Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH SOSIOLOGI

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
ADINDA ZULAIKHA RAIHANAH
MAGFIRAH
KIRANA AULIA PUTRI
NUR IRSYADIAH FIKRIAH ILHAM
ASFIKA ANUGRAH
RIFKA AULIA
RAHMAT HIDAYAT
TAHUN AJARAN 2022 / 2023
BAB 1
PENDAHULUAN

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 UU ini menentukan: bahwa pemberantasan tindak
pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas korupsi melalui
upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindakan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas UU No. 21 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap
penyelenggara negara, seperti yang dimaksud dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, diharapkan dapat dibebaskan dari
segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara
negara yang benar-benar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Begitupun dengan kewenangan KPK yang semakin sempit mendapatkan ruang gerak dalam
melaksanakan tugasnya, seperti kewenangan penyadapan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan. Berdasarkan Pasal 12 ayat 1 butir a UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, komisi pemberantasan
tindak pidana korupsi berwenang melakakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, penyadapan
informasi ini digunakan antara lain utnuk mendukung pemberantasan korupsi, dalam melakukan
penyadapan dan perekaman tersebut, KPK dapat meminta bantuan interpol (polisi internasional),
penyadapan ini merupakan sebuah keistimewaan yang dimiliki dalam UU No. 30

BAB II

PEMBAHASAN
• TEORI KPK

Secara umum, terdapat beberapa teori yang dapat memberikan jawaban mengenai mengapa seorang
pejabat publik melakukan korupsi. Teori-teori tersebut antara lain:

1. Rational choice theory. Dalam teori ini dinyatakan bahwa seseorang melakukan korupsi ketika
manfaat dari melakukan korupsi lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang akan diderita karena
melakukan korupsi. Makna rasional dalam teori ini adalah cara pandang pelaku korupsi yang ingin
memperoleh manfaat berupa uang dalam jumlah yang banyak tanpa harus menderita kerugian yang
lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterimanya. Berdasarkan teori ini, manusia adalah
pribadi yang rasional, penuh perhitungan dan akan melakukan segala sesuatu berdasarkan perhitungan
biaya dan manfaat (cost-benefit calculation). Ketika pelaku korupsi melihat dirinya memiliki peluang
untuk melakukan korupsi sehingga dapat memperoleh uang banyak (manfaat) tanpa dapat diketahui
karena pengendalian yang lemah (kerugian) maka dia akan melakukan korupsi. Teori ini menjelaskan
bahwa sebenarnya rasionalitas seseorang tidak sepenuhnya bebas namun merupakan rasionalitas yang
terikat (bounded rationality). Artinya seseorang membuat keputusan dengan hanya mempertimbangkan
risiko-risiko jangka pendek dan berdasarkan informasi terbatas yang diterima pada saat itu, yang
mungkin akan menghasilkan keputusan yang berbeda dalam waktu yang lain. Dalam teori ini, seseorang
akan melakukan korupsi ketika manfaat melakukan korupsi lebih besar daripada biaya dan kerugian
yang akan diderita akibat melakukan korupsi. Manfaat melakukan korupsi dapat berupa kekayaan
materiil, jabatan, kedudukan atau kepuasan pribadi sedangkan kerugian melakukan korupsi dapat
berupa potensi perbuatannya diketahui pihak berwenang dan sanksi dari lembaga pengadilan dalam
bentuk hukuman denda dan penjara. Rumus perilaku korup menurut teori ini adalah sebagai berikut:
Korupsi → Manfaat melakukan korupsi > kerugian melakukan korupsi.

Prinsip utama dalam teori ini adalah:

1. Mayoritas pelaku kriminal adalah orang-orang yang berpikiran rasional.

2. Rasionalitas adalah cara berpikir yang digunakan untuk membedakan antara tujuan dengan cara-cara
yang harus digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Misalnya tujuan seseorang adalah memiliki
kekayaan maka cara-cara yang dapat dilakukan untuk memiliki kekayaan beraneka ragam, mulai dari
bekerja hingga mencuri agar dapat memperoleh kekayaan yang diinginkan.

3. Seseorang akan melakukan kalkulasi untuk mengetahui manfaat dan kerugian apa yang akan
diperoleh dari setiap cara yang ada.

