Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemberdayaan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat dan sudah
banyak diterima termasuk di Indonesia karena dianggap sebagai sebuah strategi spositif
dalam membangun berbagai aspek pembangunan. Implementasi dari pemberdayaan
tidak hanya terfokus pada kegiatan perekonomian masyarakat, tetapi juga terhadap
aspek lain yang menyangkut kesejahteraan masyarakat misalnya kesehatan. Kesehatan
merupakan salah satu unsur penting dalam masyarakat dan bisa menjadi salah satu
indikator dari tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Oleh karena itu, untuk
mengeluarkan masyarakat dari kondisi kemiskinan dan keterbelakangan, maka
masyarakat pula harus diberdayakan dalam aspek kesehatannya.
B. Tujuan
Tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat terutama dari kemiskinan (pemenuhan kebutuhan dasar yang belum
mencukupi)

dan

keterbelakangan/

kesenjangan/

ketidakberdayaan

(misalnya

produktivitas yang rendah, sumber daya manusia yang lemah).

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dimana posisi

masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat yang tergantung pada pemberian dari
pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek atau mandiri
sebagai partisipan yang dapat mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan
dan sumber dayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut
menentukan proses politik di negaranya termasuk ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan pemerintahan.
B. Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Upaya yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat yaitu :
1. Enabling
Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyrakat
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong
memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya
2. Empowering
Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang
akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Dengan cara peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar, serta
menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
dan kebertanggungjawaban dan peningkatan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.
3. Protection
Mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang
kuat atas yang lemah. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari
interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang
lemah atau membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program
pemberian (charity) melainkan masyarakat dapat menikmati hasil atas usaha sendiri
(yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain) sehingga memajukan diri ke
arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
C. Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat

Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak


dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya
pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan
masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut:
1. Upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan yaitu
ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang
untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
2. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu
mempunyai beberapa tujuan. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan
(empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan,
mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup
bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu.
Karena itu, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari
penggunaan sumber daya juga lebih efisien.
Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh LSM adalah
advokasi. Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem
hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan
demikian, pendekatan advokasi menekankan pada pendamping dan kelompok
masyarakat dan membantu mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku
pembangunan lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan
memobilisasi sumber daya yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi tawar
(bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan advokasi ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat terdiri dari
kelompok-kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem nilai
sendiri-sendiri. Dan dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan advokasi
masyarakat mampu secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses pembangunan,
baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi.
D. Keterlibatan Potensi yang ada di Masyarakat
Seperti dikemukakan di atas, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap
potensi yang ada dalam masyarakat antara lain :

1. Peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat


menyesuaikan dengan misi ini. Untuk dapat menjalankan misinya, maka birokrasi
harus ditingkatkan kewenangannya sampai di lapisan terendah, ditingkatkan
kualitasnya, agar benar-benar mampu memberikan bimbingan dan pemberdayaan
masyarakat. Terutama titik berat harus diberikan kepada aparat pada tingkat yang
langsung berhadapan dengan masyarakat, baik secara hirarkis seperti aparat desa
dan kecamatan, maupun fungsional seperti PPL, guru, dokter, dan bidan.
2. Organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di
sini yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (LSM), di samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat
nasional dan lokal. LSM dapat berfungsi sebagai pelaksana program pemerintah
(mewakili pemerintah), dapat menjadi pembantu (konsultan) pemerintah, tetapi
dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah.
3. Lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan di dalam masyarakat itu sendiri, atau
sering disebut sebagai local community organization. Lembaga ini dapat bersifat
semi atau kuasiformal seperti PKK atau Karang Taruna, atau yang benar-benar
tumbuh dari masyarakat sendiri seperti kelompok arisan, kelompok sinoman,
kelompok paketan dan sebagainya.
4. Koperasi dapat merupakan wahana yang efektif bagi upaya pemberdayaan
masyarakat, dengan membangun manusia modern namun dengan dasar-dasar
kekeluargaan dan kegotongroyongan yang menjadi ciri demokrasi Indonesia.
5. Pendamping. Penduduk miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam
mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, diperlukan pendamping untuk
membimbing penduduk miskin dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya.
Pendamping bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan
kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator.
Contohnya

departemen dan lembaga kemasyarakatan atau secara swadaya dan

sukarela perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan


lainnya, seperti LSM, dapat pula ikut serta sebagai pendamping.
6. Pemberdayaan masyarakat harus dicerminkan dalam proses

