Anda di halaman 1dari 4

MOSI DEBAT : PEMBAGIAN PERINGKAT DI SEKOLAH PEMICU MALASNYA SISW UNTUK BERSAING

DAN BELAJAR

(KONTRA)

Orangtua berpendapat dengan mengetahui ranking anaknya, maka mereka mengetahui seberapa jauh
daya saing anaknya dibandingkan murid yang lain. Lagi pula sebagian perguruan tinggi mensyaratkan data
rangking sebagai syarat mendapatkan rekomendasi. Meski ini merupakan salah satu salah kaprah terbesar
perguruan tinggi dalam memilih calon mahasiswa

Sistem ranking hanya menunjukkan capaian relatif. Artinya, peringkat anak kita tergantung pada
kemampuan rata-rata murid di kelasnya. Apa artinya peringkat satu di kelas yang rata-rata memang
kemampuannya rendah? Jadi jurus paling mudah menempati rangking satu adalah masuk di kelas yang
nilai rata-ratanya lebih rendah. Tentu bukan hal yang baik untuk anak kita bukan? 

Sistem ranking menyembunyikan capaian belajar yang esensial. Anak kita jadi peringkat satu memang
membuat kita puas. Tapi peringkat tersebut tidak menunjukkan capaian belajar yang esensial. Pendidikan
adalah proses tumbuh kembang yang berkelanjutan sehingga setiap jenjang mensyaratkan kemampuan
tertentu yang perlu dikuasai anak kita. Dengan melihat pada ranking, kita justru mengabaikan kemampuan
yang penting dikuasai anak pada setiap jenjangnya. Semakin tinggi jenjangnya akan semakin terasa
bahwa anak bisa terus menerus rangking pertama tapi sebenarnya tidak menguasai kemampuan untuk
belajar dan hidup mandiri.

Sistem ranking menyampaikan pesan yang keliru. Ketika peringkat yang menjadi nomor satu, maka
anak akan mendapatkan pesan bahwa ia harus mengejar peringkat setinggi-tingginya. Semua daya
upayanya pun dikerahkan untuk mencapainya sehingga anak pun terbiasa belajar hanya menjelang ujian
atau upaya lain untuk memastikan nilainya lebih tinggi. Anak pun melupakan bahwa manfaat belajar bukan
sekedar ranking, tapi penguasaan kemampuan yang akan menjadi bekalnya dalam menghadapi tantangan
hidup.

Sistem ranking menumbuhkan motivasi eksternal. Anak-anak yang belajar pada sekolah yang
mengutamakan peringkat akan termotivasi belajarnya berdasarkan motivasi eksternal. Belajar hanya bila
dinilai atau berpengaruh pada nilai dan peringkatnya. Kegemaran belajar yang sudah dimilikinya sejak lahir
pun perlahan menghilang. Belajar menjadi beban.

Sistem ranking menciptakan suasana kompetisi. Riset membuktikan belajar efektif pada suasana
kolaboratif (Baca tulisan: Kompetisi). Tapi prasyarat itu gagal dipenuhi bila sekolah menerapkan sistem
rangking. Alih-alih kolaborasi, suasana sekolah justru menjadi sengit dengan persaingan. Murid yang satu
bersaing dengan murid yang lain. Kelompok-kelompok kecil terbentuk untuk bersaing dengan kelompok
lain. Sambil lupa bahwa saingan mereka dalam hidup sebenarnya bukanlah teman-temannya.

Tujuan belajar pada hakikatnya adalah menguasai ilmu/ materi /ketrampilan. Seberapa jauh tujuan belajar tersebut
dapat dicapai oleh seorang siswa, idealnya harus dapat dimonitor melalui data kuantitatif dan kualitatif yang tertera di
raport atau buku laporan hasil belajar siswa. Data kuantitatif yang tertera di raport merupakan data berupa angka yang
mencerminkan seberapa besar nilai prestasi siswa dalam menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Sedangkan data
kualitatif, merupakan data keterangan yang menjelaskan bagaimana sikap dan cara kerja siswa dalam mencapai
prestasinya tersebut.

