Anda di halaman 1dari 6

”Tridaya: Melawan Keterbatasan Mewujudkan Keterjangkauan”

Hakekat pembangunan perumahan dan permukiman menyangkut kepentingan


hajat hidup orang banyak yang penyelenggaraannya melibatkan banyak unsur.
Rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat merupakan tempat
berlindung dan membina keluarga. Tersedianya berbagai kemudahan, berupa air
bersih, sanitasi, fasilitas persampahan, saluran pembuangan air hujan, dan
sebaginya memberi rasa aman dan nyaman kepada keluarga untuk hidup, berusaha
dan bekerja. Lingkungan permukiman yang sehat disertai dengan perilaku hidup
sehat akan mendorong produktivitas kerja, pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan ekonomi keluarga.

Pembangunan perumahan dan permukiman pada dasarnya juga berperan dalam


peningkatan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan lapangan kerja dan
kesempatan usaha. Pembangunan perumahan, baik dari sisi pelaksanaannya
maupun pemanfaatannya, dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi
lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja konstruksi, penggunaan bahan-bahan
bangunan, pembelian berbagai macam perabotan rumah tangga, pemanfataan
rumah sebagai tempat usaha dan sosial. Maka, pembangunan perumahan dan
permukiman dapat bersifat konsumtif maupun produktif.

Namun, tidak semua keluarga menikmati atau memiliki rumah yang layak di
lingkungan permukiman yang sehat. Secara kuantitas, sekitar 6 juta jiwa keluarga
Indonesia belum memiliki tempat tinggal yang layak, sedangkan di Jawa Barat
memerlukan lebih dari 300 ribu unit perumahan. Sebagian besar penduduk
perkotaan bermukim di kawasan-kawasan kumuh perkotaan. Berdasarkan kondisi
psiko-sosial-ekonomi, permasalahan perumahan dan permukiman yang dihadapi
cukup beragam, diantaranya arus urbanisasi yang pesat, langkanya lahan murah,
tingkat disiplin kebersihan penduduk kota yang masih rendah, lemahnya
pengendalian tata ruang, kebutuhan perumahan yang cukup tinggi, kemampuan
ekonomi masyarakat yang rendah, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap
rumah dan lingkungan sehat, serta kebiasan-kebiasaan dan tradisi yang tidak
mendukung perilaku hidup sehat. Semua ini dapat menyebabkan kuantitas dan
kualitas perumahan dan permukiman jauh dari harapan ideal, yakni setiap keluarga
menempati rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat.

Pemberdayaan

Dengan keterbatasan keuangan negara dan rendahnya kemampuan masyarakat


untuk membangun perumahan dan permukiman sehat, maka pembangunan
perumahan dan permukiman tidak dapat mengandalkan pada peran pemerintah
belaka. Oleh karenanya, penanganan masalah dan kebutuhan akan perumahan
perlu didekati melalui berbagai strategi sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada
di masyarakat.
Ada tiga pendekatan atau strategi yang dapat ditempuh untuk pembangunan
perumahan dan permukiman yang melibatkan peran serta
masyarakat. Pertama adalah pendekatan kesejahteraan (welfare strategy) dimana
peran birokrasi atau pemerintah sangat dominan. Dalam pendekatan kesejahteraan
ini pemerintah memberi bantuan penuh kepada masyarakat yang membutuhkan
rumah. Masyarakat yang dibantu tergolong dalam kelompok yang rentan atau
sangat miskin, seperti kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan, pengungsi akibat konflik sosial dan etnis, yang memerlukan uluran
tangan dari pemerintah atau pihak luar agar dapat hidup layak. Keduaadalah
strategi responsif atau responsive strategy dimana peran birokrasi masih dominan.
Dalam strategi ini masyarakat yang dibantu adalah mereka yang  berpenghasilan
rendah dan secara ekonomi kurang aktif atau mereka yang terkena bencana alam
atau musibah lainnya, seperti pergusuran, krisis ekonomi, dengan tujuan
memulihkan kembali kepada kehidupan normal atau kondisi yang lebih baik.
Sedang strategi ketiga adalah pendekatan pemberdayaan atau empowerment
strategy dimana peran masyarakat dominan.  Fokus dari strategi ini adalah
kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah dan aktif secara ekonomi serta
tidak memiliki akses kepada sumber daya perumahan. Tujuan dari pendekatan
pemberdayaan adalah untuk memampukan masyarakat memecahkan sendiri
masalah yang dihadapi dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Di bidang perumahan dan permukiman, sejak tahun 1980-an konsep


