Anda di halaman 1dari 14

Vol. 4 No. 1 : Hal.

31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020


ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

EKSISTENSI TANAH ADAT DAN MASALAHNYA


TERHADAP PENGUATAN DESA ADAT DI BALI
I Made Suwitra
Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali, Indonesia
Email address: madesuwitra27@gmail.com

Abstrak
Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi Prajuru Desa Adat di Bali
terhadap konsepsi dan asas-asas penguasaan dan pemilikan Tanah (Hak) Ulayat yang dikenal dengan
Tanah Adat yang tunduk pada hukum adat setelah terbitnya UU No.5 Tahun 1960, yaitu relevan
dengan wacana “penguatan Desa Adat”. Masalah utamanya adalah menemukenali implikasi
pendaftaran hak atas tanah adat yang diorientasikan untuk memperoleh sertipikat hak milik dalam
menjamin kepastian hukum. Metode yang digunakan berupa penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum empiris. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang-undangan, analitik, kasus,
dan hukum adat. Data primer dikumpulkan melalui observasi, dan data sekunder berupa bahan hukum
dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan pencatatan, selanjutnya dianalisis dengan teknik
interpretasi dan kualitatif. Tanah (hak) ulayat merupakan salah satu asset Desa Adat yang dapat
dimanfaatkan dan digunakan untuk mencapai kesejahteraan bagi warganya dengan melakukan inovasi
dalam tata kelola dan terintegrasi dalam perspektif ekowisata sebagai salah model penguatan Desa
Adat. Model pendaftaran hak atas tanah adat cukup dilakukan dalam peta dasar pendaftaran tanah.
Karena pendaftaran hak melalui penyertipikatan dapat melemahkan posisi tawar Desa Adat terhadap
penguasaan hak atas tanah ulayat dan cendrung menjadi tanah komunal. Oleh karena itu diperlukan
ketepatan pilihan dalam pendaftarannya.

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah penganggaran, program kerja, dan


Penguatan Desa Adat sebagai Term komitmen.
saat ini merupakan plihan kata untuk Salah satu pemikiran yang relevan
mengingatkan seluruh komponen direferensi dalam mengkaji tanah adat
masyrakat Bali terhadap kondisi yang terhadap penguatan Desa Adat, yaitu dari
sedang dihadapi, yaitu kompleksitasnya pernyataan I Putu Dody Sastrawan dkk,
masalah baik dalam skala lokal maupun yaitu bahwa: Keberadaaan tanah Druwe
dalam skala Nasional. Bahkan dalam rapat Desa menjadi tolak ukur eksistensi dari
tim Bintek tanggal 13 Maret 2019 suatu desa pakraman. Tanah ini juga
disepakati menggunakan tema “Penguatan menjadi filosofi dari unsur Palemahan,
Desa Adat melalui Diklat Prajuru Desa yaitu salah satu unsur keseimbangan hidup
Adat Se Bali”. Wacana penguatan Desa yang berkaitan langsung dengan
Adat wajib disambut baik terlepas dari lingkungan. Selain itu juga, tanah Druwe
kepentingan, karena penguatan Desa Adat Desa merupakan bagian dari
memang dibutuhkan. Namun untuk pengejawantahan unsur Pawongan dan
penguatannya diperlukan pemikiran cerdas Parahyangan, yang bersatu-padu dalam
dan tanggap, salah satunya melalui mencapai keseimbangan hidup pada suatu
pendekatan koeksistensi dari beberapa desa pakraman[1].
perspektif, seperti: kelembagaan, Penguasaan hak atas tanah sering
menimbulkan konflik baik secara vertikal

31
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

maupun horizontal. Konflik dibidang Timur, Subak Buaji ( Buaji Sari, Buaji
penguasaan hak atas tanah ini dapat Anyar).
disebabkan karena beberapa faktor seperti: Konflik sebagai akibat adanya
karena adanya perubahan pola pikir pemindahan hak atas tanah dapat terjadi
masyarakat dari komunal menuju terhadap tanah-tanah yang awalnya
individualistik, dari komunal religious dikuasai menurut hukum adat dan
menuju sekuler individual[2], juga adanya kemudian dikonversi menurut UUPA[4].
perubahan pemaknaan konsep penguasaan Tanah-tanah tersebut di Bali dikenal
menuju pemilikan, adanya kekeliruan dengan tanah adat dalam berbagai jenisnya,
untuk mamaknai konsep yang digunakan yaitu tanah yang dikusai secara komunal
dalam UUPA dengan konsep yang mereka seperti: laba pura, laba banjar, laba desa
warisi secara turun temurun. Juga secara (adat), tanah setra, tanah pasar, tanah
umum dapat dinyatakan, bahwa sengketa lapang dan tanah yang dikusai secara
tanah terjadi karena ada perubahan nilai individual seperti tanah pekarangan desa
ekonomi dari tanah itu sendiri yang kian (PKD), tanah ayahan desa (AYDS)[5].
meningkat[3]. Bali sampai saat ini masih sarat
Meningkatnya nilai ekonomi tanah dengan konflik terhadap klaim pemilikan
secara signifikan terjadi di daerah hak atas tanah. Meningkatnya konflik oleh
perkotaan, seperti Kota Denpasar yakni sosiolog Paulus Wirutomo dinyatakan
yang disebabkan adanya peningkatan karena pengaruh struktur, kultur, dan
jumlah penduduk yang berdampak pada proses[6]. Struktur berkaitan dengan
meningkatkan kebutuhan akan tanah kebijakan yang diputuskan pemerintah,
terutama untuk perumahan, area untuk atau kebijakan dari kepala atau pemimpin
melakukan tempat berbagai usaha bisnis masyarakat (adat), sedangkan kultur
dari yang berskala kecil sampai yang menyangkut nilai, norma, dan kepercayaan
berskala besar. Dalam kondisi ini, awalnya yang diyakini turun temurun. Untuk
banyak kalangan masyarakat yang menjual meminimalisasi konflik, yang masih bisa
tanahnya karena tergiur harga mahal dan diubah hanya sisi proses, karena sisi ini
keinginan ingin cepat punya uang banyak memberikan dinamika interaksi sehari-hari
tanpa diikuti dengan usaha dan kerja keras. yang memberi ruang bebas dari ikatan
Semua itu hanya untuk memenuhi struktur dan kultur.
kebutuhan materiil dan memuaskan Lebih lanjut diungkapkan, bahwa
keinginan secara pragmatis. struktur dinyatakan seringkali dirusak oleh
Peralihan penguasaan hak atas globalisasi dan kepentingan ekonomi.
tanah menjadi pemilikan yang sedemikian Struktur pemerintahan pun turut
tinggi, mengakibatkan munculnya daerah- membenturkan kultur, seperti keputusan
daerah permukiman baru di daerah pengadilan yang bertentangan dengan
persawahan (subak) yang berdampingan aturan adat. Oleh karena itu diperlukan
dengan masyarakat adat. Sampai saat ini di komunikasi dan negosiasi proses yang
beberapa subak di Kota Denpasar secara menjembatani, baik itu dari dominasi
legal terjadi alih fungsi terhadap tanah- struktur maupun kultur.
tanah pertanian menjadi tanah perumahan Agama adalah tuntunan hidup.
seperti di Subak Renon melalui proyek Dalam prakteknya ajaran agama (Hindu)
land consolidation (LC), Subak Gatsu berimplementasi ke dalam adat dan budaya
dengan dibukanya jalan by pas Gaksu, LC Bali. Namun implementasinya sering
Gatsu Tengah di jalan Bedahulu, LC Gatsu menimbulkan disharmoni akibat

