Anda di halaman 1dari 14

DISKRESI POLISI DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang selalu berupaya untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1
Untuk melindungi masyarakat yang pada akhirnya tercapai kesejahtran
masyarakat dapat dilakukan dengan menegakan hukum termasuk hukum pidana yang
memiliki tujuaan menanggulangi kejahatan sehingga dapat dikatakan hal tersebut sebagai
bagian dari upaya perlindungan masyarakat.
Berhadapan dengan kejahatan, sistem peradilan pidana menjadi suatu perangkat
yang dapat digunakan untuk menanggulangi berbagai bentuk kejahatan. Penggunaan
sistem peradilan pidana ini merupakan suatu respon penanggulangan dan penanganan
kejahatan, seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa penegakan hukum pidana melalui
bekerjanya sistem peradilan pidana merupakan prioritas utama yang keberhasilannya
tetap diharapkan, lagi pula pada bidang penegakan ini pula dipertahankan makna “negara
berdasarkan hukum”2
Sistem peradilan pidana merupakan bagian dari proses terjalinnya bebeapa
penegak hukum dalam melaksanakan tuganya masing-masing sesuai dengan kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang. Perangkat dalam aspek struktural sistem peradilan
pidana terdiri dari 4 sub-sistem kewenangan yang berbeda-beda, yaitu kewenangan
penyelidikan dan penyidikan yang pada umumnya dimiliki oleh lembaga kepolisian,
kewenangan penuntutan yang dimiliki oleh lembaga kejaksaan, kewenangan mengadili
yang dimiliki oleh lembaga pengadilan, dan kewenangan melaksanakan pidana yang
dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan, serta dalam beberapa hal kewenangan
pelaksanaan pidana dimiliki oleh lembaga kejaksaan.

1
Bandingkan dengan alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2
Muladi dalam Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme : Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2004, hlm. 102
1
Lembaga kepolisian merupakan bagian dari instrumen negara dalam menegakan
hukum pidana serta memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurut Pudi
Rahardi, kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga
yang diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-
undangan,3 yang dalam peraturannya disebutkan bahwa tugas pokok kepolisian adalah
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.4
Bertolak dari tugas-tugasnya tersebut, kepolisian selalu dihadapkan kepada
pilihan-pilihan yang dilematis pada saat menjalankan tugas penegakan hukum, karena di
satu sisi mereka harus menjalankan kewajibannya memelihara keamanan dan ketertiban
umum namun disaat bersamaan juga melakukan tugas pengayoman, dan perlindungan
terhadap masyarakat luas. Hal ini menjadikan aparat kepolisian diharuskan mencari titik-
titik pilihan antara hukum dan ketertiban. 5 Oleh karenanya terdapat ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan bahwa aparat kepolisian dapat bertindak berdasarkan atas
penilaiannya sendiri.
Petugas kepolisian dalam rangka menjalankan tugasnya memiliki berbagai
kewenangan untuk melakukan tindakan yang didasarkan atas penilaiannya sendiri dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya menegakan hukum pidana. Kewenangan untuk
menggunakan tindakan tersebut oeh aparat kepolisian disebutkan dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yaitu :
1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

Ketentuan tersebut di atas merupakan kewenangan yang berseumber dari asas


kewajiban umum kepolisian yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat
kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam
rangka kewajiban umumnya guna menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin

