Anda di halaman 1dari 5

MOSI DEBAT : SIDANG INI MENYESALI MASUKNYA CABANG LOMBA E-SPORTS SEBAGAI CABANG

OLAHRAGA DI OLIMPIADE

(KONTRA)

1. Menarik Perhatian Generasi Muda


Seperti yang dilansir Business Insider, Olimpiade 2016 mengalami penurunan
jumlah penonton. Menurut statistik, penonton usia 18—49 tahun pada
penayangan jam prime time 25% lebih sedikit dibandingkan Olimpiade 2012.

Nah, masuknya esports tentu dapat mengatasi masalah ini. Soalnya, 51%


penggemar  esports  adalah generasi muda, milenial hingga gen Z. Selain itu,
Olimpiade juga menambahkan cabang olahraga freestyle BMX dan bola
basket three-on-three yang populer di generasi muda sehingga bisa membantu
saluran TV untuk memasukkan iklan bagi penonton usia muda.

2. Meningkatkan Nilai Ekonomi dari Program Olimpiade


Program ini juga memungkinkan International Olympic Committee (IOC) untuk
mengenakan biaya lebih untuk hak siar Olimpiade. Saluran TV pun
berkesempatan menaikkan tarif penjualan iklan. Sebut aja Comcast yang
membayar lebih dari 12 miliar dolar untuk menjamin hak penayangan Amerika
Serikat atas enam periode Olimpiade sampai 2036.

Business Insider  menyebutkan selama perhelatan Olimpiade 2016, NBC yang


merupakan jaringan milik Comcast mencapai rekor 1,2 miliar dolar dalam
penjualan iklan di perhelatan tersebut. Selain itu penjualan digitalnya naik 33%
dari Olimpiade 2012. Kebayang, dong, kalau esports masuk Olimpiade?

3. Membuka Peluang Esports Jadi


Olahraga Mainstream yang Sah
Menurut IOC, esports termasuk kategori olahraga yang relatif baru. Meski begitu,
kehadirannya dalam Olimpiade dipercaya akan menyita perhatian penonton
secara global.

Mungkin esports enggak jadi pilihan utama penggemar olahraga. Seenggaknya,


nama esports bakal lebih dikenal dan bisa memberi dorongan yang signifikan
dalam kesadaran para konsumen atas kehadiran olahraga ini.
4. Esports Bisa Punya Badan Pengawas dan Pengelola
Pusat Resmi
Esports sampai saat ini belum memiliki badan pengelola yang independen dan
menyeluruh untuk mengawasi industrinya secara keseluruhan. Hal ini dapat
berpotensi menciptakan kegaduhan, khususnya saat terjadi masalah, karena
absennya badan pengawas resmi.

Olimpiade diharapkan bisa menjadi pencetus adanya badan pengawas dan


pengelola pusat resmi yang mengawasi industri esports, sama halnya dengan
FIFA yang mengawasi sepak bola internasional.

5. Menciptakan Atmosfer Olimpiade yang Lebih Geeky


Olimpiade enggak selalu berfokus pada aspek olahraga fisik. Seperti yang
dilansir Guardian, IOC juga memberikan medali atas town planning, drawing,
dan poetry (puisi). Status Jepang sebagai tuan rumah Olimpiade tentunya bisa
bikin publik merasakan atmosfer ala geeky yang unik dan asyik.

Kehadiran esports juga enggak bisa lepas dari karakter-karakter video game yang
disukai oleh para penggemarnya. Sebagai salah satu negara yang kaya dengan
budaya pop lewat anime dan manga, Jepang berpeluang membuka kesempatan
untuk menghadirkan para cosplayer. Hal ini memberi kesempatan untuk
kompetisi cosplay, merakit Gundam, dan kompetisi geeky lainnya, tentu dilihat
dari aspek Olimpiade yang juga menilai hal lain di luar aspek olahraga fisik.

