Anda di halaman 1dari 13

Kasus 1

Bernanto adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya raya yang telah meninggal dunia.
bernanto kehilangan orang tuanya saat dia menginjak usia 15 tahun. Saat berusia 18 tahun
bernanto memutuskan untuk menikah, setahun pernikahan dia kemudian dikaruniai seorang anak
lelaki. Namun saat menginjak usia 20 tahun bernanto meninggal dunia dikarenakan penyakit
jantung kronis yang dideritanya. Setahun sebelum meninggal diketahui bahwa bernanto telah
mewakafkan 50% hartanya untuk pembangunan rumah ibadah dan panti asuhan melalui surat
wasiat yang dibuat oleh pengacaranya.

Dari contoh kasus di atas, silahkan dianalisis kemudian kemukakan pendapat terkait wakaf yang
dilakukan oleh bernanto melalui wasiat? Jelaskan apa yang dimaksud wakaf wasiat beserta dasar
hukumnya?

Jawab :

Wakaf wasiat adalah wakaf yang di lakukan oleh penerima wasiat bukan dilakukan ketika
pewasiat masih hidup melainkan ketika pewasiat sudah meninggal dunia. Yang bertindak sebagai
kuasa wakif adalah penerima wasiat dari pewasiat yang meninggal dunia.Landasan hukum sudah
terjamin legalitasnya baik dari segi hukum islam maupun hukum Undang – undang. Dari segi
hukum islam bisa di kaji dari Al – Qur’an dan Hadistdengan memerhatikan pendapat dari
beberabai madzhab. Sedangkan untuk hukum dari undang – undang sudah ada pada No 41
Tahun 2004 yang didalamnya mambahas tentangwakaf.Wakaf wasiat di perbolehkan dengan
dasar dan landasan dari Al – Qur’an dan Hadist serta Undang – Undang tentang perwakafan.
Para fuqaha berpendapat bahwa perbuatan orang yang dalam keadaan sakit parah dipandang
sebagai wakaf yang pelaksanaanya sebagaimana wasiat yaitu sepertiga harta.
Namun ada sebagian ulama madzhab berbeda pendapat tentang itu dan yang berkaitan
dengan pelaksanaan serta peruntukan wakaf wasiat wasiat.Disamping itu banyak juga ulama dan
madzhab maupun hukum undang – undang No 41 Tahun 2004 terdapat korelasi yang selaras
antara Undang undang dan hukum islamserta adanya kesamaan yang berkaitan dengan
pelaksanaanya wakaf wasiat dan kadar haarta yang di wakafkan dengan wakaf wasiat yaitu
sepertiga harta dari pemberi wasiat Wakaf wasiat berimplikasi pada perubahan hukum wakaf
menjadi wakaf wasiat dan berimplikasi pada pembatasan harta wakaf wasiat yang mana
bertujuan untuk menjaga kesejahteraan naggota keluarga dari wakif terutama untuk ahli
waris.Wakaf dengan wasiat baik dengan bentuk tulisan atau lisan dapat dilakukan apabila
memenuhi syarat yaitu paling tidak disaksikan oleh 2 orang sedikit yang memenuhi syarat.
Syarat wakaf wasiat yaitu mempunyai kriteria dewasa, beragama islam, berakal sehat, dan
tidak terhalan melakukan perbuatan hukum.Sedangkan harta benda wakaf yaitu paling banyak
1/3 dari harta atau jumlah warisanya. Namun jika pihak dari pewaris menyetujui maka boleh
diwakafkan dengan kesepakatan berbeda. Pembatasan ini berkaitan dengan kesejahteraan dari
ahli waris, karena 2/3 harta kekayaan sisanya adalah untuk ahli waris.Berdasarkan uraian diatas,
maka wakaf wasiat dari bernanto telah melebihi dari aturan tentang wakaf wasiat karena
bernanto mewakaf kan setengah dari harta kekayaannya dan dapat dikatakan tidak sah. Namun,
apabila dari seluruh ahli waris telah menyetujui hal tersebut maka wakaf dapat dilaksanakan oleh
wakif yang dalam hal ini penerima wasiat yaitu pengacara bernanto.