32
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dari berbagai beberapa pernyataan


Akibatnya marak terjadi konflik adat, tersebut di atas, problem kajian yang
praktek budaya anarkis atau frustrasi relevan di bahas adalah menemukan model
massal sebagai suatu fakta sosial. Di sisi pendaftaran Tanah (Hak) Ulayat di Bali
lain frustrasi masyarakat yang kerap kali dalam penguatan Desa Adat dengan
tercetus sebagai aksi-aksi kekerasan berbagai masalahnya.
memerlukan contoh perilaku dan 2. Metode Penelitian
keteladanan saat ini kian langka, sehingga Jenis penelitian yang digunakan
agama, adat, dan budaya dianggap tidak adalah penelitian hukum normative dan
berperan sebagaimana mestinya dan dalam penelitian hukum empiris, karena di satu
beberapa kasus, bahkan dapat sisi disinyalir adanya duplikasi norma yang
memperburuk kejiwaan masyarakat[7]. ada dalam Kepmen 276 tahun 2017 dengan
Kadang-kadang adat dijadikan alat UUPA. Akibatnya terjadi kesenjangan
menjustifikasi anarkisme. juga, yaitu penunjukan Desa Pakraman di
Berlakunya Permen ATR 10/2016 Provinsi Bali sebagai subjek hak pemilikan
jo Kepmen ATR 276/2017 mempunyai bersama (komunal) atas tanah, berimplikasi
beberapa implikasi terhadap tanah ulayat di melemahkan status tanah (hak) ulayat
Bali, yaitu seperti dinyatakan Suwitra: menjadi tanah komunal. Juga ada tendensi
“That is also intended to protect the bahwa Desa Pakraman menjadi pemilik
existence of Ulayat Land of Pakraman hak ulayat yang bertentangan dengan
Village, but on the contrary that the konsep komunal religius dalam penguasaan
appointment of Pakraman Village as a tanah ulayat.
subject that can carry out communal Pendekatan masalah yang
ownership of land, which normatively can digunakan berupa pendekatan perundang-
be interpreted that there can be a undangan[9], artinya dengan
weakening of Ulayat Land status into a memerhatikan legislasi dan regulasi serta
Communal Land, even with PTSL as hierarki peraturan perundang-undangan
Ulayat land which is individually will be dibidang agraria. Selain itu juga
converted into individual property rights dipergunakan pendekatan konsep, yaitu
according to UUPA which resulted in the yang beranjak dari berbagai pandangan dan
extinction of Ulayat land intended[8] doktrin yang berkembang di dalam ilmu
(Berlakunya Kepmen ATR No. 276 tahun hukum[9]. Dan pendekatan analitik, yaitu
2017 memberikan penegasan kembali untuk mengetahui makna yang dikandung
terhadap pengakuan negara kepada oleh istilah-istilah yang digunakan dalam
keberadaan masyarakat hukum adat aturan perundang-undangan secara tekstual,
terutama Desa Pakraman di Bali dan sekaligus mengetahui kontekstualnya
sekaligus menunjuk sebagai subjek hak terutama dalam penerapannya melalui
yang dapat memilki hak Pemilikan praktek dan putusan-putusan hukum[10].
Bersama (Komunal) atas Tanah dengan Sumber data diperoleh dari sumber
beberapa klausula. Namun demikian secara pertama (data primer) dan dari sumber
hirarkhi perundang-undangan tidak kedua (data sekunder) yang disebut bahan
memenuhi syarat kepastian hukum karena hukum, yaitu berupa bahan hukum primer
bertentangan atau duplikasi dengan maksud seperti UUPA, Permen ATR, Kemen ATR.
ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA). Oleh Juga bahan hukum sekunder seperti buku
karena itu Kepmen ATR No.276 tahun teks, jurnal. Data ini kemudian dianalisis
2017 tidak mempunyai kekuatan berlaku).

33
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

dengan teknik hermenetik atau interpretasi Tanah Bukti Pura Puseh Desa Culik[12].
dan kualitatif. Tanah bukti Pura ini kemudian dikenal
3. Eksistensi Tanah Ulayat dan Tanah Adat dengan istilah Laba Pura sebagai bagian
di Bali dari tanah ulayat atau tanah adat.
a. Konsep Tanah Ulayat dan Tanah Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri
Adat Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Hukum adat memandang hubungan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
antara masyarakat hukum adat dengan Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
tanah yang diduduki mempunyai makna Ulayat Masyarakat Hukum Adat
tersendiri. Menurut Hukum Adat, menyebutkan, bahwa:
hubungan antara masyarakat hukum adat Tanah ulayat adalah bidang tanah yang
dengan tanah yang diduduki demikian erat di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
dan bersifat religio magis. Konsekuensinya masyarakat hukum adat tertentu;
masyarakat hukum adat memperoleh hak
Munculnya istilah tanah adat tidak
untuk menguasai tanah dimaksud,
dapat dilepaskan dari sejarah hukum yang
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil
pernah ada, artinya dengan berlakunya dua
dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas
sistem hukum yang pernah berlaku di
tanah itu, juga berburu binatang-binatang
Indonesia dan selanjutnya menjadi dasar
yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum
bagi hukum pertanahan sebelum
adat atas tanah ini oleh van Vollenhoven
dibentuknya UUPA, yaitu hukum adat dan
disebut “beschikkingsrecht” yang
hukum Barat[13]. Sehingga ada dua macam
kemudian diterjemahkan menjadi hak
tanah, yaitu “Tanah Adat” yang biasa
ulayat atau hak pertuanan.
disebut “Tanah Indonesia” dan “Tanah
Hak Ulayat dapat dirumuskan
Barat” yang biasa disebut “Tanah Eropa”.
sebagai kewenangan yang menurut hukum
Tanah adat dapat dirumuskan
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
sebagai tanah-tanah milik persekutuan,
tertentu atas wilayah tertentu yang
kaum, suku, marga, desa dan sebagainya
merupakan lingkungan para warganya
yang sama sekali bukan milik perorangan,
untuk mengambil manfaat dari sumber
walaupun yang bersangkutan telah
daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
memanfaatkan bagi kelangsungan
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
hidupnya[14]. Di lain pihak Valerine
kehidupannya, yang timbul dari hubungan
Jaqueline Leonoere Kriekhoff menyatakan,
secara lahiriah dan batiniah turun temurun
bahwa tanah adat dapat diartikan sebagai
dan tidak terputus antara masyarakat
tanah yang di atasnya berlaku aturan-aturan
hukum adat tersebut dengan wilayah yang
adat[15].
bersangkutan. Di Bali dikenal dengan
Saat berlakunya Hukum Agraria di
istilah hak prabumian[11]. Istilah
Hindia Belanda (Indonesia), ditemukan
prabumian ini dapat lihat dalam salinan
adanya lima perangkat hukum, yaitu
“Pemuder Desa Adat Culik” sebagai
Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria
prasasti yang diberikan (Panugrahan) Ida
Barat, Hukum Agraria Administratif,
Batarane Ida nak Agung Made Ngurah
Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria
Karangsem kepada I Pasek Culik yang
Antar Golongan.
disalin pada hari Rabu Umanis Wuku
Hukum Agraria Adat dirumuskan
Tambir Panglong ping 15 Tileming sasih
sebagai keseluruhan dari kaidah Hukum
Ketiga Tahun 1922, yaitu dalam
Agraria yang bersumber pada hukum adat
penunjukan penguasaan dan batas-batas
dan berlaku terhadap tanah-tanah yang

34
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang bersama, sehingga semua hak perorangan
diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya bersumber dari tanah bersama tersebut[18].
sering disebut tanah adat atau tanah Pernyataan di atas relevan dengan
Indonesia. teori hak milik menurut paham hukum
Hukum Agraria Adat ini terdapat kodrat dari Grotius yang menyatakan,
dalam Hukum Adat tentang tanah dan air bahwa segala sesuatu dalam alam sebagai
(bersifat intern), yang memberikan milik bersama. Alam atau dunia ada untuk
pengaturan bagi sebagian terbesar tanah digunakan secara bersama-sama oleh umat
dalam negara. Diberlakukan bagi tanah- manusia. Hak milik pribadi hanya diterima
tanah yang tunduk pada hukum adat, dalam pengertian hak untuk menggunakan
seperti tanah (hak) ulayat, tanah milik milik bersama. Jika seseorang dikatakan
perseorangan yang tunduk pada hukum memiliki sesuatu, tidak lain artinya ia
adat[16]. Jadi Tanah Adat (tanah druwe mempunyai kemampuan untuk
desa) dapat disamakaan dengan tanah (hak) menggunakan secara tepat milik bersama,
ulayat. dan bukan menjadi miliknya sedemikian
Apabila hak atas tanah adat berada rupa yang menutup kemungkinan dimiliki
pada sekelompok orang dan diatur individu lain[18].
pemanfaatannya oleh pimpinan dari Menurut Laporan Penelitian
kelompok, maka hak bersama tersebut Integrasi Hak Ulayat ke dalam Yurisdiksi
dikenal dengan hak ulayat. Jadi tanah UUPA, Depdagri-FH UGM Tahun 1978
ulayat sama dengan tanah adat.Aturan- dinyatakan, bahwa hak ulayat sebagai
aturan adat atau hukum adat mempunyai istilah teknis yuridis adalah hak yang
kategori yang berbeda dengan adat belaka. melekat sebagai kompetensi khas pada
Menurut L Pospisil, menyebutkan adanya masyarakat hukum adat, berupa
empat atribut hukum, yaitu: The attribute wewenang/kekuasaan mengurus dan
of authority, The attribute of intention of mengatur tanah seisinya dengan daya laku
universal application, The attribute of ke dalam maupun ke luar[19].
obligation, The attribute of sanction[17]. Masyarakat hukum adat
b. Tanah Adat dan Realitas merupakan kesatuan masyarakat adat yang
Penguasaannya bersifat otonom di mana mereka mengatur
Hukum adat memandang sistem kehidupannya (hukum, politik,
kehidupan individu sebagai kehidupan ekonomi dan sebagainya), selain itu
yang terutama diperuntukkan buat bersifat otohton, yaitu suatu kesatuan
mengabdi kepada masyarakat. Berdasarkan masyarakat hukum adat yang lahir/dibentuk
konsepsi tersebut, tanah ulayat sebagai hak oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk
kepunyaan bersama dari suatu masyarakat oleh kekuatan lain, misalnya kesatuan desa
hukum adat dipandang sebagai tanah dengan LKMDnya. Sekarang tidak lagi
bersama yang merupakan sepenuhnya otonom dan terlepas dari
“pemberian/anugerah” dari suatu kekuatan proses pengintegrasian ke dalam kesatuan
gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu organisasi kehidupan negara bangsa yang
yang diperoleh secara kebetulan atau berskala besar dan berformat nasional[19].
karena kekuatan daya upaya masyarakat Sebagai isi wewenang dari hak
adat tersebut. Jadi hak ulayat yang menjadi ulayat dimaksud, maka hubungan antara
lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat hukum adat dan
masyarakat adat dipandang sebagai tanah tanah/wilayahnya adalah hubungan
menguasai[18], bukan hubungan milik

35
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

sebagaimana halnya dalam konsep atas tanah tersebut. Sebaliknya semakin


hubungan antara negara dengan tanah, lemah hak individu maka semakin kuatlah
menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI daya berlakunya hak ulayat. Hak individu
Tahun 1945[21]. ini akan lenyap dan tanah akan kembali
Penentuan masih ada atau dalam kekuasaan hak ulayat jika tanah
tidaknya hak ulayat, dapat menggunakan ditelantarkan/menjadi belukar atau hutan
tiga kriteria, seperti di bawah ini, yaitu: kembali. Adalah relevan dengan Teori
(1) Adanya masyarakat hukum adat yang Balon (Ballen Theorie) dari Ter Haar, yang
memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai menyatakan bahwa semakin kuat hak
subjek hak ulayat; ulayat, maka semakin lemah hak
perorangan dan demikian sebaliknya[23].
(2) Adanya tanah/wilayah dengan batas-
Demikian juga Iman Sudiyat menyatakan,
batas tertentu sebagai Lebensraum
bahwa hak-hak persekutuan dan hak-hak
yang merupakan objek hak ulayat; dan
perorangan setiap anggotanya saling
(3) Adanya kewenangan masyarakat mempengaruhi, artinya ada dalam
hukum adat untuk melakukan tindakan- hubungan kempis-mengembang, mulur-
tindakan tertentu sebagaimana telah mungkret tiada henti[24].
diuraikan di atas[19]. Herman Soesang Obeng
Berdasarkan pemahaman dan menyatakan, bahwa untuk memperoleh
konseptual tersebut di atas, maka gambaran yang jelas tentang pemilikan
diferensiasi Hak Penguasaan Atas Tanah tanah secara perorangan, perlu diperhatikan
(HPAT) menurut hukum adat terdiri dari: jalinan timbal balik hubungan hak
Hak Ulayat (hak komunal) dan hak-hak masyarakat dan hak individu menurut alam
individu atas tanah[20]. Hak ulayat pikiran masyarakat adat (participerend
merupakan HPAT yang tertinggi dalam denken menurut Ter Haar). Menurut jalinan
hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses pemikiran ini, hubungan manusia dengan
individualisasi dapat lahir hak-hak tanah merupakan hubungan magis religius
perorangan (hak individu). Adalah relevan yang sedikit banyak mengandung unsur
dengan pernyataan Achmad Sodiki, bahwa: kekuatan gaib (mistik) sebagai suatu
Sistem penguasaan tanah dalam hukum perwujudan daripada dialog antara manusia
adat adalah berdasar hak ulayat, yaitu suatu dengan alam gaib, yaitu roh-roh yang
hak masyarakat hukum sebagai suatu dihargainya[18]. Oleh karenanya
kesatuan yang mempunyai wewenang ke masyarakat akan mengembangkan
luar dan ke dalam. Artinya dalam hak sejumlah norma-norma tertentu tentang
ulayat ini terdapat hak perseorangan tanah baik yang dikuasai masyarakat
(individual) atas tanah, yakni hak yang maupun secara perorangan. IB. Lasem
lahir karena pengusahaan yang terus dalam hubungan dengan penguasaan ini
menerus secara intensif atas sebidang tanah juga menyatakan, bahwa tanah-tanah adat
(kosong)[22]. seperti PKD yang dikuasai secara individu
di dalamnya terkandung konsep Tri Hita
Lebih lanjut dinyatakan, bahwa Karana, yaitu berupa Parhyangan yang
hubungan antara hak ulayat (yang dimiliki berwujud Merajan (believe system),
oleh masyarakat hukum sebagai suatu Pelemahan yang berwujud wilayah
kesatuan) dengan hak individu merupakan perumahan (artefact system), dan
hubungan yang lentur, fleksibel, artinya Pawongan yang berwujud anggota
semakin kuat hak individu atas tanah maka keluarga yang tinggal di situ (social
semakin lemah daya berlakunya hak ulayat

