Anda di halaman 1dari 25

Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian.

Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak mesir kuno.

JENIS-JENIS IRIGASI Irigasi Permukaan Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Di sini dikenal saluran primer, sekunder, dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu. Irigasi Lokal Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal. Irigasi dengan Penyemprotan Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.

Irigasi Tradisional dengan Ember Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember. Irigasi Pompa Air Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudian dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah. Fungsi Irigasi Memasok kebutuhan air tanaman

menjamin ketersediaan air apabila terjadi betatan menurunkan suhu tanah mengurangi kerusakan akibat frost melunakkan lapis keras pada saat pengolahan tanah

Tujuan Irigasi Irigasi bertujuan untuk membantu para petani dalam mengolah lahan pertaniannya, terutama bagi para petani di pedesaan yang sering kekurangan air. 1. 2. 3. 4. Meningkatkan Produksi Pangan terutama beras Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan air irigasi Meningkatkan intensitas tanam buah,sayuran dan palawija Meningkatkan dan memberdayakan masyarakat desa dalam pembangunan jaringan irigasi perdesaan.

Manfaat Irigasi Untuk membasahi tanah, yaitu pembasahan tanah pada daerah yang curah hujannya kurang atau tidak menentu.

Untuk mengatur pembas ahan tanah, agar daerah pertanian dapat diairi sepanjang waktu pada saat dibutuhkan, baik pada musim kemarau maupun musim penghujan.

Untuk menyuburkan tanah,dengan mengalirkan air yang mengandung lumpur dan zat-zat hara penyubur tanaman pada daerah pertanian tersebut, sehingga tanah menjadi subur.

Untuk kolmatase, yaitu meninggikan tanah yang rendah / rawa dengan pengendapan lumpur yang dikandung oleh air irigasi Untuk penggelontoran air , yaitu dengan mengunakan air irigasi,maka kotoran / pencemaran / limbah / sampah yang terkandung di permukaan tanah dapat digelontor ketempat yang telah disediakan (saluran drainase) untuk diproses penjernihan secara teknis atau alamiah.

Pada daerah dingin,dengan mengalirkan air yang suhunya lebih tinggi dari pada tanah,sehingga dimungkinkan untuk mengadakan proses pertanian pada musim tersebut

Kelebihan Irigasi

Mengatasi kekurangan pangan Meningkatkan produksi dan nilai jual hasil tanaman. Peningkatan kesejahteraan masyarakat PembangkitTenagaListrik Efekterhadapkesehatan Supply Air Baku Peningkatan Komunikasi / Transportasi Transportasi Air ( inland navigation)

Gambar 1.1 Sistem Pengairan Irigasi Irigasi Mesir Kuno dan Tradisional Nusantara Sejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia, irigasi tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.

Gambar 1.2 Fungsi Irigasi Zaman Dulu

Sistem Irigasi Zaman Hindia Belanda Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksatersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya. Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya.

Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat dan Pengalaman TVA 1933 di Amerika Serikat Tennessee Valley Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama dibangun di dunia [2]. Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika Serikat. Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi, sehingga di kemudian hari, Proyek TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu, Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS tersebut. Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3/tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.

Sedangkan menurut Sudar D. Atmano (2007), dalam pasal 4, ayat (2), pada PP No. 20/2006 bahwa pembangunan dan pengelolaan keirigasian diselenggarakan dengan sistem irigasi partisipatif. Begitu pula seharusnya dalam mengembangkan kebijakan dalam pembagian peran dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi, juga perlu konsisten dan mempunyai landasan komitmen untuk mengembangkan pembagian peran yang partisipatif pula. Aspek kesejarahan irigasi di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 adalah sebagai berikut: 1. Era Pra-Kolonial Dalam pembangunan keirigasian di Indonesia, era pra-kolonial ditandai dengan wujud kegiatan keirigasian ditandai kuatnya kearifan lokal yang sangat tinggi. Teknologi dan kelembagaan lokal sangat menentukan keberadaan sistem irigasi saat itu. Sistem irigasi yang ada umumnya mempunyai skala luasan areal yang kecil dan terbatas. Sehingga pada era pra-kolonial ini sangat menaruh perhatian pada kapital sosial dari masyarakat sendiri. 2. Era Kolonial Pada era kolonoial ini, pembangunan keirigasian sudah mulai diintervensi oleh kepentingan pemerintah kolonial. Pembangunan dan pengelolaan irigasi yang sebelumnya banyak dikelola oleh masyarakat, sebagian telah diasimilasikan dengan pengelolaan melalui birokrasi pemerintah. Teknologi yang digunakan dan kelembagaan pengelola juga sudah dikombinasikan antara kemampuan masyarakat lokal dengan teknologi dan kelembagaan yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Akibatnya manajemen pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi merupakan kombinasi antara potensi kapital sosial yang ada di masyarakat dengan kemampuan birokrasi pemerintah kolonial. 3. Era Revolosi/Pasca Kolononial Pada era ini kegiatan keirigasian tidak banyak dilakukan, karena pemerintahan waktu itu masih memprioritaskan pembangunan politik yang diwarnai terjadinya polarisasi kekuatan politik internasional pasca perang duniake-2, serta suasana konfrontasi dengan negara tetangga waktu itu (Dawam Rahardo, 1989). Sehingga kondisi peran kapital sosial dalam pemabngunan dan pengelolaan irigasi secara eksisting tidak banyak berbeda dengan era kolonial. 4. Era Orde Baru. Era Orde Baru oleh sebagian pengamat disebut sebagai kebangkitan rezim pemerintah. Pada era ini ditandai dengana kebangkitan peran pemerintah dalam memperkuat sektor pangan nasional. Sehingga aspek pembangunan dan rehabilitasi besar-besaran di bidang irigasi, banyak