3
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hlm. 56
4
Bandingkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Fokus Media , 2003, hlm. 8
5
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,
hlm. 131
2
keamanan umum. Secara umum kewenangan ini disebut sebagai diskresi kepolisian yang
keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluan untuk pelaksanaan tugas dan
kewajiban.6
Hukum dibuat dan berkerja berdasarkan asumsi bahwa yang dihadapi adalah
keadaan normal. Apabila keadaan menjadi tidak normal, hukum dihadapkan kepada
kesulitan. Sebenarnya sejak awal, pembuat hukum sendiri menyadari, ia membuat
hukum berdasarkan asumsi situasi yang normal. Maka, untuk mengantisipasi terjadinya
keadaan yang tidak selalu normal, hukum sudah menyediakan pintu-pintu keluar dari
keadaan darurat itu.7
Diskresi dalam kepolisian, dimana seorang polisi diberikan hak istimewa untuk
tidak menerapkan hukum yang seharusnya dilakukan atas dasar pertimbangan
menyelamatkan keadaan merupakan salah satu contoh pintu darurat yang digunakan saat
terjadi hal-hal diluar normal yang membutuhkan tindakan sesegara mungkin demi
melindungi kepentingan umum.
Dari uraian itu, ternyata pekerjaan hukum tidak hanya melakukan rule making
(membuat dan menjalankan), tetapi sesekali-dalam keadaan tertentu-juga melakukan rule
breaking (terobosan). Contoh tentang “pintu-pintu darurat” itu adalah dimana hukum
melakukan terobosan terhadap peraturan, dotrin, dan lain-lain yang dibuatnya sendiri.
Dari uraian itu, kita belajar, yang namanya hukum tidak selalu memuat suasana
yang penuh ketertiban (order), tetapi juga ketidakteraturan (disorder). Di sini hukum
menyadari kekurangannya sehingga menyediakan berbagai mekanisme untuk
menyelamaktan eksistensinya. Kalau suda begini, kita harus mengatakan, yang teratur
dan tidak teratur itu sama-sama ada dan berkelindan hukum.
Terkait permasalahan luar biasa yang sedang dihadapi hukum di Indonesia,
disarankan untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah-langkah progresif adalah hukum
yang membebaskan kita dari “belenggu kerangkeng hukum”. Kita memang
membutuhkan hukum, tetapi jangan sampai terjadi hukum itu justru membelenggu kita.8
Selama ini kita adalah murid-murid yang baik dan patuh terhadap cara berhukum
yang umum digunakan bangsa-bangsa di dunia, termasuk asasnya, doktrin-doktrinnya.
Tanpa disadari, kita telah membelenggu diri sendiri dengan menganggap bahwa kita
tidak dapat keluar dari praksis yang sudah dipersepsikan sebagai berhukum secara
universal.
6
Pudi Rahardi, Op.cit, hlm. 98
7
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. 139
8
Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 141
3
Gagasan progresif diharapkan dapat membantu kita keluar dari kungkungan cara
berhukum yang sudah dianggap baku. Di sini hukum progresif membebaskan kita dari
cara berhukum yang selama ini dijalankan.9
Untuk itu polisi sebagai salah satu sub-sistem peradilan pidana yang memunyai
tugas pokok sebagiaman disebutkan dalam undang-undang kepolisian diharapkan dapat
menjadi penegak hukum yang progresif, dimana melihat hukum bukan hanya sebagai
aturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (wet) tetapi juga
melihat hukum di luar peraturan perundang-undangan (recht).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah
dalam makalah ini adalah bagaimana diskresi kepolisian dalam perspektif penegakan
hukum progresif ?