Ranking, sebagai salah satu bentuk data kuantitatif yang tertera di raport, dapat menunjukkan posisi atau urutan
prestasi seorang siswa dilihat dari prestasi seluruh siswa dalam kelas atau sekolahnya. Semakin tinggi nilai ranking
yang diperoleh, idealnya dapat mencerminkan semakin tinggi pula tingkat pencapaian tujuan belajarnya. Atau
sebaliknya, semakin rendah nilai ranking berarti semakin rendah pula tingkat pencapaian tujuan belajarnya.

Walaupun demikian, pemberian ranking sebenarnya juga masih memiliki manfaat, misalnya bagi siswa dengan gaya
belajar tertentu (menyukai tantangan), maka dengan adanya ranking bisa memacu semangat belajarnya. Selain itu,
dengan adanya ranking, guru dapat lebih mudah untuk mengelompokkan siswa yang pintar dan kurang pintar
sehingga kelas menjadi lebih homogen dan memudahkan guru untuk menyesuaikan metode pengajarannya dengan
daya tangkap kelompok siswa tersebut.

Pada beberapa sekolah, tambah Tjut, ranking tersebut digunakan untuk


mengkategorikan atau mengelompokkan siswa-siswanya. ?Jadi anak dites dengan
satu tes, yaitu achievement test kemudian dibagi berdasarkan range dan
menempatkannya di satu kelas,? terang Tjut. Menurutnya, kegunaannya tak lain
adalah supaya kelas itu lebih homogen dalam hal pencapaian nilai.

Namun Tjut mengingatkan, pencapaian nilai-nilai tersebut belum tentu


menandakan bahwa kecerdasan orang itu berada di situ. Tetapi bisa juga
disebabkan karena orang itu ulet, rajin belajar sehingga pencapaian
nilai-nilainya menjadi bagus. ?Pembagian seperti itu bukan berdasarkan taraf
kecerdasan anak, tetapi berdasarkan pencapaian nilai-nilai dalam
pelajaran-pelajaran yang diberikan sekolah,? katanya.
Walau demikian, Tjut tidak menyangkal bahwa pemberian ranking juga bisa
memberikan dampak positif bagi beberapa siswa, terutama jika dikaitkan dengan
tipe dan gaya belajar anak yang berbeda satu sama lain. ?Ada yang justru
terpacu belajar kalau pakai ranking,? ujarnya. Dengan demikian pencapaian
ranking tidak dirasa berat, tetapi dianggap sebagai suatu tantangan. Tetapi
buat orang-orang tertentu, bisa saja ranking justru membuat stres. ?Jadi
tergantung dampaknya, mana yang lebih banyak pengaruh negatifnya,? papar Tjut.

Selain memberikan efek memacu, Tjut juga menyebutkan bahwa ranking juga
bisa diperlukan, ketika seseorang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya. Misalnya untuk mengikuti untuk memasuki perguruan tinggi tanpa
jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa) yaitu dengan jalur PMDK (Penelusuran
Minat dan Kemampuan) diperlukan siswa-siswa yang menduduki ranking tertentu di
sekolah. Begitu juga untuk memasuki sekolah-sekolah tertentu kadangkala ranking
sering dijadikan bahan pertimbangan.

