Anda di halaman 1dari 7

EMILE DURKHEIM

A. Riwayat Hidup
Lahir dengan nama lengkap David Emile Durkheim pada tanggal 15 April 1858 di
Epinal ibu kota bagian Vosges, Lorraine, Perancis bagian Timur dari keluarga Yahudi.
Ayahnya seorang Rabi, imam agama Yahudi yang bekerja di Perancis sejak tahun 1784.
Ibunya seorang wanita sederhana dan ahli dalam sulam-menyulam. Latar belakang keluarga
Yahudi menyebabkan ia dididik dan dipersiapkan menjadi seorang Rabi, tetapi karena
pengaruh seorang guru wanita Katolik, ia cendrung ke arah bentuk mistik katolisisme.
Seiring perkembangan intelektualnya, Emile Durkheim kemudian cendrung menganut
agnotisme.1
Agnostik adalah kelompok yang tidak yakin atas keberadaan Tuhan, mereka tidak
bisa mengatkan secara pasti bahwa mereka percaya atau tidak percaya terhadap Tuhan.
Agnostik percaya bahwa seseorang tidak dapat menentukan apakah Tuhan itu ada atau tidak,
sehingga memilih menjalani kehidupan sesuai dengan seperangkat keyakinan terlepas dari
kepercayaan mengenai ada atau tidaknya Tuhan. Mereka merasa bahwa mengetahui Tuhan
ada satu tidak bukanlah suatu hal yang penting.2
Apa yang dilakukan oleh Emile Durkheim ini sangat beretentangan dengan latar
belakang Ayahnya dan para guru-gurunya. Pada akhirnya Emile Durkheim dikenal sebagai
Atheis yang kuat. Ketertarikan Emile Durkheim kepada fonomena sosial juga didorong oleh
keadaan politik yang terjadi pada masa itu. Pada tahun 1870, disaat Emile Durkhem masih
berusia 12 tahun, Eropa mengalami proses tranformasi sosial. Perancis yang kala itu
dipimpin oleh Kaisar Napoleon III harus tunduk pada kepada Bismark “Kanselir Besi” dari
Prussia. Situasi seperti ini menimbulkan rasa keprihatinan dalam diri Emile Dukheim karena
ia melihat Dan merasakan terjadinya dekadensi yang melanda negaranya, Perancis.
Di usia 21 tahun Emile Durkheim melanjutkan studinya di Ecole Normale Superier,
Paris. Di universitas ini dia dikenal sebagai mahasiswa yang sangat serius dan kritis dengan
studi Sejarah dan Filsafat. Ada hal yang menarik dalam proses masuknya Emile Dukheim di

1
Daniel L. Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996
2
Faza Maula Azif, Layak Tidaknya Seorang yang tidak Beragama Hidup di Negeri dengan Dasar Falsafah
Pancasila, (Karya Ilmiah Mahasiswa S1-Teknik Informatika).
Universitas ini, sebelumnya dia dua kali gagal dalam ujian dan akhirnya dalam ujian yang
ketiga ia baru bisa masuk ke dalam universitas ini.

Di sekolah ini, pemikiran Emile Durkheim sangat dipengaruhi oleh dua orang
profesor yang sangat ia kagumi, Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux. Fustel De
Coulanges adalah seorang pelopor histonografi modern Perancis sedangkan Emile Boutroux
adalah seorang ahli filsafat. Dari sini ia juga mulai mengetahui pemikiran Dan karya-karya
seorang pelopor keilmuan sosiologi, Auguste Comte. Sebuah perkenalan yang ikut
membentuk corak, karakteristik dan sumbangan pemikiran Durkheim atas sosiologi.