9
Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 142
4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Diskresi Kepolisian
1. Pengertian Diskresi Kepolisian
Istilah diskresi dikenal dalam lingkungan pejabat publik yang berasal dari
bahasa inggris “discretion” atau “discrecionary power”, dan dalam lingkungan
hukum administrasi dikenal ”fries ermessen” asal kata dari bahasa jerman yang
berarti kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.
“Discretion” dalam Black Law Dictionary mengandung arti “a public official’s
power right to act in certain circumstances according to personal judgement and
conscience”.10
Sedangkan, Alvina Treut Burrows (ed) menyatakan discreation sebagai ability
to choose wisely or to judge one self (kemampuan untuk memilih secara bijaksana
atau mempertimbangkan bagi diri sendiri).11 Pakar bahasa Prajudi Admasoedirdjo
menterjemahkan discreation sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
menurut pendapat sendiri.12
Pada konteks penegakan hukum pidana, diskresi sering dikaitkan dengan
aparat kepolisian. Diskresi yang dimaksud merupakan realisasi dari azas kewajiban
yang merupakan salah satu azas yang melandasi penggunaan wewenang polri dalam
menjalankan tugas. Azas kewajiban ini bersifat preventif dan represif non yustisiil
(pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi pencegahan suatu tindak pidana yang
akan terjadi.
Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, mengartikan diskresi
kepolisian yaitu : an authority conferred by law to act in certain condition or
situation; in accordance with official’s or an official agency’s own considered
judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone
between law morals,13 yang diartikan ke dalam bahasa indonesia sebagai suatu
tindakan dari pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas
dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri.
10
Blacks’s Law Dictionary, editor Bryan A. Garner (Editor in Chief), by West Group, St. Paul MN, 1999,
hlm. 479
11
Joko Prakoso , Polri sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.
181
12
Djoko Prakoso, Ibid, hlm. 181
13
R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1997, hlm. 25-
26
5
Dikresi kepolisian melekat pada setiap pejabat kepolisian dalam menjalankan
fungsinya sehari-hari, baik fungsi preventif maupun represif, yang menurut J. Q.
Welsson diberikan dalam lingkup law enforcement mapun order maintenance.14
Berkaitan dengan diskresi, Thomas J. Aaron dalam bukunya The Control of
Police sebagaimana dikutip M. Faal menyatakan bahwa “dicretion is power authority
conferred by law to action on the basic of judgement or conscience, and its use is
more on idea of moral then law” yang artinya sebagai suatu kekuasaan atau
kewenangan yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan keyakinannya
lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum.15 Dengan
demikian moral mendasari pertimbangan atas tindakan yang dilakukan, sehingga
moral aparatur negara atau pejabat publik sangat menentukan tepat atau tidaknya
tindakan yang dilakukan.

2. Hakikat Diskresi Kepolisian


Pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan, pada dasarnya merupakan
ujung dan suatu rangkaian proses yang sebenarnya panjang, walaupun pada
kenyataanya bisa saja berlangsung hanya sekejap. Proses dimaksud, sebagaimana
disinggung sebelumnya, melibatkan curahan kebijaksanaan yang dalam hal ini
termuat pula kehati-hatian yang berpijak pada intelektualitas dan kecendekiawanan
yang memadai. Proses tersebut mengandung pertimbangan atau penilaian dari segala
sudut pandang secara adil. Barulah kemudian sampai pada pilihan yang berkenaan
dengan pembuatan keputusan dan/atau pengambilan tindakan tertentu.
Sehubungan dengan urgensi diskresi, mengutip pendapat Ridwan, diskresi
merupakan :16
a. Kebebasan yang dimiliki pejabat untuk memutuskan berdasarkan penilaian
sendiri sesuai dengan hati nurani, apakah melakukan atau tidak melakukan
suatu tindakan berdasarkan pilihan-pilihan pertimbangan dari kejadian-
kejadian konkret.
b. Diskresi, adalah suatu ruang untuk pengambilan keputusan secara tanggap,
cepat dan cermat terutama dalam keadaan penting bahkan mendesak untuk
ditanggulangi, sehingga aturan-aturan tertulis yang kaku menjadi mudah

14
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Dikresi Kepolisian), PT. Pradnyana Paramita,
Cetakan Pertama, Jakarta, 1991, hlm. 23
15
M. Faal, Ibid, hlm. 16; lihat Sadjijono, Hukum Kepolisian Polri dan Good Governance, Laksabana
Mediatama, Surabaya, 2008, hlm. 224
16
Ridwan, Reorientasi Penggunaan Diskresi, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, 2012, hlm. 16
6
difungsikan dalam situasi yang konkret dan diperlukan suatu keputusan
segera.
c. Kebebasan untuk memutuskan berdasarkan diskresi dilakukan dengan
certam yaitu setelah mempertimbangan fakta-fakta dan hukum serta
berbagai kepentingan terkait dengan putusan-putusan tersebut, sehingga
dapat diwujudkan dalam suatu keputusan yang adil tidak hanya dalam arti
prosedulan namun sangat ditekankan adil secara substantif.