Sekali lagi, hal ini bisa menarik perhatian generasi muda untuk berpartisipasi
dalam Olimpiade.

***

Meskipun sedang berkembang pesat, esports masih belum diterima secara


meluas. Masih banyak pihak menilai esports alias main game sebagai kegiatan
yang enggak berfaedah. Makanya, kalian harus maklum kalau perjalanan
esports untuk masuk ke Olimpiade bakal alot.

Akan tetapi, kalian jangan berkecil hati. Esports telah menjadi cabang olahraga
demonstrasi dalam Asian Games 2018. Selain itu, Olympic Council of Asia (OCA)
juga mengumumkan bahwa esports akan menjadi olahraga medali yang akan
dipertandingkan di Asian Games 2022 di Tiongkok.
Memang, awalnya terlihat mustahil bagi esports untuk hadir di Olimpiade 2020.
Akan tetapi, penggemar esports di seluruh dunia wajib optimis. Soalnya, semua
upaya di atas akan memantapkan langkah esports untuk bisa hadir dalam
Olimpiade 2024 yang bakal diadakan di Perancis.

Olahraga ini akan memantapkan generasi muda untuk mengambil gairah dan
permainan kompetitif serta meraih penghasilan dari esports. Hal inilah yang jadi
alasan untuk merayakan dan mendukung olahraga secara umum.

Selanjutnya, jika dalam olahraga faktor kebugaran adalah kunci utama, dalam eSport
pun demikian. Meskipun seorang pemain eSport tidak harus memiliki stamina sekuat
atlet kelas dunia akan tetapi, kebugaran fisik tetap menjadi kunci keberhasilan seorang
pemain eSport.

Seorang pemain eSport profesional akan dituntut untuk dapat kuat duduk di depan
perangkat komputer selama kurang lebih 14 jam sehari. Hal Itu hanya bisa diperoleh
tentunya dari makanan bernutrisi tinggi dan olahraga teratur, layaknya seorang atlet
olahraga konvensional.

Layaknya setiap olahraga yang mengharuskan atletnya untuk mengasah


kemampuannya, maka eSport juga memiliki tujuan yang sama terhadap pemainnya.
Berbeda cabang olahraga maka berbeda juga kemampuan yang harus dimiliki.  

Selain itu, esport bisa masuk sebagai salah satu cabang olahraga karena sifatnya yang
sama dengan olahraga konvensional, yaitu memiliki aturan dan juga membutuhkan
strategi dalam permainannya. Jika Anda berpikir seorang pemain eSport tidak
membutuhkan strategi dan tidak harus mematuhi aturan, Anda salah besar.

Kenyataannya, para pemain eSports juga diatur dengan berbagai aturan. Dalam soal
bermain pun para pemain eSport membutuhkan strategi khusus agar bisa
memenangkan permainan.

Kementerian Pemuda dan Olahraga menyatakan eSport sudah memenuhi unsur olahraga.
Deputi Pembudayaan Olahraga Raden Isnanta menilai eSport tak beda seperti cabang
olahraga catur atau bridge. "ESport itu membutuhkan konsentrasi, daya tahan, dan
stamina," kata Isnanta di Jakarta, Senin, 28 Januari 2019.

Menurut dia, eSport bahkan memerlukan stamina yang lebih


dibandingkan dengan catur. Hal itu yang menjadikan eSport masuk dalam
aspek keolahragaan.

Selain itu, lanjut dia, dari sisi edukasi ada nomor eSport yang memerlukan
kerja sama karena harus membentuk tim. Ia menilai unsur tersebut juga
ada pada cabang olahraga lainnya. Di sisil lain, pemain yang sudah
masuk kategori atlet harus berlatih fisik untuk menjaga dan meningkatkan
stamina. "Pemain juga harus cepat dan cermat dalam mengambil
keputusan," kata Isnanta.
Hal utama yang membedakan dengan olahraga lainnya, ucap Isnanta,
medium pertandingan eSport menggunakan layar. Perbedaan itu yang
kerap menjadi pertanyaan apakah eSport masuk dalam kategori olahraga
atau tidak. "Untuk jenis permainannya kami tidak merekomendasikan
peperangan (kekerasan)," ucapnya.