Setelah studi di sekolah Ecole Normale Superier selama tiga tahun, Durkheim
mengajar di berbagai Lycee pada tahun 1882-1887 dan juga pernah menetap setahun di
Jerman untuk memdalami Psikologi kepada Wilhelm Wundt.3 Kemudian di tahun yang sama
Emile Durkheim berhasil mencetuskan Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah, karena
prestasinya itu ia diangkat sebagai ahli Ilmu Soial di Fakultas Pendidikan Dan Fakultas Ilmu
Sosial di Universitas Bourdeaux.
Pada tahun 1893 Emile Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa
Perancis yaitu The Division of Labour in Society yang berisi pernyataan dasar atau hakikat
suatu masyarakat, manusia Dan juga perkembangannya Dan tesisnya dalam bahasa latin
tentang Motesqouieu. Kemudian pada tahun 1895 menerbitkan buku lagi yang berjudul The
Rules of Sociological Method yang berisi tentang suatu penjelasan Dan juga pernyataan
apakah sosiologi itu dan bagaimana sosiologi itu harus dilakukan.
Kemudian pada tahun 1896 Emile Dukheim berhasil mendirikan Jurusan Sosiologi
pertama di eropa di Universitas Bourdeaux Dan saat itu ia juga menerbitkan jurnal yang
berjudul L’Anee Sociologique (sebuah jurnal ilmiah pertama yang memuat artikel-artikel
tentang Sosiologi) bersama beberapa sarjana lainnya yang kemudian menjadi jurnal yang
sangat terkenal di seluruh dunia.4 Di tahun ini pula Emile Durkheim juga diangkat menjadi
profesor penuh untuk pertama kalinya di Perancis dalam bidang Ilmu Sosial. Setelah
beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1902 Emile Durkheim diangkat sebagai
profesor Sosiologi Dan Pendidikan di Universitas Sorbone, Paris.

3
Fuad Ardlin, Waktu Sosial Emile Durkheim, (Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2013)
4
Sigit Jatmiko, 2003, Teori-teori Sosial: Observasi Kritik Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta,
Peristiwa yang menjadi pukulan besar bagi Durkheim adalah saat anak lelakinya
meninggal ketika Perang Dunia Pertama berkecamuk. Pada tahun 1916, ia mulai sakit-
sakitan, namun selama periode tersebut ia mulai menyusun tulisan-tulisannya yang masih
berupa manuskrip secara teratur. Kelak, murid-muridnya menerbitkan tulisantulisan
tersebut. Tanggal 15 November 1917, tapat ketika usianya akan mencapai 60 tahun, sang
calon Rabi meninggal dunia di Fontaineblau.

B. Karya-Karya
a. The Division of Labor in Society (1893)
Dalam The Division of Labor in Society, Durkheim membahas tentang
pembagian kerja yang spesifik dan kondisi solidaritas masyarakat. Durkheim membagi
konsep solidaritas ke dalam dua tipe, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Masing-masing solidaritas dapat dibedakan melalui dua indikator, yaitu faktor pengikat
solidaritas, dan sanksi yang diterapkan oleh tiap kelompok solidaritas terhadap tindakan
kriminal yang dilakukan individu.
Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik identik dengan masyarakat
tradisional, sedangkan solidaritas organik identik dengan masyarakat modern. 5 Dalam
solidaritas mekanik, masyarakat diikat oleh sebuah konsep bernama kesadaran kolektif,
atau “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama yang dianggap umum dalam sebuah
masyarakat”. Kejahatan, dalam solidaritas mekanik, didefinisikan sebagai tindakan yang
mencederai kesadaran kolektif tersebut — atau dengan kata lain, mencederai seluruh
masyarakat. Sanksi bagi pelaku tindak kriminal dalam solidaritas mekanik bersifat
represif. Artinya, sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk membalas, merugikan, atau
membuat pelaku menderita seperti hukuman mati.
Berbeda dengan solidaritas mekanik yang diikat oleh “kesamaan” dalam bentuk
kesadaran kolektif, solidaritas organik justru diikat oleh “perbedaan” dalam bentuk
pembagian kerja. Dalam solidaritas organik, setiap orang memiliki tugas yang spesifik,
dan saling bergantung antara satu dengan lainnya. Sanksi yang diberikan bagi pelaku
tindak kriminal dalam solidaritas organik bersifat restitutif. Artinya, sanksi yang

5
Ritzer, George, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003)
dijatuhkan bertujuan untuk mengembalikan kondisi masyarakat yang terganggu akibat
tindak kriminal tersebut seperti semula, contohnya dengan membayar ganti rugi.
Dalam solidaritas organik, masyarakat tidak diikat oleh kesadaran kolektif, oleh karena
itu, tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang mencederai seluruh
masyarakat, sehingga sanksi yang bersifat represif tidak lagi dibutuhkan.