Penggunaan kewenangan diskresi juga tidak bisa dilepaskan dengan cara


pandang hukum yang fungsional dan sosiologis. Dalam pandangan ini hukum
dipandang sebagai instrument untuk mengarahkan atau pencapaian tujuan masyarakat.
Hukum sebagai alat rekayasa sosial atau “as a tool of social enginering”.
Pertimbangan yang dipertimbangkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari
kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber
daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya.17 Dalam pandangan sosiologis,
hukum tidak dipandang sebagai seperangkat aturan undang-undang atau bunyi pasal-
pasal (law in the book’s), melainkan norma yang hidup dalam masyarakat dan ditata
warganya (law in action). Penegakan hukum sosiologis ini sejalan dengan konsep
diskresi yang dimiliki polisi. Diskresi diartikan sebagai otoritas yang dimiliki oleh
polisi untuk melakukan tindakan yang menyimpang sesuai dengan situasi dan
pertimbangan hati nuraninya.18
Dengan demikian hakikat diskresi menunjuk tiga karakteristik yaitu jenis
kewenangan, proses pengambilan keputusan atas diskresi dan sasaran yang hendak
dicapai. Apabila ditinjau dari jenis wewenang diskresi adalah jenis wewenang bebas,
dan dari segi pengambilan keputusan atas diskresi harus senantiasa didasarkan pada
kecermatan, kehati-hatian, dan pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana atas fakta-
fakta, kepentingan terkait, situasi dan hukum yang sehubungan dengan suatu keadaan
yang diambil.
Oleh karenanya menurut Erlyn Indarti bagi seorang penegak hukum, di dalam
melaksanakan tugasnya, keputusan yang dibuat atau langkah apapun yang diambil
pada dasarnya telah melalui suatu “pertimbangan profesional” yang relatif ketat.
Keseluruhan rangkaian proses yang berlangsung di dalam suatu ruang gerak yang

17
Soerjono Soekanto dalam Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta,
1985, hlm. 30
18
Syaefurrahman
7
cukup luas iniah yang dikatakan sebagai “diskresi”. Adapun langkah atau keputusan
yang diambil tersebut merupakan hasil “diskresi”19

3. Batasan Diskresi Kepolisian


Dikresi pada dasarnya secara alamiah melekat pada dan menyatu dengan
individu maupun institusi penegak hukum. Konsekuensinya, diskresi juga melekat
secara alamiah pada pelaksanaan setiap tugasnya. Pendeknya, dimanapun dan
kapanpun, para penegak hukum sebenarnya akan senantiasa berpikir, bersikap,
berkata, dan betindak berlandasakan pada diskresi yang ada padanya.20
Secara teoritis, ukuran selaras dengan azas-azas hukum kepolisian yang
menetapkan ukuran-ukuran penggunaan diskresi. Ukuran itu adalah azas kewajiban
yang meliputi :21
1. Azas keperluan, artinya diskresi dilakukan apabila tindakan itu memang
diperlukan, untuk meniadakan gangguan yang menimbulkan kerugian;
2. Azas masalah, yaitu bahwa tindakan yang dilakukan polisi harus dikaitkan
dengan permasalahan dan tindakan polisi tidak memiliki motivasi pribadi;
3. Azas tujuan, yaitu bahwa tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan
mencegah kerugian dan gangguan; dan
4. Azas keseimbangan, bahwa tindakan polisi harus seimbang antara keras
dan lunak, seimbang dengan alat yang digunakan berhadapan ancaman
yang dihadapi.