Sumber : https://wakafmandiri.org/blog/berbagi/wakaf/wakaf-wasiat/#:~:text=Wakaf%20wasiat
%20adalah%20wakaf%20yang%20di%20lakukan%20oleh,yang%20meninggal
%20dunia.%20Baca%20Juga%20%3A%20Fiqih%20Wakafhttps://pewarisan.com/
berapakah-kadar-harta-yang-boleh-diwasiatkan/

Kasus 2

Akhir-akhir ini semakin berjamurnya leasing atau perusahaan yang menawarkan tentang
pertanggungan terhadap harta benda berupa asuransi. Demi untuk meraih simpati dari calon
nasabah tidak sedikit yang kemudian melabeli asuransisnya dengan embel-embel Syariah. Hal
demikian yang membuat banyak keluhan oleh masyarakat sehingga indeks kepercayaan
masyarakat kepada asuransi Syariah semakin menurun, hal ini tak pelak membuat asuransi yang
sudah menjalankan sistem Syariah sedari awal menjadi ketar ketir diakrenakan nasabah ataupun
calon nasabah kemudian menyasar kembali asuransi konvensional.

Dari kutipan informasi di atas silahkan anda kemukakan pendapat anda mengenai perkembangan
dan eksistensi asuransi Syariah serta prinsip maupun dasar hukum penyelenggaraannya?

Jawab :

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001, asuransi syariah adalah usaha


saling melindungi dan tolong-menolong di anatara sejumlah orang/pihak atau biasadisebut juga
dengan pemegang polis melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Berikut perkembangan asuransi syariah sejak zaman Nabi hingga saat ini di Indonesia :
1. Asuransi Syariah Muncul Sejak Zaman Arab Kuno
Sebenarnya asuransi syariah ini sudah muncul sebelum zaman Nabi Muhammad. Dikutip
dari situs Wakalahmu, masyarakat Arab kuno memiliki budaya Aqilah yang dimana jika ada
anggota keluarga yang terbunuh oleh anggota suku lain, keluarga yang ditinggalkan atau ahli
waris akan menerima uang (diyat). Diyat ini berasal dari kerabat-kerabat terdekat sehingga
memiliki makna saling bertanggung jawab bagi keluarga. Artinya, setiap keluarga
berkontribusi keuangan atas nama keluarga yang terbunuh.Jadi bisa dibilang, Aqilah ini sama
dengan asuransi. Kemudian, berbagi keuangan sama seperti membayar premi dalam asuransi.
Diyat sama halnya dengan santunan atau uang pertanggungan yang diterima dari pemilik
polis saat terkena risiko.
2. Perusahaan Asuransi Syariah Pertama di Indonesia pada 1994.
Kebiasan pada zaman Arab kuno terbawa hingga pada zaman Nabi, kemudian sampailah
dengan pembentukan perusahaan asuransi syariah pada 1979 di Sudan oleh Muhammad Ajib
dengan nama Sundanese Islamic Insurance.Semakin berkembangnya zaman, akhirnya konsep
syariah ini semakin menyebar ke barbagai negara, mulai dari Eropa hingga masuk ke
Kawasan Asia, seperti Malaysia, Brunei dan Indonesia.Perusahaan asuransi syariah pertama
di Indonesia, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 25 Agustus 1994 melalui
SK Menteri Keuangan.Proses pendirian perusahaan asuransi syariah ini tak singkat, Tim
Pembentuk Asuransi Tafakul Indonesia (TEPATI) yang terdiri dari Yayasan abdi bangsa,
bank muamalat Indonesia, pejabat departemen keuangan hingga pengusaha muslim indonesia
melakukan berbagai studi banding dan seminar nasional. Sejak saat itulah, mulai banyak
perusahaan asuransi syariah bermunculan, seperti :
 Asuransi Syariah Mubarakah yang berdiri pada 1997
 Asuransi Jasindo Takaful dan Asuransi Burnida di tahun 2003
 Asuransi Adira Syariah 2004
 Asuransi BNI Jiwasraya Syariah dan lainnya

