Abstrak
Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi Prajuru Desa Adat di Bali
terhadap konsepsi dan asas-asas penguasaan dan pemilikan Tanah (Hak) Ulayat yang dikenal dengan
Tanah Adat yang tunduk pada hukum adat setelah terbitnya UU No.5 Tahun 1960, yaitu relevan
dengan wacana “penguatan Desa Adat”. Masalah utamanya adalah menemukenali implikasi
pendaftaran hak atas tanah adat yang diorientasikan untuk memperoleh sertipikat hak milik dalam
menjamin kepastian hukum. Metode yang digunakan berupa penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum empiris. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang-undangan, analitik, kasus,
dan hukum adat. Data primer dikumpulkan melalui observasi, dan data sekunder berupa bahan hukum
dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan pencatatan, selanjutnya dianalisis dengan teknik
interpretasi dan kualitatif. Tanah (hak) ulayat merupakan salah satu asset Desa Adat yang dapat
dimanfaatkan dan digunakan untuk mencapai kesejahteraan bagi warganya dengan melakukan inovasi
dalam tata kelola dan terintegrasi dalam perspektif ekowisata sebagai salah model penguatan Desa
Adat. Model pendaftaran hak atas tanah adat cukup dilakukan dalam peta dasar pendaftaran tanah.
Karena pendaftaran hak melalui penyertipikatan dapat melemahkan posisi tawar Desa Adat terhadap
penguasaan hak atas tanah ulayat dan cendrung menjadi tanah komunal. Oleh karena itu diperlukan
ketepatan pilihan dalam pendaftarannya.
31
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
maupun horizontal. Konflik dibidang Timur, Subak Buaji ( Buaji Sari, Buaji
penguasaan hak atas tanah ini dapat Anyar).
disebabkan karena beberapa faktor seperti: Konflik sebagai akibat adanya
karena adanya perubahan pola pikir pemindahan hak atas tanah dapat terjadi
masyarakat dari komunal menuju terhadap tanah-tanah yang awalnya
individualistik, dari komunal religious dikuasai menurut hukum adat dan
menuju sekuler individual[2], juga adanya kemudian dikonversi menurut UUPA[4].
perubahan pemaknaan konsep penguasaan Tanah-tanah tersebut di Bali dikenal
menuju pemilikan, adanya kekeliruan dengan tanah adat dalam berbagai jenisnya,
untuk mamaknai konsep yang digunakan yaitu tanah yang dikusai secara komunal
dalam UUPA dengan konsep yang mereka seperti: laba pura, laba banjar, laba desa
warisi secara turun temurun. Juga secara (adat), tanah setra, tanah pasar, tanah
umum dapat dinyatakan, bahwa sengketa lapang dan tanah yang dikusai secara
tanah terjadi karena ada perubahan nilai individual seperti tanah pekarangan desa
ekonomi dari tanah itu sendiri yang kian (PKD), tanah ayahan desa (AYDS)[5].
meningkat[3]. Bali sampai saat ini masih sarat
Meningkatnya nilai ekonomi tanah dengan konflik terhadap klaim pemilikan
secara signifikan terjadi di daerah hak atas tanah. Meningkatnya konflik oleh
perkotaan, seperti Kota Denpasar yakni sosiolog Paulus Wirutomo dinyatakan
yang disebabkan adanya peningkatan karena pengaruh struktur, kultur, dan
jumlah penduduk yang berdampak pada proses[6]. Struktur berkaitan dengan
meningkatkan kebutuhan akan tanah kebijakan yang diputuskan pemerintah,
terutama untuk perumahan, area untuk atau kebijakan dari kepala atau pemimpin
melakukan tempat berbagai usaha bisnis masyarakat (adat), sedangkan kultur
dari yang berskala kecil sampai yang menyangkut nilai, norma, dan kepercayaan
berskala besar. Dalam kondisi ini, awalnya yang diyakini turun temurun. Untuk
banyak kalangan masyarakat yang menjual meminimalisasi konflik, yang masih bisa
tanahnya karena tergiur harga mahal dan diubah hanya sisi proses, karena sisi ini
keinginan ingin cepat punya uang banyak memberikan dinamika interaksi sehari-hari
tanpa diikuti dengan usaha dan kerja keras. yang memberi ruang bebas dari ikatan
Semua itu hanya untuk memenuhi struktur dan kultur.
kebutuhan materiil dan memuaskan Lebih lanjut diungkapkan, bahwa
keinginan secara pragmatis. struktur dinyatakan seringkali dirusak oleh
Peralihan penguasaan hak atas globalisasi dan kepentingan ekonomi.
tanah menjadi pemilikan yang sedemikian Struktur pemerintahan pun turut
tinggi, mengakibatkan munculnya daerah- membenturkan kultur, seperti keputusan
daerah permukiman baru di daerah pengadilan yang bertentangan dengan
persawahan (subak) yang berdampingan aturan adat. Oleh karena itu diperlukan
dengan masyarakat adat. Sampai saat ini di komunikasi dan negosiasi proses yang
beberapa subak di Kota Denpasar secara menjembatani, baik itu dari dominasi
legal terjadi alih fungsi terhadap tanah- struktur maupun kultur.
tanah pertanian menjadi tanah perumahan Agama adalah tuntunan hidup.
seperti di Subak Renon melalui proyek Dalam prakteknya ajaran agama (Hindu)
land consolidation (LC), Subak Gatsu berimplementasi ke dalam adat dan budaya
dengan dibukanya jalan by pas Gaksu, LC Bali. Namun implementasinya sering
Gatsu Tengah di jalan Bedahulu, LC Gatsu menimbulkan disharmoni akibat
32
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
33
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
dengan teknik hermenetik atau interpretasi Tanah Bukti Pura Puseh Desa Culik[12].
dan kualitatif. Tanah bukti Pura ini kemudian dikenal
3. Eksistensi Tanah Ulayat dan Tanah Adat dengan istilah Laba Pura sebagai bagian
di Bali dari tanah ulayat atau tanah adat.
a. Konsep Tanah Ulayat dan Tanah Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri
Adat Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Hukum adat memandang hubungan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
antara masyarakat hukum adat dengan Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
tanah yang diduduki mempunyai makna Ulayat Masyarakat Hukum Adat
tersendiri. Menurut Hukum Adat, menyebutkan, bahwa:
hubungan antara masyarakat hukum adat Tanah ulayat adalah bidang tanah yang
dengan tanah yang diduduki demikian erat di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
dan bersifat religio magis. Konsekuensinya masyarakat hukum adat tertentu;
masyarakat hukum adat memperoleh hak
Munculnya istilah tanah adat tidak
untuk menguasai tanah dimaksud,
dapat dilepaskan dari sejarah hukum yang
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil
pernah ada, artinya dengan berlakunya dua
dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas
sistem hukum yang pernah berlaku di
tanah itu, juga berburu binatang-binatang
Indonesia dan selanjutnya menjadi dasar
yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum
bagi hukum pertanahan sebelum
adat atas tanah ini oleh van Vollenhoven
dibentuknya UUPA, yaitu hukum adat dan
disebut “beschikkingsrecht” yang
hukum Barat[13]. Sehingga ada dua macam
kemudian diterjemahkan menjadi hak
tanah, yaitu “Tanah Adat” yang biasa
ulayat atau hak pertuanan.
disebut “Tanah Indonesia” dan “Tanah
Hak Ulayat dapat dirumuskan
Barat” yang biasa disebut “Tanah Eropa”.
sebagai kewenangan yang menurut hukum
Tanah adat dapat dirumuskan
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
sebagai tanah-tanah milik persekutuan,
tertentu atas wilayah tertentu yang
kaum, suku, marga, desa dan sebagainya
merupakan lingkungan para warganya
yang sama sekali bukan milik perorangan,
untuk mengambil manfaat dari sumber
walaupun yang bersangkutan telah
daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
memanfaatkan bagi kelangsungan
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
hidupnya[14]. Di lain pihak Valerine
kehidupannya, yang timbul dari hubungan
Jaqueline Leonoere Kriekhoff menyatakan,
secara lahiriah dan batiniah turun temurun
bahwa tanah adat dapat diartikan sebagai
dan tidak terputus antara masyarakat
tanah yang di atasnya berlaku aturan-aturan
hukum adat tersebut dengan wilayah yang
adat[15].
bersangkutan. Di Bali dikenal dengan
Saat berlakunya Hukum Agraria di
istilah hak prabumian[11]. Istilah
Hindia Belanda (Indonesia), ditemukan
prabumian ini dapat lihat dalam salinan
adanya lima perangkat hukum, yaitu
“Pemuder Desa Adat Culik” sebagai
Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria
prasasti yang diberikan (Panugrahan) Ida
Barat, Hukum Agraria Administratif,
Batarane Ida nak Agung Made Ngurah
Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria
Karangsem kepada I Pasek Culik yang
Antar Golongan.