dilakukan oleh pemerintah. Pada era ini, pemerintah berhasil menggantikan undang-undang pengairan versi pemerintah Kolonial, menjadi UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Akibat sangat kuatnya orientasi pemerintah untuk meraih swa-swmbada pangan/beras, maka kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi banyak dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan tersebut berakibat pada ditinggalkannya kapital sosial masyarakat lokal dalam keirigasian, dan bahkan banyak terjadi marjinalisasi kapital sosial masyarakat. Pendekatan tersebut membawa konsekuensi ketidak jelasan peran masyarakat dalam keirigasian, yang akibat selanjutnya menjadi masyarakat lokal yang pasif. 5. Era Pasca Orde Baru/Reformasi. Era ini lahir sebagai respons masyarakat terhadap sistem pembangunan dan pendekatan pembangunan yang totaliter dan sentralistis. Sehingga masyarakat menuntut adanya reformasi pelaksanaan dan pendekatan pembangunan, termasuk melakukan regulasi ulang dalam berbagai sektor pembangunan. Dalam era ini lahir UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dan PP No. 20/2006 tentang Irigasi. Seharusnya pada era ini tidak mengulang pendekatan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada era Orde Baru, dimana pemerintah sangat mendominasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada era ini perlu dibangun suatu system dan mekanisme pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang memberi peran yang lebih nyata kepada masyarakat. Era ini perlu dijadikan era kebangkitan kapital sosial masyarakat dalam sistem keirigasian Indonesia pada saat sekarang dan kedepan. Sistem-sistem Irigasi Di Indonesia Menurut Sudjarwadi (1990), ditinjau dari proses penyediaan, pemberian, pengelolaan dan pengaturan air, sistem irigasi dapat dikelompokkan menjadi 4 adalah sebagai berikut : 1. Sistem Irigasi Permukaan (Surface Irrigation System) Irigasi permukaan merupakan metode pemberian air yang paling awal dikembangkan. Irigasi permukaan merupakan irigasi yang terluas cakupannya di seluruh dunia terutama di Asia. Sistem irigasi permukaan terjadi dengan menyebarkan air ke permukaan tanah dan membiarkan air meresap (infiltrasi) ke dalam tanah. Air dibawa dari sumber ke lahan melalui saluran terbuka baik dengan atau lining maupun melalui pipa dengan head rendah. Investasi yang diperlukan untuk mengembangkan irigasi permukan relatif lebih kecil daripada irigasi curah maupun tetes kecuali bila diperlukan pembentukan lahan, seperti untuk membuat teras (Soemarto, 1999).

Sistem irigasi permukaan (Surface irrigation), khususnya irigasi alur (Furrow irrigation) banyak dipakai untuk tanaman palawija, karena penggunaan air oleh tanaman lebih efektif. Sistem irigasi alur adalah pemberian air di atas lahan melalui alur, alur kecil atau melalui selang atau pipa kecil dan megalirkannya sepanjang alur daalam lahan (Michael,1978). Untuk menyusun suatu rancangan irigasi harus diadakan terlkebih dahulu survei mengenai kondisi daerah yang bersangkutanserta penjelasannya, penyelidikan jenis-jenis tanah pertanian, bagi bagian-bagian yang akan diirigasi dan lain-lain untuk menentukan cara irigasi dan kebutuhan air tanamannya (Suyono dan Takeda, 1993). Suatu daerah irigasi permukaan terdiri dari susunan tanah yang akan diairi secara teratur dan terdiri dari susunan jaringan saluran air dan bangunan lain untuk mengatur pembagian, pemberian, penyaluran, dan pembuangan kelebihan air. Dari sumbernya, air disalurkan melalui saluran primer lalu dibagi-bagikan ke saluran sekunder dan tersier dengan perantaraan bangunan bagi dan atau sadap terser ke petak sawah dalam satuan petak tersier. Petak tersier merupakan petak-petak pengairan/pengambilan dari saluran irigasi yang terdiri dari gabungan petak sawah. Bentuk dan luas masing-masing petak tersier tergantung pada topografi dan kondisi lahan akan tetapi diusahakan tidak terlalu banyak berbeda. Apabila terlalu besar akan menyulitkan pembagian air tetapi apabila terlalu kecil akan membutuhkan bangunan sadap. Ukuran petak tersier diantaranya adalah, di tanah datar : 200-300 ha, di tanah agak miring : 100-200 ha dan di tanah perbukitan : 50-100 ha (Anonim, 2007). Terdapat beberapa keuntungsn menggunakan irigasi furrow. Keuntungannya sesuai untuk semua kondisi lahan, besarnya air yang mengalir dalam lahan akan meresap ke dalam tanah untuk dipergunakan oleh tanaman secara efektif, efisien pemakaian air lebih besar dibandingkan dengan sistem irigasi genangan (basin) dan irigasi galengan (border) (Michael,1978). Untuk menyusun suatu rancangan irigasi terlebih dahulu dilakukan survey mengenai kondisi daerah yang bersangkutan serta penjelasannya, penyelidikan jenis-jenis tanaman pertaniannya, bagian-bagian yang diairi dan lain-lain untuk menentukan cara irigasi dan kebutuhan air tanamannya (Sosrodarsono dan Takeda, 1987). Sistem irigasi permukaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peluapan dan penggenangan bebas (tanpa kendali) serta peluapan penggenangan secara terkendali. Sistem irigasi permukaan yang paling sederhana adalah peluapan bebas dan penggenangan. Dalam hal. ini air diberikan pada areal irigasi dengan jalan peluapan untuk menggenangi kiri atau kanan