perencanaan

pembangunan nasional, sebagai aliran dari bawah ke atas. Upaya itu harus meliputi
penyempurnaan kelembagaan desa, penguatan sumber daya manusia serta
pengembangan budaya masyarakat desa yang tanggap pada perubahan atau dapat
disebut pula modernisasi masyarakat desa.
7. Keikutsertaan masyarakat yang lebih mampu, khususnya dunia usaha dan swasta.
Usaha dan masyarakat yang mampu untuk turut memberdayakan masyarakat cukup

besar, dan perlu dikembangkan, karena selain penting artinya untuk memperkukuh
perekonomian nasional, juga akan mempertebal persatuan dan kesatuan bangsa,
karena kuatnya solidaritas sosial.
E. Pengukuran Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan masyarakat telah berhasil, perlu
ada pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yang dapat diukur untuk dapat
dibandingkan. Pemberdayaan masyarakat dengan sendirinya berpusat pada bidang
ekonomi, karena sasaran utamanya adalah memandirikan masyarakat, di mana peran
ekonomi teramat penting. Cara mengukurnya telah banyak berkembang, seperti yang
antara lain telah disebut di atas indeks Gini, jumlah orang yang hidup di bawah garis
kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan industri kecil, nilai tukar pertanian, upah
minimum dan sebagainya. Pembangunan manusia yang berkualitas bukan hanya
menyangkut aspek ekonominya, tetapi juga sisi lainnya, yaitu pendidikan dan
kesehatannya. Di bidang ini, juga telah banyak ukuran dikembangkan antara lain
persentase penduduk yang buta aksara, angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP,
SLTA dan perguruan tinggi, angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, persentase
penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu juga sedang
dikembangkan oleh Bappenas bersama BPS semacam angka indeks kesejahteraan
rakyat yang menggabungkan indikator ekonomi, kesehatan, dan pendidikan ke dalam
suatu angka indeks. Di dunia internasional indeks kesejahteraan semacam ini telah
dikembangkan oleh UNDP yang dikenal dengan nama Human Development Index
(HDI) seperti telah dikemukakan di atas. Manusia juga harus mempersiapkan diri untuk
kehidupan abadi melalui pembangunan spiritual, sebagai bagian dari pemberdayaan
masyarakat, dalam rangka membangun masyarakat berakhlak. Terkait dengan itu adalah
pembangunan budaya, yakni untuk menciptakan, di atas budaya yang menjadi jati diri
bangsa Indonesia, sikap budaya kerja keras, disiplin, kreatif, ingin maju, menghargai
prestasi dan siap bersaing. Ukurannya tentu sangat relatif dan terutama bersifat
kualitatif. Dalam pembangunan budaya perlu dikembangkan orientasi kepada ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pemberdayaan teknologi, merupakan jawaban yang
berjangkauan jauh ke depan dan berkesinambungan dalam membangun masyarakat
yang maju, mandiri dan sejahtera. Pemberdayaan masyarakat harus pula berarti
membangkitkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang secara politik terisolasi bukanlah
masyarakat yang berdaya, artinya tidak seluruh aspirasi dan potensinya tersalurkan.

Maka, aspek politik juga terdapat dalam pemberdayaan masyarakat. Salah satu
ukurannya, seperti indikator yang dikembangkan Dasgupta (1993), adalah hak
berpolitik (mengikuti pemilu) dan hak sipil.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Profil Bandungwangi
Sebelum resmi sebagai sebuah yayasan, Bandungwangi adalah sebuah
perkumpulan informal kelompok pekerja seks dan mereka yang pernah bekerja dalam
dunia hiburan di bawah lindungan Yayasan Kusuma Buana (YKB). Kesadaran para
anggotanya untuk dapat berperan lebih aktif guna mengantisipasi permasalahan
perempuan dan kesehatan reproduksi di Indonesia termasuk HIV/AIDS bagi kelompok
perempuan yang bekerja di sektor hiburan terutama pekerja seks perempuan, dan
memberikan pendampingan agar kelak jika mereka berhenti sudah siap secara mental.
Bandungwangi adalah satu-satunya Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) yang bersifat
nirlaba di Indonesia dari dan untuk kepentingan Pekerja Seks Perempuan (PSP). Sejarah
Bandungwangi berawal tahun 1995. Pada tahun 1999 kelompok tersebut dilegalkan
menjadi sebuah Yayasan sehingga memberi landasan yang jelas bagi anggotanya untuk
bersuara dan membantu PSP lainnya.
Bandungwangi adalah singkatan dari Bantuan Dukungan Perkawanan dan Saling
Melindungi. Banduwangi adalah satu-satunya LSM atau yayasan yang didirikan oleh,
dari, dan untuk kepentingan pekerja seks perempuan. Jadi memang fokus untuk pekerja
seks perempuan dari usia anak, remaja, dewasa, sampai dengan manula (ada yang
usianya sudah di atas 70 tahun). Alamatnya di Jln. Pisangan Lama Raya No. 7 RT 004 /
RW 002 Pisangan Timur, Pulogadung, Jakarta Timur, 13230. Telpon 021-4712866.
Email: ypbandungwangi@yahoo.com. Endang Supriyati mantan pekerja seks yang

