OLEH :
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat
dan karunia,kami dapat menyelesaikan makalahI Agama Hindu ini sebatas kemampuan
dan pengetahuan yang saya miliki. Saya juga berterima kasih kepada selaku dosen
mata kuliah Agama Hindu yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan saya mengenai Perkembangan Budaya di Jakarta. Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
jauh dari apa yang saya harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga paper sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya paper yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Tumpek wariga atau pengatag merupakan salah satu hari raya umat Hindu di
Bali yang diperingati 25 hari sebelum hari raya Galungan yang bertepatan pada hari
saniscara kliwon wuku wariga dalam kalender caka (kalender di bali). Tumpek wariga
merupakan hari dimana umat hindu di bali menghaturkan sesajen kepada tumbuh-
tumbuhan yang ada di bumi sebagai rasa syukur manusia atas segala kelimpahan
makanan dan banyak fungsi dari tumbuh-tumbuhan yang membantu kehidupan
manusia. Karena itu, Tumpek wariga ini mesti dijadikan tonggak untuk memelihara
kelestarian lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan.
Tumpek wariga memiliki makna yaitu dimana kita sebagai manusia harus
saling menjaga hubungan baik dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan sesama
manusia, dan hubungan baik dengan lingkungan (tumbuh-tumbuhan) sesuai dengan
ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab keseimbangan alam semesta). Dengan
dilaksanakannya tumpek wariga ini, manusia setidaknya bisa ingat atas jasa-jasa
tumbuhan kepada manusia, sehingga manusia dapat menjaga lingkungan, dan
sebaliknya lingkungan juga dapat menjaga kita sesuai dengan hukum aksi reaksi.
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui makna dari upacara tumpek wariga.
2. Untuk mengetahui hubungan upacara tumpek wariga dalam pelestarian
lingkungan sesuai dengan konsep Brahma Widya.
BAB II
PEMBAHASAN
Tumpek wariga juga sering disebut Tumpek Pengatag, tumpek bubuh ataupun
tumpek uduh, yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Dan dilaksanakan
setiap Saniscara Kliwon wuku Wariga. Sebagai rasa syukur kehadapan Hyang Maha
Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang
Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata
angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara
digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada
konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari manifestasi
Bhatara Siwa. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu
diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia
yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.
Peringatan hari raya Tumpek wariga tentu kita bisa rasakan betapa alam saling
mendukung keberadaan satu sama lain, di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita
berharap hujan akan jatuh dari akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi
bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa
memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk
mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan
sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi
dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan
aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, menanam
pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi
illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini,
diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global
(global warming), terlebih lagi peranan tanaman bagi kehidupan manusia yang tidak
dapat digantikan oleh mahluk lain, sehingga sangat nyata disebut sebagai dewa
kesuburan, karena memberikan penghidupan pada mahluk hidup lainnya.
2.2 Hubungan upacara tumpek wariga dalam pelestarian lingkungan sesuai konsep
Brahma Widya
Warisan budaya untuk melestarikan lingkungan seperti contoh setiap ada kayu
besar di Bali kebanyakan diisi saput poleng yang disakralkan oleh umat Hindu untuk
dijadikan tempat pemujaan yang dilestarikan secara rohani dengan jalan setiap hari
menghaturkan sesajen menurut kepercayaan agama Hindu bahwa disana diyakini ada
sesuatu yang bisa membuat kita celaka kalau kita lewat seperti : jin, tonya,
banaspatiraja dan sebagainya agar manusia itu tidak diganggu dalam kehidupannya
sehingga menjadi jagadhita dalam hidupnya. Tetapi jika kita pandang dari segi ilmu
bahwa pohon-pohon yang besar dapat berfungsi menghatur terjadinya sirkulasi air
dimana air laut dipanaskan oleh matahari akan menguap, kemudian dari uap akan
berubah menjadi embun, embun didaerah lembab akan menjadi hujan, air hujan ditahan
oleh akar-akar pohon kemudian dialirkan perlahan-lahan melalui sungai menuju
sumbernya (muaranya) lagi yaitu laut.
Maka melalui hari raya Tumpek Pengatag atau Uduh ini manusia pada
umumnya dan umat Hindu pada khususnya mulai belajar untuk bisa menanam,
memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali. Kita
sebagai manusia yang disebut insan Tuhan yang paling sempurna yang memiliki
pikiran, janganlah kita selalu saling memfitnah, menghina dan saling menyalahkan
orang lain, dan kita sendiri harus sadar bahwa yang lewat itu adalah dipakai guru yang
paling berharga untuk belajar menuju yang lebih baik dan sejahtera. Tumpek Uduh
dipakai objek adalah tumbuh-tumbuhan adalah pedoman bagi manusia pada umumnya
dan umat Hindu pada khususnya agar tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan
lingkungannya dengan jalan saling menghormati, saling menyayangi, saling
memelihara, dan saling membantu serta saling menolong diantara semua insan ciptaan
Tuhan.
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali
menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti
pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali
tampak secara signifikan. Dengan membuat sarana upakara (Banten) tersebut dengan
mengucapkan mantra itu, diharapkan tanaman yang berbunga akan berbunga lebat,
yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun bunga tersebut akan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya saat hari-rari raya agama hindu..
Dengan penuh rasa syukur agar ada tanaman buah yang berbuah sehingga bisa dipetik
untuk sarana upakara saat perayaan hari raya Galungan.
Kita harus sadar bahwa sumber energy yang kita miliki untuk melakukan
rutinitas seharian kita berasal dari alam.
(Bhagavad Gita.III.14)
Artinya:
3.1 KESIMPULAN
Dengan memahami hari raya tumpek wariga dapat mewujudkan bakti kita terhadap
tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa Sangkara (bagian dari Tri Hita Karana yaitu
hubungan antara Tuhan dan manusia) dan mewujudkan rasa cinta terhadap
alam/lingkungan sehingga menjadi lestari (bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan
antara manusia dengan lingkungan.
3.2 SARAN
Sebagai manusia yang beragama Hindu hendaknya kita paham dan melaksanakan
upacara tumpek wariga sehingga dapat mencegah dari adanya bencana alam seperti
banjir dan tanah longsor.
DAFTAR PUSATAKA