sungai yang mempunyai permukaan datar. Sebagai contoh adalah sistem irigasi kuno di Mesir. Sistem ini mempunyai efisiensi yang rendah karena penggunaan air tidak terkontrol. Gambar dibawah ini memberi ilustrasi mengenai sistem irigasi dengan peluapandan penggenangan bebas. Sistem irigasi permukaan lainnya adalah peluapan dan penggenangan secara terkendali. Cara yang umum digunakan dalam hal ini adalah dengan menggunakan bangunan penangkap, saluran pembagi saluran pemberi, dan peluapan ke dalam petakpetak lahan beririgasi. Jenis bangunan penangkap bermacam-macam, diantaranya adalah (1) bendung, (2) intake, dan (3) stasiun pompa. 2. Sistem Irigasi Bawah Permukaan (Sub Surface Irrigation System) Sistem irigasi bawah permukaan dapat dilakukan dengan meresapkan air ke dalam tanah di bawah zona perakaran melalui sistem saluran terbuka ataupun dengan menggunakan pipa porus. Lengas tanah digerakkan oleh gaya kapiler menuju zona perakaran dan selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman. Gambar dibawah ini memberikan ilustrasi mengenai sistem irigasi bawah permukaan. 3. Sistem irigasi dengan pancaran (sprinkle irrigation) Irigasi curah atau siraman (sprinkle) menggunakan tekanan untuk membentuk tetesan air yang mirip hujan ke permukaan lahan pertanian. Disamping untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Sistem ini dapat pula digunakan untuk mencegah pembekuan, mengurangi erosi angin, memberikan pupuk dan lain-lain. Pada irigasi curah air dialirkan dari sumber melalui jaringan pipa yang disebut mainline dan sub-mainlen dan ke beberapa lateral yang masing-masing mempunyai beberapa mata pencurah (sprinkler) (Prastowo, 1995). Sistem irigasi curah dibagi menjadi dua yaitu set system (alat pencurah memiliki posisi yang tepat),serta continius system (alat pencurah dapat dipindah-pindahkan). Pada set system termasuk ; hand move, wheel line lateral, perforated pipe, sprinkle untuk tanaman buah-buahan dan gun sprinkle. Sprinkle jenis ini ada yang dipindahkan secara periodic dan ada yang disebut fixed system atau tetap (main line lateral dan nozel tetap tidak dipindah-pindahkan). Yang termasuk continius move system adalah center pivot, linear moving lateral dan traveling sprinkle (Keller dan Bliesner, 1990).

Menurut Hansen et. Al (1992) menyebutkan ada tiga jenis penyiraman yang umum digunakan yaitu nozel tetap yang dipasang pada pipa, pipa yang dilubangi (perforated sprinkle) dan penyiraman berputar. Sesuai dengan kapasitas dan luas lahan yang diairi serta kondisi topografi, tata letak system irigasi curah dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: a. b. c. Farm system, system dirancang untuk suatu luas lahan dan merupakan satu-satunya fasilitas pemberian air irigasi Field system, system dirancang untuk dipasang di beberapa laha pertanian dan biasanya dipergunakan untuk pemberian air pendahuluan pada letak persemaian, Incomplete farm system, system dirancang untuk dapat diubah dari farm system menjadi fiekd system atau sebaliknya. Berapa kelebihan sistem irigasi curah dibanding desain konvensional atau irigasi gravitasi antara lain : a. b. c. Sesuai untuk daerah-daerah dengan keadaan topografi yang kurang teratur dan profil tanah yang relative dangkal. Tidak memerlukan jaringan saluran sehingga secara tidak langsung akan menambah luas lahan produktif serta terhindar dari gulma air Sesuai untuk lahan berlereng tampa menimbulkan masalah erosi yang dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah. Sedangkan kelemahan sistem irigasi curah menurut Bustomi (1999), adalah: a. b. Memerlukan biaya investasi dan operasional yang cukup tinggi, antara lain untuk operasi pompa air dan tenaga pelaksana yang terampil. Memerlukan rancangan dan tata letak yang cukup teliti untuk memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi Menurut Keller (1990) efisiensi irigasi curah dapat diukur berdasarkan keseragaman penyebaran air dari sprinkle. Apabila penyebaran air tidak seragam maka dikatakan efisiensi irigasi curah rendah. Parameter yang umum digunakan untuk mengevaluasi keseragaman penyebaran air adalah coefficient of uniformity (CU). Efisiensi irigasi curah yang tergolong tinggi adalah bila nilai CU lebih besar dari 85%. Berdasarkan penyusunan alat penyemprot, irigasi curah dapat dibedakan ; (1) system berputar (rotaring hed system) terdiri dari satu atau dua buah nozzle miring yang berputar dengan sumbu vertical akibat adanya gerakan memukul dari alat pemukul (hammer blade). Sprinkle ini

