Anda di halaman 1dari 11

Tugas 3

Mata Kuliah Hukum Agraria

A. Bagaimana Prosedur Pengadaan Tanah Berdasarkan Pasal 1 Angka 3


Perpres No. 65 Tahun 2006?
Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam
sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema- problema
rumit. Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan
tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran,
pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah
proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.
Selanjutnya UUPA beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya menjadi acuan bagi
pengelolaan administrasi pertanahan di Indonesia, termasuk dalam kegiatan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
Pembangunan fasilitas-fasilitas umum memerlukan tanah sebagai wadahnya.
pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah apabila persediaan tanah masih
luas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tanah merupakan sumber daya alam yang
sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia saat ini telah banyak
dilekati dengan hak (tanah hak), sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.
Pada masa sekarang ini sangat sulit untuk dilakukan pembangunan bagi kepetingan umum
di atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-
tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.
UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan
menentukan: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan
dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah
tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip kepentingan umum (public
interest) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dasar Hukum
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah
berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah
melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan
diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun
1993 dan dikaitkan pula dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini
Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan
Tanah.
Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah Menurut Hukum Agraria Indonesia


Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah
yaitu:
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak
atas tanah);
2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah
ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan
tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah.
Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan
hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan
bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas
cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara
mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan
adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal. Hal ini
ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu
sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan
pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan
sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang- wenang dan tidak dengan mudah saja
dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi
Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan
peraturan-peraturan sebelumnya.
Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu
terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang
berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia
menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka
yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi
sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang
Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-
Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas
ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961. Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya
oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang
ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri
Dalam Negeri. Sehingga dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-
wenangan birokrasi eksekutif yang notabene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam
urusan ini.

Prinsip Dasar Pengaturan Pengadaan Tanah


Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005
Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 yaitu:
1. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Dipastikan Tersedia Tanahnya.
Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka
Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-
RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur:
a. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
b. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-
RI Nomor 3 Tahun 2007);
c. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan
Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
2. Hak-Hak Dasar Masyarakat Atas Tanah Terlindungi.
Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36 Tahun
2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2007, mengatur:
a. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
b. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada
masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
c. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang
berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang
berkepentingan untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI
Nomor 3 Tahun 2007);
d. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan
independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
e. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32
Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan
Tanah hanya sebagai fasilitator dalam pelaksanaan musyawarah tersebut;
f. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang
ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau
Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
3. Menutup Peluang Lahirnya Spekulasi Tanah.
Dalam rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Perpres No 36 Tahun 2005
Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007,
mengatur sebagai berikut:
Jika lokasi tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum, maka pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi tersebut
wajib memperoleh izin tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI
Jakarta (Pasal 9 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

B. Apa Tujuan Dari Dilakukannya Kegiatan Pengadaan Tanah?


Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, maka
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh
pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah.
Selain Pengadaan tanah, perlu juga diketahui pengertian tentang kepentingan umum,
mengingat pengadaan tanah di Indonesia senantiasa ditujukan untuk kepentingan umum.
Memberikan pengertian tentang kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Selain sangat
rentan karena penilaiannya sangat subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga
apabila tidak diatur secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada
ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat terkait. Namun,
hal tersebut telah dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh
Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari
kepentingan umum yaitu:
1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
3. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan
lain-lain bencana;
5. Tempat pembuangan sampah;
6. Cagar alam dan cagar budaya;
7. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

C. Jelaskan Proses Peralihan Hak Atas Tanah!


Berikut merupakan proses peralihan ha katas tanah dalam kaitannya dengan pengadaan
tanah untuk proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum:
1. Persiapan
Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi
kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta dengan tembusan
disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Permohonan
penetapan lokasi diatur sebagai berikut:
a. Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam 1 (satu)
provinsi diajukan kepada Gubernur.
b. Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) provinsi atau lebih diajukan kepada Kepala
BPN-RI.
2. Pelaksanaan
a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
Khusus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu)
hektar berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, dibentuk Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah
DKI Jakarta.
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota terdiri dari paling banyak
9 (Sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut:
1) Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
2) Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua
merangkap Anggota;
3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai
Sekretaris merangkap Anggota; dan
4) Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan
pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.

Tugas Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah:


1) Penyuluhan kepada masyarakat;
2) Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;
3) Penelitian status hak tanah;
4) Pengumuman hasil inventarisasi;
5) Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga
Tanah;
6) Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah;
7) Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah dicapai
antara pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
8) Menyaksikan penyerahan ganti rugi;
9) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
10) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;
11) Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan
tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta
apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.
Panitia Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah dana
yang disebut sebagai biaya operasional dalam rangka membantu pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Biaya Panitia
Pengadaan Tanah tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
58/PMK.02/2008 tanggal 23 April 2008 tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Biaya operasional
tersebut digunakan untuk pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis
kantor, cetak/stensil, fotocopy/penggandaan, penunjang musyawarah, sosialisasi,
sidang-sidang yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas),
biaya keamanan, dan biaya perjalanan dalam rangka pengadaan tanah.

b. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1
(Satu) Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
adalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Instansi
Pemerintah, yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih
dari 1 (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum:
1) Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah
dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar,
atau cara lain yang disepakati para pihak.
2) Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota
dengan mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu)
hektar.
3) Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah
antara Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).
4) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:
a) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
b) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang bangunan;
c) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang pertanian;

Penilaian
Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh
Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini
dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat
lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau tanaman
dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala
Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut.
Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai
nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada
variable-variabel sebagai berikut:
1. Lokasi dan letak tanah;
2. Status tanah;
3. Peruntukan tanah;
4. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan
wilayah atau tata kota yang telah ada;
5. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan
6. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

Ganti Kerugian
Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan mengenai
pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara Indonesia. UUPA
mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
bersangkutan. Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui musyawarah
dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi
tanah. Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa:
1. Uang;
2. Tanah pengganti;
3. Pemukiman kembali;
4. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;
5. Bentuk lain yang disetujui para pihak.

Sedangkan Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala
BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap
kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum
terkena pengadaan tanah.16 Penentuan besarnya ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan
pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut
kemudian oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara
Hasil Musyawarah, dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti
Rugi. Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah
tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga
Tanah.
Ganti kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai pengganti
(replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh penggantian terhadap tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman semula dalam
kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum terkena pengadaan tanah.
Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah
mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena
pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dan
bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh tanah serta
perlindungan maupun kepastian hukum.
Sumber:

http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/adpu4335-administrasi-pertanahan-edisi-3/

https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Perpres%20No.%2065%20Thn%202006.pdf

https://www.atrbpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Presiden/peraturan-
presiden-nomor-65-tahun-2006-1205

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6759/pelebaran-jalan/

http://hukum.unsrat.ac.id/pres/perpres_65_2006.pdf

http://kotaku.pu.go.id/files/Media/Pustaka/Modul%20dan%20Materi/04.%20Paparan%20BKD%
20Mataram_Workshop%20Larap.pdf

Anda mungkin juga menyukai