sehingga dari ukuran-ukuran tersebut dapat difahami sebagai pedoman bagi petugas
kepolisian pada saat dan atau sebelum menggunakan diskresi kepolisian, yaitu pada
saat sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya gangguan dan kerugian bagi
kepentingan umum.
Secara lebih konkret, Erlyn Indarti berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor
yang yang berkenaan dengan diskrei kepolisian, dalam kaitannya dengan penegakan
hukum yang dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok bessar :22
1. Faktor dasar, yakni faktor-faktor yang melatarbelakangi atau mengawali
munculnya diskresi, yang dapat digolongkan lebih lanjut ke dalam tiga (tiga)
kategori berikut ini :
a. Faktor dasar utama, terdiri dari,
1) Ketidakmungkinan dilakukannya penegakan setiapp hukum yang ada,
dan
19
Erlyn Indarty, Diklat Matakuliah Diskresi Kepolisian, Mabes Polri Akpol, Magelang, 2007, hlm. 22
20
Erlyn Indarty, Ibid, hlm. 38
21
DPM. Sitompul, Beberapa Tugas dan Peranan Polri. Jakarta : CV Wanthy Jaya, hlm. 2-3
22
Erlyn Indarty, Op.cit, hlm. 163
8
2) Perlunya penerjemahan atau penafsiran terhadap hukum yang ada
tersebut.
b. Faktor dasar pendukung, yaitu terbatasnya sumber daya yang ada pada
polisi, terutama sumber daya manusia atau personil, baik dari segi kuantitas
dan kualitasnya.
c. Faktor dasar tambahan, yang meliputi :
1) Adanya keberatan dari pihak masyarakat bila penegakan hukum :
a) Diberlakukan terhadap seluruh peraturan yang ada,
b) Diberlakukan secara total atau sepenuhnya, dan
c) Dilaksanakan sepanjang waktu.
2) Kesadaran bahwa polisi bukan “superman” yang dapat melaksanakan
semua peran dan tugasnya, serta memenuhi semua tuntutan atau
kebutuhan masyarakat.

2. Faktor Pengaruh, yaitu faktor-faktor yang menentukan arah diskresi, yang baru
terlibat ketika diskresi mulai digunakan, ditetapkan, dijalankan, atau
dilaksanakan, dan berasal baik dari dalam maupun luar domain hukum. Faktor
pengaruh ini lebih lanjut dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kategori sebagai berikut :
a. Faktor pengaruh legal, yakni segala hal yang berkenaan dengan penegakan
hukum, seperti penangkapan atau penahanan, yang memang secara eksplisit
dinyatakan dalam hukum tertulis yang juga meliputi :
1) Pertimbangan material, yakni kuantitas dan kualitas informasi mengenai
hukum dan peraturan perundang-undangan yang tersedia sebagai bahan
pertimbangan guna men – “Justifikasi” tindakan yang diambil;
2) Pertimbangan praktikal, yaitu ada tidaknya tersangka dan/atau korban
yang bersifat kooperatif atau bersedia bekerjasama;
3) Pertimbangan organisasional, yakni kebijakan administratif dan pola
pengawasan yang diterapkan pada organisasi kepolisian yang
bersangkutan; dan
4) Pertimbangan instrumental, yaitu jenis dan derajat keseriusan dari
pelanggaran hukum.
b. Faktor pengaruh external-legal, yaitu pertimbangan yang berpedoman
pada pengetahuan yang diterima begitu saja (Taken for Guaranted
Knowledge) oleh pengalaman tugas dalam praktek, bukan dalam teori, yang
mempuyai karakteristik :
1) Fokus pada masyarakat luas, yaitu karakter dan watak atau
kecenderungan masyatakat.
2) Fokus pada tersangka dan/atau korban yakni :
a) Tinkgat “kebersalahan” atau “ketidak bersalahan” berdasarkan
persepsi petugas polisi;
b) Perilaku;
c) Penampilan; dan
d) Status sosial, diantaranya (Ras, Umur, Gender, Kekayaan, Reputasi)
3) Fokus pada petugas polisi dipalangan, yaitu :

9
a)Pendidikan
b)Pengalaman
c)Kelelahan fisik si polisi
d)Pertimbangan untung-rugi yang bisa diantisipasi oleh petugas patroli
atau polisi lapangan baginya sendiri, si tersangka dan/atau si korban,
maupun masyarakat luas ketika terlibat dalam perkara
4) Fokus pada konteks ruang dan waktu kejadian perkara, yakni segala
sesuatu yang berkenaan dengan dimana dan kapan suatu tindakan
kriminal atau pelanggaran hukum berlangsung.