umumnya disambung dengan suatu pipa peninggi (riser) berdiameter 25 mm yang disambungkan dengan pipa lateral, (2) system pipa berlubang (perforated pipe system), terdiri dari pipa berlubang-lubang, biasa dirancang untuk tekanan rendah antara 0,5-2,5 kg/cm2 , hingga sumber tekanan cukup diperoleh dari tangkai air yang ditempatkan pada ketinggian tertentu (Prastowo dan Liyantono, 2002). Umumnya komponen irigasi curah terdiri dari (a) pompa dengan tenaga penggerak sebagai sumber tekanan, (b) pipa utama, (c) pipa lateral, (d) pipa peninggi (riser) dan (e) kepala sprinkle (head sprinkle). Sumber tenaga penggerak pompa dapat berupa motor listrik atau motor bakar. Pipa utama adalah pipa yang mengalirkan air ke pipa lateral. Pipa lateral adalah pipa yang mengalirkan air dari pipa utama ke sprinkle. Kepala sprinkle adalah alat/bagian sprinkle yang menyemprotkan air ke tanah (Melvyn, 1983). 4. Sistem irigasi tetes (Drip Irrigation) Irigasi tetes adalah suatu sistem pemberian air melalui pipa/ selang berlubang dengan menggunakan tekanan tertentu, dimana air yang keluar berupa tetesan-tetesan langsung pada daerah perakaran tanaman. Tujuan dari irigasi tetes adalah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman tanpa harus membasahi keseluruhan lahan, sehingga mereduksi kehilangan air akibat penguapan yang berlebihan, pewmakaian air lebih efisien, mengurangi limpasan, serta menekan/mengurangi pertumbuhan gulma (Hansen, 1986) Ciri- ciri irigasi tetes adalah debit air kecil selama periode waktu tertentu, interval (selang)yang sering, atau frekuensi pemberian air yang tinggi , air diberikan pada daerah perakaran tanaman, aliran air bertekanan dan efisiensi serta keseragaman pemberian air lebih baik ( http://www.deptan.go.id. Jakarta ). Menurut Michael(1978) Unsur-unsur utama pada irigasi tetes yang perlu diperhatikan sebelum mengoperasikan peralatan irigasi tetes adalah : a. b. Sumber air, dapat berupa sumber air permanen (sungai, danu, dan lain-lain), atau sumber air buatan (sumur, embung dan lain-lain) Sumber daya, sumber tenaga yang digunakan untuk mengalirkan air dapat dari gaya gravitasi (bila sumber air lebih tinggi daripada lahan pertanaman), dan untuk sumber air yang sejajar atau lebih rendah dari pada lahan pertanaman maka diperlukan bantuan pompa. Untuk lahan yang mempunyai sumber air yang dalam, maka diperlukan pompa penghisap pompa air sumur dalam.

c. Saringan, untuk mencegah terjadinya penyumbatan meke diperlukan beberapa alat penyaring, yaitu saringan utama (primary filter) yang dipasang dekat sumber air, sringan kedua (secondary filter) diletakkan antara saringan utama dengan jaringan pipa utama. Dewasa ini keberhasilan tumbuh tanaman cendana di lahan kritis savana kering NTT dirasakan masih rendah (kurang dari 20%). Hal ini disebabkan pada awal penanaman di lapangan cendana belum beradaptasi dengan baik karena masalah kondisi tanahnya marginal dan kekurangan air. Masalah kekurangan air akibat curah hujan yang rendah,waktunya pendek dan turunnya tidak teratur adalah salah satu masalah krusial yang dihadapi setiap tahun. Untuk menangani masalah ini maka teknik pengairan secara konvensional dengan irigasi tetes perlu diterapkan agar tanaman cepat beradaptasi dengan lingkungan sehingga pertumbuhannya meningkat. Pemanfaatan irigasi tetes dengan menggunakan wadah yang murah dan mudah didapat di lokasi penanaman seperti bambu, botol air mineral dan pot tanah serta pemanfaatan air embung,mata air,sungai dan pemanenan air hujan perlu mendapatkan pertimbangan. (http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id) Irigasi tetes adalah teknik penambahan kekurangan air pada tanah yang dilakukan secara terbatas dengan menggunakan tube (wadah) sebagai alat penampung air yang disertai lubang tetes di bawahnya. Air akan keluar secara perlahan -lahan dalam bentuk tetesan ke tanah yang secara terbatas membasahi tanah. Lubang tetes air dapat diatur sedemikian rupa sehingga air cukup hanya membasahi tanah di sekitar perakaran (http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id - Web Site BBP Mekanisasi Pertanian) Menurut Hansen (1986) kegunaan dari Irigasi tetes adalah : a. Untuk menghemat penggunaan air tanaman. b. Mengurangi kehilangan air yang begitu cepat akibat penguapan dan infiltrasi. meningkatkan pemanfaatan unsur hara tanah oleh tanaman. d. Mengurangi stresing atau mempercepat adaptabilitas bibit sehingga meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman. e. Melakukan pemanenan air hujan lewat wadah irigasi tetes secara terbatas sehingga dapat digunakan tanaman. Sistem irigasi tetes memang konsep pemanfaatan air tanaman yang belum populer Namun, sistem ini telah membumi di belahan bumi lain. Orang asing telah menginsyafi seberapa banyak c. Membantu memenuhi kebutuhan air tanaman pada awal penanaman sehingga juga akan