4. Apabila manfaat yang diperoleh dari melakukan cara tertentu ternyata melebihi kerugiannya maka
seseorang akan melakukan cara tersebut dan apabila manfaat lebih kecil daripada kerugiannya maka
seseorang yang berpikiran rasional tidak akan melakukannya.

Sebagai contoh, seorang oknum pejabat publik diberikan tugas untuk menjadi pimpinan proyek
pembangunan jalan lintas provinsi. Apabila oknum tersebut ingin melakukan korupsi maka dia akan
berpikir manfaat apa yang akan diperoleh dari melakukan korupsi, seperti berapa keuntungan finansial
yang mungkin didapat dari korupsi.

Selanjutnya dia akan berpikir kerugian apa yang akan dideritanya apabila dia melakukan korupsi,
misalnya bagaimana sistem pengendalian yang ada di instansinya sehingga dapat dibuat estimasi apakah
perbuatannya berpotensi diketahui atau tidak dan juga hukuman seperti apa yang akan diterima apabila
dia diadili di pengadilan. Apabila dari analisis mengenai manfaat dan kerugian yang dilakukan, ternyata
dia beranggapan bahwa manfaat dari melakukan korupsi masih lebih besar daripada kerugiannya maka
dia akan melakukan korupsi.

Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah apabila seseorang mengetahui bahwa hukuman yang dapat
diterimanya apabila orang tersebut diketahui melakukan korupsi adalah besar, maka hal ini akan
mendorongnya untuk melakukan korupsi yang lebih besar agar dapat memperoleh keuntungan yang
lebih besar daripada kerugian yang dapat dideritanya.

Berdasarkan teori ini maka pencegahan korupsi yang efektif adalah dengan memperkuat sistem
pengawasan (pengawasan internal dan pengawasan eksternal) untuk mencegah agar korupsi tidak
terjadi atau untuk mendeteksi korupsi serta memperberat sanksi hukuman bagi pelaku korupsi.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi harus dapat
menyelidiki kasus korupsi dengan sangat baik sehingga tidak dapat dibantah di pengadilan. Hakim yang
menangani kasus korupsi pun juga harus berani memberikan hukuman yang keras bagi para pelaku
korupsi.

Terdapat satu kelemahan dalam teori ini yaitu teori ini gagal menjawab pertanyaan mengapa terdapat
orang yang melakukan korupsi namun ada pula yang tidak melakukan korupsi, meskipun keduanya
dihadapkan pada situasi yang sama. Dengan demikian, teori ini belum dapat menjelaskan mengapa
seseorang melakukan korupsi secara menyeluruh.

2. Bad apple theories. Berdasarkan teori ini, korupsi terjadi karena adanya individu-individu yang
memiliki karakter yang buruk (bad or rotten apples). Karakter buruk yang dimaksud seperti keserakahan,
sifat tidak bermoral dan tidak jujur. Karakter-karakter buruk tersebut dapat diperoleh dari pembelajaran
sejak kecil dalam keluarga atau melalui interaksi di dalam lingkungan sosial.

Berdasarkan teori ini, sifat-sifat buruk yang ada dalam diri seseorang (keserakahan, dan tidak jujur)
menjadi faktor utama yang menyebabkan seseorang berperilaku korup. Perilaku korup dalam diri
seseorang, terutama orang-orang yang menjabat sebagai pejabat publik, dapat mempengaruhi individu-
individu lain di dalam organisasi tersebut untuk turut serta berperilaku korup.

Apabila menggunakan teori ini maka untuk mencegah korupsi diperlukan seleksi pegawai dan pejabat
publik yang ketat dengan mempertimbangkan rekam jejaknya, terutama dari aspek integritas dan
kejujuran serta melakukan pelaksanaan penelusuran rekam jejak seorang pejabat publik.
Menggunakan ilustrasi pembangunan jalan di atas, maka ternyata oknum pejabat publik yang ditunjuk
untuk membangun jalan lintas provinsi memiliki karakter korup dan tidak jujur sehingga potensi
terjadinya korupsi dalam proyek tersebut adalah besar.

3. Organizational culture theories. Menurut teori ini, perbuatan korupsi terjadi karena sistem dan
budaya yang ada dalam sebuah organisasilah yang mendorong seseorang di dalam organisasi tersebut
untuk menjadi korup (bad bushels). Lingkungan yang korup dapat menjadikan seseorang yang awalnya
berintegritas menjadi pribadi yang korup.