B. Penegakan Hukum Progresif


1. Teori Hukum Progresif
Salah satu nilai seorang Satjipto Rahardjo di sepanjang hayatnya adalah
konsisten dalam menghadirkan hukum yang memerdekakan dan manusiawi. Hal
ini patut diapresiasi setinggi-tingginya. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah
suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti
dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali
melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam
menggapai keadilan.23
Menusia selaku faktor penting dan utama di belakang kehidupan hukum
tidak hanya dituntut mampu menciptakan dan menjalankan hukumm (making the
law), tetapi juga keberanian mematahkan dan merobohkannya (breaking the law)
manakah hukum tidak sanggup menghadirkan roh dan substansi keberadaannya,
yakni menciptakan keharmonisan, kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan
masyarakat.
Realita yang ada sekarang ini, hukum hanya dipahami sebatas rumusan
undang-undang, kemudian implementasinya sekedar menerapkan silogisme.
Aparat penegakan hukum dipaksa, bahkan ada yang demi aman sengaja
menempatkan diri hanya menjadi corong undang-undang tanpa ada ruang dan
kemauan untuk bertindak progresif.
Masyarkat pun terpojok. Wajib hukumnya untuk mengindahkan segala
ketentuan hukum, sekalipun hukum itu telah merampas kemerdekaannya,
menindas hak-haknya yang paling asasi, bahkan hingga menjadi alat kejahatan
penguasa terhadap rakyat.

23
Satjipto Rahardjo, Op.cit, Pengantar Editor
10
Kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari mata
uang, namun harus diingat bahwa hukum itu berbeda sama sekali dengan
keadilan. Menegakan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan, apalagi
yang disebut dengan keadilan komprehensif. Saya mencoba melacak gerangan
jenis keadilan yang disebut perpect justice.24 Menurut Menski, pencarian terhadap
keadilan melalui hukum telah dilakukan orang dengan menggunakan 3 (tiga)
pendekatan yakni pendekatan filosofis-hasilnya adalah keadilan ideal, normatif
positivis-hasilnya adalah keadilan formal dan sosio-legal-hasilnya adalah
keadilan materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat yang disebut
dengan pendekatan legal pluralism. Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari
pendekatan legal pluralism adalah perpect justice yang dapat disertakan dengan
keadilan komprehensif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui
pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus
senantiasa memperhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas
itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum polisi, jaksa
dan hakim memutus kebijakan tertentu. Kompleksitas itu berupa state law
(hukum negara), living law (socio-legal) serta natural law (moral, ethics, dan
religion). Pengambilan keputusan yang mampu dan berani meramu dan
menggunakan pendekatan legal pluralisme dalam rangka mewujudkan hukum
progresif tidak mungkin dihasilkan melalui Pendidikan Tinggi Hukum yang biasa
saja, melainkan Pendidikan Tinggi Hukum yang progresif pula.25

2. Polisi Sebagai Penegak Hukum Progresif


Kehidupan polisi adalah gambaran kehidupan yang complex dan
complicated sehingga ilmu yang dimilikinya pun tidak bisa hanya bersifat
monodisiplin namun harus multidisiplin bahkan interdisipllin. Tidak cukup ilmu
hukum dan ilmu sosial, melainkan juga harus menguasai ilmu forensik, psikologi,
politik, budaya, kemiliteran dan sebagainya. Terutama dalam kedudukannya in
optima forma dalam criminal justice system, polisi adalah garda terdepan yang
seharusnya mampu bertindak sebagai hukum yang hidup. Di tangan polisilah
hukum itu mengalami pengejawantahan. Baik buruknya wajah penegakan hukum