pemberdayaan ini berkembang menjadi enabling strategy dimana peran
pemerintah bergeser dari penyedia menjadi pendorong atau fasilitator.
Melalui enabling strategy sumber daya yang dimiliki negara akan menjadi lebih
berdayaguna karena adanya berbagi peran dan kemitraan (role sharing dan
resources sharing) antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Masyarakat atau
komunitas dapat ikut ambil bagian untuk mengisi kegiatan yang diprogramkan
oleh pemerintah maupun bertindak sebagai pemeran utama bagi kegiatan yang
diprakarsainya sendiri. Agar keterlibatan masyarakat di bidang penyelenggaraan
perumahan dan permukiman menjadi dinamis dan berkelanjutan, maka diperlukan
terbentuknya gerakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dari sini timbul pola pikir
untuk memberdayakan atau memampukan masyarakat dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapinya sendiri secara mandiri.

Tribina atau Tridaya

Mengingat kondisi yang berbeda, di masa lalu, penanganan pembangunan


perumahan dan permukiman diarahkan pada upaya perbaikan dan pembangunan
baru pada kawasan-kawasan permukiman di daerah perkotaan, sedang di daerah
perdesaan penanganannya lebih ditekankan pada pelibatan masyarakat dalam
proses penyelenggaraannya. Pendekatan pemberdayaan masyarakat pada dasarnya
telah mengakar dalam budaya Indonesia, terutama di daerah perdesaan yang
bersifat agraris, baik dalam bentuk mufakat (rembug desa, manunggal
sakato, ririungan sarumpi, dan lain lain) maupun dalam bentuk etos kerja (gotong-
royong, gunung-gunung, mapalus, dan lain lain). Dari pembangunan perumahan
dan permukiman di perdesaan inilah konsep Tribina lahir dan berkembang. Selain
itu, juga konsep-konsep penyuluhan, bimbingan teknis (counseling dan guiding,
tenaga penggerak masyarakat, dan lainnya mulai dikembangkan untuk mendorong
terjadinya proses penyadaran bagi terwujudnya suatu perubahan sikap dan perilaku
yang mendukung jalannya pembangunan perumahan dan permukiman.

Tribina, merupakan suatu pendekatan yang bersifat bottom-up karena


masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama (subyek) dan juga obyek 
pembangunan. Tribina yang mencakup bina manusia, bina usaha, dan bina
lingkungan, diterapkan dengan maksud untuk meningkatkan keswadayaan
masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman yang  melibatkan
instansi lain di luar Departemen PU ketika itu. Dalam konsep Tribina sebagaimana
dengan konsep pemberdayaan, pengendalian terhadap pengambilan keputusan dan
sumber daya beralih kepada masyarakat.

Konsep Tribina diterapkan pada proyek-proyek pemugaran perumahan yang


melibatkan kelompok binaan (peserta pemugaran) sebagai suatu organisasi akar
rumput. Bersamaan dengan itu pendekatan Tribina juga dilaksanakan pada proyek-
proyek perbaikan kampung di perkotaan. Dalam konsep Tribina masyarakat ikut
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pemanfaatan, serta evaluasi. Peran pemerintah yang diwakili oleh
tenaga penyuluh lapangan terbatas sebagai fasilitator dalam menampung aspirasi
yang tumbuh dari masyarakat dengan memberi jalan pemecahannya didasarkan
pada pertimbangan pemanfaatan potensi dan sumber daya, serta kondisi sosial-
ekonomi-budaya yang ada di masyarakat.

Dalam era reformasi konsep Tribina ini kemudian berubah nama menjadi
Tridaya, karena kata bina lebih diartikan sebagai obyek pembinaan (top-down) dari
pemerintah, sedang kata daya lebih kepada prakarsa dan potensi yang tumbuh dari
masyarakat. Masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah, yang diperankan oleh
fasilitator atau konsultan pembangunan, adalah mereka yang menerima manfaat
langsung atau yang terkena dampak dari proyek pemerintah. Melalui daya
manusia, dilaksanakan proses penyadaran untuk menumbuhkan pengertian,
pengetahuan, kepedulian dan rasa memiliki dari peserta proyek atau kelompok
binaan terhadap permasalahan yang dihadapi. Mereka difasilitasi untuk
mendapatkan akses ke sumber daya pembangunan yang tidak mereka
miliki. Melalui daya usaha, penerima manfaat proyek diberi bekal pengetahuan dan
keterampilan usaha yang dapat membantu upaya-upaya peningkatan pendapatan.
Sedang, melalui daya lingkungan komunitas yang terkena dampak proyek diajak
untuk mengenali sumber permasalahan yang dihadapi dengan melakukan survei
kampung sendiri atau self-assessment survey. Hasil survey dipaparkan dalam acara
rembug warga. Dari hasil rembug warga kemudian diputuskan prioritas
pembangunan komponen prasarana dan sarana lingkungan, yang hasilnya berupa
Rencana Tindak Komunitas atau Community Action Plan. Melalui proses
penyadaran (diseminasi dan sosialisasi, rembug warga, dan fasilitasi),
pengorganisasian dan pengelolaan komunitas (lembaga akar rumput), serta
pendampingan, maka hasil pembangunan diharapkan dapat lebih efektif dan
berkelanjutan.