dilacurkan di usia 12 tahun kini menjadi Direktur Yayasan Bandungwangi. Endang baru
menjalankan tugasnya selama dua tahun belakangan ini, usai pergantian strukturan di
tubuh Bandungwangi. Para staf dan sukarelawan Bandungwangi 99 % adalah
perempuan dan mantan PSP. Sebagai badan nirlaba, Bandungwangi mengandalkan dana
bantuan dalam menjalankan operasionalnya. Lantaran tingkat pendidikan para stafnya
dan jaringan yang masih belum maksimal, membuat Bandungwangi terhimpit dengan
LSM atau yayasan lain yang juga bergerak di bidang yang sama. Padahal yang
memberikan dana banyak dari lembaga luar negeri. Bandungwangi beranggotakan
perempuan-perempuan

yang

mengerti

masalah-masalah

perempuan

(kesehatan

reproduksi, IMS, HIV/AIDS, dll) dan pemberdayaan perempuan.


B. Visi dan Misi
Visi :
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan, pemahaman, dan
mengaplikasikannya dalam melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi, kemanusiaan, dan kesetaraaan gender yang menjadi bagian keseharian
hidup.
Misi :
Berperan aktif membantu pemerintah dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan
reproduksi (IMS, HIV/AIDS, dll) dan memberdayakan perempuan, khususnya mereka
yang bekerja dalam dunia hiburan malam.
Empat program pokok dalam mencapai visi dan misi, diantaranya :
1. Pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai kesehatan reproduksi
2. Pengembangan dan penguatan jaringan perempuan yang bekerja dalam dunia
hiburan
3. Perlindungan dan pemberdayaan perempuan (Pemasukkan generasi penerus,
Manajemen pelatihan, Outreach, Melanjutkan pendidikan formal, dan Advokasi)
4. Perlindungan dan pemberdayaan terhadap anak perempuan.
C. Hambatan
Dalam menjalankan operasinya, meski sudah berlangsung bertahun-tahun namun
tetap saja masih ada yang memandang miring aktivitas para staf Bandungwangi.
Apalagi jika sedang mengkampanyekan seks aman dengan cara membagi-bagikan
kondom. Tidak jarang ada yang menganggap Bandungwangi adalah wadah untuk
menyalurkan PSP. Adapun sejumlah kegiatan rutin yang dilakukan adalah penyuluhan,
pemeriksaan test HIV, melakukan pendekatan dengan cara-cara persuasif untuk
menyadarkan mereka akan bahayanya bergonta ganti pasangan dan membagi-bagikan