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kini sudah ada 20an perusahaan asuransi
yang memiliki produk perlindungan syariah. Selain bebas dari riba, asuransi syariah juga
siawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Ada beberapa sistem asuransi syariah di
Indonesia yang perlu kamu ketahui, antara lain:
1. Iuran Nasabah untuk Nasabah
Bagi para nasabah asuransi syariah wajib membayarkan iuran atau premi bulanan.Meski
disetorkan kepada perusahaan, tapi perusahaan tersebut hanya mengelola dana tersebut
dan tetap jadi milik nasabah. Namun, perusahaan tetap mendapatkan komisi sebagai
bayar jasa pengelolaan dana asuransi nasabah.
2. Menggunakan Akad
Dikutip dari OJK, asuransi syariah di Indonesia menggunakan empat jenis akad, antara
lain:
a. Akad Tabarru’ (Hibah / Tolong Menolong) Peserta Asuransi memberikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedangkan
perusahaan asuransi sebagai pengelola dana hibah.
b. Akad Tijarah (Mudharabah)
Dalam akad ini perusahaan asuransi sebagai mudharib (Pengelola), dan peserta
sebagai shahibul mal (Pemegang Polis). Premi dari akad ini dapat diinvestasikan dan
hasil keuntungan atas investasi tersebut dibagi-hasilkan kepada para pesertanya.
c. Akad Wakalah bil Ujrah
Akad ini memberikan kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola
dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee). Perusahaan asuransi sebagai
wakil dapat menginvestasikan premi yang diberikan, namun tidak berhak
memperoleh bagian dari hasil investasi.
d. Akad Mudharabah Musytarakah
Akad ini pengembangan dari akad mudharabah. Perusahaan asuransi sebagai
mudharib dan juga menyertakan dananya dalam investasi bersama dana peserta. Bagi
hasil investasi dibagikan antara perusahaan asuransi dan peserta sesuai nisbah yang
disepakati sesuai dengan porsi dana masing-masing
3. Adanya Pembagian Surplus Underwriting
Surplus Underwriting adalah selisih lebih (positif) dari pengelolaan risiko underwriting
dana Tabarru yang telah dikurangi oleh pembayaran santunan, reasuransi, dan cadangan
teknis, yang dikalkulasi dalam satu periode tertentu.Jika dalam pengelolaan dana terjadi
surplus, maka masing-masing nasabah dan jua perusahaan akan mendapatkan bagian
sesuai dengan regulasi yang ada atau yang telah ditentukan.
4. Jauh dari Hal yang Dilarang Islam
Asuransi syariah pastinya berjalan sesuai dengan ajaran islam dan jauh dari hal-hal yang
dilarang islam, seperti unsur Maysir (Untung-untungan), Gharar (ketidakjelasan), Riba &
Risywah (suap).Adapun hukum asuransi syariah yang dijadikan pertimbangan panduan
beroperasinya perusahaan asuransi syariah, antara lain :
Al-Quran
 Al Maidah 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
 An Nisaa 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir
terhadap mereka.”
Hadits
HR Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu
kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”
MUI
MUI mengeluarkan beberapa fatwa yang menyatakan asuransi berbasis syariah yang
diperbolehkan dalam islam, antara lain:
 Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
 Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada
Asuransi Syariah
 Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi
Syariah dan Reasuransi Syariah
 Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah

Sumber : https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-di-indonesia-perkembangan-hukum-
hingga-pilihan-produk-terbaiknyahttps://benefits.bankmandiri.co.id/article/dasar-hukum-negara-
dan-syariat-terkait-asuransi-syariah-

Kasus 3

Galih dan ratna adalah sepasang muda mudi yang sedang kasmaran, namun hubungan mereka
ditentang oleh keluarga dari kedua belah pihak selain dikarenakan strata social juga karena
perbedaan keyakinan. Diketahui bahwa galih yang nota benenya seorang muslim dan ratna yang
beragama hindu menjadi halangan bagi mereka untuk menikah dengan restu dari keluarga.
Karena sudah saling cinta dan diketahui ratna mengandung anak dari galih, akhirnya meraka
memutuskan untuk nikah dibawah tangan (nikah siri) dalam hal ini mereka di bantu oleh paman
dari ratna selaku wali. Setelah 3 tahun menikah mereka dikarunia 2 orang anak. karena tekanan
dari pihak keluarga menjadi beban psikologis bagi hubungan rumah tangga mereka
menyebabkan mereka memutuskan untuk bercerai.