Seseorang menjadi korup didasari pada faktor kesetiaan dan loyalitas kepada organisasinya. Meskipun
demikian, tidak dapat diambil kesimpulan bahwa semua orang yang berada dalam organisasi yang korup
secara otomatis akan menjadi pribadi yang korup pula. Berdasarkan teori ini maka faktor pemimpin
dalam organisasi yang mengutamakan etika, kejujuran dan integritas sangat penting agar tidak terdapat
budaya korup di dalam organisasi tersebut.

Berdasarkan ilustrasi pembangunan jalan di atas, ternyata organisasi dimana oknum pejabat publik
bekerja untuk membangun jalan lintas provinsi adalah organisasi yang memiliki budaya

korup dan memiliki pengendalian internal yang sangat lemah. Dengan demikian, potensi terjadinya
korupsi sangat besar.

4. Clashing moral value theories. Berdasarkan teori ini, korupsi terjadi ketika terdapat konflik antara
status seseorang sebagai individu dalam lingkungan masyarakat dengan statusnya sebagai seorang
pejabat publik atau penyelenggara negara. Kedua status tersebut terkadang menimbulkan konflik moral.
Konflik tersebut terjadi karena seorang pejabat publik mengalami kesulitan untuk memisahkan antara
kehidupan pribadi dengan pekerjaannya sebagai pejabat publik.

Berdasarkan teori ini, seseorang melakukan korupsi tidak didasari atas keserakahan namun semata-
mata untuk membantu teman atau keluarganya sebagai bentuk loyalitas. Dalam hal ini, budaya gotong
royong dan saling membantu yang umumnya berlaku di Indonesia turut mempengaruhi cara berpikir
pejabat publik. Di luar hubungan sosial, hubungan kerja juga turut berpengaruh. Dalam hal ini terkadang
seseorang melakukan korupsi dalam rangka menunjukkan rasa solidaritas dengan rekan kerjanya yang
korup.

Dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, seorang oknum pejabat publik mampu
menetapkan kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan keluarga atau teman-temannya. Sebagai
bentuk loyalitas dan kesetiakawanan maka pejabat publik tersebut dapat melakukan korupsi dalam
rangka membantu keluarga atau teman-temannya, sesuatu yang kita kenal sebagai nepotisme.

Mengacu pada teori ini maka penegakan kode etik dalam organisasi publik sebagai pedoman bagi
pejabat publik untuk berperilaku dan memutuskan kebijakan tertentu sangat penting dalam rangka
pencegahan korupsi agar tidak terpengaruh dengan tekanan dari pihak-pihak lain.
Dengan menggunakan contoh oknum pejabat publik yang melakukan korupsi pembangunan jalan lintas
provinsi, maka pejabat tersebut melakukan korupsi bukan untuk kepentingan pribadinya namun
semata-mata untuk membantu keluarga atau teman-temannya.

5. The ethos of public administration theories. Menurut teori ini, budaya dan nilai-nilai tertentu di dalam
masyarakat dapat mendorong atau memberikan tekanan kepada pejabat publik untuk melakukan hal-
hal tertentu, termasuk mendorong pejabat publik untuk melakukan korupsi agar dapat memenuhi
keinginan masyarakat.

Terkadang masyarakat yang memiliki banyak kepentingan akan mendorong pejabat publik untuk
membantu mereka dengan cara menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu yang akan menguntungkan
mereka. Permasalahannya, terkadang dalam menetapkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat
maka pejabat publik harus melanggar aturan yang ada dan dapat merugikan keuangan negara.

Teori ini memandang perilaku korup bukan dari sisi pejabat publik yang memiliki kewenangan namun
dari sisi masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan kewenangan yang dimiliki pejabat
publik. Berdasarkan teori ini, maka pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan
sosialisasi kepada masyarakat agar tidak mempengaruhi pejabat publik untuk melakukan korupsi.

Apabila kita menggunakan contoh oknum pejabat publik yang melakukan korupsi pengadaan jalan lintas
provinsi, maka oknum tersebut melakukan korupsi disebabkan karena tekanan dari masyarakat yang
mendorongnya agar dia dapat menyelesaikan proyek tersebut dengan cepat.