24
Werner Menski, Comparative Law in Global Context, The Legal System of Asia and Africa.
Cambridge University Press, Cambridge, 2006 dalam Suteki, Masa Depan Hukum Progresif, Tafa Media,
Yogyakarta, 2015 hlm. 61
25
Suteki, Ibid, hlm. 61-62
11
dimulai dari tahap pertama ini. Di tahap ini pula apabila polisi tidak jujur,
merugikan orang lain serta tidak dapat bertindak adil , polisi akan terjerumus
dalam kubangan noda. Oleh karena karenany, di beberapa literatur disebutkan
bahwa pekerjaan polisi itu disebut sebagai tainted occupation (pekerjaan yang
berlumuran dosa. Aiptu Sulaiman di Madina ternyata mampu menempatkan diri
di luar kubanga itu hingga Sulaiman dijuluki “polisi nabi”, meskipun mungkin
julukan itu terlalu berlebihan dalam konteks keagamanan.26
Untuk menjadi polisi nabi dibutuhkan reformasi di berbagai bidang,
bahkan reformasi itu tidak dapat dilakukan secara sustainable dan sistematis.
Sebenarnya polisi telah berbenah di tengah cemoohan dari berbagai pihak,
lantaran beberapa kasus yang menerpa beberapa aparatur birokrasinya seperti
perbuatan korup anggotanya. Maka, reformasi harus diteruskan khususnya
mereformasi perilaku personil polisi dan sekaligus birokrasinya. Percuma
mereformasi perilaku personil polisi apabila sistem birokrasinya tidak direformasi
dan percuma direformasi birokrasinya apabila personilnya tidak direformasi.
Kedua bidang reformasi tersebut sebenarnya beririsan pada satu titik, yaitu
reformasi budaya polisi (police culture) atau juga lebih di konkretkan dalam
bentuk “police gentlement”.27
Reformasi budaya polisi seharusnya mengarah pada pembentukan polisi
responsif sebagaimana diharapkan oleh Presiden SBY ketika memberikan
sambutan pada HUT POLRI ke-67.28 Untuk menuju polisi responsif, polisi telah
memiliki program Quick Wins. Quick Wins merupakan Program Akselerasi dan
Transformasi Polri dalam rangka membenahi Polri sesuai dengan tugas pokok,
peran dan fungsinya. Polri juga telah menetapkan Grand Strategi tahun 2005 s/d
2025 yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu 2005-2010 : trust building, 2010-
2015 : partnership building dan 2015-2025 : strieve for excellence. Salah satu
program dalam Quick Wins Polri adalah Quick Respons Samapta, yakni
kesetaraan antara Polri dan masyarakat serta kebersamaan dalam memecahkan
bukan hanya masalah keamanan, namun juga persoalan pemberantasan korupsi.29
Salah satu bentuk keberanian polisi untuk mendobrak hukum (breaking
the law) guna mencapai keadilan dalam hukum yaitu polisi diberikan kewenangan

