat anak mengakses media
sosial. Di sisi lain, seluruh pihak juga terlibat aktif menangkal hoax, tak terkecuali para pemimpin agama.
"Seringlah menulis hal-hal positif tentang lingkungan sekitar. Jangan diam dan sibuk pada urusan hal-hal
buruk. Tingkatkan level pemikiran kritis sebagai upaya memerangi informasi yang keliru," ujarnya. 
Sementara itu, Kanit V Subdit III Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Purnomo
mengingatkan agar generasi muda tidak sembarangan membagikan sesuatu di internet, misalnya
informasi menyinggung orang lain. "Menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet bisa
terancaman pidana pasal 310 dan 311 KUHP dan Undang-Undang ITE. Cek dulu informasi yang ingin
disebarkan, apa dapat merugikan orang lain, jangan sampai bersinggungan dengan hukum," katanya.
Menyadari bahwa saat ini era e-commerce sedang bertumbuh, Purnomo tak lupa memberikan tips agar
anak muda terhindar dari penipuan. Dia menyarankan, sebelum membeli sesuatu dari internet, sebaiknya
kita memilih online shop yang terverifikasi dan bisa dipercaya. "Walaupun harganya mungkin sedikit lebih
mahal. Kalau ada yang menawarkan harga lebih murah, tapi reputasi belum teruji, harus diwaspadai,"
katanya. Untuk pengguna internet yang sudah terlanjut menjadi korban penipuan, Purnomo menyarankan
agar mereka membuat laporan kepada Kepolisan. Berbekal bukti laporan dari Kepolisian, korban bisa
meminta agar bank membekukan sementara rekening pelaku penipuan. "Rekening pelaku bisa ditahan,
penundaan transaksi sebentar. Sesuai UU pencucian uang, bank dapat melakukan penundaan transaksi
bila ada transaksi yang mencurigakan. Ini kan teman-teman transaksi melalui transfer, jadi bisa dilihat,"
katanya. Perlu diketahui, data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan
bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta.

Anda mungkin juga menyukai