Dasar Hukum
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah
berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah
melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan
diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun
1993 dan dikaitkan pula dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini
Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan
Tanah.
Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
b. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1
(Satu) Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
adalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Instansi
Pemerintah, yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih
dari 1 (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum:
1) Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah
dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar,
atau cara lain yang disepakati para pihak.
2) Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota
dengan mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu)
hektar.
3) Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah
antara Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).
4) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:
a) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
b) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang bangunan;
c) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang pertanian;
Penilaian
Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh
Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini
dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat
lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau tanaman
dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala
Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut.
Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai
nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada
variable-variabel sebagai berikut:
1. Lokasi dan letak tanah;
2. Status tanah;
3. Peruntukan tanah;
4. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan
wilayah atau tata kota yang telah ada;
5. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan
6. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.
Ganti Kerugian
Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan mengenai
pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara Indonesia. UUPA
mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
bersangkutan. Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui musyawarah
dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi
tanah. Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa:
1. Uang;
2. Tanah pengganti;
3. Pemukiman kembali;
4. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;
5. Bentuk lain yang disetujui para pihak.
Sedangkan Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala
BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap
kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum
terkena pengadaan tanah.16 Penentuan besarnya ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan
pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut
kemudian oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara
Hasil Musyawarah, dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti
Rugi. Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah
tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga
Tanah.
Ganti kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai pengganti
(replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh penggantian terhadap tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman semula dalam
kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum terkena pengadaan tanah.
Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah
mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena
pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dan
bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh tanah serta
perlindungan maupun kepastian hukum.
Sumber:
http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/adpu4335-administrasi-pertanahan-edisi-3/
https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Perpres%20No.%2065%20Thn%202006.pdf
https://www.atrbpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Presiden/peraturan-
presiden-nomor-65-tahun-2006-1205
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6759/pelebaran-jalan/
http://hukum.unsrat.ac.id/pres/perpres_65_2006.pdf
http://kotaku.pu.go.id/files/Media/Pustaka/Modul%20dan%20Materi/04.%20Paparan%20BKD%
20Mataram_Workshop%20Larap.pdf