PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
dalam masyarakat harus ditingkatkan nilainya dengan mengembangkan dan
mendinamisasikan potensinya, atau dengan kata lain memberdayakannya.
Pemberdayaan adalah perspektif yang lebih luas dari hanya sekedar memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses
pemiskinan lebih lanjut (safety net). Kartasasmita (1996), dengan mengutip pendapat
beberapa ahli, melukiskan konsep pemberdayaan itu sebagai suatu konsep yang tidak
mempertentangkan antara pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi memadukan antara
keduanya, karena sebagaimana dikatakan oleh Brown (1995), kedua konsep tersebut tidak
harus diasumsikan sebagai “tidak cocok atau berlawanan (incompatible or antithetical)”.
Konsep pemberdayaan bertitik tolak dari pandangan bahwa melalui pemerataan akan
tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan sekaligus akan menjamin
pertumbuhan yang berkelanjutan. Karena konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan
antara pertumbuhan dan pemerataan, maka dalam strategi pembangunan harus ditujukan
pada dua arah, yakni pada lapisan masyarakat maju dan berada pada sektor modern, dan
pada kelompok yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan
untuk kedua sektor tersebut tidak dapat disamakan begitu saja. Jadi, intinya adalah
bagaimana upaya untuk membantu rakyat agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat
meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki,
tetapi juga sekaligus akan meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.
B. TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengertian pemberdayaan
masyarakat, unsur – unsur pemberdayaan masyarakat, proses pemberdayaan masyarakat,
tujuan dan pendekatan pemberdayaan masyarakat serta metodologi evaluatif dalam
pemberdayaan masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya
yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action
dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan
kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
4
2. Penciptaan suasana
Penciptaan suasana yang mengacu pada mewujudkan warga madani yang
dimana merupakan suatu upaya yang harus dilakukan oleh secara terus menerus
kepada seluruh pihak-pihak yang terkait. Untuk itu perlu dikembangkan suatu
kondisi yang kondusif antara instansi tersebut sebagai reperesentasi berbagai
kekuatan politik, masyarakat yang merupakan fokus kegiatan pemberdayaan, dan
pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik dalam perwujudan lingkungan yang
baik dan sehat.
3. Motivasi
Suatu pemberdayaan masyarakat akan terwujud apabila masyarakat memiliki
kemauan untuk merubah semua dan lebih maju. Rasa keingintahuan yang cukup
besar dalam diri masyarakat dengan sendirinya akan meanjadi motivasi bagi diri
masyarakat untuk bisa lebih maju dan lebih berkembang dan mampu menghadapi
segala tantangan di kemudian hari.
4. Potensi masyarakat
Potensi masyarakat tersebut yang dimaksud dalam pemberdayaan masyarakat
adalah, dalam hal ini diartikan sebagai “masyarakat madani” yang perlu ditingkatkan
dan dikembangkan dan dicirikan dengan timbulnya secara berkelanjutan.
Keberdayaan masyarakat warga madani dicirikan dengan timbulnya kesadaran
bahwa, mereka paham akan haknya atas lingkungan hidup uang baik dan sehat serta
sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk tercapainya kualitas
lingkungan hidup yang dituntutnya.
5. Peluang
Melalui perwujudan good governance, dimana dalam salah satu
karakteristiknya adalah mendorong partisipasi dan kemitraan dengan masyarakat,
maka pembangunan harus melibatkan masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat,
tidak akan ada strategi yang mampu bertahan lama. Peran masyarakat madani harus
dipandang sebagai hal yang dinamis dan memberikan suatu peluang bagi pemerintah
yang bermaksud membangun kredibilitas negara (good governance) melalui
potensinya dalam membangun koalisi dan aksi kolektif.
5
6. Mengalihkan Wewenang
Untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya suatu
birokrasi harus mampu dan rela mengalihkan wewenangnya pada masyarakat apabila
merasa sudah tidak mampu bekerja sebagai mana yang diamanatkan oleh masyarakat
supaya masyarakat mampu dan bisa melaksanakan keinginannya sesuai dengan apa
yang telah ia amanatkan kepada birokrasi itu sendiri.
7. Perlindungan
Pemberdayaan masyarakat mengandung pula arti perlindungan, dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah oleh karena,
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan
pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan
masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi,
karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang
tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai
program pemberian. Karena pada dasarnya setiap upah yang dinikmati harus
dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dikeluarkan dengan pihak lain).
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan
dan membangun kemampuan untuk mewujudkan diri ke arah kehidupan yang lebih
baik secara berkesinambungan.
8. Kesadaran
Untuk mencapai masyarakat yang berdaya, masyarakat harus menyadari dan
memahami apa yang ingin dan harus ia lakukan demi untuk bisa mengembangkan
dirinya dan kemampuannya serta kreativitasnya dalam membuat dan menghasilkan
sesuatu yang berguna bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk masyarakat banyak.
6
C. PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat ber-
daya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, meman-
faatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu
mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap infor-
masi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan
masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara
berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggung-
jawab.
7
Proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara bertahap melalui tiga fase
(Pranaka dan Prijono, 1996) yaitu:
(a) Fase Inisiasi
Semua proses pemberdayaan berasal dari pemerintah, dan masyarakat hanya
melaksanakan apa yang direncanakan dan diinginkan oleh pemerintah dan tetap
tergantung pada pemerintah.
