Anda di halaman 1dari 4

Mengatasi Berita “Hoax” di Dunia Maya

1. Judul provokatif
 
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya
dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari
berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang
dikehendaki sang pembuat hoax.
 
Oleh karenanya, apabila menjumpai berita denga judul provokatif, sebaiknya mencari
referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya,
apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya pembaca bisa memperoleh
kesimpulan yang lebih berimbang.
 
2. Cermati alamat situs
 
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah
alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai
institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa
dibilang meragukan.
 
Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia
yang mengklaim sebagai portal berita.
 
Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai
300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan
berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
 
3. Periksa fakta
 
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi
seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal dari
pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat.
Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, tidak bisa
mendapatkan gambaran yang utuh.
 
Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan
fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti,
sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki
kecenderungan untuk bersifat subyektif.
 
4. Cek keaslian foto
 
Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa
dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat
berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.
 
Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google,
yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil
pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga
bisa dibandingkan.
 
5. Ikut grup diskusi anti-hoax
 
Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum
Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster,
Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
 
Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan
hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain.
Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya
crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.
 
Cara melaporkan berita atau informasi hoax
 
Apabila menjumpai informasi hoax, cara untuk mencegah agar tidak tersebar.
Pengguna internet dapat melaporkan hoax tersebut melalui sarana yang tersedia di
masing-masing media.
 
Untuk media sosial Facebook, gunakan fitur Report Status dan kategorikan informasi
hoax sebagai hatespeech/harrasment/rude/threatening, atau kategori lain yang sesuai.
Jika ada banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook akan menghapus status
tersebut.
 
Untuk Google, bisa menggunakan fitur feedback untuk melaporkan situs dari hasil
pencarian apabila mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur Report Tweet
untuk melaporkan twit yang negatif, demikian juga dengan Instagram.
 
Kemudian, bagi pengguna internet Anda dapat mengadukan konten negatif ke
Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan melayangkan e-mail ke alamat
aduankonten@mail.kominfo.go.id.
 
Masyarakat Indonesia Anti Hoax juga menyediakan laman data.turnbackhoax.id untuk
menampung aduan hoax dari netizen. TurnBackHoax sekaligus berfungsi sebagai
database berisi referensi berita hoax.
 
sumber : http://zonasultra.com/ini-cara-mengatasi-berita-hoax-di-dunia-maya.html

Orang yang menebarkan informasi palsu atau hoax di dunia maya akan dikenakan
hukum positif.

Hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku. Maka, penebar hoax akan
dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya
konflik sosial.

Penebar hoax di dunia maya juga bisa dikenakan ujaran kebencian yang telah diatur
dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP.
Ujaran kebencian ini meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan,
perbuatan tidak menenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita
bohong.

"Hoax ini harus ada yang dirugikan, baik itu seseorang atau korporasi yang merasa
dirugikan. Kalau enggak ada, ya cenderung gosip di dunia maya. Perlu ada obyek dan
subyek dari hoax ".

Ujaran kebencian ini biasanya bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian
terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat, antara lain suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender,
kaum difabel, hingga orientasi seksual.

"Ujaran kebencian atau hate speech ini dapat dilakukan dalam bentuk orasi kampanye,
spanduk, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah
keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, sampai pamflet," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, dasar hukum penanganan konten negatif
saat ini telah tercantum dalam perubahan UU ITE.
Dia memaparkan, Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Lalu, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sampai
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.19 Tahun 2014 tentang
Penanganan Situs Bermuatan Negatif.

Semuel mengatakan, bicara hoax itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya
nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 28 ayat 2 itu berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA)"

"Kalau berita-berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan


ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama
enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar," kata Semuel.

Anda mungkin juga menyukai