26
Suteki, Ibid, hlm. 64
27
Suteki, Ibid, hlm. 64
28
Kompas, 1 Juli 2013
29
Suteki, Loc.cit, hlm. 66
12
tindakan “diskresi” dalam melaksanakan tugas pokoknya untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Polisi sebagai salah satu sub-sistem dalam peradilan pidana dalam
manjelankan tugas dan fungsinya merupakan garda terdepan dalam penegakan
hukum yang dilakukan oleh negara. Mereka berada dekat langsung dengan
masyarakat beserta dengan perkembangan masyarakat tersebut.
Dalam perkembangannya masyarakat terus mengalami perubahan baik
dalam strukstur sosial maupun budayanya, polisi dituntut pula untuk mengikuti
pola perubahan tersebut bahkan harus melenceng dari hukum yang ada
dikarenakan mereka dihadapkan dengan kondisi nyata yang belum atau bahkan
tidak diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan tersebut polisi perlu
untuk mengambil tindakan tepat dan profesional berdasarkan penilaian mereka
sendiri. Itulah yang dinamakan “diskresi”. Tindakan demikian diambil guna
mencapai keadilan substansi yang ada dalam masyarakat.
Tindakan “diskresi” polisi tersebut merupakan salah satu bentuk upaya
bahwa polisi sebagai penegak hukum progresif harus bisa responsif dalam
penegakan hukum. Dimana penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya
melihat dari segi kepastian hukumnya, melainkan juga melihat dari segi nilai dan
moral yang diakui dalam masyarakat.
Pembedaan hukum dan moral yang diterangkan dengan bertolak dari
perbedaan prinsipil dalam menghadapi norma-norma moral dan norma-norma
hukum seperti dikemukakan oleh Imanuel Kant. Dalam menghadapi norma-
norma moral timbulan sikap Moralitait, yakni penyesuaian diri dengan kewajiban
batin; di sini suara hati menjadi motivasi yang sebenarnya dari kelakuan.
Sedangkan dalam menghadapi norma-norma hukum timbulah sikap Legalitat,
yakni penyesuaian diri dengan apa yang telah dibentuk oleh undang-undang.30

BAB III
PENUTUP

30
Norbertus Jegalus, Hukum Kata Kerja : Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif, Penerbit Obor,
Jakarta, 2011, hlm. 108-109
13
A. Kesimpulan
Sesungguhnya hukum progresif mengidealkan hukum sebagai norma yang
mewajibkan secara etis-yuridis. Hukum haruslah bersifat etis-yuridis terutama bila isinya
menyangkut nilai-nilai dasar hidup. Inilah halnya pertama-tama dengan tatanan hukum
sebagai keseluruhan hukum yang tertuju untuk mencegah kekacauan dalam masyarakat.
Karenanya sebagai makhluk sosial tiap-tiap orang berwajib secara batin menerima
tatanan hukum yang sah sebagai hukum. Nilai-nilai dasar juga harus dijaga dan
dikembangkan juga melalui aturan-aturan hukum yang isinya berkaitan dengan manusia
individual. Tiap-tiap orang berwajib secara batin menghormati manusia dengan
martabatnya.
Polisi sebagi penegak hukum yang juga manusia, haruslah dapat mengakan
hukum bukan hanya dengan melihat kepastian hukum saja tapi juga harus melihat nilai-
nilai dasar yang hidup dalam masyarakat. Salah satunya yaitu nilai “keadilan”. Untuk
dapat menyesuaikan dengan perkembangan tersebut polisi perlu untuk mengambil
tindakan tepat dan profesional berdasarkan penilaian mereka sendiri. Itulah yang
dinamakan “diskresi”. Tindakan demikian diambil guna mencapai keadilan substansi
yang ada dalam masyarakat.
Tindakan “diskresi” polisi tersebut merupakan salah satu bentuk upaya bahwa
polisi sebagai penegak hukum progresif harus bisa responsif dalam penegakan hukum.
Dimana penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya melihat dari segi kepastian
hukumnya, melainkan juga melihat dari segi nilai dan moral yang diakui dalam
masyarakat.

B. Saran
Dalam dikresi polisi dalam penegakan hukum progresif, polisi yang juga
manusia, haruslah dapat mengakan hukum menggunakan diskresi bukan hanya dengan
melihat kepastian hukum saja tapi juga harus melihat nilai-nilai dasar yang hidup dalam
masyarakat. Salah satunya yaitu nilai “keadilan”. Untuk itu polisi harus menyesuaikan
dengan perkembangan tersebut untuk mengambil tindakan tepat dan profesional
berdasarkan penilaian mereka sendiri.

14

Anda mungkin juga menyukai