Pola pemberdayaan yang diterapkan dewasa ini sudah lebih mendalam, karena
adanya komponen baru dalam penyelenggaraan proyek perumahan swadaya atau
peningkatan kualitas lingkungan, yaitu penyediaan kredit mikro. Dengan adanya
komponen pembiayaan perumahan, baik untuk perbaikan rumah maupun
pembangunan baru, maka pengorganisasian komunitas (lembaga akra rumput)
menjadi dominan. Konsep modal sosial (social capital) menjadi perhatian terhadap
penguatan (community capacity building) organisasi dan kelembagaan
komunitas/akar rumput. Semua ini dilaksanakan agar resiko dalam penggunaan 
dana untuk kredit mikro menjadi lebih terkendali.

Konsep Tridaya ini bersifat komplementer terhadap pendekatan teknis-


teknologis yang menjadi fokus dari pelaksanaan pembangunan oleh departemen
teknis (Kimpraswil). Unsur manusia memainkan peran kunci bagi keberhasilan
penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Hasil pembangunan akan lebih
efektif, berlanjut, dan berkembang. Masyarakat akan terbebas dari ketergantungan
pihak luar.

Berbagai kendala yang berkaitan dengan pemberdayaan masayarakat dapat


dikenali yang dapat menghambat proses perkuatan kapasitas organisasi dan
lembaga masyarakat. Tingkat pendidikan yang belum tinggi dan merata membuat
sulit untuk menyetarakan perspesi serta menyerasikan langkah dan gerak
masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah juga cukup sulit
untuk memperoleh percepatan tinggi dalam mewujudkan pembangunan yang
bertumpu pada prakasa kelompok.

Kondisi alam (ekologi) kepulauan dan kondisi fisik lingkungan yang beragam
cukup sulit untuk menyelenggarakan diseminasi dan sosialisasi. Kondisi sosial-
budaya yang terutama dipengaruhi ketiga unsur di atas menurunkan potensi-
potensi yang telah mengakar di masyarakat. Irama dan gaya kehidupan di
perkotaan dan perdesaan yang cukup jauh berbeda cukup sulit untuk
menyelenggarakan pembangunan berimbang. Lebih dari itu kendala waktu juga
mempengaruhi keefektifan dari proses pemberdayaan, serta keterlibatan instansi
lain yang terikat oleh perundangan otonom menjadikan konsep Tridaya tidak
sepenuhnya tertangani secara holistik. **

Beberapa waktu lalu Proses mengunjungi Kantor Kementerian Negara


Perumahan Rakyat Republik Indonesia guna menuntaskan berbagai polemik
perumahan di Jawa Barat. Ketika itu  Ir. Lukman Hakim, M.Sc., sebagai Kepala
Biro Kesekratriatan Kantor Kementerian Negara Perumahan Rakyat Republik
Indonesia di Jakarta, memaparkan hal yang mendasar akan pasal ini. Pada
kesempatan tersebut ia mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat akan
perumahan pada saat ini masih jauh dari terpenuhi secara layak. Salah satu
penyebabnya adalah adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan
(backlog) yang relatif masih besar. Hal tersebut menurutnya terjadi karena masih
kurangnya kemampuan daya beli masyarakat khususnya kelompok Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam memenuhi kebutuhan perumahannya.
”Parahnya backlog paling besar terjadi di Jawa Barat”.

Ia mengatakan hal ini terjadi semenjak daerah memiliki hak otonom. “lebih
tegasnya ketika ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang perangkat daerah, yaitu
hajat dari pemerintah pusat untuk meredus sejumlah dinas,” katanya. Banyak dinas
yang menyesuaikan dengan kondisi itu, termasuk propinsi menyesuaikan keinginan
itu, meskipun pada akhirnya menurut Lukman terjadi perubahan wacana.

Ia mencontohkan bagaimana ketika Kementerian Negara Perumahan Rakyat


itu kembali ada artinya bahwa pelaksanaan kewenangan menangani perumahan
rakyat yang tercantum dalam PP No 25 yang dilimpahkan kepada daerah, ternyata
tidak ditangani. “Kebanyakan daerah mengadopsi perangkat dinas atau lembaga itu
mengacu apa yang dipusat, waktu pusat nggak ada, terus di daerah jadi nggak ada,
seperti lahirnya dinas tarkim, karena trendnya begitu,” katanya.

