Anda di halaman 1dari 2

Diskusikanlah perubahan tentang tindak pidana lingkungan hidup pada UU Nomor.

32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup setelah disahkannya UU
Omnibus Law, kemudian berikan salah satu contoh perbuatannya!
Jawaban :

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32 tahun 2009


pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum. UU disahkan di Jakarta, 3 Oktober 2009 oleh Presiden
dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi Mattalatta.

Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan
pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media
lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.

Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab
XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang
berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Undang-undang sapu jagat ini mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) salah
satunya yang berkaitan dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Dengan
adanya perubahan dalam UU Cipta Kerja, maka kini Amdal kehilangan banyak
"kesaktiannya". Sejumlah pihak menilai Amdal mulai diperlemah, terutama dalam hal
pengawasan lingkungan. Beberapa point yang berubah berdasar UU Nomor 32 anatar lain:

1. Definisi amdal Pasal 1 angka 11 UU PPLH menyebutkan bahwa Amdal merupakan


kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Definisi tersebut sedikit berubah dalam UU
Cipta Kerja, sehingga Pasal 1 angka 11 menjadi: "kajian mengenai dampak penting
pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk
digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah
pusat atau pemerintah daerah". Definisi ini juga sedikit berbeda dari draf RUU Cipta
Kerja yang beredar sebelum DPR bersama pemerintah mengesahkannya pada rapat
paripurna 5 Oktober 2020
2. Peran pemerhati lingkungan Ketentuan lain yang diubah yakni mengenai peran
pemerhati lingkungan hidup dalam penyusunan dokumen Amdal. Dalam Pasal 26
Ayat (3) UU PPLH diatur, "dokumen Amdal disusun oleh masyarakat yang
terdampak langsung, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas
segala bentuk keputusan dalam proses Amdal". Sementara, pada UU Cipta Kerja
tertulis perubahan dalam Pasal 26 Ayat (2) PPLH menjadi: "penyusunan dokumen
Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan".
3. Keberatan dan pelibatan masyarakat dihapus UU Cipta Kerja menghapus ketentuan
Pasal 26 Ayat (2) UU PPLH yang menyebutkan bahwa pelibatan masyarakat harus
dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Pasal 26 Ayat (4) yang semula
mengatur bahwa masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal
juga dihapuskan.
4. Komisi penilai Amdal Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapus keberadaan Komisi
Penilai Amdal. Semula, komisi ini diatur dalam Pasal 29, 30 dan 31 UU Lingkungan
Hidup. Dalam Pasal 29 UU Lingkungan Hidup disebutkan, Komisi Penilai Amdal
dibentuk oleh menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dan bertugas melalukan
penilaian dokumen amdal. Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri dari unsur
instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, pakar yang terkait
dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji,
wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan
hidup. Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya.
5. Tim uji kelayakan UU Cipta Kerja selanjutnya mengatur ketentuan baru mengenai tim
uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan
hidup pemerintah pusat. Perubahan terhadap Pasal 24 Ayat (3) dalam UU Cipta Kerja
menyebutkan: tim uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas unsur pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan ahli bersertifikat. Selanjutnya, Ayat (4) pasal yang sama
mengatur, pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.

6. Tim uji kelayakan UU Cipta Kerja selanjutnya mengatur ketentuan baru mengenai tim
uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan
hidup pemerintah pusat. Perubahan terhadap Pasal 24 Ayat (3) dalam UU Cipta Kerja
menyebutkan: tim uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas unsur pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan ahli bersertifikat. Selanjutnya, Ayat (4) pasal yang sama
mengatur, pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai