PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Irigasi
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairilahan pertaniannya.
Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada
zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungaiatau
sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian.
Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan
wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan model seperti
ini
di Indonesia biasa
disebut
menyiram.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat
dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.
Melihat kenyataan di atas,dan sebagai salah satu tugas yang disyaratkan untuk mengikuti
ujian akhir semester. Kami ingin melakukan penelitian tentang pemanfaatan system perairan
irigasi yang mulai kering karena musim kemarau yang berkepanjangan.
Makalah tersebut kami tuangkan dalam makalah yang berjudul Pemanfaatan Sistem Perairan
Irigasi Dari Sungai Cimanuk.
2.PERMASALAHAN DAN PEMBATASAN MASALAH
A.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan
kami teliti yaitu:
Apakah pemanfaatan perairan irigasi dari sungai cimanuk masih memiliki daya tarik bagi
masyarakat setempat, ditinjau dari kekeringan karena musim kemarau yang berkepanjangan?
B.Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini kami membatasi masalah penting yang akan di teliti yaitu:
a. penelitian ini di lakukan di tempat system perairan irigasi di sekitar sungai cimanuk.
b. Objek penelitian kami adalah keadaan dan kondisi system perairan irigasi di cimanuk
c. Waktu pelaksanaan di lakukan satu bulan terakhir terhitung tanggal 14 November s/d
16 Desember 2008.
3.TUJUAN PENELITIAN
Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah:
Dorongan untuk memberikan informasi dan data secara menyeluruh mengenai system irigasi
di cimanuk,serta tentang kondisi dan keadaan system irigasi tersebut kepada
pembaca.sehingga pembaca dapat mengetahui dan mengenal system irigasi.
Dan mudah-mudahan dengan adanya makalah ini di tangan para pembaca,bias memberikan
dorongan untuk memanfaat kan system perairan irigasi dari sungai cimanuk.
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi erosi, hasil sedimen, dan mengkaji penurunan
debit minimum yang terjadi disungai Cimanuk.
Sejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia irigasi
tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok
tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara
bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan
dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun
pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
Irigasi Lokal
Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana
lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau
secara lokal.
Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan
berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus
mengairi sawah.
Pengalaman Penerapan Jenis Irigasi Khusus
(3) irigasi
(4) irigasi
Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes. [3] merupakan salah satu alternatif. Misal
sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.
Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi
adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan
karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan
kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.
Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.
Arti Irigasi
Irigasi merupakan suatu ilmu yang memanfaatkan air untuk tanaan mulai dari tumbuh
sampai masa panen. Air tersebut diambil dari sumbernya, dibawa melalui saluran, dibagikan
kepada tanaman yang memerlukan secara teratur, dan setelah air tersebut terpakai, kemudian
dibuang
melalui
saluran
pembuang
menuju
sungai
kembali.
Irigasi dikehendaki dalam situasi: (a) bila jumlah curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan
tanaman; (b) bila jumlah curah hujan mencukupi tetapi distribusi dari curah hujan tidak
bersamaan dengan waktu yang dikehendaki tanaman.
Aspek irigasi
Menjelaskan tentang: Aspek engineering, dan Aspek agricultural Aspek engineering
menyangkut: (1) Penyimpanan, penyimpangan, dan pengangkutan (2) membawa air ke lading
pertanian, (3) pemakaian air untuk persawahan, (4) pengeringan air yang berlebihan, dan (5)
pembangkit tenaga air.
Aspek Agrikultural, menyangkut: (1) kedalaman pemberian air, (2) distribusi air
secara seragam dan berkala, (3) kapasitan dan aliran yang berbeda, dan (4) reklamasi tanah
tandus dan tanah alkaline.
KAJIAN NERACA AIR DAERAH IRIGASI LEUWI GOONG DENGAN SISTIM EFISIENSI
KEBUTUHAN AIR DI DAERAH GARUT JAWA BARAT
Bendung Copong merupakan pengambilan utama bagi Daerah Irigasi Leuwi Goong
abupaten Garut, direncanakan dapat mengairi daerah irigasi seluas 5271 ha. Bendung ini
direncanakan dapat mengairi gabungan jaringan irigasi teknis yang ada menjadi sistem satu
kesatuan.
Penggunaan air irigasi di tingkat usaha tani khususnya untuk tanaman padi sawah yang dilakukan
petani masih boros + 1.5 liter/detik/ha dibagian udik yang mengakibatkan dibagian hilir sering tidak
memperoleh air, karenanya koreksi pemanfaatan air irigasi perlu dilakukan agar pemberian air secara
real
time
dapat
menjangkau
seluruh
areal
irigasi.
Maksud dari penulisan ini adalah untuk mengkaji masalah ketersediaan dan kebutuhan air irigasi
untuk daerah irigasi Leuwi Goong jika bendung Copong dibangun. Sehingga akan diperoleh suatu
rekomendasi untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya air dari sungai Cimanuk untuk
memenuhi kebutuhan air di hilir.
Sedangkan Tujuan dari tinjauan studi ini adalah memperoleh angka yang optimum untuk neraca air
dari curah hujan dengan kondisi real time di lapangan, sehingga antara kebutuhan dan ketersediaan
air
akan
mendekati
angka
yang
paling
optimal.
Lingkup kajian tesis ini adalah meliputi pengumpnlan data sekunder,pengolahan dan analisis data,
identifikasi, perhitungan ketersediaan air, perhitungan kebutuhan air irigasi dengan cara yang efisien
dan penyusunan neraca air.
Lokasi pengamatan studi adalah Daerah Irigasi Leuwi Goong, yang terletak di Kabupaten Garut
propinsi Jawa Barat dan secara geografis terletak pada 7 00' - 7 12' Lintang Selatan dan 107 52' 108 05' Bujur Barat, dimana areal DI Leuwi Goong terletak di sebelah kiri dan kanan sungai Cimanuk
dan saat ini merupakan integrasi dari beberapa irigasi teknis, semi teknis, irigasi pedesaan sebesar
52 % memanfaatkan air dari anak-anak sungai Cimanuk sedangkan sisanya 48 % berupa areal tadah
hujan.
Dalam perhitungan debit metode yang digunakan adalah sistim keseimbangan air (Water
Balance) dari FG Mock dan sebagai pembanding digunakan data debit lapangan dari stasiun debit
den gan menggunakan AWLR (Automatic Water Level Recorder). Sedangkan perhitungan kebutuhan
air di petal( sawah dihitung berdasarkan cara konvensional dari Kriteria Perencanaan Irigasi (KP-01
19%) dan berdasarkan teori keseimbangan dari curah hujan yang terjadi di lapangan.
Dari teori kesetimbangan ini curah hujan yang jatuh di sawah (R eff) bukan 70 % seperti pada metoda
konvensional. Akan tetapi besarnya jadi bervariasi sesuai dengan kondisi di lapangan dan air yang
dibutuhkan untuk sawah setelah teijadi infiltrasi dan genangan, sehingga dari basil perhitungannya
Reff ini
dapat
diklasifikasikan
sesuai
dengan
curah
hujannya.
Secara garis besar dari kajian ini dapa disimpulkan bahwa perhitungan kebutuhan air dengan metode
keseimbangan air lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal bila dibandingkan dengan metode
konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan pada DI Leuwi Goong mengingat kondisi alamnya
yang mempunyai perbedaan tinggi curah hujan yang sangat jauh antara musim bujan dan musim
kemarau. Kebutuhan air dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode
keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas tanam yang dihasilkan
dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada metoda konvensional yaitu diperoleh intensitas
tanam yang mempunyai luas 6771 ha yaitu 278,17 %, angka ini jauh lebih besar dibandingkan
dengan intensitas tanamnya dengan metoda konvensional dari luas 5271 ha yaitu 215 %. Karena
perbedaan luasnya yang cukup tinggi mencapai 1500 ha memungkinkan sekitar 20 areal iragasi
tadah hujan menjadi areal irigasi teknis.
Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil mengenai pesmilihan besar intensitas tanam agar kajian
dilanjutkan, lebih menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas tanam yang lebih
besar, ditinjau dui segi ekonomi.
Tujuan irigasi.
Tujuan utama irigasi adalah untuk: Membasahi tanah, merabuk, mengatur suhu tanah,
kolmatase,
membersihkan
air
kotor,
meninggikan
air
tanah,
pemeliharaan
ikan
Pengaruh dan syarat-syarat air guna irigasi.
Menjelaskan pengaruh air yang ada pada suatu daerah irigasi, dan bagaimana syarat-syarat
air yang diperlukan untuk suatu daerah irigasi, seperti : air yang berasal dari dalam tanah; air berasal
dari
sungai,
air
berasal
dari
waduk,
dananu,
dan
rawa;
(1) Syarat air terhadap maksud irigasi, (2) syarat-syarat air terhadap tanaman, (3) pengaruh air irigasi
terhadap tanah, (4) pengaruh Lumpur terhadap tanaman
BAB II
Landasan Teori dan Data
2.1.1 Pengelolaan Air Sangat Buruk
MUSIM hujan terendam air, musim kemarau kering kerontang. Demikian nasib 125 juta penduduk
Pulau Jawa. Setelah hampir empat ratus ribu hektar sawah terendam musim banjir lalu, kali ini giliran
kekeringan yang melanda. Untuk areal sawah saja, 204.322 hektar sudah kering akhir Juli lalu.
Bahkan, 19.562 di antaranya mengalami puso. "Ini karena kita tidak memiliki manajemen air secara
terpadu," kata Dirjen Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam
Sjarief.
TIDAK padunya penanganan air harus berhadapan dengan antrean masalah. Sejumlah masalah
merupakan faktor alam maupun iklim global. Seperti karakteristik wilayah tropik di mana 80 persen
dari total aliran permukaan tersedia pada musim hujan yang berdurasilima bulan. Sementara pada
musim kemarau yang berlangsung tujuh bulan, hanya menyediakan 20 persen air untuk aliran
permukaan. Belum lagi efek global La Nina dan El Nino yang datang bergantian.
Faktor alam lalu berkawan dengan kerusakan hutan yang merusakkan kemampuan tanah meresap
air, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Hal ini ditambah rusaknya prasarana irigasi seperti
waduk dan saluran yang sedianya dibuat untuk "mengakali" alam. Semua hal itu lalu berkolaborasi
membentuk suatu manajemen air yang buruk. Padahal, prinsip manajemen air sebenarnya tidak
muluk-muluk: bagaimana caranya mengendalikan kedatangan air yang tidak merata itu.
Neraca air di Jawa-Bali selama tahun 2003, kebutuhan mencapai 38,4 miliar kubik, sementara yang
tersedia hanya 25,3 miliar meter kubik. Perkiraan Badan Meteorologi Geofisika tentang kondisi musim
kemarau di tahun 2003, tingkat kerawanan kekeringan terjadi di 12 kabupaten di Jawa Barat, yaitu
Indramayu, Tasikmalaya, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Sumedang, Garut, Bandung, Cianjur,
Sukabumi, Serang, dan Pandeglang. Sementara di Jawa Tengah enam kabupaten, yaitu Pati,
Sragen, Boyolali, Wonogiri, Cilacap, dan Rembang. Di Jawa Timur ada dua kabupaten, yaitu
Lamongan dan Tulungagung.
Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengungkapkan, krisis air bersih
terparah terjadi di DKI Jakarta, sedangkan Jawa Barat mulai krisis air untuk tanaman. Kondisi di
Jateng belum begitu parah. "Wonogiri akan menjadi tolok ukur kekeringan di wilayah itu," kata
Menteri.
Di Jabar, selain terjadi kekeringan di Kabupaten Bandung, kondisi terberat terjadi di
Indramayu, Cirebon, Majalengka, dan Subang. Di sini sudah terjadi konflik perebutan air bersih untuk
perumahan dan pertanian. Saat warga meminta air satu meter kubik/detik untuk air bersih
perumahan, petani tak mengizinkan. Di beberapa bendungan, pintu air sudah dikuasai preman
sehingga siapa yang bisa membayar, dia yang mendapat air bersih itu.
Di Jawa Tengah, dua kabupaten/kota rawan kekeringan, pertanian rusak, dan poso. Jumlah kerugian
sampai minggu lalu 30.000 KK kesulitan airkarena keringnya embung. Di Jatim, beberapa daerah
sudah dianggap rawan, seperti Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya dan Pasuruan. "Masalah ini harus
dilihat secara luas, tidak bisa kekeringan sendiri atau banjir sendiri," timpal Roestam.
Air yang jatuh ke permukaan tanah dan potensial menimbulkan banjir diupayakan agar meresap ke
dalam tanah. Untuk itu, permukaan DAS harus maksimal menyerap air. Air hujan yang secara optimal
meresap ke dalam tanah itu nantinya akan mengisi sumber- sumber air yang ada di danau, situ,
sungai, dan waduk. Tujuannya, pada musim kemarau, saat hujan hampir tidak ada, debit airnya bisa
tetap terjaga. "Masalah banjir diatasi dengan cara itu. Dengan demikian, akan mengatasi masalah
kekeringan juga," tambah Roestam.
KONSEP di atas kertas atau di kepala lebih sering berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan.
Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS
menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan
menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan
yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Menurut Roestam, untuk daerah
DAS berhutan, run off coefficient mencapai 0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai
hanya 10 mm. Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coef bisa sampai 1.
Ujung-ujungnya memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang kalau
dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang. Masalahnya, rencana tata ruang lebih
banyak yang tidak komprehensif. Bagai memakai kaca mata kuda, mata pembuat kebijakan hanya
melihat uang sebagai tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan konservasi untuk
air sama sekali tidak terlintas di pikiran.
Kondisi yang ada saat ini, menurut Roestam, dari 30 persen kawasan DAS yang idealnya tersedia,
hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan catatan Kompas berdasarkan data Badan
Planologi Departemen Kehutanan yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup
hutan tinggal empat persen.
Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang
tidak kunjung diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada musim
kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan sehingga terjadi kekeringan.
Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1984 jumlah DAS kritis diIndonesia mencapai 22 buah.
Tahun 1992 meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS kritis
di Indonesia, 26 ada di Jawa. Kemiskinan yang melatarbelakangi tindakan masyarakat, menurut
Roestam, merupakan penyebab utama. Di Jawa dengan jumlah penduduk yang banyak dan padat,
masyarakat cari kehidupan dengan membuka lahan baru mendekati hulu. Akibat perambahan dan
oknum-oknum yang terus merajalela, hutan Jawa menjadi gundul.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan, dengan majunya musim kekeringan
tahun ini, selain kekurangan air untuk pengairan di lahan-lahan pertanian, juga terjadi penderitaan
warga akan krisis air bersih. Sebagai contoh, warga Jakarta dan sekitarnya menghadapi kekurangan
pasokan air. Dulu terdapat sekitar 49 situ atau danau kecil antara Bogor dan Jakarta. Sekarang,
banyak situ diuruk dijadikan rumah dan pusat-pusat perbelanjaan. Padahal, situ itu untuk menahan
air.
Sungai yang ada di Jakarta pun sudah hitam karena pencemaran sehingga tidak bisa menjadi
sumber air bersih masyarakat. Air makin sedikit, sedangkan pencemaran tetap malah cenderung
bertambah. Maka, makin kental pencemarannya. Air yang tadinya bisa untuk menyiram tanaman,
mencuci mobil, sekarang tidak bisa lagi. Bahkan, ada tanda peningkatan penyakit diare yang cukup
besar dan dikhawatirkan terjadi perebutan akses air tanah antara industri dan domestik.
Untuk lahan- lahan pertanian yang mengalami kekeringan, Roestam mengatakan, sebenarnya
pemerintah telah mengantisipasi hal tersebut.
Caranya, pemerintah membuat rencana pola tanam yang di kabupaten ditangani oleh oleh Komisi
Irigasi. Komisi ini terdiri atas Dinas Pengairan, Bapedda, P3A, dan BMG, Dinas Pertanian, dan tentu
saja wakil petani. BMG memberikan informasi prediksi jumlah curah hujan dan air yang tersedia.
Selanjutnya rencana tanam disesuaikan dengan prediksi yang ada. Misalnya, dengan jumlah curah
hujan yang hampir pasti kurang, tidak seluruh areal ditanami padi, sebagian saja. "Sebagian ditanami
palawija, sebagian padi sehingga cukup airnya," katanya.
Namun, pada prakteknya petani sering kali melakukan spekulasi dengan menanam padi dengan
harapan akan ada hujan di musim kemarau sesuai dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Akibatnya, kebutuhan meningkat sehingga air pasti tidak cukup.
Data di Departemen Kimpraswil, dampak kekeringan bagi Pulau Jawa mencapai 11,6 persen dari
luas sasaran masa tanam (MT) II 1,8 juta hektar, yaitu 209.332 hektar. Kekeringan terbesar terjadi di
Jawa Barat yaitu 141.793 hektar sawah yang merupakan 22,5 persen dari sasaran MT II, 11.590
hektar diantaranya mengalami puso. Kekeringan sawah di Jawa Tengah juga cukup besar, yaitu
47.823 hektar atau 20,3 persen dari total MT. Di Jawa Timur, relatif sedikit, yaitu 3,1 persen dari total
sasaran MT II atau seluas 14.706 hektar. Sementara di Banten kekeringan di Kabupaten Pandeglang
mencapai 5.000 hektar, sedangkan di DI Yogyakarta tidak ada yang mengalami kekeringan.
Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun, kondisi DAS yang rusak rencananya hendak
dikendalikan dengan prasarana irigasi. Namun, apa daya, kondisi prasarana irigasi yang dibangun
pemerintah serta waduk dan saluran irigasi pun banyak yang rusak parah. Dari total jaringan irigasi di
Pulau Jawa seluas 3,28 juta hektar, 379,761 ribu hektar rusak.
Menurut Roestam, kerusakan sebesar lebih dari 10 persen ini amat mengganggu. Padahal, upaya
untuk menyeimbangkan debit maksimum dan minimum yang perbedaannya semakin tajam kalau
tidak mampu diserap DAS bisa efektif dengan pembangunan waduk. Hujan yang jatuh di hulu karena
kondisi DAS rusak semua mengalir ke bawah, ditampung waduk. Kemudian pada waktu musim
kemarau, ada cadangan air untuk mengairi, air baku, dan kebutuhan lainnya.
JUMLAH potensi air yang dikendalikan baru 10 persen dari total air yang jatuh. Walau di Jawa paling
banyak waduk, namun kondisi muka airnya tidak sesuai rencana.
Di Jawa Barat dan Banten, pada DAS Citarum, yaitu Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata, volume
ketiganya tinggal 57,6 persen dari volume rencana pada tanggal 15 Juli. Di waduk Djuanda, tinggi air
tinggal 86,89 m, padahal tinggi muka air terendah untuk operasi PLTA adalah 75 meter. Dengan
demikian, kalau tiap hari muka air waduk Djuanda turun 20 sentimeter, pada pertengahan September
PLTA di waduk tersebut akan terhenti.
Di Jawa Tengah, Waduk Kedungombo kering dengan tinggi air 0,33 m di bawah tinggi air siaga
kering (77.86 m). Waduk Wonogiri untuk MT II diperkirakan masih cukup, sementara untuk MT III
hanya bisa mengairi 35 persen luas lahan yang ada hingga habis pada 15 Okt 2003. Waduk Cacaban
sedang dilakukan pengeringan. Di Jawa Timur, waduk di DAS Brantas, yaitu Sutami, Selorejo, dan
Wonorejo masih dalam kondisi normal. Kadang-kadang air cukup. Namun, sistem irigasi yang tidak
baik seperti misalnya saluran irigasi penuh lumpur. Jadi, datang dari hulu cukup, namun di hilir
menjadi sangat berkurang karena tertahan oleh lumpur. Dengan demikian, petani merasa air yang
diperolehnya tidak cukup atau tidak ada sama sekali.
Masalahnya, hal ini sangat tergantung kemampuan memelihara prasarana pengairan yang dalam hal
ini berarti juga biaya pemeliharaan. Sekitar 40-50 persen ditanggung oleh pemerintah. Untuk daerah
diberikan di antaranya dana alokasi khusus (DAK) untuk spesifik pemeliharaan prasarana irigasi.