b. Suicide (1897)
Dalam Suicide, Durkheim mencoba melihat hubungan antara lingkungan sosial
dan fenomena bunuh diri. Durkheim mengkaji data statistik angka bunuh diri di wilayah
Eropa Barat, dan menemukan sesuatu yang menarik. Wilayah yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Kristen Protestan memiliki angka bunuh diri yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk agama
Kristen Katolik.
Durkheim kemudian menyimpulkan bahwa rendahnya solidaritas di antara
pemeluk agama Kristen Protestan, yang cenderung lebih individualis dan kritis,
merupakan penyebab utama tingginya angka bunuh diri di wilayah tersebut.6
Durkheim menggunakan istilah “egoistik” untuk menyebut bunuh diri yang terjadi akibat
rendahnya tingkat solidaritas di masyarakat. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang
memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah ditinggal oleh kekasihnya dapat dikatakan
telah melakukan bunuh diri egoistik.
Lebih lanjut, Durkheim menyadari bahwa tingginya tingkat solidaritas di
masyarakat juga dapat memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri. Durkheim
menyebut bunuh diri yang terjadi akibat tingginya tingkat solidaritas di masyarakat
sebagai bunuh diri “altruistik”. Bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok radikal
keagamaan dapat dikategorikan sebagai bunuh diri altruistik.
Selain faktor solidaritas, Durkheim menemukan bahwa ketatnya regulasi yang
berlaku juga turut memengaruhi angka bunuh diri di sebuah wilayah. Sebagai contoh,
ketatnya aturan di penjara dapat memicu narapidana untuk melakukan bunuh diri.
Durkheim menyebut bunuh diri yang terjadi akibat ketatnya regulasi yang berlaku
sebagai bunuh diri “fatalistik”.Sebaliknya, longgarnya regulasi juga dapat memicu
6
Keirns, Nathan., Strayer, Eric., Griffiths, Heather., dkk, Introduction to Sociology, (Houston: Openstax College,
2012),
seseorang untuk melakukan bunuh diri. Durkheim menyebut bunuh diri yang terjadi
akibat longgarnya regulasi yang berlaku sebagai bunuh diri “anomik”. Contoh dari
bunuh diri anomik adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang bingung dan
tidak memiliki tujuan hidup.

c. The Elementary Form of the Religious Life (1912)


Dalam The Elementary Form of the Religious Life, Durkheim membahas tentang
agama paling primitif yang dikenal oleh manusia. Durkheim menolak mendefinisikan
agama sebagai “kepercayaan terhadap sesuatu yang misterius” atau “kepercayaan
terhadap sosok supernatural”. Bagi Durkheim, agama merupakan kesatuan sistem
kepercayaan, dan praktik-praktik yang berkaitan dengan hal-hal suci (sacred) dan tidak
suci (profane).7
Berangkat dari definisi tersebut, Durkheim menyatakan bahwa totemisme, atau
pemujaan terhadap hewan dan tumbuhan, merupakan bentuk agama yang paling primitif
yang dikenal oleh manusia. Durkheim berargumen bahwa gagasan mengenai hal-hal
yang sifatnya sacred dan profane pasti diawali dari sesuatu yang wujudnya benar-benar
empiris — nyata — bagi masyarakat tradisional, yaitu hewan dan tumbuhan, bukan
fenomena alam (naturisme) maupun roh leluhur (animisme).
Menurut Durkheim, suku-suku dengan sistem kepercayaan totemisme memiliki
ikatan persaudaraan yang unik. Alih-alih diikat oleh hubungan darah, mereka justru
diikat oleh kesamaan nama atau “totem”. Totem ini sendiri umumnya mengambil bentuk
dari spesies binatang, atau tumbuhan tertentu. Totem-totem ini diukir, ditulis, dan
bahkan digambar di bagian tubuh para penganut totemisme. Menurut Durkheim,
tindakan mengukir, menulis, dan menggambar totem-totem tersebut merupakan upaya
untuk mengubah sesuatu yang sifatnya profane (kayu, batu, dan anggota tubuh) menjadi
sacred — mengubah sesuatu yang tidak suci menjadi suci.
Lebih lanjut, Durkheim menjelaskan bahwa alih-alih menyimbolkan Tuhan, atau
keberadaan lain yang sifatnya supernatural, totem merupakan simbol dari suku, atau klan
yang bersangkutan. Berangkat dari argumen tersebut, Durkheim menyatakan bahwa
“God is nothing more than society apostheosized,” atau dengan kata lain, Tuhan adalah