disalin pada hari Rabu Umanis Wuku
Hukum Agraria Adat dirumuskan
Tambir Panglong ping 15 Tileming sasih
sebagai keseluruhan dari kaidah Hukum
Ketiga Tahun 1922, yaitu dalam
Agraria yang bersumber pada hukum adat
penunjukan penguasaan dan batas-batas
dan berlaku terhadap tanah-tanah yang
34
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang bersama, sehingga semua hak perorangan
diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya bersumber dari tanah bersama tersebut[18].
sering disebut tanah adat atau tanah Pernyataan di atas relevan dengan
Indonesia. teori hak milik menurut paham hukum
Hukum Agraria Adat ini terdapat kodrat dari Grotius yang menyatakan,
dalam Hukum Adat tentang tanah dan air bahwa segala sesuatu dalam alam sebagai
(bersifat intern), yang memberikan milik bersama. Alam atau dunia ada untuk
pengaturan bagi sebagian terbesar tanah digunakan secara bersama-sama oleh umat
dalam negara. Diberlakukan bagi tanah- manusia. Hak milik pribadi hanya diterima
tanah yang tunduk pada hukum adat, dalam pengertian hak untuk menggunakan
seperti tanah (hak) ulayat, tanah milik milik bersama. Jika seseorang dikatakan
perseorangan yang tunduk pada hukum memiliki sesuatu, tidak lain artinya ia
adat[16]. Jadi Tanah Adat (tanah druwe mempunyai kemampuan untuk
desa) dapat disamakaan dengan tanah (hak) menggunakan secara tepat milik bersama,
ulayat. dan bukan menjadi miliknya sedemikian
Apabila hak atas tanah adat berada rupa yang menutup kemungkinan dimiliki
pada sekelompok orang dan diatur individu lain[18].
pemanfaatannya oleh pimpinan dari Menurut Laporan Penelitian
kelompok, maka hak bersama tersebut Integrasi Hak Ulayat ke dalam Yurisdiksi
dikenal dengan hak ulayat. Jadi tanah UUPA, Depdagri-FH UGM Tahun 1978
ulayat sama dengan tanah adat.Aturan- dinyatakan, bahwa hak ulayat sebagai
aturan adat atau hukum adat mempunyai istilah teknis yuridis adalah hak yang
kategori yang berbeda dengan adat belaka. melekat sebagai kompetensi khas pada
Menurut L Pospisil, menyebutkan adanya masyarakat hukum adat, berupa
empat atribut hukum, yaitu: The attribute wewenang/kekuasaan mengurus dan
of authority, The attribute of intention of mengatur tanah seisinya dengan daya laku
universal application, The attribute of ke dalam maupun ke luar[19].
obligation, The attribute of sanction[17]. Masyarakat hukum adat
b. Tanah Adat dan Realitas merupakan kesatuan masyarakat adat yang
Penguasaannya bersifat otonom di mana mereka mengatur
Hukum adat memandang sistem kehidupannya (hukum, politik,
kehidupan individu sebagai kehidupan ekonomi dan sebagainya), selain itu
yang terutama diperuntukkan buat bersifat otohton, yaitu suatu kesatuan
mengabdi kepada masyarakat. Berdasarkan masyarakat hukum adat yang lahir/dibentuk
konsepsi tersebut, tanah ulayat sebagai hak oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk
kepunyaan bersama dari suatu masyarakat oleh kekuatan lain, misalnya kesatuan desa
hukum adat dipandang sebagai tanah dengan LKMDnya. Sekarang tidak lagi
bersama yang merupakan sepenuhnya otonom dan terlepas dari
“pemberian/anugerah” dari suatu kekuatan proses pengintegrasian ke dalam kesatuan
gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu organisasi kehidupan negara bangsa yang
yang diperoleh secara kebetulan atau berskala besar dan berformat nasional[19].
karena kekuatan daya upaya masyarakat Sebagai isi wewenang dari hak
adat tersebut. Jadi hak ulayat yang menjadi ulayat dimaksud, maka hubungan antara
lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat hukum adat dan
masyarakat adat dipandang sebagai tanah tanah/wilayahnya adalah hubungan
menguasai[18], bukan hubungan milik
35
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
36
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
37
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
HMK Tidak
HMI Bebas HMI Terikat HMK Murni
Murni
T. Milik Pribadi
Tanah PKR T. Laba Pura T. Druwen Desa T. Desa Tanah PKD T. AYDS
Ps.16 UUPA
38
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
yang telah disertipikatkan atas nama ditundukkan pada hukum Negara di bawah
Dadia/perorangan (Culik Karangasem, pemilikan individual, sehingga beraspek
Kubutambahan Buleleng, Tianyar perdata. Secara jurudis terjadi penguatan
Karangasem), investasi di atas tanah Laba hak penguasaan menjadi hak milik individu
Pura (Kusumasari Sanur Denpasar), penuh yang tidak lagi tunduk pada hukum
investasi di atas tanah setra (Banjar Ancak adat (Awig-Awig).