36
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

system) yang notabene sebagai krama Memahami hubungan penguasaan


banjar dan krama desa adat. Semuanya ini tanah dalam desa tradisional, konseptual
sudah barang tentu diatur dalam awig- “beschikkingrecht” dari van Vollenhoven
awig[26]. sangat membantu. Dua unsur utama yang
Tanah-tanah adat ini masih memberikan ciri khas hak ini yakni,
diyakini mempunyai sifat yang religio pertama: tiadanya kekuasaan untuk
magis, sehingga kehidupan krama desa memindahkan tanah, dan kedua, terdapat
diperuntukkan untuk mengabdi kepada interaksi antara hak komunal dan hak
Tuhan yang berstana di setiap Pura individu yang mempunyai akibat atau
Kahyangan Tiga dan pura lain yang berlaku ke dalam maupun berlaku ke
diempon oleh krama desa yang ada di luar[27].
wilayah desa adat. Kondisi ini tidak Berakibat atau berlaku ke dalam
terlepas dari perspektif historis yang artinya pertama, persekutuan dan anggota-
melatarbelakangi munculnya desa adat anggotanya dapat menarik keuntungan dari
menurut isi cerita dalam Lontar Markandya tanah dan segala yang tumbuh serta hidup
Purana. di atas tanah itu seperti: mengolah tanah
Beberapa sifat yang menonjol itu, mendirikan tempat tinggal,
tentang pemilikan secara individu menurut menggembala ternak, mengumpulkan
hukum adat antara lain: bahan makanan, berburu, memancing. Jadi
a. Pemilikan tanah hanya dapat dipunyai hak ini hanya sebatas dipergunakan untuk
oleh warga masyarakat hukum saja. memperoleh keperluan hidup keluarga dan
dirinya sendiri, dan bukan untuk
b. Pemilikan tidak lahir berdasarkan
membentuk persediaan keperluan
keputusan atau izin kepala adat.
perdagangan (bisnis). Kedua, hak-hak
Keputusan atau izin kepala adat hanya
perorangan itu tetap tunduk kepada hak
berfungsi sebagai pembuka jalan ke
masyarakat (hak ulayat) atas tanah ulayat
arah kemungkinan menguasai tanah
tersebut, karena masih tetap ada campur
dengan hak milik. Pemilikan lahir
tangan persekutuan (masyarakat hukum
berdasarkan pengakuan masyarakat
adat dalam konsep penulis) terhadap
yang disebabkan oleh kenyataan erat
pemakaian dan pemindahan hak-hak
tidaknya hubungan seseorang atas
perorangan itu. Ketiga, Persekutuan dapat
tanah. Erat dalam arti tanah senantiasa
menetapkan atau menyediakan tanah itu
dikerjakan, dirawat dengan baik dan
untuk keperluan umum, seperti untuk
tidak diabaikan.
kuburan (setra), sekolah, tempat ibadah
c. Pemilikan hanya timbul apabila syarat (pura), pasar, tanah jabatan (bengkok), di
de facto berupa bertempat tinggal dalam Bali dikenal dengan istilah tanah
masyarakat hukum, mengerjakan tanah bukti/catu.
secara terus menerus, dan syarat de jure Berakibat atau berlaku ke luar
berupa pengakuan masyarakat akan artinya ada larangan bagi orang luar
pemilikan tersebut, berlaku secara persekutuan untuk menarik keuntungan
bersamaan dalam diri pribadi yang dari tanah ulayat, kecuali ada izin dan
bersangkutan. sudah membayar uang pengakuan
d. Berakhirnya hak milik atas tanah, (recognitie). Ketentuan ini berlaku bagi
berarti berhentinya pengakuan anggota persekutuan jika ia dalam menarik
masyarakat atas hak orang yang keuntungan terhadap tanah ulayat itu
bersangkutan[18]. digunakan untuk keperluan dagang (bisnis).

37
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

Kedua, larangan, pembatasan atau berbagai dan menipis, mulur-mungkret. Bahkan


peraturan yang mengikat terhadap orang- lebih didominasi oleh hak individual,
orang untuk mendapatkan hak perorangan terutama dalam pemanfaatan tanah
atas tanah pertanian. Artinya orang luar pekarangan beserta telajakannya[28].
jika akan mengolah tanah persekutuan Proses menebal dan menipisnya hubungan
hanya diberikan hak menikmati hak komunal dengan hak individu itu
(genotrecht) dalam satu kali panen, mereka nampaknya sangat bergantung pada
tidak boleh menjadi ahli waris, atau kepekaan prajuru adatnya dan kesadaran
membeli tanah. Jadi hanya memperoleh krama desa terhadap tanah-tanah adat yang
kesempatan untuk turut serta menggunakan dikuasainya dalam menentukan apakah hak
tanah wilayah persekutuan. milik komunal akan berubah statusnya
Di Bali hak penguasaan tanah juga menjadi hak milik individu penuh. Tanah
dilandasi oleh hak ulayat atau hak yang dulunya termasuk tanah adat ada
prabumian. Kondisi ini akan sangat relevan kalanya sudah dialihkan menjadi hak milik
jika dikaitkan antara hubungan terjadinya pribadi penuh yang lebih dikenal dengan
desa adat dan tanah adat dalam perspektif tanah Sertifikat Hak Milik (SHM), seperti
sejarahnya. Di samping itu relevan juga tanah AYDS yang ada di Desa Adat
dengan teori hukum alam dan accupatio Kemenuh Gianyar setelah kemerdekaan
dalam arti adanya penguasaan dan beralih menjadi tanah individu penuh,
pemilikan bersama (komunal) dan juga sebagai akibat dikeluarkannya surat pajak
penguasaan dan pemilikan secara oleh pemerintah, padahal awalnya AYDS
individual (perseorangan). Hubungan merupakan satu kesatuan dengan tanah
antara hak komunal dengan hak individual PKD.
juga nampak saling mendesak, menebal

c. Bagan Penguasaan Tanah Adat di Bali

Hak Atas Tanah

Hak Milik Individu Hak Milik


(HMI) Komunal (HMK)

HMK Tidak
HMI Bebas HMI Terikat HMK Murni
Murni

T. Milik Pribadi
Tanah PKR T. Laba Pura T. Druwen Desa T. Desa Tanah PKD T. AYDS
Ps.16 UUPA

4. Pendaftaran Tanah Adat dan yaitu: klaim batas desa (Macang-Ngis


Permasalahannya Karangasem), klaim atas penguasaan setra
Sengketa tanah dengan objek (Semana-Ambengan Gianyar), klaim atas
tanah-tanah adat sampai saat ini masih tanah desa (AYDS, PKD) yang sudah
dapat dijumpai di Bali. Dari hasil amatan disertipiaktkan melalui konversi (Panji
dapat dinyatakan bahwa terjadinya Buleleng, Tusan Klungkung, Tamanbali
sengketa disebabkan karena bebarapa hal, Bangli), klaim atas tanah laba Pura Desa