Ketua Asosiasi eSport Indonesia (IeSPA) Eddy Lim menambahkan eSport


mengoptimalkan kekuatan di otot kecil. Sementara persepsi yang ada
dibenak publik, menurut dia, olahraga melibatkan kekuataan otot besar.
Padahal tidak sedikit olahraga yang menggunakan otot kecil. "Contohnya,
menembak. Kan dilakukan sambil berdiri," ucapnya.
Pakar psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, memaparkan perbedaan eSports dan
internet gaming disorder alias kecanduan bermain game. Pertama, Ia menyebutkan di
dunia eSports itu mengutamakan nilai kedisplinan dalam bermain game, terutama jam
latihan menjelang pertandingan. Kalau pecandu atau kecanduan game, seseorang atau
anak hanya bermain game tergantung mood. Kedua, eSports ada target yang jelas dan
terukur. Sedangkan pecandu game hanya 'yang penting main'. Ketiga,
adalah eSports mengejar prestasi atau karier, sedangkan pecandu game hanya main untuk
membunuh kebosanan. Lama-kelamaan, menjadi kebiasaan main game yang over.
Terakhir, eSports akan menjadikan seseorang lebih produktif dalam menghasilkan uang.
Memang, pada satu sisi ada game yang harus mengeluarkan uang untuk membeli senjata
atau supporting item lainnya. Namun, tujuan dan targetnya jelas. Keperluannya pun bisa
dipertanggungjawabkan. Sementara pecandu game membeli item tertentu dalam sebuah
permainan hanya untuk memuaskan keinginan.

Pandangan orang awam memang jadi kendala. Ada yang bilang: Apaan, sih, ini main game olahraga? Tapi,
kita tinggal jelaskan bahwa eSports dan bermain game itu beda. Ketika main game, mereka tidak punya
tujuan, tidak ada kemauan untuk menang. Kalaupun ingin menang, tidak tahu caranya," kata Eddy ketika
sama-sama menghadiri diskusi eSports bersama Helen.
"Ketika mereka mau bermain game eSports atau atletnya, mereka akan tahu bahwa kalau mau jago harus
latihan, jaga kondisi fisik, dan pola makan. Diharapkan dengan mereka masuk jalur eSports, sisi positifnya
mulai keluar karena sudah ada tujuan. Mereka akhirnya juga tahu, tidak boleh main game setiap hari,"
tambahnya.
"Coba kita ingat-ingat saja, sekitar 100 tahun yang lalu kita belajar bela diri untuk apa? Berkelahi. Tapi,
setelah ada olahraga karate dan taekwondo, pandangannya jadi beda. Sama-sama menendang, tapi ada
aturannya. Begitu juga eSports. Kalau tidak ada regulasi dan aturan seperti olahraga, sama saja dengan
main game biasa."
Dalam praktiknya, memang tidak semua video game termasuk ke dalam kategori eSports. Untuk bisa
diakui sebagai eSports, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah game. Salah satunya, pernah
dipertandingkan dalam kompetisi berskala luas dan menghadirkan beberapa negara.
eSports yang kompetitif bisa disebut sebagai kegiatan olahraga, karena
para pemain yang terlibat harus mempersiapkan diri dan berlatih
dengan intensitas yang mungkin saja sebanding dengan atlet dalam
olahraga tradisional. Tapi, kepastian apakah eSports akan menjadi cabor
di Olimpiade masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut,

Jalan eSports kian terang, karena Badan Olimpiade Asia (OCA)


memasukkan eSports sebagai cabang olahraga ekshibisi pada gelaran
Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Progres ini bisa membuat
eSports bakal menjadi cabor resmi pada Asian Games 2022 di China.

Anda mungkin juga menyukai