Kemudian menurutnya, pada saat Kabinet Indonesia Bersatu membentuk


kembali Kementerian Negara Perumahan Rakyat, menyatakan bahwa tantangan
perumahan ini sangat besar dan sesuai dengan visi misinya SBY-JK sebagai
pemenang pemilihan presiden ketika itu yang ingin mengangkat harkat dan
martabat masyarakat Indonesia dengan ketersediaan perumahan yang layak, setelah
sandang dan pangan, maka dibentuklah kementrian perumahan. “Tapi terlanjur
kewenangan sudah dikasihkan pada daerah dan daerah tidak menangkap hal itu dan
itu menjadi krusial sekarang, misalnya banyak daerah yang mau dikasih dana
perumahan, loh siapa yang akan nangkap dana itu di daerah dan ini tidak mungkin
dikerjakan oleh pusat karena kewenangannya sudah di daerah,” katanya.

Hal ini terjadi pula di Jawa Barat, ditarkim sendiri bidang perumahan ini tidak
berkiprah, misalnya menurut Lukman, pembangunan Rusunawa, ternyata patner
konsultan dari pusat kerepotan siapa yang memegang kewenangan tersebut di
daerah. “Kita sebagai orang pusat menginginkan mengeluarkan uang banyak-
banyak kemabali berfikir apakah kapasitas di daerah sudah menangkap?” tanyanya.
Memang menurutnya Kementrian Negara hanya sebatas koordinasi, merumuskan
kebijakan, tapi dengan tantangan yang besar dan rencana jangka menengah tahun
2004-2009 sejalan visi misinya presiden terpilih, seperti membangun rumah layak
huni 1.350.000 lebih, membuat rusunawa, atau memfasilitasi pembuatan akte bagi
perumahan swadaya, jadi mentah lagi. “Karena sebagai orang dulu, eks Dirjen
Perumahan Permukiman di BKO-kan ke Menpera, di sana itu tidak ada orang yang
mengerjakan hal ini dan sekarang mereka sebagai Neighbourior Urban Selther
Sector Programe (NUSSP). Ini jadi krusial juga, tidak ada bagaimana pembinaan
masyarakat, pelaksanaan tribina,” katanya. (p02)
CONTOH KASUS BANTUAN CSR LAIN :

Tanjung (Antaranews Kalsel) - Warga Desa Muara Harus, Kabupaten Tabalong,


Kalimantan Selatan saat ini makin mandiri setelah berhasil mengembangkan budi
daya lele melalui Program Bina Desa PT Adaro Indonesia.
Menurut Kepala Desa Muara Harus Rahmani, di Tanjung, Selasa, secara mandiri
telah membangun kolam terpal untuk budi daya ikan lele dengan melibatkan empat
kelompok tani desa.
"Alhamdulillah desa kami mendapat bantuan Program Bina Desa dari CSR PT
Adaro Indonesia sebesar Rp66,5 juta, salah satunya dimanfaatkan untuk
pengembangan kolam terpal budi daya ikan lele," ujar Rahmani.
Keberhasilan usaha ini terbukti dari hasil panen perdana ikan lele di empat kolam
ikan mencapai 288 kilogram.
Selain budi daya ikan lele, dari hasil musyawarah desa dana bantuan tersebut juga
dimanfaatkan untuk pembangunan delapan buah jamban sehat bagi warga kurang
mampu. 
Rahmani mengakui selama ini tak ada sengketa yang muncul antarwarga karena
peruntukan dana Program Bina Desa Adaro telah disepakati bersama dengan prioritas
pembangunan bagi masyarakat tidak  mampu dan stimulan perekonomian.
Secara terpisah, Kepala Seksi Ekososbud CSR Adaro Yuri Budhi Sujalmi
menjelaskan Program Bina Desa merupakan upaya Adaro mendorong kreativitas
program pembangunan desa yang berasal dari warganya.
"Melalui program ini warga punya rasa memiliki lebih besar untuk menjamin
keberhasilan program itu, karena usulannya melalui musyawarah," katanya lagi.
Menurut Yuri, program itu selaras dengan tujuan Adaro menyejahterakan
masyarakat sekitar lokasi tambang yang mandiri dan secara berkesinambungan serta
mampu berdaya dengan kapabilitas ekonomi yang terjamin.

Editor: Hasan Zainuddin


COPYRIGHT © ANTARA 2016

Anda mungkin juga menyukai