porsi air minum yang bisa mengobati dahaga yang dirasakan tanaman. Tanaman diberi minum secukupnya. Jika kelebihan air, nutrisi yang mesti diserap tanaman bisa hanyut. Andai kebanyakan air pun batang tanaman bisa membusuk. Jadi, jangan menyiram tanaman sampai tampak seperti kebanjiran, Konsep taman kota maupun taman keluarga dianjurkan memakai sistem ini. Tanaman cukup ditetesi air sesuai porsi yang diperlukannya. Cara ini bukan hanya membantu tanaman tak sampai kelebihan mengonsumsi air. Sistem ini pun lebih bernilai ekonomis (http://www.cybertokoh.com/mod.php) Sistem yang digunakan adalah dengan memakai pipa-pipa dan pada tempat-tempat tertentu diberi lubang untuk jalan keluarnya air menetes ke tanah. Perbedaan dengan sistem pancaran adalah besarnya tekanan pada pipa yang tidak begitu besar. Gambar dibawah ini memberikan Ilustrasi mengenai sistem irigasi tetes. Pemilihan jenis sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, klimatologi, topografi, fisik dan kimiawi lahan, biologis tanaman, sosial ekonomi dan budaya, teknologi (sebagai masukan sistem irigasi) serta keluaran atau hasil yang akan diharapkan. Sedangkan cara pemberian air irigasi ini berdasarkan topografi, ketersediaan air, jenis pertimbangan lain. tergantung pada kondisi tanah, keadaan tanaman, iklim, kebiasaan petani dan Cara pemberian air irigasi yang termasuk dalam eara pemberian air lewat permukaan, dapat disebut antara lain : a. Wild flooding : air digenangkan pada suatu daerah yang luas pada waktu banjir cukup tinggi sehingga daerah akan eukup sempurna dalam pembasahannya, cara ini hanya cocok apabila eadangan dan ketersediaan air cukup banyak. b. c. Free flooding: daerah yang akan diairi dibagi dalam beberapa bagian, atau air dialirkan dari bagian yang tinggi ke bagian yang rendah. Check flooding : air dari tempat pengambilan (sumber air) dimasukkan ke dalam selokan, untuk kemudian dialirkan pada petak-petak yang kecil, keuntungan dari sistem ini adalah bahwa air tidak dialirkan pada daerah yang sudah diairi. d. Border strip method : daerah pengairan dibagi-bagi dalam luas yang keeil dengan galengan berukuran 10 x 100 m2 sampai 20 x 300 m2, air dialirkan ke dalam tiap petak melalui pintu-pintu. e. Zig-zig method: daerah pengairan dibagi dalam sejumlah petak berbentuk jajaran atau persegi panjang, tiap petak dibagi lagi dengan bantuan galengan dan air akan mengalir melingkar

sebelum meneapai lubang pengeluaran. Cara ini menjadi dasar dari pengenalan perkembangan teknik dan peralatan irigasi. f. Bazin method : cara ini biasa digunakan di perkebunan buah-buahan. Tiap bazin dibangun mengelilingi tiap pohon dan air dimasukkan ke dalarnnya melalui selokan lapangan seperti pada chek flooding. g. Furrow method : cara ini digunakan pada perkebunan bawang dan kentang serta buah-buahan lainnya. Tumbuhan tersebut ditanam pada tanah gundukan yang paralel dan diairi melalui lembah di antara gundukan.

5.

Irigasi Pompa Air Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.

Gambar 1.3 Irigasi Pompa Air

Pengalaman Penerapan Jenis Irigasi Khusus 1 Irigasi Pasang-Surut di Sungai Cimanuk Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Garut, dikenal apa yang dinamakan Irigasi Pasang-Surat (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawa-rawa, di mana air diperoleh dari sungai pasangsurut di mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4 sampai 5 waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu pendatang di Garut memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Jepang di Wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip.

2 Irigasi Tanah Kering atau Irigasi Tetes Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia. Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu: 1. Irigasi tetes (drip irrigation), 2. Irigasi curah (sprinkler irrigation), 3. Irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), 4. Irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation) Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes. [3] merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai. Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen. Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.

Pengelolaan Air Sangat Buruk Musim hujan terendam air, musim kemarau kering kerontang. Demikian nasib 125 juta penduduk Pulau Jawa. Setelah hampir empat ratus ribu hektar sawah terendam musim banjir lalu, kali ini giliran kekeringan yang melanda. Untuk areal sawah saja, 204.322 hektar sudah kering akhir Juli lalu. Bahkan, 19.562 di antaranya mengalami puso. "Ini karena kita tidak memiliki manajemen air secara terpadu," kata Dirjen Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief. Tidak padunya penanganan air harus berhadapan dengan antrean masalah. Sejumlah masalah merupakan faktor alam maupun iklim global. Seperti karakteristik wilayah tropik di mana 80 persen dari total aliran permukaan tersedia pada musim hujan yang berdurasi lima bulan. Sementara pada musim kemarau yang berlangsung tujuh bulan, hanya menyediakan 20 persen air untuk aliran permukaan. Belum lagi efek global La Nina dan El Nino yang datang bergantian. Faktor alam lalu berkawan dengan kerusakan hutan yang merusakkan kemampuan tanah meresap air, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Hal ini ditambah rusaknya prasarana irigasi seperti waduk dan saluran yang sedianya dibuat untuk "mengakali" alam. Semua hal itu lalu berkolaborasi membentuk suatu manajemen air yang buruk. Padahal, prinsip manajemen air sebenarnya tidak muluk-muluk: bagaimana caranya mengendalikan kedatangan air yang tidak merata itu. Neraca air di Jawa-Bali selama tahun 2003, kebutuhan mencapai 38,4 miliar kubik, sementara yang tersedia hanya 25,3 miliar meter kubik. Perkiraan Badan Meteorologi Geofisika tentang kondisi musim kemarau di tahun 2003, tingkat kerawanan kekeringan terjadi di 12 kabupaten di Jawa Barat, yaitu Indramayu, Tasikmalaya, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Sumedang, Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Serang, dan Pandeglang. Sementara di Jawa Tengah enam kabupaten, yaitu Pati, Sragen, Boyolali, Wonogiri, Cilacap, dan Rembang. Di Jawa Timur ada dua kabupaten, yaitu Lamongan dan Tulungagung. Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengungkapkan, krisis air bersih terparah terjadi di DKI Jakarta, sedangkan Jawa Barat mulai krisis air untuk tanaman. Kondisi di Jateng belum begitu parah. "Wonogiri akan menjadi tolok ukur kekeringan di wilayah itu," kata Menteri. Di Jawa Tengah, dua kabupaten/kota rawan kekeringan, pertanian rusak, dan poso. Jumlah

