Anda di halaman 1dari 12

PEMAHAMAN MAKNA HARI RAYA TUMPEK WARIGA

DALAM UPAYA MELESTARIKAN LINGKUNGAN


SESUAI DENGAN KONSEP BRAHMA WIDYA

OLEH :

I Made Dwi Wikananta (1610511056)

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat
dan karunia,kami dapat menyelesaikan makalahI Agama Hindu ini sebatas kemampuan
dan pengetahuan yang saya miliki. Saya juga berterima kasih kepada selaku dosen
mata kuliah Agama Hindu yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan saya mengenai Perkembangan Budaya di Jakarta. Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
jauh dari apa yang saya harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga paper sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya paper yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Brahmavidya adalah pengetahuan tentang Ketuhanan dalam Agama Hindu,


pemahaman tentang Tuhan itu penting dan perlu karena dengan mengenal Tuhan secara
tepat dan baik dapat mengantarkan kepada jalan kesempurnaan sampai kepada moksa.
Didalam penghayatan Brahma Widya memang diketahui memiliki beberapa model
penghayatan atau kepercayaan dalam beragama. Tetapi dibalik semua itu memiliki
tujuan yang sama, yaitu sama-sama memiliki suatu kepercayaan yang diyakini,
disembah, dan dipuja oleh tiap penganutnya sebagai yang Maha Kuasa. Seperti
misalnya didalam agama hindu meyakini tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa
sangkara (dewa kesuburan) yang dipuja dalam upacara tumpek wariga.

Tumpek wariga atau pengatag merupakan salah satu hari raya umat Hindu di
Bali yang diperingati 25 hari sebelum hari raya Galungan yang bertepatan pada hari
saniscara kliwon wuku wariga dalam kalender caka (kalender di bali). Tumpek wariga
merupakan hari dimana umat hindu di bali menghaturkan sesajen kepada tumbuh-
tumbuhan yang ada di bumi sebagai rasa syukur manusia atas segala kelimpahan
makanan dan banyak fungsi dari tumbuh-tumbuhan yang membantu kehidupan
manusia. Karena itu, Tumpek wariga ini mesti dijadikan tonggak untuk memelihara
kelestarian lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan.

Tumpek wariga memiliki makna yaitu dimana kita sebagai manusia harus
saling menjaga hubungan baik dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan sesama
manusia, dan hubungan baik dengan lingkungan (tumbuh-tumbuhan) sesuai dengan
ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab keseimbangan alam semesta). Dengan
dilaksanakannya tumpek wariga ini, manusia setidaknya bisa ingat atas jasa-jasa
tumbuhan kepada manusia, sehingga manusia dapat menjaga lingkungan, dan
sebaliknya lingkungan juga dapat menjaga kita sesuai dengan hukum aksi reaksi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa makna dari upacara tumpek wariga ?

2. Bagaimana hubungan upacara tumpek wariga dalam pelestarian lingkungan


sesuai konsep Brahma Widya ?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui makna dari upacara tumpek wariga.
2. Untuk mengetahui hubungan upacara tumpek wariga dalam pelestarian
lingkungan sesuai dengan konsep Brahma Widya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makna Tumpek Wariga

Tumpek wariga juga sering disebut Tumpek Pengatag, tumpek bubuh ataupun
tumpek uduh, yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Dan dilaksanakan
setiap Saniscara Kliwon wuku Wariga. Sebagai rasa syukur kehadapan Hyang Maha
Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang
Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata
angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara
digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada
konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari manifestasi
Bhatara Siwa. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu
diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia
yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.

Peringatan hari raya Tumpek wariga tentu kita bisa rasakan betapa alam saling
mendukung keberadaan satu sama lain, di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita
berharap hujan akan jatuh dari akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi
bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa
memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk
mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan
sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi
dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan
aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, menanam
pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi
illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini,
diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global
(global warming), terlebih lagi peranan tanaman bagi kehidupan manusia yang tidak
dapat digantikan oleh mahluk lain, sehingga sangat nyata disebut sebagai dewa
kesuburan, karena memberikan penghidupan pada mahluk hidup lainnya.

2.2 Hubungan upacara tumpek wariga dalam pelestarian lingkungan sesuai konsep
Brahma Widya

Perayaan Tumpek Bubuh salah satu komponen penting dalam mengajegkan


konsep Tri Hita Karana. Salah satu unsur penting dalam konsep itu adalah hubungan
harmonis antara manusia dengan lingkungannya dalam kaitan ini hubungan manusia
dengan tumbuh-tumbuhan. Ajaran yang terkandung dalam Tumpek Bubuh ini sangat
luhur. Umat bukan hanya mesti menghargai ciptaan Tuhan, tetapi sekaligus
melestarikan tumbuh-tumbuhan yang telah mensejahterakan kehidupannya, kata tokoh
agama Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.