38
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

yang telah disertipikatkan atas nama ditundukkan pada hukum Negara di bawah
Dadia/perorangan (Culik Karangasem, pemilikan individual, sehingga beraspek
Kubutambahan Buleleng, Tianyar perdata. Secara jurudis terjadi penguatan
Karangasem), investasi di atas tanah Laba hak penguasaan menjadi hak milik individu
Pura (Kusumasari Sanur Denpasar), penuh yang tidak lagi tunduk pada hukum
investasi di atas tanah setra (Banjar Ancak adat (Awig-Awig).
Bungkulan Sawan Buleleng), pengingkaran Perubahan status hak atas tanah
terhadap jual beli tanah PKD (Kemenuh PKD dan AYDS menjadi hak milik
Gianyar), klaim investor atas HGB di atas individu penuh setelah disertipikatkan tidak
tanah (hak) ulayat (Loloan Yeh Poh serta merta dapat disadari adanya, dimana
Canggu Badung). sebagian masyarakat dan prajuru adat
Klaim-klaim atas sebidang tanah masih menganggap tanah-tanah tersebut
adat dan sengketa hak penguasaan atas sebagai tanah adat. Sengketa baru terjadi
tanah adat merupakan implikasi atas ketika ada peralihan hak kepada pihak lain
pendaftarannya menurut hukum Negara baik melalui jual beli maupun karena
(UUPA dan aturan organiknya), yang pelelangan oleh Bank atas tanah yang telah
mengakibatkan adanya peningkatan hak, dipasang Hak Tanggungan (HT), seperti
yaitu dari hak penguasaan (komunal) kasus “Tanah Panji”.
menjadi pemilikan melalui konversi atau Akibat dari perbuatan hukum
PRONA yang saat ini dikenal dengan penyertipikatan tanah-tanah adat yaitu: di
PTSL. satu sisi terjadi penguatan hak pemilikan
UUPA dengan aturan organiknya individu, dan di sisi lain terjadi semakin
yang mengusung ”kepastian hukum” lemahnya kedudukan Desa Adat atas
mempunyai Misi pendaftaran terhadap penguasaan tanah-tanah adat dimaksud,
semua bidang tanah di Indonesia. Jalan yaitu relevan dengan teori Ballon Ter Haar
yang diberikan adalah “Konversi”, yaitu atau Mulur Mungkretnya Iman Sudiyat.
pendaftaran untuk pertama kalinya secara Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlanjut,
sporadik atau sistematik terutama terhadap tapi segera diakukan penyikapan oleh
tanah-tanah yang telah dikuasai secara masyarakat hukum adat (Desa Adat)
perorangan lebih dari 20 tahun berturut walaupun sudah terlambat.
turut dengan tidak memilah antara tanah Sikap terlambat ini diamati sebagai
pribadi penuh dengan tanah pribadi tidak akibat adanya kegamangan pengetahuan
penuh seperti tanah PKD, AYDS. Prajuru Adat atas ilmu Hukum Agraria dan
Dalam penelitian Disertasi Hukum Adat. Akibat lebih jauh adalah ada
dinyatakan, bahwa tanah-tanah AYDS dan pembiaran terhadap berbagai pelanggaran
PKD yang telah dikonvsersi secara masal atas pemanfaatan dan penggunaan tanah-
yang dikenal dengan PRONA terjadi di tanah adat yang ada di masing-masing Desa
beberapa desa, seperti di Desa Tamanbali Adat, seperti dibiarkannya alih fungsi tanah
Bangli, Desa Ngis Karangasem[26]. telajakan yang dipergunakan sebagai
Tujuannya adalah untuk menguatkan bangunan warung, garase, tempat barang
eksistensi tanah adat. Namun yang terjadi dagangan, bengkel, jualan. Jadi tata ruang
adalah sebaliknya, yaitu melemahkan status Desa Adat tidak lagi merefleksikan falsafah
tanah adat sebagai ulayat desa, karena Tri Hitakarana. Kondisi ini membuktikan
secara konseptual tanah-tanah adat (PKD, bahwa Prajuru Adat melakukan pembiaran
AYDS) setelah disertipikatkan tidak lagi terhadap alih fungsi tanah-tanah adat,
berstatus sebagai tanah adat, karena sudah bahkan membiarkan adanya perbuatan-

39
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

perbuatan hukum tanah-tanah adatnya No. 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran


untuk disertifikasi menjadi hak milik Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) jo
individu penuh. Inpres RI No.2 Tahun 2018 tentang
Dalam perspektif kewenangan Percepatan PTSL di Seluruh Wilayah RI.
yang dilandasi hak ulayat, Desa Adat Program PTSL yang berorientasi
melalui Prajuru Adatnya mempunyai target sebagai indikator keberhasilan tidak
kewenangan untuk mengatur, mengurus, menjadikan bidang tanah ulayat menjadi
mengelola, dan melakukan pengawasan ”badai” jilid II (kedua) saat diterbitkannya
terhadap hak ulayat sebagai kepunyaan kebijakan pendaftaran bidang tanah melalui
bersama mengenai: Proyek Operasi Nasional Agraria Nasional
a. peruntukan, penggunaan, persediaan, (PRONA) yang diatur dalam Keputusan
dan pemeliharaan Hak Ulayat; Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)
b. hubungan hukum antara orang dengan No. 189 Tahun 1981 yang tujuan
Hak Ulayat; dan utamanya memproses penyertipikatan
c. hubungan hukum antara orang dan tanah secara masal sebagai perwujudan
perbuatan hukum yang mengenai Hak program Catur Tertib di bidang Pertanahan
Ulayat. yang pelaksanaannya dilakukan secara
Saat ini kewenangan yang dimiliki terpadu terutama kepada masyarakat
Desa Adat tidak dilakukan dengan baik dan golongan ekonomi lemah, serta
benar terutama dalam melakukan menyelesaikan secara tuntas terhadap
pengurusan terhadap peruntukan tanah- sengketa-sengketa tanah yang bersifat
tanah adat yang masih ada, melakukan strategis. Namun diberikan tafsir dan
pengawasan terhadap penggunaan dan pemberlakuan yang sama antar tanah
pemanfaatannya, dan melakukan tindakan pribadi dengan tanah–tanah (hak) ulayat
penertiban terhadap para pelanggar tata Desa Adat. Konsekueinsinya menimbulkan
ruang Desa Adat, termasuk terhadap banyak sengketa bahkan sampai saat ini
penelantaran tanah-tanah adat. Jadai dalam diwariskan.
konteks sistem hukum, pengawasan dan 5. Penguatan Desa Adat
penegakan hukum terhadap para pelanggar Penguatan yang dimaksudkan
menjadi taruhan terhadap kuatnya tanah- adalah upaya dalam membekali kompetensi
tanah adat di atas penguasaan Desa Adat diri berdasar kewenangan yang dimiliki
atau krama Desa Adat. dalam menggunakan dan memanfaatan
Terbitnya Permen ATR/Ka.BPN potensi diri dalam mengelola tanah (hak)
No. 276/KEP-19.2/X/2017 tentang ulayat sesuai perundang-undangan yang
Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi berlaku. Jadi penguatan Desa Adat dapat
Bali Sebagai Subjek Hak pemilikan berupa pembekalan terhadap kompetensi
Bersama (Komunal) Atas Tanah di satu sisi SDM Desa Adat, Tata Kelola Desa Adat,
dapat menguatkan hak atas penguasaan dan sumber daya alam dan sumber daya
pemilikan tanah adatnya. Sedang di sisi anggaran (pendanaan).
lain dapat juga melemahkan kewenangan SDM Desa Adat menjadi yang
Desa Adat atas tanah ulayatnya ketika salah utama dalam penguatan Desa Adat seperti
melakukan pilihan terhadap model dengan pemberian beasiswa untuk
pendaftarannya. Kondisi pilihan ini akan mengikuti pendidikan formal yang lebih
bertambah krodit dengan terbitnya Permen tinggi atau sertipikasi profesi sebagai
ATR/Ka.BPN No. 12 Tahun 2017 dan yang pengawas, badan pemeriksa keuangan
telah diganti dengan Permen ATR/Ka.BPN LPD, pimpinan atau staf bidang usaha,

