Anda di halaman 1dari 2

Nama : Rayhan Rery Gymnastiar Putra

NIM : 11211110000133

Orientasi Teoritis dan Paradigma Antropologi


Kata Kunci: Teori, Paradigma, Antropologi

Antropologi memiliki ragam teori, pandangan dan juga pendekatan untuk bisa membahas suatu kasus,
baik untuk pemecahan permasalahan maupun solusi atau jalan keluar dari permasalahan tersebut. Pendekatan
di dalam Antropologi biasa disebut dengan Orientasi Teoritis. Dalam arti yang singkat, Orientasi Teoritis ini
merupakan cara seleksi, konseptualisasi dan penataan data dalam menanggapi jenis pertanyaan atau
permasalahan tertentu1. Konsep ini mencakup hal yang luas, hal-hal tersebut berupa teori, metode dan juga
teknik dalam penelitian. Di dalam melakukan penelitian berbagai Langkah dan ilmu-ilmu alam yang dianggap
dapat digunakan juga untuk mempelajari, memahami dan juga dapat menjelaskan sebab-sebab sosial maupun
budaya2.
Orientasi teoritis ini diantaranya, Evolusionisme. Teori ini berkembang oleh salah satu tokoh yaitu E.B.
Tylor. Ia berpendapat tentang perkembangan kebudayaan manusia dari hal mendasar atau sederhana smapai
dengan hal yang kompleks, memiliki 3 tahap utama perkembangan. Yang pertama ada tahap keliaran
(savagery), kebiadaban (barbarism) dan peradaban (civilization). Kelemahan dari teori ini cenderung bersifat
spekulatif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris ataupun tidak bisa dibuktikan secara nyata bahwa fakta itu
ada dan hanya mengandalkan data pihak kedua.
Yang kedua Sejarah atau Historis, orang pertama yang menemukan teori ini dan menolak secara tegas
teori Evolusionisme karena cenderung spekulatif dan tidak dapat dibuktikan secara jelas, orang tersebut
Bernama Franz Boas. Ia berpandangan jika ciri-ciri kebudayaan hanya perlu dipelajari kepada sebagian
masyarakat yang memiliki kriteria tertentu. Ia juga berpendapat bahwa semua budaya dibentuk dengan
berbagai macam ciri (traits) yang rumit dan hasil akibat dari kondisi lingkungan setempat, faktor psikologis
masing-masing manusia dalam kebudayaan dan juga kaitan historis antar budaya. Semua sejarah yang telah
terjadi ialah sejarah kontemporer, berarti kejadian-kejadian yang telah berlalu ini tidak peduli mau dari
pengalaman hidup seseorang maupun hanya sekedar catatan pun tidak mengapa, dari pemikiran akan hal itu
penafsirannya dapat disaring oleh penulis melalui pikirannya untuk bisa digambarkan secara jelas dantentunya
melalui originalitas penulis. Yang ketiga yaitu Fungsionalisme, teori ini lebih mejelaskan bagaimana
masyarakat secara umum. Mencakup hal fungsi dari aspek-aspek konstituennya yang berlaku terutama pada
aspek norma, adat, tradisi dan juga intitusi yang berlaku 3. Teori ini harus berkaitan dengan aspek-aspek yang
disebutkan, karena ketika salah satu aspek tidak berjalan dengan baik maka kondisi yang tidak memungkinkan
akan terjadi dan terganggunya fungsi struktur. Banyak argumen yang mengatakan jika teori fungsionalisme ini
selalu mempermasalahkan teori evolusionisme karena terkaan-terkaan atau secara singkat nya berargumen
dengan tidak adanya landasan fakta yang berlaku pada penerapan teori.
Yang keempat yaitu Ekologi Budaya, teori pendekatan ini pada hakikatnya masuk pada metodologis
yang perhatian utamanya diketahui sebagai kelompok evolusionis-budaya. Walaupun memang adanya dasar
bagi dua teori pendekatan itu bisa sama, namun yang pasti kaitan itu bersifat tersirat dan hamper tidak ada.
Teori pendekatan ini juga tidak menggunakan kerangka pemikiran evolusioner secara jelas. Ciri dalam Teori
pendekatan Ekologi Budaya ini dibagi menjadi 2 lapisan, lapisan pertama berfokus pada cara atau sistem yang
diterapkan pada lingkungan totalnya sementara lapisan kedua lebih berfokus pada konsekuensi atau akibat dari
adaptasi sitemik dan memberikan perhatian terhadap cara atau sistem banyak institusi dalam penerapan
budaya atau saling menyesuaikan diri. Adanya teori pendekatan Ekologi Budaya bermula dari penelitian
manusia yang mampu menyamaratakan diri ataupun menjatuhkan lingkungannya dengan cara-cara yang tidak
terduga.