(b) Fase Partisipatoris
Proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah
dan masyarakat, dan diperuntukkan bagi rakyat. Pada fase ini masyarakat sudah
dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian.
(c) Fase Emansipatoris
Proses pemberdayaan berasal dari rakyat dan untuk rakyat dengan didukung oleh
pemerintah bersama masyarakat. Pada fase emansipatori ini masyarakat sudah dapat
menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat dilakukan dalam mengaktualisasikan
dirinya. Puncak dari kegiatan proses pemberdayaan masyarakat ini adalah ketika
pemberdayaan ini semuanya datang dari keinginan masyarakat sendiri.
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggung jawab utama dalam
program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau
memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari
aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan
komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan
yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan
masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat
merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan
memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai
8
pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya / kemampuan yang
dimiliki.
Elliot (1987), menyatakan bahwa strategi pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga
pendekatan yaitu:
a. The Welfare Approach
Pendekatan ini mengarah pada pendekatan manusia dan bukan untuk memberdaya
masyarakat dalam menghadapi proses politik dan pemiskinan rakyat.
b. The Development Approach
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pembangunan untuk
meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat.
c. The Empowerment Approach
Pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan
berusaha untuk memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi
ketidakberdayaan masyarakat.
9
posisi tawar menawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut.
Pendekatan advokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya
masyarakat terdiri dari kelompok – kelompok yang masing – masing mempunyai
kepentingan dan sistem nilai sendiri – sendiri. Masyarakat pada dasarnya bersifat
majemuk, dimana kekuasaan tidak terdistribusi secara merata dan akses ke berbagai
sumberdaya tidak sama.
Dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan advokasi masyarakat mampu
secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses pembangunan, baik dalam kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi. Seringkali pendekatan
advokasi diartikan pula sebagai salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada
masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam proses pembangunan.
Untuk melaksanakan evaluasi apakah proyek yang telah dilaksanakan selama jangka
waktu tertentu telah sungguh mendatangkan perbaikan yang sesuai dengan harapan warga
masyarakat, perlu dilakukan suatu penelitian. Dua metode penelitian evaluatif yang
bersifat bottom-up adalah Rapid Rural Appraisal (RRA), dan Participatory Rural
Appraisal (PRA).
1. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Metoda RRA digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat dalam
waktu yang terbatas ketika keputusan tentang pembangunan perdesaan harus diambil
segera. Dewasa ini banyak program pembangunan yang dilaksanakan sebelum
adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di daerah sasaran. Konsekuensinya,
banyak program pembangunan yang gagal atau tidak dapat diterima oleh kelompok
sasaran meskipun program-program tersebut sudah direncanakan dan dipersiapkan
secara matang, karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam penyusunan prioritas
dan pemecahan masalahnya.
10
2. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsep dasar pandangan PRA adalah pendekatan yang tekanannya pada
keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA bertujuan
menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program
pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan.
Kritik PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program
pembangunan selalu diturunkan "dari atas" (top down) dan masyarakat tinggal
melaksanakan. Proses perencanaan program tidak melalui suatu 'penjajakan
kebutuhan' (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali dilaksanakan hanya
berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh petugas
atau lembaga ahli-ahli penelitian. Akibatnya program tersebut sering tidak relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan tidak adanya rasa memiliki terhadap program itu.
Dengan PRA, yakni dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga
keterampilan – keterampilan analitis dan perencanaan dapat dialihkan kepada
masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan pada pihak luar akan
berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari
aspirasi masyarakat (bottom up). Metoda PRA didasarkan pada penyempurnaan dan
modifikasi dari metoda AEA (Agroecosystems Analysis) dan RRA (Rapid Rural
Appraisal) yang dilakukan oleh kalangan LSM dan peneliti yang bekerja di wilayah
Asia dan Afrika. Walaupun ada beberapa kesamaan antara metoda PRA dan RRA,
tetapi ada perbedaan secara mendasar. Metoda RRA penekannya adalah pada
kecepatannya (rapid) dan penggalian informasi oleh órang luar. Sedangkan metoda
PRA penekannya adalah pada partisipasi dan pemberdayaan.
11
dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar.
Pertumbuhan tersebut dihasilkan bukan hanya dengan biaya yang lebih kecil, tetapi juga
dengan devisa yang lebih kecil (Kartasasmita, 1996). Hal yang demikian ini sudah barang
tentu besar artinya bagi negara-negara berkembang yang sering mengalami kelangkaan
devisa dan lemah posisi neraca pembayaran luar negerinya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Brautigam (1995) di Taiwan juga
menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan beriringan. Taiwan
adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah, tetapi dengan
tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan kondisi ini dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang
dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas
sumberdaya manusia.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak
dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya
pembangunannya sendiri. Implementasi konsep pelibatan masyarakat dalam proses
pembangunan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Salah satu contohnya adalah
hasil penelitian yang dilakukan Babajanian di Armenia (2005), yang menunjukkan bahwa
partisipasi masyarakat melalui organisasi sosial lokal memegang peranan penting dalam
keberhasilan proyek-proyek pembangunan di negara tersebut.
12
BAB III
PENUTUP
13
DAFTAR PUSTAKA
14