kondom. Jika PSP sudah divonis terjangkit virus HIV maka langsung menanganinya
dengan cara melakukan pemeriksaan intensif. Yayasan Bandungwangi juga sesekali
mengadakan pelatihan salon. Melakukan pemberdayaan dengan cara membuat usaha
loundry kiloan, toko kelontong dan penjualan pulsa telepon. Pemberdayaan para mantan
PSP sangat diperlukan lantaran hampir semuanya memiliki latar belakang pendidikan
yang rendah, sehingga akan sulit sekali bersaing di dunia kerja. Tidak sedikit yang
sudah tidak menjadi PSP kemudian kembali lagi menjadi PSP karena merasa hidupnya
sudah tidak diterima masyarakat. Banyak alasan mereka melakukan demikian yang
terbesar adalah karena tuntutan ekonomi, ketidakberdayaan mereka untuk bersaing di
dunia kerja, juga beberapa kisah tragis dalam kehidupan mereka menjadikan mereka
merasa tidak berarti dan kemudian memutuskan untuk menjadi PSP.
D. Program Bandungwangi
Saat ini Bandungwangi memiliki dua program besar yang masing-masing program
berada di dua wilayah yang berbeda yaitu daerah Jakarta Timur berfokus kepada wanita
pekerja malam usia dewasa, fokus program yang dijalankan adalah harm reduction yang
bekerja sama dengan Family Health International-ASA (Aksi Stop Aids). Sedangkan
daerah Jakarta Utara berfokus kepada remaja perempuan pekerja malam. Program ini
merupakan kerja sama dengan UNFPA (United Nation Population Fund). Setiap
program ditangani oleh satu orang Project Manager dan beberapa petugas outreach atau
petugas lapangan. Masing-masing project manager dibawahi secara langsung oleh
Direktur LSM Bandungwangi. Jumlah PSP cukup banyak. Kebanyakan pendatang baru,
yang usianya masih anak-anak sedangkan yang sudah senior akan lari menjadi
freelance. Ketika ditanyakan apakah mereka dari kampung tahu jika akan bekerja
seperti ini, mereka cuma bisa menggelengkan kepala. Kalau kasus terbaru dan yang
membuat dilematis, ternyata ada satu lokasi prostitusi di Jakarta, yang pekerjanya
berasal dari satu kampung dimana semuanya masih keluarga. Yang bekerja di situ
adalah anaknya, adiknya, anak bibinya, dan anak pamannya. Agak bingung bagaimana
cara membantu dia keluar karena ikatan keluarga, dipulangkan ke kampung juga tidak
mungkin. Dalam kasus itu, Bandungwangi lebih menekankan pada anaknya. Paling
tidak menekankan pengetahuan tentang resiko, dan lebih menguatkan untuk keluar dari
tempat itu. Ini membutuhkan proses penguatan, bagaimana menghadapi orang tua nanti
dan bagaimana menghadapi lingkungan. Jadi lebih menguatkan agar niat berani keluar
muncul dari hati dia sendiri. Fokus Bandungwangi lebih kepada pendampingan anak

yang sudah berada di tempat prostitusi bukan tindakan pencegahan, melainkan


bagaimana menarik mereka untuk keluar dari sana. Pencetus adanya PSP adalah faktor
ekonomi yang dominan, jadi orang tua yang mungkin tidak memiliki lapangan
pekerjaan, tidak punya penghasilan, kemudian menjadikan anak sebagai ladang
penghasilan bagi orang tua. Pada tanggal 26 Juli lalu telah disahkan RUU tentang
Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anak mengenai anak, prostitusi anak dan
pornografi anak. Meskipun sebenarnya dari dulu sudah ada UU perlindungan anak dan
segala macam, namun pelaksanaannya yang masih lemah.
E. Pembahasan
Proses pemberdayaan pada yayasan Bandungwangi telah berjalan dengan cukup
baik. Hal ini ditunjukkan dengan Endang Supriyati mantan pekerja seks yang
dilacurkan di usia 12 tahun kini menjadi Direktur Yayasan Bandungwangi dan para staf
dan sukarelawan Bandungwangi 99% adalah perempuan dan mantan PSP yang sudah
mengkampanyekan seks aman dengan cara membagi-bagikan kondom. Adapun
sejumlah kegiatan rutin yang dilakukan adalah pendampingan, penyuluhan,
pemeriksaan test HIV, melakukan pendekatan dengan cara-cara persuasif untuk
menyadarkan mereka akan bahayanya bergonta ganti pasangan dan membagi-bagikan
kondom. Jika PSP sudah divonis terjangkit virus HIV maka langsung menanganinya
dengan cara melakukan pemeriksaan intensif. Yayasan Bandungwangi juga sesekali
mengadakan pelatihan salon. Melakukan pemberdayaan dengan cara membuat usaha
loundry kiloan, toko kelontong dan penjualan pulsa telepon. Namun dalam
pelaksanaannya, kendala yang sering kali dihadapi Bandungwangi yaitu tidak jarang
ada yang menganggap Bandungwangi adalah wadah untuk menyalurkan PSP, tidak
sedikit yang sudah tidak menjadi PSP kemudian kembali lagi menjadi PSP karena
merasa hidupnya sudah tidak diterima masyarakat. Banyak alasan mereka melakukan
demikian yang terbesar adalah karena tuntutan ekonomi, ketidakberdayaan mereka
untuk bersaing di dunia kerja, juga beberapa kisah tragis dalam kehidupan mereka
menjadikan mereka merasa tidak berarti dan kemudian memutuskan untuk menjadi PSP.
Hal tersebut merupakan kendala yang dialami Bandungwangi dalam upaya
memperdayakan anggotanya, karena pada dasarnya Bandungwangi sudah menciptakan
peluang kerja bagi mereka yang tidak lagi bekerja sebagai PSK dan pendampingan serta
penyuluhan untuk mereka untuk menjadi masyarakat yang mandiri dan menjadi pribadi
yang lebih baik tetapi mereka tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah atau