40
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

Kepala BUMDes/BUPDA, guide lokal, HPL/Hak Milik (Komunal) Desa Adat.


pengurus LPD, Serati, Jero Mangku, IT, Sementara untuk tanah Banjar dapat
wirausaha rumahan yang mampu mengali disertipiakatkan atas nama Pura
dan mengembangkan potensi lokal secara (Penyarikan) Banjar, atau sertipikat
terintegrasi dalam satu wadah Desa untuk Hak Pakai Banjar di atas HPL/Hak
mencegah adanya persaingan tidak sehat, Milik (Komunal) Desa Adat.
tapi sebaliknya mampu menumbuhkan Sementara untuk Tanah (Hak) Ulayat
perekonomian bersamaan tumbuhnya lain dapat didaftarkan dalam Peta
kebersamaan sebagai cerminan corak Dasar Pendaftaran Tanah. Jadi
komunal religius dari hukum adat itu Sertifikasi terhadap tanah-tanah adat
sendiri. disesuaikan dengan jenis, fungsi, dan
Sistem tata kelola yang selama ini penguasaannya yang berorientasi pada
masih dilaksakan secara tradisional, dapat pelestarian “ayahan”.
diadaptasi dan mengadaptasi dengan sistem d. Penguatan hak penguasaan Desa Adat
administrasi modern berbasis IT yang terhadap pengelolaan sebagai kesatuan
berorintasi pada asas manfaat tanpa Hak Ulayat (Prabumian).
meninggalkan dan menghilangkan jati diri, 6. Simpulan dan Rekomendasi
seperti kejujuran, kebersamaan, Sampai saat ini penguasaan hak
keterbukaan, dokumen administrasi atas tanah (hak) ulayat (tanah adat) yang
(arsip)/pembukuan, kewenangan, tidak dilakukan secara individual dan komunal
bertentangan dengan hukum Negara. dalam perspektif UUPA masih gamang
Bagaimana penguatan di bidang atau kabur karena di satu sisi dapat
pertanahan, yaitu dalam penguasaan dan menguatkan penguatan terhadap
pengelolaan tanah adat/tanah (hak) ulayat penguasaan individu dan melepaskan
sebagai druwe desa…? dengan ikatan ayahanmya, dan di sisi lain
a. Terhadap tanah-tanah adat seperti Laba tidak adanya kepastian data fisik dan data
Pura sejak tahini 1986 sudah dapat yuridis perspektif hukum Negara. Implikasi
disertipiakatkan atas nama Pura (Tri lebih lanjut adalah timbulnya kerancauan
Mandala) termasuk di dalamnnya dalam pendaftarannya terlebih dengan
tanah Setra, yaitu mengikuti Keputusan adanya program PTSL dan penunjukan
Menteri Dalam negeri No: Desa Adat sebagai Subjek Hak Pemilikan
SK.556/DJA/1986. Bersama (Komunal ) Atas Tanah, karena
b. Mengembalikan fungsi tanah adat di telah disikapi secara beragam oleh Desa
bawah penguasaan dan pengelolaan Adat dan BPN dalam sertipikasinya.
Desa Adat (telajakan, garase, warung, Dalam kondisi ini perlu
sempadan jalan, sempadan got atau direkomendasikan, bahwa BPN sebagai
sungai sebagai penciri desa adat yang struktur hukum yang diberikan
hanya dpat dijumpai di Bali, walaupun kewenangan dalam upaya pelaksanaan
dibentuk 10 Bali baru di Indonesia atau percepatan PTSL agar dapat bertindak
di dunia (aspek komunal religius yang cermat dan mampu memberikan kepastian
tidak dapat diciptakan di tempat lain) hukum, keadilan, dan kemanfaatan
c. Melakukan inventarisasi terhadap terhadap pelaksanaan kebijakan sertifikasi
semua bidang tanah adat yang dikusasi tanah-tanah adat secara proporsional dan
krama untuk dicatat dan didaftar dalam professional, bukan berorientsi pada target
Peta Dasar Pendaftaran tanah, atau capaian, sehingga tanah-tanah adat dapat
diterbitkan sertipikat Hak Pakai di atas dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan

41
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

fungsinya dan perkembangan kebutuhan [7]Bali Post, “Budaya anarkis”, Denpasar, 12