Bungkulan Sawan Buleleng), pengingkaran Perubahan status hak atas tanah
terhadap jual beli tanah PKD (Kemenuh PKD dan AYDS menjadi hak milik
Gianyar), klaim investor atas HGB di atas individu penuh setelah disertipikatkan tidak
tanah (hak) ulayat (Loloan Yeh Poh serta merta dapat disadari adanya, dimana
Canggu Badung). sebagian masyarakat dan prajuru adat
Klaim-klaim atas sebidang tanah masih menganggap tanah-tanah tersebut
adat dan sengketa hak penguasaan atas sebagai tanah adat. Sengketa baru terjadi
tanah adat merupakan implikasi atas ketika ada peralihan hak kepada pihak lain
pendaftarannya menurut hukum Negara baik melalui jual beli maupun karena
(UUPA dan aturan organiknya), yang pelelangan oleh Bank atas tanah yang telah
mengakibatkan adanya peningkatan hak, dipasang Hak Tanggungan (HT), seperti
yaitu dari hak penguasaan (komunal) kasus “Tanah Panji”.
menjadi pemilikan melalui konversi atau Akibat dari perbuatan hukum
PRONA yang saat ini dikenal dengan penyertipikatan tanah-tanah adat yaitu: di
PTSL. satu sisi terjadi penguatan hak pemilikan
UUPA dengan aturan organiknya individu, dan di sisi lain terjadi semakin
yang mengusung ”kepastian hukum” lemahnya kedudukan Desa Adat atas
mempunyai Misi pendaftaran terhadap penguasaan tanah-tanah adat dimaksud,
semua bidang tanah di Indonesia. Jalan yaitu relevan dengan teori Ballon Ter Haar
yang diberikan adalah “Konversi”, yaitu atau Mulur Mungkretnya Iman Sudiyat.
pendaftaran untuk pertama kalinya secara Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlanjut,
sporadik atau sistematik terutama terhadap tapi segera diakukan penyikapan oleh
tanah-tanah yang telah dikuasai secara masyarakat hukum adat (Desa Adat)
perorangan lebih dari 20 tahun berturut walaupun sudah terlambat.
turut dengan tidak memilah antara tanah Sikap terlambat ini diamati sebagai
pribadi penuh dengan tanah pribadi tidak akibat adanya kegamangan pengetahuan
penuh seperti tanah PKD, AYDS. Prajuru Adat atas ilmu Hukum Agraria dan
Dalam penelitian Disertasi Hukum Adat. Akibat lebih jauh adalah ada
dinyatakan, bahwa tanah-tanah AYDS dan pembiaran terhadap berbagai pelanggaran
PKD yang telah dikonvsersi secara masal atas pemanfaatan dan penggunaan tanah-
yang dikenal dengan PRONA terjadi di tanah adat yang ada di masing-masing Desa
beberapa desa, seperti di Desa Tamanbali Adat, seperti dibiarkannya alih fungsi tanah
Bangli, Desa Ngis Karangasem[26]. telajakan yang dipergunakan sebagai
Tujuannya adalah untuk menguatkan bangunan warung, garase, tempat barang
eksistensi tanah adat. Namun yang terjadi dagangan, bengkel, jualan. Jadi tata ruang
adalah sebaliknya, yaitu melemahkan status Desa Adat tidak lagi merefleksikan falsafah
tanah adat sebagai ulayat desa, karena Tri Hitakarana. Kondisi ini membuktikan
secara konseptual tanah-tanah adat (PKD, bahwa Prajuru Adat melakukan pembiaran
AYDS) setelah disertipikatkan tidak lagi terhadap alih fungsi tanah-tanah adat,
berstatus sebagai tanah adat, karena sudah bahkan membiarkan adanya perbuatan-
39
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
40
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
41
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
42
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
43
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 189 Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3
Tahun 1981 Tentang Proyek Operasi Tahun 2001 Jo Nomor 3 Tahun 2003
Nasional Agraria. tentang Desa Pakraman.
44