Kemukakan argument anda terakit kasus di atas, jelaskan tentang kawin hamil dari perspektif
hukum islam dan hukum positif serta apa implikasi hukum dari peristiwa tersebut?

Jawab :

Ada beberapa hal yang mengatur hukum menikahi wanita hamil yakni berdasarkan kompilasi
hukum islam (KHI), pendapat ulama-maupun undang-undang negara antara lain :
1. Menurut Kompilasi Hukum IslamMenurut Kompilasi Hukum Islam bahwa hukumnya sah
menikahi wanitahamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang
menghamilinya. Bilayang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya
menjadi tidak sahkarena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu. Secara
lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut :
 Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkantanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
 Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir
Ketentuan ini adalah sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur ayat (3) yang
menyebutkan bahwa laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkanperempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yangberzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yangmusyrik dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang mukmin.”
2. Menurut Hukum Islam
Tentang hamil diluar nikah sendiri di dalam islam sudah di ketahui sebagai perbuatan zina
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Hal itu merupakan dosa
besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karenazina? Ada
beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut diantaranya sebagai berikut :
a. Ulama Syafi’iah
Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina,baik
yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya.
Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang
diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan
itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia
dalam keadaan hamil.
b. Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang
menikahinya laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak
termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana
yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa:22,23,24.yang artinya :
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahioleh ayahmu,
kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji
dan dibenci dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). “(Q.S An-Nisa (22)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-audaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamuceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi padamasa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”(Q.S An-Nisa (23)
“Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuanyang telah
bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Iniadalah) ketetapan dari
Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalianperempuan-perempuan selain yang telah
disebutkan tadi dengan memberikanharta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk
berzina. Maka karenakalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan
hal itu adalahkewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela
sesudahterjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan
mahabijaksana.”(Q.S.An-Nisa (24)
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah,
karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak adamasa ‘iddah). Wanita itu
boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab(keturunan) anak yang dikandung itu
ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan anak tersebut bukan keturunan orang yang
mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).
c. Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyaah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama
suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra. Bagi wanita merdeka dan tidak
hamil, istibra’nya tiga kali haid, sedangkan bagi wanita budak istibra’nya cukup satu kali
haid, tapi bila ia hamil baik wanita merdeka atau wanita budak istibra’nya sampai
melahirkan. Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak
sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang
menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap
dilangsungkan dalamkeadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajib difasakh.
d. Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang
diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi
dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat berikut
: pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habis dengan melahirkan
kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad
nikahnya tidak sah.kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina.
3. Menurut Undang-undang
Dalam undang-undang negara yang menyangkut pernikahan tidak menyebutkan pernikahan
perempuan yang hamil secara eksplisit. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 2 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu”. Jadi Perkawinan wanita
hamil karena zina sah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 dan juga harus memenuhi syarat- syaratsahnya suatu perkawinan seperti yang
telah diuraikan diatas. Anak zina dalam hukum positif adalah bentuk dari anak yang
dilahirkan akibat zina muhsan.dimana salah satu pasangan zina atau kedua-duanya terikat
dengan perkawinan. Sementara dalam status anak hasil zina pasangan yang belum menikah
(ghairu muhsan) dikenal dengan istilah anak luar nikah.Di dalam Undang-undang
Perkawinan no. 1 tahun 1974 terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan anak, antara lain :
a. Anak yang sah. Dijelaskan pada pasal 42 yaitu anak yang dilahirkan dalam atausebagai
akibat perkawinan yang sah.
b. Anak di luar Perkawinan. Dijelaskan pada pasal 433.
c. Anak Zina. Pada pasal 44 dijelaskan bahwa Seorang suami dapat menyangkalsahnya
anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikanbahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut

Hak-Hak Keperdataan Anak Hasil Zina


1. Hak Nasab
a. Menurut Hukum Islam
Seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah,
jikaanak dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah. Karena sependek-
pendeknyatenggang waktu yang harus ada antara kelahiran anak dan perkawinan
adalah enam bulan. Artinya jika anak lahir tiga bulan setelah orangtuanya menikah,
anak tersebut tidak dapatdinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.
Menurut Wahbah Zuhaili Sebabpenentuan nasab seorang anak dari ibunya
adalah dengan kelahiran, baik secara syar'imaupun tidak.
Adapun sebab-sebab penentuan nasab anak dari ayahnya adalah sebagai berikut :
1) Pernikahan yang sah
Para fuqaha sepakat bahwa anak yang terlahir dari rahim seorang wanita dengan
jalanpernikahan yang shahih atau sah, nasabnya dikembalikan kepada suami
wanita tersebut.Dalilnya hadits yang berbunyi, “al-waladu li al-firas” "Nasab
seorang anak itu dinisbahkankepada kedua orang tuanyayang melakukan
persetubuhan dalam pernikahan yang sah. "Maksud kata firasy dalam hadits
tersebut adalah istri yang telah digauli. Akan tetapi, penentuan nasab dalam
hal ini harus sesuai dengan syarat-syarat sebagai berikut.
Syarat Pertama, sang suami termasuk orang yang secara adat sudah
mampu menghamili istri.
Syarat kedua, kelahiran anak terjadi setelah enam bulan dari waktu
nikah menurut pendapat ulama Hanafiyyah, dan dari pertama sanggama
setelah nikah menurut pendapatmayoritas ulama. jika anak tersebut dilahirkan
kurang dari batas minimal masa kehamilan,yaitu enam bulan maka para ulama
sepakat bahwa nasab anak tersebut tidak diikutkan padasuami.
Syarat ketiga, keadaan yang memungkinkan pertemuan kedua mempelai
secaralangsung setelah akad nikah
2) Pernikahan Fasid
Penisbatan nasab anak dalam pernikahan fasid sama seperti dalam
pernikahan yang sah karena penentuan nasab dapat menjaga kelangsungan hidup
bagi anak itu sendiri.
Penentuan nasab dalam pernikahan fasid disyaratkan tiga hal :
a) Suami termasuk orang yang mampu menghamili, yaitu dengan usia
yang sudah baligh;
b) Sudah jelas melakukan hubungan suami istri;
c) pihak wanita melahirkan setelah enam bulan atau lebih. Jika istri
melahirkan anak sebelum lewat enam bulan dari dukhul dan khalwat, nasab
anak tidak diikutkan pada pihak lelaki, karena itu menjadi bukti bahwa anak
itu berasal dari benih lelaki lain.
3) Wathi 'Syubhat
Yaitu hubungan sanggama selain zina, namun juga bukan dalam bingkai
pernikahan yang sah ataupun fasid. Contohnya seperti seorang suami
menggauli perempuan yang berada di atas tempat tidurnya dan perempuan itu
dikira istrinya tapi ternyata bukan.jika kemudian pihak wanita melahirkan anak
setelah lewat enam bulan atau lebihdari waktu sanggama, nasab anak
tersebut diikutkan pada orang yang menggaulinya, karena jelas kehamilannya
disebabkan olehnya. Akan tetapi jika kelahirannya itu sebelum lewat enam bulan
dari waHu sanggama, nasab anak tersebut tidak diikutkan pada pihak lelaki
yang menggaulinya, karena jelas wanita tersebut hamil sebelum melakukan
sanggama bersamanya. Kecuali, jika memang pihak lelaki mengaku bahwa anak
tersebutadalah anaknya sendiri, karena bisa jadi ia telah menggauli wanita
tersebut sebelumnya.
Tiga hal di atas yang dapat menentukan nasab seorang anak kepada
ayahnya. Sedangkan jika hubungan badan yang dilakukan itu termasuk kategori
zina, nasab anaknya tidak diikutkan pada pihak yang melakukan zina. Dalilnya hadits
Nabi "Nasab seorang anak dinisbahkan kepada kedua orangtuanya yang
melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang sah, sedangkan bagian bagi yang
berzina itu batu," karena zina itu perbuatan yang dilarang oleh syariat sehingga
tidak berhak menjadi sebab untuk merasakan nikmatnya nasab.b. Menurut UU
Perkawinan dan KHI Kedudukan nasab anak diatur dalam pasal 42 Undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 yang menyebutkan “anak
yang sah adalah anak yangdilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubunganperdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sebagaimana dijelaskan
pada pasal 43 UUPerkawinan dan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam.Selanjutnya
dalam Pasal 44 ayat 1 dan 2 menjelaskan penyangkalan sahnya anakyang terbukti
bahwa istrinya berselingkuh dan anak tersebut bukan anak sah suami istri,yaitu
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
istrinya,bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah perzina dan anak itu
akibat daripada perzinaan tersebut. Kemudian pengadilan memberikan keputusan
tentang tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