masyaraktnya. Demikian pula Desa Adat Agustus 2009, hlm. 1-20.
tidak serta merta dapat memberi tafsir
[8]Suwitra, I. M., & Puspadma, I. N. A. (2018,
bahwa seluruh tanah adat wajib didaftar
November). Legal Certainty
untuk disertifikasi dengan titel “Hak
Perspective on Ulayat Land
Milik”, karena Hak Milik Komunal dengan
Ownership in Bali. In International
Hak Ulayat sangat berbeda. Tapi tidak
Conference on Business Law and
menafikan pendaftarannya, karena
Local Wisdom in Tourism (ICBLT
diharapkan ada koeksistensi antara hukum
2018). Atlantis Press.
adat dengan hukum Negara dalam
pendaftaran tanah-tanah adat. [9]Peter Mahmud Marzuki,. 2005. Penelitian
Hukum, Cetakan I. Fajar Interpratama,
Surabaya.
References
[10]Johnny Ibrahim. 2006. Teori &
Buku Teks, Publikasi dan Dokumentasi
Metodologi Penelitian Hukum
Ilmiah
Normatif. Edisi Revisi. Cetakan
[1]Sastrawan, I. P. D., Guntur, I. G. N., & Kedua. Bayumedia Publishing,
Andari, D. W. T. (2018). Urgensi Malang Jawa Timur.
Penguatan Hak atas Tanah Druwe
[11]Surojo Wignjodipuro. 1979. Pengantar
Desa di Bali. Jurnal Tunas
dan Asas-Asas Hukum
Agraria, 1(1 Sept).
Adat, Edisi ke tiga.
[2]Suwitra, I. M. (2010). Konsep Komunal Alumni, Bandung.
Religius Sebagai Bahan Utama dalam
[12]Salinan Pemuder Desa Adat Culik
Pembentukan UUPA dan Dampaknya
Karangasem, 1922.
Terhadap Penguasaan Tanah Adat di
Bali. Perspektif, 15(2), 174-194. [13]K. Wantjik Saleh. 1979. Hak Anda Atas
Tanah, Ghalia Indonesia.
[3]Suwitra, I Made, 2014, “Penguasaan Hak
Jakarta.
Atas Tanah dan Masalahnya”,
Makalah, disampaikan dalam rangka [14]Suastawa Dharmayuda. 1987. Status dan
bimbingan teknis (Bintek) aparatur Fungsi Tanah Adat Bali Setelah
pemerintahan desa dan kecamatan se Berlakunya UUPA. Cetakan I. CV
Kota Denpasar, tanggal 6 Mei 2014 di Kayu Mas. Denpasar.
Denpasar. [15]Valerine Jaqueline Leonore Kriekhoff.
[4]Suwitra, I. M. (2010). Dampak Konversi 1991. “Kedudukan Tanah Dati sebagai
Dalam UUPA Terhadap Status Tanah tanah adat di Maluku Tengah, suatu
Adat di Bali. Jurnal Fakultas Hukum kajian dengan memanfaatkan
UII, 17(1), 103-118. pendekatan antropologi hukum”.
Disertasi. Program Doktor Ilmu
[5]Suwitra, I. M. (2018). Larangan
Hukum Fakultas Pasca Sarjana
Pengasingan Tanah dalam Hukum
Universitas Indonesia.
Adat Perspektif Hukum Agraria
Nasional. Jurnal Yustika: Media [16]Urip Santoso. 2006. Hukum Agraria, Hak-
Hukum dan Keadilan, 14(1), 39-51. Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua.
Prenada Media. Jakarta.
[6]Bali Post, “Konflik adat”, Denpasar, 27
September 2011., hlm. 1-20.

42
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

[17]Leopold Pospisil. 1971. Anthropology of Setelah Berlakunya UUPA, Cetakan I.


Law a Comparative Theory. Harper & CV Kayu Mas. Denpasar.
Raw Publishers. New York, Evanston,
[25]Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa
San Francisco, London.
Asas. Cetakan Kedua. Liberty.
[18]Herman Soesang Obeng, 1975. Yogyakarta.
Pertumbuhan hak milik individuil
[26]Suwitra, I Made. (2009). “Eksistensi Hak
menurut hukum adat dan menurut
Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah
UUPA di Jawa Timur. Majalah
Adat di Bali dalam Perspektif Hukum
Hukum. II (3): 49-76.
Agraria Nasional”, (Doctoral
dissertation, Universitas Brawijaya),
Malang.
[19]Sonny Keraf. A, 1997, Hukum Kodrat &
Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, [27]R. Van Dijk. 1971. Pengantar Hukum
Yogjakarta. Adat Indonesia. Terjem. A. Soehardi.
Cetakan Ke Tujuh. Sumur Bandung.
[20]Maria S.W. Sumardjono. 2005. Kebijakan Jakarta.
Pertanahan antara Regulasi &
[28]I Made Suwitra. 2005. “Tugas Prajuru
Implementasi, Edisi Revisi. Buku
Adat dalam mengatur tanah adat
Kompas. Jakarta.
khususnya tanah telajakan dalam
[21]Martua Sirait, Chip Fay, dan A.Kusworo. konsep menuju Bali yang ajeg”.
2001. “Bagaimana hak-hak Kertha Wicaksana. Fakultas Hukum
Masyarakat Adat dalam Mengelola Universitas Warmadewa. Denpasar.
Sumber Daya Alam Diatur ”. Dalam (11) 1.
Kajian Kebijakan Hak-Hak Peraturan Perundang-Undangan
Masyarakat Adat di Indonesia
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Daerah.; suatu Refleksi Pengaturan
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Kebijakan dalam Era Otonomi
Agraria.
Daerah. ICRAF, Lembaga Alam
Tropika Indonesia, dan P3AE-UI. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 1963
tentang Penunjukan Badan-Badan
[22]Setorus, Oloan. 2004. Kapita Selekta
Hukum yang dapat mempunyai Hak
Perbandingan Hukum Tanah, Cetakan
Milik Atas Tanah.
Perdana. Mitra Kebijakan Tanah
Indone. Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
[23]Achmad Sodiki, 2004. “Eksistensi hukum
adat: Konseptualisasi, Politik hukum Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018
dan pengembangan pemikiran hukum tentang Percepatan Pendaftaran Tanah
sebagai upaya perlindungan hak Sistematis Lengkap di Seluruh
masyarakat adat. Makalah. Wilayah Republik Indonesia;
disampaikan dalam seminar Fakultas
Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Hukum Universitas Brawijaya
Ruang/Kepala BPN RI Nomor 6
Malang.
Tahun 2018 tentang Pendaftaran
[24]Suastawa Dharmayuda, Made. 1987. Tanah Sistematik Lengkap (PTSL).
Status dan Fungsi Tanah Adat Bali

43
Vol. 4 No. 1 : Hal. 31-44 WICAKSANA, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Maret 2020
ISSN: 2597-7555
E-ISSN: 2598-987
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 189 Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3
Tahun 1981 Tentang Proyek Operasi Tahun 2001 Jo Nomor 3 Tahun 2003
Nasional Agraria. tentang Desa Pakraman.

44

Anda mungkin juga menyukai