1
Kaplan and Manners 1999: hlm 46-47
2
Ahimsa Putra, 1977
3
Agung Tri Haryanta dan Eko Sujatmiko, Kamus sosiologi, hlm 71
Inti dari teori pendekatan ini tidak hanya membicarakan tentang kaitannya manusia dengan budaya saja,
namun juga cara dan sistem yang baik maupun manipulatif untuk bisa ada dalam suatu lingkungan.
Orientasi Teoritis tentunya berbeda dengan Paradigma, secara singkat Orientasi Teoritis merupakan
pernyataan yang telah diuji coba secara mendalam dan tentunya ketika terdapat fakta yang sudah diuji,
masyarakat dapat menerima dan menggunakannya untuk penelitian selanjutnya. Sementara Paradigma sendiri
merupakan asumsi atau cara melihat realitas atau fakta yang ada namun tidak dibarengi dengan uji coba yang
medalam dan penelitian yang lebih detail namun sebagian ada yang menerima ada yang tidak menerima
tergantung dari masing-masing diri individu maupun kelompok. Selain itu pula ada beberapa klasifikasi atau ciri
tentang dua hal itu. Paradigma memiliki asumsi dasar, model (contoh penerapan), masalah penelitian yang
akan diteliti dan juga konsep yang medasari penelitian. Sementara Orientasi Teoritis memiliki Dasar Teori,
Penelitian mendalam dan juga hasil yang bisa dibuktikan kevalidannya.
Orientasi Teoritis memiliki 4 pendekatan yang sudah disebutkan diawal, diantaranya Evolusionisme,
Fungsionalisme, Historis dan juga Ekologi Budaya 4. Sementara Paradigma ada 15 diantaranya, Paradigma
Evolusionisme, Paradigma Diffusionisme, Paradigma Partikularisme Historis, Paradigma Fungsionalisme,
Paradigma Analisis Variabel, Paradigma Cross-Cultural (budaya yang bersebrangan), Paradigma Kepribadian
dan Kebudayaan, Paradigma Strukturalisme, Paradigma Tafsir Kebudayaan, Paradigma Materialisme Budaya,
Paradigma Paradigme Materialisme Historis, Paradigma Etnosains, Paradigma Konstruksionisme
(Fenomenologi), Paradigma Actor-Oriented (Penerapan Peran), dan yang terakhir Paradigma Post Modernisme.
Persamaan dari keduanya berupa adanya pembahasan tentang Evolusi manusia maupun kebudayaan, Historis
atau Sejarah Manusia maupun Kebudayaan dan juga Fungsional tentang Manusia maupun Kebudayaan. Baik
Orientasi Teoritis maupun Paradigma, mereka popular dengan nama masing-masing. Untuk Orientasi Teoritis
sendiri biasa disebut Phonetic sementara Paradigma biasa disebut dengan Phonemic. Secara singkatnya
Phonetic merupakan deskripsi menggunakan pandangan peneliti, contohnya dalam phonetic ini dibagi menjadi
dua bagian yaitu sistem mencakup RT, RW, Karang Taruna dan struktur mencakup aturan berupa tata tertib
warga5. Sementara Phonemic merupakan deskripsi menggunakan pandangan masyarakat, contohnya yaitu
pandangan beberapa orang tentang evolusi manusia seperti teori evolusi manusia oleh Charles Darwin yang
masih diperdebatkan hingga sekarang walaupun peneitian sudah dilakukan.
Review kali ini juga disertakan film berjudul Susah Sinyal yang disutradarai oleh Ernest Prakarsa, film
ini secara umum membahas tentang hubungan orangtua yang bercerai atau single parent dengan anak
perempuannya, orangtuanya yang mencari pelarian dengan selalu bekerja dan sibuk dengan pengembangan
dirinya sementara anaknya diabaikan dan tinggal dengan neneknya. Hingga akhirnya anak perempuannya
ditinggal oleh nenek yang menjadi satu-satunya tempat dia untuk bisa mencurahkan isi hatinya dan keluh
kesahnya. Pendapat saya mengenai film ini menggunakan Orientasi Teoritis berupa Fungsionalisme, karena
dalam film tersebut terjadinya malfungsi dalam keluarga yang tidak utuh. Objek kajian yaitu ada di kedua
karakter (Ibu dan Anak Perempuan), ibunya yang memilih untuk melampiaskan masalahnya pada pekerjaan.
Sementara untuk Paradigmanya sendiri menggunakan Antropologi Psikologi dan Strukturalisme, Antropologi
Psikologi mengekspresikan dari hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, contohnya budaya
peran dalam keluarga dimana di film itu runtuhnya struktur keluarga. Hubungan antara kebudayaan dan
individu, latar atau setting itu bertempat di Sumba. Tidak dijelaskan secara terang-terangan dan hanya
memasukan saja karakter ketika bepergian. Sementara untuk Strukturalisme sendiri strategi penelitian yang
bertujuan untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia seperti Bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan,
di dalam film ini penggunaan Bahasa yang difokuskan. Bukan karena perbedaan Bahasa namun lebih kearah
intonasi dan penekanan ketika ada situasi intens.

4
Kaplan and Manners 1999, hlm 45
5
West & Turner, 2007, hlm 296

Anda mungkin juga menyukai