Upacara Tumpek Pengatag itu merupakan media pembelajaran bagi masyarakat


untuk belajar saling menghormati dan saling menyayangi. Baik sesama manusia
maupun terhadap lingkungan. Kenapa dalam hal ini yang dipakai obyek
penghormatannya adalah tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan telah banyak
berjasa terhadap manusia dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada manusia
untuk memetik daunnya, buahnya bahkan sampai batangnyapun ditebang dia rela.
Tumbuh-tumbuhan memiliki rasa kasihan dan rasa peduli kepada yang lainnya
walaupun dia tidak sekelompok speciesnya namun dia mampu memberi makan dan
menyediakan kebutuhan binatang dan manusia untuk keperluan sehari-harinya seperti
sayur, buah, kayu, rasa aman tempat berteduh dan sebagainya.
Tetapi walaupun demikian tumbuh-tumbuhan tidak pernah memiliki rasa benci,
memfitnah, irihati kepada binatang dan manusia, jika binatang dan manusia ingat
memelihara dan melestarikan dirinya. Tetapi jika manusia hanya meminta dan
menyakiti tumbuh-tumbuhan dan tidak pernah menanam, memelihara, melestarikan
serta tidak pernah peduli padanya maka tumbuh-tumbuhan pun bisa mencelakakan
manusia sehingga terjadi bencana seperti : banjir, tanah longsor, gempa, angin ribut
yang mana semuanya akan membuat manusia dan hewan menjadi celaka dan sengsara.

Warisan budaya untuk melestarikan lingkungan seperti contoh setiap ada kayu
besar di Bali kebanyakan diisi saput poleng yang disakralkan oleh umat Hindu untuk
dijadikan tempat pemujaan yang dilestarikan secara rohani dengan jalan setiap hari
menghaturkan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu bahwa disana diyakini ada
sesuatu yang bisa membuat kita celaka kalau kita lewat seperti : jin, tonya,
banaspatiraja dan sebagainya agar manusia itu tidak diganggu dalam kehidupannya
sehingga menjadi jagadhita dalam hidupnya. Tetapi jika kita pandang dari segi ilmu
bahwa pohon-pohon yang besar dapat berfungsi menghatur terjadinya sirkulasi air
dimana air laut dipanaskan oleh matahari akan menguap, kemudian dari uap akan
berubah menjadi embun, embun didaerah lembab akan menjadi hujan, air hujan ditahan
oleh akar-akar pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai menuju
sumbernya (muaranya) lagi yaitu laut.

Maka melalui hari raya Tumpek Pengatag atau Uduh ini manusia pada
umumnya dan umat Hindu pada khususnya mulai belajar untuk bisa menanam,
memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali. Kita
sebagai manusia yang disebut insan Tuhan yang paling sempurna yang memiliki
pikiran, janganlah kita selalu saling memfitnah, menghina dan saling menyalahkan
orang lain, dan kita sendiri harus sadar bahwa yang lewat itu adalah dipakai guru yang
paling berharga untuk belajar menuju yang lebih baik dan sejahtera. Tumpek Uduh
dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan adalah pedoman bagi manusia pada umumnya
dan umat Hindu pada khususnya agar tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan
lingkungannya dengan jalan saling menghormati, saling menyayangi, saling
memelihara, dan saling membantu serta saling menolong diantara semua insan ciptaan
Tuhan.

Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali
menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti
pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali
tampak secara signifikan. Dengan membuat sarana upakara (Banten) tersebut dengan
mengucapkan mantra itu, diharapkan tanaman yang berbunga akan berbunga lebat,
yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun bunga tersebut akan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya saat hari-rari raya agama hindu..
Dengan penuh rasa syukur agar ada tanaman buah yang berbuah sehingga bisa dipetik
untuk sarana upakara saat perayaan hari raya Galungan.

Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh adalah hari turunnya Sanghyang


Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-
pohonan). Beliau memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan
terhindar dari hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah,
melebihi dari yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan. Kutipan
monolog di atas seakan melukiskan harapan umat (Hindu) kepada Ida Bhatara
Sangkara selaku manifestasi Ida Sanghyang Widi Wasa sebagai penguasa tumbuhan-
tumbuhan agar melimpahkan karunia-Nya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan
hanya saat menjelang Galungan namun selamanya. Misalnya, agar pepohonan tumbuh
subur, berdaun, berbunga atau berbuah lebat (nged). Membaca apa yang disampaikan
diatas , akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan
menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan
menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan
begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi
sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih
berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah
menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali tak perlu
lagi dibuatkan tradisi baru "Hari atau Bulan Menanam Pohon".

Kita harus sadar bahwa sumber energy yang kita miliki untuk melakukan
rutinitas seharian kita berasal dari alam.

Annaad bhavanti bhuutaani. Prajnyaad annasambhavad.

Yadnyad bhavati parjany, Yadnyah karma samudbhavad.

(Bhagavad Gita.III.14)

Artinya:

Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan.


Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah
karma.

Tanpa tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan


hidupnya, karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan.
Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk
hidup ini. Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan
berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara
berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita
melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek
Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian
tumbuh-tumbuhan Bali.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dengan memahami hari raya tumpek wariga dapat mewujudkan bakti kita terhadap
tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa Sangkara (bagian dari Tri Hita Karana yaitu
hubungan antara Tuhan dan manusia) dan mewujudkan rasa cinta terhadap
alam/lingkungan sehingga menjadi lestari (bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan
antara manusia dengan lingkungan.

3.2 SARAN

Sebagai manusia yang beragama Hindu hendaknya kita paham dan melaksanakan
upacara tumpek wariga sehingga dapat mencegah dari adanya bencana alam seperti
banjir dan tanah longsor.
DAFTAR PUSATAKA

Anda mungkin juga menyukai