Sementara itu, Arief tetap memandang perlunya sistem ranking diterapkan


di sekolah. ?Guru harus memiliki peta ranking siswa-siswanya. Dengan demikian,
dia akan mengerti, treatment apa yang harus dilakukan terhadap siswa A atau
siswa B,? jelasnya. Misalnya, jika ada 2 orang siswa yang memiliki potensi
sama. Tetapi ketika dinilai, siswa A mendapat 4, sementara siswa B mendapat
nilai 8. Dalam hal ini, guru harus bisa melihat,mengapa hal ini bisa terjadi
sehingga kemudian bisa memberikan tindakan yang diperlukan untuk membantu siswa
A memaksimalkan potensinya.
Menurut Cheryl Chia, Directur KidzGrow Pte Ltd, ada beberapa faktor
penting yang sangat mempengaruhi kemampuan siswa untuk belajar dan menguasai
materi pelajarannya. Faktor tersebut adalah lingkungan belajar, kualitas
kurikulum dan guru yang mengajar. Selain itu, Cheryl menambahkan, ?Kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki tiap anak, juga sangat berpengaruh terhadap
kemampuannya menyerap dan memproses informasi secara cepat dan akurat.?
Ranking kita gunakan di sini bukan untuk menghakimi siswa lain yang belum
meraihnya. Ranking yang muncul di sini adalah proses penghargaan terhadap
perkembangan belajar anak. Maka, membuat ranking kelas seperti di bawah ini
sangat baik jika dilakukan setiap bulan dan bukan satu tahun satu kali.  Salah satu
tujuannya adalah agar perubahan yang baik bisa cepat terjadi, dan memberikan
kesempatan kepada yang lain untuk meraihnya.

Maka, inilah beberapa peringkat yang perlu kita berikan kepada anak-anak didik kita.

Pertama, ranking karakter.

Inilah peringkat yang sangat penting. Saat ini, kita harus sering menularkan
kebanggaan terhadap sikap baik ketimbang kebanggaan akan nilai.

Caranya,
1. Inilah yang paling menentukan. Berbicara, mendampingi anak, atau
mengamati anak untuk mengetahui karakter membutuhkan waktu. Tidak ada
batasan. Bahkan, saat jam mengajar saja juga sudah cukup asalkan kita juga
sembari mengamati karakter anak disamping menyampaikan materi.
2. Pilihlah tiga atau empat karakter unggulan yang mampu kita amati. Misalnya:
disiplin, peduli, santun, atau sabar.
3. Catatlah setiap siswa yang selalu menunjukkan karakter tersebut. Catatlah
setiap hari jika memungkinkan, satu minggu sekali jika tidak memungkinkan.
4. Mintalah pendapat siswa lain.

Caranya: buatlah sekali waktu pertanyaan kecil yang harus dijawab anak. Tulislah
tiga temanmu yang paling sabar! Tulislah tiga temanmu yang paling santun! Dan
seterusnya.

Kedua, ranking inovasi dan kreativitas.

Untuk setiap level sekolah memiliki jenis penilaian yang berbeda. Kategori yang kita
inginkan juga berbeda-beda. Misalnya: kreativitas membuat prakarya, memberikan
solusi untuk kelas, atau membuat hal baik lain di luar sekolah yang perlu dan pantas
ditiru oleh siswa lain.

Di tingkat SD kita mulai dengan hal yang sederhana. Misalnya: Siapa yang lebih
banyak tahu tentang ilmu pengetahuan di luar sekolah, prakarya terbaik, bisa
menjual barang terbanyak saat kegiatan tertentu, memimpin teman-temannya untuk
hal yang baik, atau sekadar menciptakan hal-hal baru dari kertas origami.

Di tingkat yang lebih tinggi, SMP-SMA-atau lebih tinggi, tentu tingkat kerumitan juga
harus berkembang.

Kategori ranking ini sangat dibutuhkan agar anak-anak lain yang masih malu-malu
dan tidak tahu cara mengeksplorasi diri, bisa belajar dari temannya sudah bagus
dan membuatnya tidak takut mencoba.

Setiap penghargaan yang adil dan baik pasti akan memunculkan keinginan bagi
pihak lain untuk meraihnya. Jika tidak bisa saat ini dan di tempat ini, maka mereka
menyimpan tenaga untuk meraihnya di kesempatan dan tempat yang lain.

Ketiga, ranking setiap bidang studi.

Kesalahan yang selama ini terjadi adalah membuat ranking gabungan dari semua
bidang studi. Ketika sudah didapatkan, maka anak tertentu dianggap paling hebat di
antara yang lain.

Yuk kita ubah menjadi ranking setiap bidang studi. Yang ini jauh lebih mudah
melaksanakannya. Dengan ranking ini, setidaknya kita akan mengetahui keunggulan
anak di setiap bidang.

Anda mungkin juga menyukai