kerugian sampai minggu lalu 30.000 KK kesulitan airkarena keringnya embung. Di Jatim, beberapa daerah sudah dianggap rawan, seperti Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya dan Pasuruan. "Masalah ini harus dilihat secara luas, tidak bisa kekeringan sendiri atau banjir sendiri," timpal Roestam. Air yang jatuh ke permukaan tanah dan potensial menimbulkan banjir diupayakan agar meresap ke dalam tanah. Untuk itu, permukaan DAS harus maksimal menyerap air. Air hujan yang secara optimal meresap ke dalam tanah itu nantinya akan mengisi sumber- sumber air yang ada di danau, situ, sungai, dan waduk. Tujuannya, pada musim kemarau, saat hujan hampir tidak ada, debit airnya bisa tetap terjaga. "Masalah banjir diatasi dengan cara itu. Dengan demikian, akan mengatasi masalah kekeringan juga," tambah Roestam. Konsep di atas kertas atau di kepala lebih sering berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan. Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Menurut Roestam, untuk daerah DAS berhutan, run off coefficient mencapai 0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai hanya 10 mm. Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coef bisa sampai 1. Ujung-ujungnya memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang kalau dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang. Masalahnya, rencana tata ruang lebih banyak yang tidak komprehensif. Bagai memakai kaca mata kuda, mata pembuat kebijakan hanya melihat uang sebagai tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan konservasi untuk air sama sekali tidak terlintas di pikiran. Kondisi yang ada saat ini, menurut Roestam, dari 30 persen kawasan DAS yang idealnya tersedia, hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan catatan Kompas berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup hutan tinggal empat persen. Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang tidak kunjung diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada musim kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan sehingga terjadi kekeringan.

Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1984 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 22 buah. Tahun 1992 meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS kritis di Indonesia, 26 ada di Jawa. Kemiskinan yang melatarbelakangi tindakan masyarakat, menurut Roestam, merupakan penyebab utama. Di Jawa dengan jumlah penduduk yang banyak dan padat, masyarakat cari kehidupan dengan membuka lahan baru mendekati hulu. Akibat perambahan dan oknum-oknum yang terus merajalela, hutan Jawa menjadi gundul. Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan, dengan majunya musim kekeringan tahun ini, selain kekurangan air untuk pengairan di lahan-lahan pertanian, juga terjadi penderitaan warga akan krisis air bersih. Sebagai contoh, warga Jakarta dan sekitarnya menghadapi kekurangan pasokan air. Dulu terdapat sekitar 49 situ atau danau kecil antara Bogor dan Jakarta. Sekarang, banyak situ diuruk dijadikan rumah dan pusat-pusat perbelanjaan. Padahal, situ itu untuk menahan air. Untuk lahan- lahan pertanian yang mengalami kekeringan, Roestam mengatakan, sebenarnya pemerintah telah mengantisipasi hal tersebut. Caranya, pemerintah membuat rencana pola tanam yang di kabupaten ditangani oleh Komisi Irigasi. Komisi ini terdiri atas Dinas Pengairan, Bapedda, P3A, dan BMG, Dinas Pertanian, dan tentu saja wakil petani. BMG memberikan informasi prediksi jumlah curah hujan dan air yang tersedia. Selanjutnya rencana tanam disesuaikan dengan prediksi yang ada. Misalnya, dengan jumlah curah hujan yang hampir pasti kurang, tidak seluruh areal ditanami padi, sebagian saja. "Sebagian ditanami palawija, sebagian padi sehingga cukup airnya," katanya. Namun, pada prakteknya petani sering kali melakukan spekulasi dengan menanam padi dengan harapan akan ada hujan di musim kemarau sesuai dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Akibatnya, kebutuhan meningkat sehingga air pasti tidak cukup. Data di Departemen Kimpraswil, dampak kekeringan bagi Pulau Jawa mencapai 11,6 persen dari luas sasaran masa tanam (MT) II 1,8 juta hektar, yaitu 209.332 hektar. Kekeringan terbesar terjadi di Jawa Barat yaitu 141.793 hektar sawah yang merupakan 22,5 persen dari sasaran MT II, 11.590 hektar diantaranya mengalami puso. Kekeringan sawah di Jawa Tengah juga cukup besar, yaitu 47.823 hektar atau 20,3 persen dari total MT. Di Jawa Timur, relatif sedikit, yaitu 3,1 persen dari total sasaran MT II atau seluas 14.706 hektar. Sementara di Banten kekeringan di Kabupaten Pandeglang mencapai 5.000 hektar, sedangkan di DI Yogyakarta tidak ada yang mengalami kekeringan.

Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun, kondisi DAS yang rusak rencananya hendak dikendalikan dengan prasarana irigasi. Namun, apa daya, kondisi prasarana irigasi yang dibangun pemerintah serta waduk dan saluran irigasi pun banyak yang rusak parah. Dari total jaringan irigasi di Pulau Jawa seluas 3,28 juta hektar, 379,761 ribu hektar rusak. Namun, sistem irigasi yang tidak baik seperti misalnya saluran irigasi penuh lumpur. Jadi, datang dari hulu cukup, namun di hilir menjadi sangat berkurang karena tertahan oleh lumpur. Dengan demikian, petani merasa air yang diperolehnya tidak cukup atau tidak ada sama sekali. Masalahnya, hal ini sangat tergantung kemampuan memelihara prasarana pengairan yang dalam hal ini berarti juga biaya pemeliharaan. Sekitar 40-50 persen ditanggung oleh pemerintah. Untuk daerah diberikan di antaranya dana alokasi khusus (DAK) untuk spesifik pemeliharaan prasarana irigasi. Evaluasi atas pemeliharaan saluran irigasi bisa menjadi rapor bagi daerah. Selain biaya investasi, operasional, dibutuhkan biaya konservasi sumber air, sesuatu yang menjadi sasaran pemerintah dalam RUU Sumber Daya Air. Masyarakat memandang ini sebagai privatisasi air, nanti semua untuk dapat air harus bayar. Sementara pemerintah, menurut Roestam, beranggapan, masyarakat akan mendapat air sesuai dengan kemampuannya. Semakin tinggi seseorang berani membayar, semakin tinggi kualitas air yang diperolehnya. Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu, pemerintah berjanji akan menyediakan berbagai fasilitas seperti tangki- tangki air di mana hal ini berupa subsidi. "Itu yang sekarang sedang dibahas di RUU Sumber Daya Air," kata Roestam. Pemerintah selalu menyatakan tidak memiliki uang, bahkan untuk pemeliharaan prasarana dan konservasi. Janjinya dana dari pembayaran air bersih orang-orang yang mampu akan digunakan untuk prasarana dan konservasi. Menurut Roestam, rehabilitasi DAS kritis, per hektar dibutuhkan Rp 5 juta-Rp 6 juta. Luas lahan kritis di Indonesia mencapai 3 juta hektar, sebagian besar ada di Jawa, yang menurut catatan Kompas berjumlah 2,481 juta hektar. Dihitung-hitung dibutuhkan Rp 12,405 triliun untuk rehabilitasi DAS. Bencana Itu Makin Lama Tambah Parah Tanda bahaya itu sebenarnya sudah dibunyikan sejak awal tahun 2008 yaitu musim kering datang lebih cepat dari perkiraan. Sekitar pertengahan Mei lalu, hujan mulai enggan turun di daerah pantai utara (pantura), yaitu Kabupaten Cirebon dan Indramayu, yang menjadi kawasan lumbung padi Jawa Barat.

Berbagai peringatan dini sudah diberikan sejak awal oleh Dinas Pertanian setempat melalui media massa. Pertama adalah peringatan kepada para petani berupa imbauan untuk mempercepat awal tanam atau tidak menanam padi pada musim gadu tahun ini. Peringatan kedua ditujukan kepada pihak pemerintah, mulai dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat, dalam bentuk permintaan bantuan pompa air dan bibit kacang hijau sebagai tanaman pengganti. Semuanya dimaksudkan untuk menghindari terulangnya bencana kekeringan yang melanda daerah ini tahun lalu. Namun, entah mengapa dan bagaimana, berbagai peringatan dini itu seolah-olah dibiarkan berlalu begitu saja. Para petani tetap menanam padi dengan pola seperti biasa, sedangkan bantuan pompa maupun bibit tanaman pengganti dari pemerintah tidak segera turun, mungkin dengan anggapan bahwa titik bencana itu masih jauh di mata sehingga tidak perlu buru-buru menurunkan bantuan. Sampai akhirnya, tanda-tanda kekeringan itu mulai tampak nyata ketika memasuki Juni lalu. Tanggal 4 Juni, tanah sawah di Desa Wanakaya, Kecamatan Cirebon Utara, sudah terlihat retakretak karena tidak terairi sama sekali selama lebih dari seminggu. Tanaman padi yang baru berusia 1-7 minggu dalam keadaan terancam. Bencana mulai terjadi. Kekeringan terus meluas di daerah-daerah sentra produksi padi. Para petani, meski agak terlambat, mulai menanam tanaman pengganti padi, seperti kacang hijau, kacang panjang, semangka, dan mentimun suri. Sementara para petani yang sudah telanjur menanam padi mendesak agar bantuan pompa air segera diberikan, mumpung masih ada air di saluran-saluran irigasi. Akan tetapi, seperti hal-hal lain yang ditangani pemerintah, segalanya terasa lamban dan penuh hambatan birokrasi, termasuk janji-janji pemberian bantuan. Menurut Sathori, Pemkab Cirebon sebenarnya sudah menyiapkan dana bantuan sebesar Rp 400 juta untuk pengadaan pompa air dan Rp 100 juta untuk benih kacang hijau. Namun, dikhawatirkan, bantuan tersebut tidak akan sampai tepat pada waktunya karena proses birokrasi yang terlalu lama. "Saat ini, bantuan pompa itu sedang diusulkan masuk dalam rapat perubahan anggaran APBD dengan DPRD. Paling cepat baru satu bulan lagi dana bantuannya akan cair untuk membeli pompa. Dan saat itu semua dikhawatirkan sudah terlambat," kata Sathori awal Juni lalu. Demikian juga bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dan pemerintah pusat yang