7
Ritzer, George, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003)
masyarakat. Untuk mendukung argumennya, Durkheim menyatakan bahwa Tuhan dan
masyarakat memiliki empat kesamaan utama yaitu: 1) Keduanya merupakan keberadaan
yang lebih besar daripada individu; 2) Keduanya ditakuti oleh individu; 3) Keduanya
tidak dapat hadir tanpa adanya kesadaran individual; dan 4) Keduanya menuntut
individu untuk mengorbankan sesuatu secara berkala.8

C. Latar Belakang Pemikiran

Ada beberapa sumber penting yang menjadi latar belakang yang menentukan jalan
pikiran Durkheim, antara lain :

Yang pertama yaitu pendekatan-pendekatan Sosiologi yang digunakan Durkheim


dipengaruhi oleh Auguste Comte (1798-1857). Selain Comte, Durkheim juga dipengaruhi
dan mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint Simon, Ernets Renan dan gurunya sendiri
Fustel de Coulanges. Selain itu, situasi dan kondisi Perancis modern yang mengalami
revolusi9 besar pada akhir tahun 1800-an juga ikut memberikan pengaruh tersendiri bagi
perkembangan pemikiran Durkheim.10 Durkheim sebenarnya seorang murid yang ragu-ragu
terhadap pemikiran Comte. Namun sebagai seorang murid, Durkheim tetap setia pada ajaran
Comte yang merupakan perintis teori positivism Perancis dan juga sekaligus sebagai
pencipta istilah “Sosiologi”. Pengaruh Comte, pada pemikiran-pemikiran Durkheim,
diantaranya yang tampak pada pola “reorganisasi masyarakat” yang dikemukakan oleh
Comte yang kemudian disempurnakan oleh Durkheim. Durkheim melihat konsep Comte
cenderung bersifat “spekulatif” dan “pragmatis”. Durkheim berusaha membenahi
kelemahan-kelemahan pemikiran Comte tersebut dengan berusaha tetap menjaga tujuan
umum yang dikehendaki oleh Comte.

Yang kedua, Durkheim mempunyai pandangan bahwa fakta social jauh lebih
fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Tetapi individu sering disalah pahamkan
ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya dan dikesampingkan atau tidak
diperhatiakn dengan teliti. Menurut Durkheim adalah sia-sia belaka apabila menganggap
mampu memahami apa sebenarnya individu itu hanya dengan mempertimbangkan factor
8
Ritzer, George, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003)
9
KJ. Veeger, Realitas Sosial, (Penerbit : Gramedia Jakarta 1993)
10
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996)
biologis, psikologis atau kepentingan pribadinya. Seharusnya individu dijelaskan melalui
masyarakat Dan masyarakat dijelaskan dalam konteks sosialnya.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel L. Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996

Faza Maula Azif, Layak Tidaknya Seorang yang tidak Beragama Hidup di Negeri dengan Dasar
Falsafah Pancasila, (Karya Ilmiah Mahasiswa S1-Teknik Informatika).

Fuad Ardlin, Waktu Sosial Emile Durkheim, (Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2013)

Sigit Jatmiko, 2003, Teori-teori Sosial: Observasi Kritik Terhadap Para Filosof Terkemuka,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

Ritzer, George, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell,


2003)

Keirns, Nathan., Strayer, Eric., Griffiths, Heather., dkk, Introduction to Sociology, (Houston:
Openstax College, 2012)

KJ. Veeger, Realitas Sosial, (Penerbit : Gramedia Jakarta 1993)

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996)

Anda mungkin juga menyukai