Evaluasi atas pemeliharaan saluran irigasi bisa menjadi rapor bagi daerah.
Selain biaya investasi, operasional, dibutuhkan biaya konservasi sumber air, sesuatu yang menjadi
sasaran pemerintah dalam RUU Sumber Daya Air. Masyarakat memandang ini sebagai privatisasi
air, nanti semua untuk dapat air harus bayar. Sementara pemerintah, menurut Roestam,
beranggapan, masyarakat akan mendapat air sesuai dengan kemampuannya. Semakin tinggi
seseorang berani membayar, semakin tinggi kualitas air yang diperolehnya.
Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu, pemerintah berjanji akan menyediakan berbagai
fasilitas seperti tangki- tangki air di mana hal ini berupa subsidi. "Itu yang sekarang sedang dibahas di
RUU Sumber Daya Air," kata Roestam. Pemerintah selalu menyatakan tidak memiliki uang, bahkan
untuk pemeliharaan prasarana dan konservasi. Janjinya dana dari pembayaran air bersih orangorang yang mampu akan digunakan untuk prasarana dan konservasi.
Menurut Roestam, rehabilitasi DAS kritis, per hektar dibutuhkan Rp 5 juta-Rp 6 juta. Luas lahan kritis
di Indonesia mencapai 3 juta hektar, sebagian besar ada di Jawa, yang menurut catatan Kompas
berjumlah 2,481 juta hektar. Dihitung-hitung dibutuhkan Rp 12,405 triliun untuk rehabilitasi DAS.
(EDN/TRI)
kekeringan yang tersebar di 18 dari 24 kecamatan, dan 10.030 hektar sudah dalam tahap terkena
kekeringan yang tersebar di 14 kecamatan.
BENCANA mulai terjadi. Kekeringan terus meluas di daerah-daerah sentra produksi
padi. Para petani, meski agak terlambat, mulai menanam tanaman pengganti padi, seperti kacang
hijau, kacang panjang, semangka, dan mentimun suri. Sementara para petani yang sudah telanjur
menanam padi mendesak agar bantuan pompa air segera diberikan, mumpung masih ada air di
saluran-saluran irigasi.
Akan tetapi, seperti hal-hal lain yang ditangani pemerintah, segalanya terasa lamban dan penuh
hambatan birokrasi, termasuk janji-janji pemberian bantuan. Menurut Sathori, Pemkab Cirebon
sebenarnya sudah menyiapkan dana bantuan sebesar Rp 400 juta untuk pengadaan pompa air dan
Rp 100 juta untuk benih kacang hijau.
Namun, dikhawatirkan, bantuan tersebut tidak akan sampai tepat pada waktunya karena proses
birokrasi yang terlalu lama. "Saat ini, bantuan pompa itu sedang diusulkan masuk dalam rapat
perubahan anggaran APBD dengan DPRD. Paling cepat baru satu bulan lagi dana bantuannya akan
cair untuk membeli pompa. Dan saat itu semua dikhawatirkan sudah terlambat," kata Sathori awal
Juni lalu.
Di Indramayu, dalam kondisi kekeringan yang terus meluas, Bupati Irianto MS Syafiuddin justru
mengatakan, kekeringan adalah hal yang wajar terjadi di negara yang memiliki dua musim
seperti Indonesia. Bahkan, ia menganggap bantuan pompa air percuma diberikan karena sumbersumber airnya sudah kering.
Demikian juga bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dan pemerintah pusat yang tidak
kunjung tiba. Pada akhirnya, perubahan alam yang begitu cepat dan ganas tidak dapat ditanggulangi
oleh manusia yang serba tidak serius dan cenderung meremehkan kekuatan alam. Dan pada
kenyataannya, berbagai bantuan itu memang akhirnya turun sangat lambat, yaitu sekitar akhir Juli
dan awal Agustus, saat semuanya sudah terlambat.
Dalam waktu satu setengah bulan, musim kemarau yang semula dianggap sebagai fenomena alam
yang wajar dan tidak membahayakan telah berubah menjadi bencana yang nyata. Kekeringan tidak
saja terjadi dan mengancam sektor pertanian, tetapi juga telah meluas dan mulai mengancam
bidang- bidang lainnya setelah sumber- sumber air bersih untuk keperluan minum, memasak, serta
mandi, cuci, dan kakus (MCK) ikut mengering.
Data terakhir pada minggu pertama Agustus lalu menyebutkan, kekeringan sudah melanda 20.371
hektar sawah di Kabupaten Cirebon atau mencapai 63 persen dari total luas tanam pada musim
tanam (MT) gadu tahun ini sebesar 32.006 hektar. Perinciannya, 5.407 hektar dinyatakan puso, 4.098
hektar terkena kekeringan berat, 2.687 hektar terkena kekeringan sedang, 4.955 hektar terkena
kekeringan ringan, dan 3.224 hektar dalam tahap terancam kekeringan.
Kondisi serupa terjadi juga di Kabupaten Indramayu. Dari jumlah realisasi tanam sebesar 68.884
hektar, 34.493 hektar di antaranya, atau lebih dari 50 persen, terkena kekeringan dengan perincian
19.781 hektar puso, 5.906 hektar terkena kekeringan berat, 5.171 kekeringan sedang, dan 3.635
hektar kekeringan ringan, serta 4.418 hektar tanaman dalam terancam kekeringan.
Dengan produktivitas rata- rata sawah di Pantura Jabar mencapai 5 ton gabah kering giling (GKG)
per hektar dan dengan asumsi seluruh daerah kekeringan tidak akan dapat terselamatkan, berarti
tahun ini Jabar terancam kehilangan produksi padi hampir mencapai 300.000 ton.
KEKERINGAN yang terjadi di Cirebon dan Indramayu tahun ini jauh lebih parah dibandingkan tahun
lalu dan masih lebih parah dibandingkan pada saat terjadinya El-Nino pada 1997. Tahun lalu, yang
dikatakan sebagai kekeringan terparah di Indramayu sejak 1994, hanya sekitar 26.000 hektar sawah
di Indramayu yang terkena kekeringan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.026 hektar terkena puso
atau gagal panen total dan sisanya bervariasi mulai dari kekeringan ringan, sedang, dan berat.
Ada beberapa faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab parahnya dampak kekeringan tahun ini.
Di samping kondisi alam di musim kemarau yang datang terlalu awal dan sangat kering, faktor-faktor
lain seperti kondisi saluran irigasi, pola tanam dan pola pikir para petani, dan kerusakan lingkungan di
wilayah hulu sungai-sungai besar.
Kepala Seksi Irigasi dan Klimatologi Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Asyikin Kusnandi
mengatakan, sekitar 70 persen dari jumlah saluran irigasi tersier yang ada di wilayah Kabupaten
Cirebon sudah tidak dapat berfungsi dengan baik selama 10 tahun terakhir ini karena kurangnya
perawatan.
Menurut dia, saluran-saluran tersier dibangun oleh pemerintah pusat pada tahun 1975. Dan sejak
saat itu, tidak pernah mendapat perawatan yang layak karena para petani menyangka perawatan
saluran irigasi merupakan tanggung jawab pemerintah. Padahal, para petani seharusnya
bertanggung jawab terhadap perawatan saluran irigasi tersier secara swadaya.
Pola pikir dan pola tanam petani yang tidak memperhitungkan kondisi alam juga menyebabkan
datangnya musim kering selalu diikuti dengan gagal panen dalam skala besar. Seperti yang terlihat di
Desa Soge dan Kertawinangun, Kecamatan Kandanghaur, Selasa (12/8).Para petani nekat menanam
untuk musim tanam ketiga tahun ini meskipun sebagian tanah di sawah mereka sudah kering dan
retak-retak, dan hanya mendapatkan sisa-sisa air.
Kepala Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Ir Ucu
Sumiarsa menilai, salah satu penyebab cepatnya penyusutan sumber-sumber air utama di kawasan
pantura adalah kerusakan lingkungan, terutama kawasan hutan, di daerah hulu sungai.
Dua sungai utama di pantura, yaitu Sungai Cimanuk dan Cisanggarung sama-sama memiliki mata air
di kawasan pegunungan Kabupaten Garut. Dengan hilangnya hutan di kawasan hulu, air hujan
menjadi tidak tertahan di bawah tanah. Dengan demikian, pada musim hujan sangat rawan banjir dan
pada musim kemarau tidak ada cadangan air tanah.
Di samping semua permasalahan yang harus dicari solusinya itu, hampir semua pihak menandaskan
bahwa solusi jangka panjang untuk menghindari bencana kekeringan selalu terulang di wilayah
lumbung padi di Pantura Jabar adalah pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang.
Tak kurang dari Gubernur Jabar Danny Setiawan berulang kali mengingatkan, pembangunan Waduk
Jatigede mendesak dilakukan karena kondisi pengairan di wilayah pantura sudah sangat
mengkhawatirkan. Proyek Waduk Jatigede sebenarnya sudah digagas sejak 1969. Akan tetapi,
hingga sekarang pembangunan fisik waduk itu belum terlihat di lapangan. (DAHONO FITRIANTO)
Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menargetkan luas kawasan hutan di wilayahnya minimal harus 45
persen dari luas wilayah.
Ini mengingat topografi wilayah Jawa Barat yang berbukit dan bergunung-gunung harus
dipertahankan hutannya untuk menopang ketersediaan air, baik bagi pertanian, air minum
masyarakat, maupun pembangkit tenaga listrik di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) yang digerakkan turbin air di ketiga waduk itu merupakan pemasok listrik
pada interkoneksi Jawa-Bali. Ketiga waduk ini menampung air dari Sungai Citarum yang kawasan
DAS-nya sudah rusak parah.
Sementara itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan
Jawa yang seluas 3.289.131 hektar saat ini keadaannya benar-benar menyedihkan. Sebagai
gambaran umum, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi
tercatat 1,714 juta hektar atau mencapai 56,7 persen dari luas seluruh hutan yang ada. Itu terdiri atas
hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta hutan produksi tak berpohonan
seluas 1.147.116 hektar.
Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai
9,016 juta hektar sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau
84,16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa.
Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia disesaki oleh 65
persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa. Sementara dari sudut potensi air hanyalah 4,5
persen dari total potensi air di Indonesia sehingga menimbulkan benturan kepentingan (conflict of
interest). "Melihat kondisi Jawa seperti ini, dipandang dari segi pengembangan sumber daya air,
sudah termasuk kategori kritis," ungkap Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA)
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief.
Menurut Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), kebutuhan air dunia meningkat
dua sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa tetap, bahkan cenderung
menurun, terutama apabila ditinjau dari segi kualitas. Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air
akan meningkat lebih dari 200 persen pada kurun waktu 1990-2020. Dengan kebutuhan yang ada
sekarang pun, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan tersebut.
Dengan cepatnya perkembangan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan pantai utara Jawa,
kebutuhan air meningkat tajam. Namun, perkembangan itu tidak sebanding lagi dengan peningkatan
upaya penyediaannya atau bahkan melebihi potensi sumber daya air yang ada. Ini menyebabkan
terjadinya defisit air. Terbatasnya tempat- tempat penampungan air serta semakin parahnya kondisi
lingkungan dan DAS, menyebabkan terakumulasinya kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Melihat fakta ini, dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan air yang memadai bagi masyarakat akan
semakin jauh dari jangkauan. Karena itu, perlu dipikirkan dan dicermati bersama upaya-upaya
pengembangan sumber daya air yang lebih efektif dan mampu menjawab tantangan di atas. Ini
mengingat tekanan akibat pertumbuhan penduduk menyebabkan kecenderungan terjadinya
perubahan kondisi daerah hulu sungai serta kerusakan hutan penutup catchment area, yang
sebetulnya perlu dijaga guna menjamin tersedianya dan terjamin meratanya keberadaan air
sepanjang tahun.
DIRJEN SDA menjelaskan, upaya pengembangan wilayah sungai dalam rangka mengembangkan
dan mendayagunakan sumber daya air sekaligus pengelolaan dan konservasi sumber daya air telah
dikembangkan di berbagai wilayah sungai di Jawa. Baik yang bersifat single basin maupun multiriver
basin, yang semuanya diarahkan agar dapat mengatasi permasalahan air yang ada. Contohnya
pengembangan wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Cimanuk-Cisanggarung, CitanduyCiwulan, Serayu-Bogowonto, Jratunseluna, dan pengembangan wilayah Sungai Brantas.
Masalahnya, hanya sebagian atau kurang dari 15 persen prasarana pengairan yang mampu
menjamin tersedianya air hampir sepanjang tahun, melalui waduk dan reservoir yang ada. Selebihnya
seperti bangunan- bangunan bendung pengambilan air bersifat run off river yang mengandalkan
sepenuhnya pada fluktuasi air di sungai apabila terjadi kekeringan bangunan ini tidak mampu
mengatasinya.
Merunut permasalahan yang dihadapi di Pulau Jawa serta melihat tingkat kekritisan potensi sumber
daya air dan penggunaannya, konsep bagaimana menampung air pada saat kelebihan di musim
hujan serta mengatur dan memanfaatkan air saat kemarau menjadi sangat relevan.
Roestam Sjarief berpendapat, melihat potensi sumber daya air di wilayah barat Pulau Jawa yang
relatif lebih basah dan lebih besar dibanding wilayah tengah dan timur Jawa, adanya gagasan
membawa dan mentransfer air dari barat ke timur bukanlah merupakan hal yang tidak mungkin.
Dalam kaitan ini ada baiknya melihat kembali gagasan seorang ahli pengairan, Prof DR Ir Van
Blommestein, yang mencoba mengembangkan konsep penataan sumber daya air bagi kesejahteraan
umat manusia.
Ketika menyampaikan gagasannya pada pertemuan tahunan persatuan insinyur-Koninklijk Instituut
van Ingenieurs-di Bataviatanggal 18 Desember 1948, Van Blommestein menjelaskan konsep
penataan air dengan pemikiran sederhana. Di musim hujan kelebihan air ditampung dan disimpan
untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Pengendalian air semacam ini tidak hanya dapat
mengamankan produksi pangan sepanjang tahun, tetapi akan dapat pula menghindari kerusakan dan
kerugian karena banjir, khususnya di wilayah pantai utara Pulau Jawa.
Selain itu, melalui pengembangan konsep ini akan dapat pula diperoleh sumber pembangkit tenaga
listrik serta dapat pula diwujudkan sarana transportasi melalui alur air yang murah bagi produk-produk
pertanian. Pada waktu itu, gagasannya masih terfokus pada penanganan Pulau Jawa bagian barat.
Gagasan awal Van Blommestein adalah untuk pengendalian air perlu dibangun waduk-waduk besar
sebagai tempat menyimpan dan mengatur ketersediaan air. Inti dari rencana van Blommestein untuk
Pulau Jawa bagian barat adalah pembuatan dua waduk besar di kali Citarum dengan kapasitas total
lebih dari 4 miliar meter kubik. Waduk ini akan mampu menjamin kelangsungan pengelolaan daerah
pengairan di bagian utara Pulau Jawa bagian barat, sambung-menyambung dari wilayah Serang
hingga Pemalang seluas 517.240 hektar. Selain itu, waduk tersebut menyediakan pasokan air ke
Kota Batavia bagi penggelontoran saluran di kota sepanjang tahun serta menyediakan tambahan air
minum dan penyediaan tenaga listrik guna mendukung pengembangan kawasan industri di Batavia,
Cirebon, dan Tegal.
Selanjutnya, dengan membuat saluran-saluran utama dari sistem pengairan ini cukup besar yang
mampu dimanfaatkan untuk pelayaran perahu, akan diperoleh sarana transportasi air sepanjang 385
kilometer di wilayah barat. Sementara itu, dengan memanfaatkan keberadaan saluran panjang
tersebut (parit raya), pengembangan wilayah dari Serang hingga Pemalang airnya akan dipasok dari
15 sungai, mulai dari kali Sungai Ciujung di ujung barat hingga Kali Rambut dekat Kota Pemalang di
ujung timur beserta waduk di kali Citarum, waduk Darma di kali Cisanggarung, dan waduk Malahayu
di kali Kabuyutan.
"Wilayah pengairan itu akan dibagi dalam tujuh rayon. Tiap rayon didukung oleh sekelompok sungaisungai, dengan sistem tata air "terusan panjang" yang akan diatur dengan pembuatan pintu-pintu
pengatur tinggi muka air yang dapat pula melewatkan perahu," papar Roestam Sjarief.
Gagasan Van Blommestein sebagian telah terwujud dengan dibangunnya Waduk Jatiluhur, Saguling,
dan Cirata di Sungai Citarum, Waduk Cacaban di Tegal, serta saluran sepanjang pantura Jawa Barat
yang melintang melewati berbagai sungai. Sebenarnya pengembangan saluran panjang ini telah pula
dilakukan pada zaman Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1800-an, dengan pembangunan saluran
pelayaran-Prauwvaar Kanaal-yang menghubungkan Semarang, Demak, terus ke Kudus untuk
kepentingan pelayaran dan saluran pembawa air irigasi yang digabungkan dengan saluran induk
irigasi Sedadi.
TAHUN 1964 Blommestein mengembangkan gagasannya yang tertuang di dalam rencana
pengembangan bagi Pulau Jawa bagian barat menjadi "Pengembangan Sumber Daya Air di Pulau
Jawa dan Madura". Di dalam rencana ini, sumber daya air dikembangkan dengan menggabungkan
sungai-sungai besar di Pulau Jawa dalam satu kesatuan sistem pengembangan agar senantiasa
tersedia air bagi berbagai keperluan, seperti air baku untuk air minum dan untuk industri, pengairan
irigasi dan perikanan darat, transportasi air, serta untuk pengembangan pariwisata.
Dasarnya pemikirannya, bagi pengairan dan pengendalian banjir, tidak ada sungai yang secara
tunggal dapat diandalkan karena sifat ekstremitas curah hujan di Pulau Jawa yang ditunjukkan
dengan musim hujan yang sangat basah dan sebaliknya musim kemarau yang amat kering.
Hubungan antarsungai dipandang sangat penting untuk meratakan efek ekstremitas pola hidrologis
itu.
Dengan sumber hujan yang berlebih di bagian barat dibanding wilayah lainnya, dapat membantu
mengatasi masalah air di bagian timur melalui kanal-kanal penghubung (dapat pula disebut sebagai
Parit Raya). Di bagian barat dengan potensi sumber air yang besar dan topografi yang mendukung,
dimungkinkan dibangun waduk-waduk besar.
Adapun inti gagasan pengembangan sumber daya air di Pulau Jawa dan Madura di atas adalah
dibangunnya suatu kanal panjang (parit raya) dari Waduk Jatiluhur ke timur dengan alternatif.
Pertama, kanal dari Waduk Jatiluhur sampai dekat kota Tuban di Jawa Timur diharapkan air dapat
mengalir secara gravitasi.
Kedua, kanal dibuat dari Waduk Jatiluhur sampai Sungai Garang di Semarang bagian barat. Pada
poin lokasi ini ketinggian air yang tinggal lebih kurang 15 meter di atas permukaan laut (dpl) dipompa
sampai ketinggian lebih dari 75 meter dpl, dan melalui saluran buatan dialirkan ke sungai Serang,
Sungai Uter, dan Sungai Kedungdowo, kemudian dialirkan ke Sungai Bengawan Solo. Selanjutnya di
selatan Kota Tuban dibuat terusan lagi ke selatan Kota Surabaya dan dialirkan ke Pulau Madura
melalui polder di Selat Madura.
Menurut Dirjen SDA, gagasan Blommestein pada dasarnya menampilkan peranan suatu terusan
transversal dan menggabungkannya dengan pengembangan waduk-waduk penampung air, sebagai
syarat utama memeratakan potensi sumber daya air. Ini sekaligus berperan bagi pengendalian banjir
dengan membuka peluang meringankan beban banjir pada suatu sungai dan mengalihkan sebagian
arus banjir ke sungai lain. Namun, dengan perkembangan kondisi yang terjadi di Pulau Jawa,
gagasan cerdas ini belum dapat terwujud.
Seandainya telah ada transversal atau parit raya Serang- Semarang, upaya pengendalian banjir di
seluruh pantai utara Pulau Jawa bagian barat dan tengah dapat dilaksanakan secara terpadu. Ini
termasuk dukungan terhadap keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan lahan-lahan pertanian
produktif di sepanjang pantura.
Gagasan Blommestein sebagai salah satu pemikiran cemerlang pengelolaan sumber daya air secara
komprehensif dan terpadu dapat memberikan motivasi bagi kita dalam menerapkan kebijakan
pengembangan dan pengelolaan sumber daya air ke depan. Khususnya dalam mengatasi krisis air
yang semakin berat dan komplek. (edn/dmu)
KEBUTUHAN air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal
dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan
sarana air yang bersih dan memadai.
Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan
munculnya gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan
institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan
terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun
1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak
lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan
masalahnya sudah multidimensional.
Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan
Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali
dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan,
yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup.
Saat ini RUU Sumber Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah
melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai
irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan
apakah reformasi tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi
sektor ini?
Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara pandang yang berubah atas
sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas
ekonomi.
Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan
dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara
kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air.
Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan
pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan
kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih.
Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung.
Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi
bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian,
segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan.
Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan di tahun 1992 menyatakan bahwa hak dasar (basic
right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah akses kepada air dan sanitasi dengan harga
yang terjangkau (FAO, 1995).
Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak- hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada
November tahun lalu mendeklarasikan bahwa air adalah sebuah hak yang hakiki (fundamental right).
Komite ini juga menyatakan bahwa air adalah harus diberlakukan sebagai barang sosial dan kultural,
dan bukan komoditas ekonomi belaka.
DALAM konteks Indonesia, arah reformasi SDA dapat dilihat dari paradigma dominan yang
melandasinya. Dalam RUU SDA, paradigma air sebagai komoditas ekonomi lebih diutamakan.
Walaupun dinyatakan bahwa penguasaan air ada di tangan negara dan pengelolaan air harus
mempertimbangkan fungsi sosial dan lingkungan, RUU SDA ini membuka kesempatan yang sangat
besar bagi upaya komersialisasi dan komodifikasi air.
Indikasinya adalah kesempatan swasta untuk terlibat secara luas dalam pengusahaan air lewat
pemberian hak guna usaha. Jika sebelumnya sektor swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan
pengelolaan air minum, RUU SDA memungkinkan peran swasta pada seluruh bidang perairan, dari
penyediaan air bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian.
Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran
masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan
perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun
dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat
berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak
konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya.
Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan
harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan
biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal.
Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok
masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompokkelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.
Dominannya paradigma air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah
tantangan untuk memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang efisien
dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai
hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa
reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi
kelompok miskin dengan harga yang terjangkau.
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa 80
persen populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk memenuhi hak dasar
rakyat Indonesia atas air. Namun, kenyataannya, untuk dapat memenuhi kewajiban tersebut,
diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur pengairan, pemulihan, dan
perawatan sumber daya air.
Diperkirakan, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan
air bersih bagi 40 persen populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi, penyediaan dana
tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah.
Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi.
Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati, dampaknya akan meningkatkan harga jual air yang
justru dapat membatasi dan mengurangi akses masyarakat atas air bersih dan sanitasi.
UNTUK mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Pertama, melakukan
pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam
pengusahaan sumber daya air untuk mencegah pembebanan harga/tarif yang berlebihan kepada
publik. Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah yang menutupi kesenjangan (gap) antara
tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar. Mekanisme ini
dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat.
Mekanisme lain yang menjamin hak dasar rakyat atas air dan perlindungan dari eksploitasi yang
berlebihan akibat ketidaksempurnaan pasar harus terus dielaborasi dan direalisasikan. Ketiga,
mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk
menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang
efektif guna menjamin check and balances.
Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi SDA dapat diarahkan pada upayaupaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat dan
menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip konservasi dan
pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama. Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal
(polluters pay principle) harus diterapkan secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumber daya
air yang lebih luas. Di lain pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan
penggunaan air sebagai wujud pengakuan hak orang lain atas air.
Sejumlah tujuan yang disebutkan di atas tidak akan dapat tercapai tanpa, pertama-tama, memiliki
struktur manajemen air yang baik yang memiliki sumber daya modal dan manusia untuk menjalankan
sistem yang efisien, efektif, dan responsif. Pemerintah mau tidak mau harus melakukan investasi
sumber daya manusia dan finansial dalam sistem pengelolaan air yang dimiliki.
Efisiensi dalam sistem pengelolaan sumber daya air tidak melulu harus dipaksakan pada bentuk
pengelolaan oleh swasta, sebagaimana yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga keuangan
multilateral, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ada banyak contoh di
mana pengelolaan sumber daya air berbasis kepemilikan dan manajemen publik berhasil baik.
Sejumlah penelitian menyatakan bahwa utilitas air milik publik dapat bekerja dengan baik apabila
utilitas itu dikelola dengan melibatkan peran yang aktif dan konstruktif dari serikat pekerja, transparan,
dan bertanggung jawab atas konsumen atau pengguna air serta manajemen yang otonom dan bebas
dari interferensi politik.
Reformasi SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat
menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.
Masalah Air dan Energi
sampai sekarang belum tersentuh irigasi. Data itu dibutuhkan, agar bisa segera menghitung
berapa irigasi yang dibutuhkan atau perlu segera dibangun di Garut.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari teori kesetimbangan ini curah hujan yang jatuh di sawah (Reff) bukan 70 %
seperti pada metoda konvensional. Akan tetapi besarnya jadi bervariasi sesuai
dengan kondisi di lapangan dan air yang dibutuhkan untuk sawah setelah teijadi
infiltrasi dan genangan, sehingga dari basil perhitungannya Reff ini dapat
diklasifikasikan sesuai dengan curah hujannya.
Secara garis besar dari kajian ini dapa disimpulkan bahwa perhitungan kebutuhan
air dengan metode keseimbangan air lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal
bila dibandingkan dengan metode konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan
pada DI Leuwi Goong mengingat kondisi alamnya yang mempunyai perbedaan
tinggi curah hujan yang sangat jauh antara musim bujan dan musim kemarau.
Kebutuhan air dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode
keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas tanam yang
dihasilkan dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada metoda konvensional
yaitu diperoleh intensitas tanam yang mempunyai luas 6771 ha yaitu 278,17 %,
angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan intensitas tanamnya dengan metoda
konvensional dari luas 5271 ha yaitu 215 %. Karena perbedaan luasnya yang cukup
tinggi mencapai 1500 ha memungkinkan sekitar 20 areal iragasi tadah hujan
menjadi areal irigasi teknis.
SARAN
Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil mengenai pesmilihan besar intensitas tanam
agar kajian dilanjutkan, lebih menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas
tanam yang lebih besar, ditinjau dari segi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber pengambilan dokumen :
Tesis Magister Program Studi Teknik Sipil
Bidang Khusus Pengembangan Sumber Daya Air
20062889
Abstrak :
.(Sumber: ://www.limnologi.lipi.go.id)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat yang
cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak
zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang
membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada
realitas sistem irigasi yang telah ada.
Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem irigasi merupakan suatu
realitas dari gabungan dari berbagai aspek pengetahuan dan kewenangan. Sistem irigasi tidak
dapat hanya ditentukan hanya oleh faktor phisik atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja.
Begitu pula sistem irigasi tidak cukup hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau
pada sisi lain, sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik pengaturan air
atau bercocok tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek untuk mendukung hidup
masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai bahan makanan pokok untuk kehidupan
mereka sehari-hari. Oleh karenanya dalam diri sistem irigasi selalu terdapat gabungan dari
berbagai faktor, yaitu faktor phisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi
pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut sangat
dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola,
dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada. Dengan pemahaman tersebut maka akan
dapat memandu kita untuk membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan
efektivitas pembangunan dan pengelolaan sistem irgasi harus berbasis pada berbagai faktor
di ats. Begitu juga dalam membahas pembagian peran ( role sharing ) dalam pembangunan
dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu membangun kesepahaman
bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya
peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.
Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dalam Bab II mulai pasal 13 sampai dengan
pasal 19 telah mengatur wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah,
dan pemerintah desa.
Sedangkan dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi irigasi, secara khusus
pada UU tersebut diatur dalam pasal 41, ayat (2), yang di penjelasan diuraikan bahwa daerah
irigasi dengan luas kurang dari 1000 hektar,dan ada dalam satu wilayah kabupaten/kota
menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota; daerah irigasi dengan
luas areal 1000 3000 hektar atau daerah irigasi dengan luas areal kurang dari 1000 hektar
dan lintas wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah
provinsi; dan daerah irigasi dangan luas areal lebih dari 3000 hektar, atau daerah irigasi yang
lintas provinsi, dan daerah irigasi strategis nasional serta lintas negara menjadi kewenangan
dan tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2006
tentang Irigasi dalam pasal 4, ayat (2), menyebutkan bahwapengembangan dan
II. PEMBAHASAN
memberdayakan masyarakat. Bukan sebaliknya bahwa setiap jenis kegiatan dalam PPSIP
hanya untukp emberdayaanbirokrasi pemerintah.
Although the nature and severity of water problems are different from country to country,
one aspect is common to most countries; water scarcitywhether quantitative, qualitative, or
bothoriginates more from inefficient use and poor management than any real physical
limits on supply augmentation.
Disampaikan pada acara Lokakarya Pembagian Urusan dalam Pengembangan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi (Role Sharing) di Hotel Patrajasa Semarang, 5-7 Juni 2007 yang
diselenggarakan oleh BAPPENAS-RI.
Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air yang tersedia.
Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang (tingkatan) primer, sekunder,
tersier sampai kuarter. Jenjang-jenjang tersebut merupakan jalinan sistemik yang terpadu
keberadaanya. Sistem irigasi sendiri merupakan sistem penyediaan dan pengaturan air untuk
pertanian. Sumber irigasi ini bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J.,
dan Sjarief, Roestam,: 2005).
Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat
dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin tinggi
jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikut adalah
ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS):
Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake),
saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang
(ibid.,). Sistem tersebut berada dalam satu teritori tertentu dalam sebuah wilayah negara.
Antara jenjang yang satu dengan yang lain, dengan demikian sesungguhnya sulit dipisahpisahkan. Dibutuhkan satu manajemen yang kuat terintegrasi. Jika saja penjenjangan tersebut
yang terjadi ada di dalam satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu, mungkin ini dapat
diattach dalam sistem pemerintahannya. Lain halnya jika sistem tersebut telah meliwati
batas-batas administrasi pemerintahan tertentu, tentu sangat sulit di-attach dalam sistem
pemerintahannya karena membutuhkan peran pemerintahan yang bersinggungan.
Two important levels of devolution have evolved in water services management; devolution to
local governments, and devolution to community based user groups. The later is more
common and, depending on the country, is often incorporated into the first type.
Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di berbagai negara terutama
negara berkembang dengan menyatukan kedua cara devolusi tersebut ke dalam sistem yang
pertama, dari pendapat tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara terpisah: yang pertama
desentralisasi teritorial, yang kedua adalah desentralisasi fungsional. Pakar tersebut
menambahkan penjelasannya sebagai berikut:
The new push toward participatory management process has enabled decentralization to user
groups. These groups comprise the intended beneficiaries, who weigh all technically feasible
options, consider capital and recurrent cost implications, make choices, and then manage
systems. The approach pays dividends for both government and communities; communities
get what they need, and governments are relieved of long term operation and maintenance
(O&M) burden. User groups are common to irrigation and rural water supply and sanitation.
Generally they are referred to as water users associations (WUAs) in the former and water and
sanitation committees (WSCs) in the latte.
Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi fungsional jika
organisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang secara langsung dari
Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean merinci dalam sebuah tabel
kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab antara WUAs dan lembaga Pemerintah dalam
6 model mulai dari sepenuhnya ditangani oleh agensi Pemerintah sampai sepenuhnya
dikelola oleh asosiasi pengguna air. Organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika
pada model ke-enam yakniWUA/WSC full control dimana aktivitas sepenuhnya dilakukan
organisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam kategori desentralisasi
fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat ditentukan oleh pemberi wewenang. Jika
pemerintah secara langsung, maka desentralisasi fungsional yang dilakukan.
III. PENUTUP
petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di Indonesia, untuk saat
sekarang dan masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmanto, Sudar Dwi (Edit). Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan
Kemandirian Petani. PSDAL-LP3ES. 2004.
Anonymous. Transparansi Pembangunan. Beberapa Pengalaman Program Pengembangan
Kecamatan. Pengalaman Media Masa Dalam Pemantauan.. CESDA-LP3ES. 2001.
Ostrom V. Policentricity and Local Public Economic. The University of Michigan Press. Ann-Arbor.
1999.
Pasandaran, Effendi. Pembangunan Irigasi Masa Depan. Pendekatan Arus Balik Dalam Pengelolaan
Irigasi. Paper untuk Bahan Sarasehan di Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia JKI-Indonesia). 2006.
Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia. Dari Zaman Revolosi sampai
dengan Orde Baru. Prisma-LP3ES, No.8/Tahun 1989. 1989.
Categories: Pertanian