2. Hak Waris
a. Menurut Hukum Islam
Waris adalah pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris kepada
orangyang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, dengansyarat tidak ada penghalang terjadinya saling mewarisi. Ada tiga
syarat agar supaya orangyang masih hidup dapat mewarisi harta peninggalan orang
yang telah meninggal, yaitu:1. Adanya hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris.2. Beragama Islam.3. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi
ahli waris.Salah satu penyebab adanya saling mewarisi adalah Hubungan darah,
sedangkan syariat tidakmengakui adanya hubungan darah antara anak hasil
perzinaan dengan laki-laki yangmenyebabkan kelahirannya dan juga keluarga dari
laki-laki yang menjadi ayah biologisnya.Tidak adanya hubungan darah tersebut
menjadi penghalang terjadinya hak saling mewarisidiantara mereka. Penyebabnya
zina bukan jalan yang sah menurut syara’ bagi terjalinnyahubungan nasab, sehingga
dapat saling mewarisi. Sebaliknya, syariat mengakui adanyahubungan darah
antara anak hasil perzinaan dengan ibunya, dan juga keluarga ibunya,sehingga
dia berhak mewarisi harta peninggalan ibunya dan juga keluarga ibunya.
Jikaibunya meninggal, anak tersebut berhak mewarisi. Juga sebaliknya, jika
anak tersebutmeninggal maka ibunya berhak mewarisi.
b. Menurut KHI
Dalam Kompilasi hukum Islam tidak diterangkan secara spesifik tentang hak
waristerhadap anak zina. Hanya disebutkan dengan istilah anak dalam perkawinan dan
anak diluar perkawinan. Dalam KHI pasal 171 menjelaskan bahwa “Ahli waris adalah
orang yangpada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinandengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahliwaris”.Dalam pasal ini dapat difahami bahwa anak hasil zina tetap
mendapatkan warisan dari orangtuanya akibat hubungan perkawinan. Sedangkan
anak zina yang lahir di luarperkawinan hanya bernasab kepada ibunya.
Sebagaimana pasal Pasal 186 menyebutkan“Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibunya.”
3. Hak Wali
Salah satu rukun dalam perkawinan adalah adanya wali bagi calon
pengantinwanita. Jumhur ulama berpendapat suatu perkawinan tidak sah tanpa kehadiran
wali. Secara umum yang dimaksud dengan wali adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam
pernikahan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan
dalam suatu akad, dimana akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu mempelai laki-laki
dan wali dari pihak perempuan.
Sumber :

https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikahi-wanita-hamil

Armaya Azmi 2021, Kawin Hamil dan Implikasinya Terhadap Hak Keperdataan Anak
ZinaMenurut KHI, Hukum Positif, dan Hukum Islam, Jurnal Analisa Pemikiran
InsanCendekia Volume IV No 1

Anda mungkin juga menyukai