masyarakat memandang mereka sebelah mata sehingga mereka mau tidak mau kembali
menjadi PSK dan mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Paradigma yang terjadi
pada Banduwangi adalah yang pertama Bandungwangi sebelumnya hanya sebuah
perkumpulan informal kelompok pekerja seks dan mereka yang pernah bekerja dalam
dunia hiburan di bawah lindungan Yayasan Kusuma Buana (YKB). Pada tahun 1999
kelompok tersebut dilegalkan menjadi sebuah Yayasan sehingga memberi landasan
yang jelas bagi anggotanya untuk bersuara dan membantu PSP lainnya. Hal ini
membuktikan kalau Bandungwangi sudah menggunakan pendekatan dalam masyarakat
yaitu advokasi dimana kekuatan hukum ada didalamnya, namun pada pelaksanaannya
belum dilaksanakan sepenuhnya karena masih saja mereka dipandang sebelah mata dan
negatif. Yang kedua Bandungwangi sudah melibatkan peranan pemerintah organisasiorganisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri seperti Family Health
International-ASA (Aksi Stop Aids), UNFPA (United Nation Population Fund), petugas
lapangan sebagai pendamping, namun lantaran tingkat pendidikan para stafnya dan
jaringan yang masih belum maksimal, membuat Bandungwangi terhimpit dengan LSM
atau yayasan lain yang juga bergerak di bidang yang sama. Padahal yang memberikan
dana banyak dari lembaga luar negeri. Namun, di luar itu semua Banduwangi sudah
mengimplementasikan prinsip dari pemberdayaan masyarakat yang tak lain adalah
tujuan pemberdayaan masyarakat yaitu memampukan dan memandirikan masyarakat
terutama dari kemiskinan (pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi) dan
keterbelakangan/ kesenjangan/ ketidakberdayaan (misalnya produktivitas yang rendah,
sumber daya manusia yang lemah) melalui membuat usaha loundry kiloan, toko
kelontong dan penjualan pulsa telepon dan lainnya.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat di Yayasan Bandungwangi berjalan cukup baik, namun
masih dipandang sebelah mata dan negatif dalam proses pengimplementasiannya.
Para anggota dari yayasan Banduwangi yang seharusnya sudah mandiri dengan
adanya kegiatan positif di dalamnya sehingga bisa melepaskan diri dari PSK tetapi
karena dipandang sebelah mata dan negative dari masyarakat, membuat mereka
kembali lagi menjadi PSK dan program di dalamnya menjadi terhambat.
B. Saran
Bagi Yayasan Bandungwangi
Berbagai hal yang mengakibatkan pandangan negatif dalam proses pemberdayaan
Bandungwangi ini harus segera diatasi. Pendekatan advokasi yang telah dilakukan
lebih dioptimalkan lagi fungsinya sehingga bisa mengadvokasi dan melindungi
seluruh anggota dari Yayasan Bandungwangi.
Bagi Pemerintah
Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap proses pemberdayaan
Bandungwangi ini khususnya dalam segi pendanaan dan pelatihan anggota Yayasan
Bandungwangi.
Bagi Masyarakat
Masyarakat sebaiknya memandang lebih positif kepada Yayasan Bandungwangi dan
anggota yang terlibat di dalamnya serta memberi kesempatan kepada mereka
menjalankan program-programnya agar menjadi lebih baik dan diterima di
masyrakat.

DAFTAR PUSTAKA
Analisis Kasus Pemberdayaan Masyarakatdi Puskesmas Arso Barat Kabupatenkeerom.
http://www.scribd.com/doc/76409169/Contoh-Kasus-Pemberdayaan-Masyarakat. (23 September
2013)
Bandungwangi. blogspot.com. (22 September 2013)
Direktori Lembaga Swadaya Masyarakat (Civil Society Organization) yang Mendukung Program
Kesehatan. http://www.candidatecenter.or.id/depkes/lsm.php?action=cari2. (22 September 2013)
Kelamnya Jebakan Prostitusi Anak. www.Prekspektif baru.com. (22 September 2013)
Mendampingi Pekerja Sex dengan Hati Nurani. www.Beritasatu.com. (22 September 2013)
Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat.
http://www.ginandjar.com/public/02PemberdayaanMasyarakat.pdf. (23 September 2013)
Yayasan Perkumpulan Bandungwangi. www.Bandungwangi.tripod.com. (22 September 2013)

Anda mungkin juga menyukai