Namun, tidak semua keluarga menikmati atau memiliki rumah yang layak di
lingkungan permukiman yang sehat. Secara kuantitas, sekitar 6 juta jiwa keluarga
Indonesia belum memiliki tempat tinggal yang layak, sedangkan di Jawa Barat
memerlukan lebih dari 300 ribu unit perumahan. Sebagian besar penduduk
perkotaan bermukim di kawasan-kawasan kumuh perkotaan. Berdasarkan kondisi
psiko-sosial-ekonomi, permasalahan perumahan dan permukiman yang dihadapi
cukup beragam, diantaranya arus urbanisasi yang pesat, langkanya lahan murah,
tingkat disiplin kebersihan penduduk kota yang masih rendah, lemahnya
pengendalian tata ruang, kebutuhan perumahan yang cukup tinggi, kemampuan
ekonomi masyarakat yang rendah, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap
rumah dan lingkungan sehat, serta kebiasan-kebiasaan dan tradisi yang tidak
mendukung perilaku hidup sehat. Semua ini dapat menyebabkan kuantitas dan
kualitas perumahan dan permukiman jauh dari harapan ideal, yakni setiap keluarga
menempati rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat.
Pemberdayaan
Dalam era reformasi konsep Tribina ini kemudian berubah nama menjadi
Tridaya, karena kata bina lebih diartikan sebagai obyek pembinaan (top-down) dari
pemerintah, sedang kata daya lebih kepada prakarsa dan potensi yang tumbuh dari
masyarakat. Masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah, yang diperankan oleh
fasilitator atau konsultan pembangunan, adalah mereka yang menerima manfaat
langsung atau yang terkena dampak dari proyek pemerintah. Melalui daya
manusia, dilaksanakan proses penyadaran untuk menumbuhkan pengertian,
pengetahuan, kepedulian dan rasa memiliki dari peserta proyek atau kelompok
binaan terhadap permasalahan yang dihadapi. Mereka difasilitasi untuk
mendapatkan akses ke sumber daya pembangunan yang tidak mereka
miliki. Melalui daya usaha, penerima manfaat proyek diberi bekal pengetahuan dan
keterampilan usaha yang dapat membantu upaya-upaya peningkatan pendapatan.
Sedang, melalui daya lingkungan komunitas yang terkena dampak proyek diajak
untuk mengenali sumber permasalahan yang dihadapi dengan melakukan survei
kampung sendiri atau self-assessment survey. Hasil survey dipaparkan dalam acara
rembug warga. Dari hasil rembug warga kemudian diputuskan prioritas
pembangunan komponen prasarana dan sarana lingkungan, yang hasilnya berupa
Rencana Tindak Komunitas atau Community Action Plan. Melalui proses
penyadaran (diseminasi dan sosialisasi, rembug warga, dan fasilitasi),
pengorganisasian dan pengelolaan komunitas (lembaga akar rumput), serta
pendampingan, maka hasil pembangunan diharapkan dapat lebih efektif dan
berkelanjutan.
Pola pemberdayaan yang diterapkan dewasa ini sudah lebih mendalam, karena
adanya komponen baru dalam penyelenggaraan proyek perumahan swadaya atau
peningkatan kualitas lingkungan, yaitu penyediaan kredit mikro. Dengan adanya
komponen pembiayaan perumahan, baik untuk perbaikan rumah maupun
pembangunan baru, maka pengorganisasian komunitas (lembaga akra rumput)
menjadi dominan. Konsep modal sosial (social capital) menjadi perhatian terhadap
penguatan (community capacity building) organisasi dan kelembagaan
komunitas/akar rumput. Semua ini dilaksanakan agar resiko dalam penggunaan
dana untuk kredit mikro menjadi lebih terkendali.
Kondisi alam (ekologi) kepulauan dan kondisi fisik lingkungan yang beragam
cukup sulit untuk menyelenggarakan diseminasi dan sosialisasi. Kondisi sosial-
budaya yang terutama dipengaruhi ketiga unsur di atas menurunkan potensi-
potensi yang telah mengakar di masyarakat. Irama dan gaya kehidupan di
perkotaan dan perdesaan yang cukup jauh berbeda cukup sulit untuk
menyelenggarakan pembangunan berimbang. Lebih dari itu kendala waktu juga
mempengaruhi keefektifan dari proses pemberdayaan, serta keterlibatan instansi
lain yang terikat oleh perundangan otonom menjadikan konsep Tridaya tidak
sepenuhnya tertangani secara holistik. **
Ia mengatakan hal ini terjadi semenjak daerah memiliki hak otonom. “lebih
tegasnya ketika ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang perangkat daerah, yaitu
hajat dari pemerintah pusat untuk meredus sejumlah dinas,” katanya. Banyak dinas
yang menyesuaikan dengan kondisi itu, termasuk propinsi menyesuaikan keinginan
itu, meskipun pada akhirnya menurut Lukman terjadi perubahan wacana.
Hal ini terjadi pula di Jawa Barat, ditarkim sendiri bidang perumahan ini tidak
berkiprah, misalnya menurut Lukman, pembangunan Rusunawa, ternyata patner
konsultan dari pusat kerepotan siapa yang memegang kewenangan tersebut di
daerah. “Kita sebagai orang pusat menginginkan mengeluarkan uang banyak-
banyak kemabali berfikir apakah kapasitas di daerah sudah menangkap?” tanyanya.
Memang menurutnya Kementrian Negara hanya sebatas koordinasi, merumuskan
kebijakan, tapi dengan tantangan yang besar dan rencana jangka menengah tahun
2004-2009 sejalan visi misinya presiden terpilih, seperti membangun rumah layak
huni 1.350.000 lebih, membuat rusunawa, atau memfasilitasi pembuatan akte bagi
perumahan swadaya, jadi mentah lagi. “Karena sebagai orang dulu, eks Dirjen
Perumahan Permukiman di BKO-kan ke Menpera, di sana itu tidak ada orang yang
mengerjakan hal ini dan sekarang mereka sebagai Neighbourior Urban Selther
Sector Programe (NUSSP). Ini jadi krusial juga, tidak ada bagaimana pembinaan
masyarakat, pelaksanaan tribina,” katanya. (p02)
CONTOH KASUS BANTUAN CSR LAIN :