tidak kunjung tiba. Pada akhirnya, perubahan alam yang begitu cepat dan ganas tidak dapat ditanggulangi oleh manusia yang serba tidak serius dan cenderung meremehkan kekuatan alam. Dan pada kenyataannya, berbagai bantuan itu memang akhirnya turun sangat lambat, yaitu sekitar akhir Juli dan awal Agustus, saat semuanya sudah terlambat. Dalam waktu satu setengah bulan, musim kemarau yang semula dianggap sebagai fenomena alam yang wajar dan tidak membahayakan telah berubah menjadi bencana yang nyata. Kekeringan tidak saja terjadi dan mengancam sektor pertanian, tetapi juga telah meluas dan mulai mengancam bidang- bidang lainnya setelah sumber- sumber air bersih untuk keperluan minum, memasak, serta mandi, cuci, dan kakus (MCK) ikut mengering. Krisis Air di Pulau Jawa Dalam "Diskusi Teknik Kehutanan" akhir tahun lalu di Jakarta, Badan Planologi Departemen Kehutanan mengeluarkan data luas hutan Pulau Jawa yang cukup mengerikan. Luas kawasan yang masih berhutan atau lahan yang masih ditutup pepohonan di Jawa tahun 1999/2000 hanya empat persen. Kawasan itu sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Data ini memang bersifat indikatif, tetapi diambil dari interpretasi citra satelit. Apabila melihat distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun di Jawa, di mana 80 persen hujan jatuh di musim penghujan dan sisanya 20 di musim kemarau-dengan kondisi DAS yang sudah tidak mampu lagi menahan dan menyimpan air-dipastikan potensi yang 80 persen itu akan terbuang percuma ke laut tanpa sempat dimanfaatkan. Malah hujan tersebut kerap kali menyebabkan terjadinya banjir yang dirasakan semakin intensif dan signifikan, sementara kebutuhan air di musim kemarau tidak lagi dapat dipenuhi. Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, dan longsor. Karena itu, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem-seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang Kehutanan-minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan. Malah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menargetkan luas kawasan hutan di wilayahnya minimal harus 45 persen dari luas wilayah. ni mengingat topografi wilayah Jawa Barat yang berbukit dan bergunung-gunung harus dipertahankan hutannya untuk menopang ketersediaan air, baik bagi pertanian, air minum masyarakat, maupun pembangkit tenaga listrik di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.

Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang digerakkan turbin air di ketiga waduk itu merupakan pemasok listrik pada interkoneksi Jawa-Bali. Ketiga waduk ini menampung air dari Sungai Citarum yang kawasan DAS-nya sudah rusak parah. Sementara itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan Jawa yang seluas 3.289.131 hektar saat ini keadaannya benar-benar menyedihkan. Sebagai gambaran umum, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi tercatat 1,714 juta hektar atau mencapai 56,7 persen dari luas seluruh hutan yang ada. Itu terdiri atas hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta hutan produksi tak berpohonan seluas 1.147.116 hektar. Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta hektar sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa. Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia disesaki oleh 65 persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa. Sementara dari sudut potensi air hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia sehingga menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest). "Melihat kondisi Jawa seperti ini, dipandang dari segi pengembangan sumber daya air, sudah termasuk kategori kritis," ungkap Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief. Menurut Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), kebutuhan air dunia meningkat dua sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa tetap, bahkan cenderung menurun, terutama apabila ditinjau dari segi kualitas. Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air akan meningkat lebih dari 200 persen pada kurun waktu 1990-2020. Dengan kebutuhan yang ada sekarang pun, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan cepatnya perkembangan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan pantai utara Jawa, kebutuhan air meningkat tajam. Namun, perkembangan itu tidak sebanding lagi dengan peningkatan upaya penyediaannya atau bahkan melebihi potensi sumber daya air yang ada. Ini menyebabkan terjadinya defisit air. Terbatasnya tempat- tempat penampungan air serta semakin parahnya kondisi lingkungan dan DAS, menyebabkan terakumulasinya kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Melihat fakta ini, dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan air yang memadai bagi masyarakat akan

semakin jauh dari jangkauan. Karena itu, perlu dipikirkan dan dicermati bersama upaya-upaya pengembangan sumber daya air yang lebih efektif dan mampu menjawab tantangan di atas. Ini mengingat tekanan akibat pertumbuhan penduduk menyebabkan kecenderungan terjadinya perubahan kondisi daerah hulu sungai serta kerusakan hutan penutup catchment area, yang sebetulnya perlu dijaga guna menjamin tersedianya dan terjamin meratanya keberadaan air sepanjang tahun. DIRJEN SDA menjelaskan, upaya pengembangan wilayah sungai dalam rangka mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya air sekaligus pengelolaan dan konservasi sumber daya air telah dikembangkan di berbagai wilayah sungai di Jawa. Baik yang bersifat single basin maupun multiriver basin, yang semuanya diarahkan agar dapat mengatasi permasalahan air yang ada. Contohnya pengembangan wilayah Sungai Citarum, CiliwungCisadane, Cimanuk-Cisanggarung, Citanduy-Ciwulan, Serayu-Bogowonto, Jratunseluna, dan pengembangan wilayah Sungai Brantas. Masalahnya, hanya sebagian atau kurang dari 15 persen prasarana pengairan yang mampu menjamin tersedianya air hampir sepanjang tahun, melalui waduk dan reservoir yang ada. Selebihnya seperti bangunan- bangunan bendung pengambilan air bersifat run off river yang mengandalkan sepenuhnya pada fluktuasi air di sungai apabila terjadi kekeringan bangunan ini tidak mampu mengatasinya. Merunut permasalahan yang dihadapi di Pulau Jawa serta melihat tingkat kekritisan potensi sumber daya air dan penggunaannya, konsep bagaimana menampung air pada saat kelebihan di musim hujan serta mengatur dan memanfaatkan air saat kemarau menjadi sangat relevan. Reformasi Sumber Daya Air di Indonesia Indonesia membutuhkan reformasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air (SDA). Ada sejumlah alasan mengapa reformasi tersebut perlu dilakukan. Pertama, sektor air di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan dan berbagai tuntutan sebagai konsekuensi akibat meningkatnya populasi. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan sarana air yang bersih dan memadai. Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan

munculnya gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan masalahnya sudah multidimensional. Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan, yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup. Saat ini RUU Sumber Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan apakah reformasi tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi sektor ini? Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara pandang yang berubah atas sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih. Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung. Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan.

Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya. Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal. Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompokkelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air. Dominannya paradigma air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah tantangan untuk memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang efisien dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau. Reformasi SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.

Anda mungkin juga menyukai