Untuk menyelesaikan proyek tersebut dengan cepat maka pejabat tersebut harus sering-sering bertemu
dengan pelaksana proyek untuk membahas bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan agar proyek
tersebut dapat selesai dengan cepat. Cara yang dapat ditempuh misalnya dengan mengurangi spesifikasi
dan kualitas jalan, sementara uang yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun jalan sesuai dengan
kualitas yang ditetapkan akan masuk ke kantong oknum pejabat tersebut dan pelaksana proyek.

• TUGAS KPK

KPK mempunyai tugas sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU No.30 Tahun 2002, sebagai berikut :

1) Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tipikor,

2) Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tipikor, instansi
yang berwenang termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada departemen atau Lembaga
Pemerintan Non - departemen
3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,

4) Melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi,

5) Melakukan monitor terhadap penyelenggara pemerintahan negara,

• KEWAJIBAN KPK

1. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 15 UU No.30 Tahun 2002, KPK berkewajiban:

1) Memberikan perlindungan terhadap sanksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi,

2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan memberikan bantuan untuk


memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya.

2. Tanggung jawab KPK diatur dalam UU No.30 Tahun 2002, yaitu :

1) KPK bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya
secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR RI, dan BPK.

2) Pertanggungjawaban KPK dilaksanakan dengan cara :

a. Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya,

b. Menerbitkan laporan tahunan,

c. Membuka akses informasi.

3. Susunan organisasi KPK

- Pimpinan KPK (1 orang)

- Wakil ketua KPK (4 orang)

Tim penasehat (4 orang)

- Deputi bidang pencegahan, membawahi :

1) Direktorat Prndaftaran & Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara,

2) Direktorat gratifikasi,

3) Direktorat pendidikan dan pelayanan masyarakat,

4) Direktorat penelitian dan pengembangan,

5) Sekretariat deputi bidang pencegahan.


Deputi bidang penindakan, membawahi :

1) Direktorat penyelidikan.

2) Direktorat penyidikan

5) Direktorat venuntutan.

4) Sekretariat deputi bidang penindakan

Deputi bidang informasi dan data, membawahi :

1) Direktorat pengolahan informasi dan data,

2) Direktorat pembinaan jaringan kerja antarkomisi dan instansi,

3) Direktorat monitor,

4) Sekretariat deputi bidang informasi dan data.

- Deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat, membawahi:

1) Direktorat pengawasan internal,

2) Direktorat pengaduan masyarakat,

3) Sekretariat deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan

masyarakat.

• penyebab korupsi di indonesia

Menurut penasehat KPK Abdullah Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada 8
penyebab terjadinya korupsi di indonesia, yaitu :

- Sistem Penyelenggaraan Negara yang keliru, Kompensasi PNS yang Rendah, Pejabat yang Serakah, Law
enforcement tidak berialan

- Hukuman yang ringan terhadap koruptor, Pengawasan yang tidak efektif, Tidak ada keteladanan
pemimpin, Budaya masyarakat yang kondusif KKN.

• institusi vang berwenang memberantas korupsi

Beberapa institusi berwenang untuk memberantas korupsi di indonesia agar tidak terus berkembang,
yaitu :

- KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),


- Kepolisian Negara Republik Indonesia ( instruksi presiden No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, Huruf kesebelas, butir 10),

- Kejaksaan Agung Republik Indonesia (instruksi presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, huruf kesebelas, butir 9).

BAB III

PENUTUP

• Kesimpulan

KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK bekerjasama
dengan lembaga - lembaga Pemberantasan korupsi lain, seperti BPK, BPKP, dan inspektorat untuk
memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme di indonesia. Kita harus menanamkan sifat nasionalisme di
dalam diri kita agar nantinya negara indonesia bisa terbebas dari KKN. Itu merupakan salah satu cara
dalam menghadang diri kita dari intern agar tidak terjerumus kedalam KKN.

• Saran
Kita sebagai masyarakat indonesia dan sebagai masyarakat yang cerdas harus mampu menangkal diri
kita dari kata KORUPSI. Agar kita dapat membuat Indonesia yang bebas KRN. Kita juga harus mengetahui
sebab terjadinya korupsi agar kita dapat menghindari hal tersebut

Anda mungkin juga menyukai