Anda di halaman 1dari 50

LITERATUR REVIEW : PERILAKU DAN BUDAYA

PENCARIAN PENGOBATAN MASALAH-MASALAH


KEKURANGAN VITAMIN A PEREMPUAN PESISIR

LITERATUR REVIEW : BEHAVIOR AND CULTURE OF COASTAL


WOMEN IN SEEKING TREATMENT OF VITAMIN A
DEFICIENCY

Abstrak

Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau


kecil di Indonesia sangatlah beragam. Perkembanagan sosial budaya
ini secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh factor alam.
Perkembangan selanjutnya memberikan karakteristik dalam
aktifitasnya mengelola SDA. Banyak faktor yang telah dinyatakan
sebagai tantangan dalam pembangunan kesehatan, seperti lingkungan
dan fasilitas yang masih kurang menunjang, antara lain belum
memadainya penyediaan air bersih, belum tercapainya sanitasi
lingkungan yang baik, masih tingginya prevalensi penyakit menular
dan penyakit infeksi lainnya

Departemen gizi untuk Kesehatan dan pembangunan (NHD)


telah memelihara system informasi gizi vitamin dan mineral
(VMNIS) yang mencakup tiga database terkait dengan tiga gangguan
mikronutrien yang penting bagi kesehatan masyarakat secara global :
defisiensi yodium, kekurangan zat besi, anemia dan kekurangan
vitamin A. Vitamin A terkenal akan khasiatnya untuk menjaga
Kesehatan mata. Pada tahap awal, kekurangan vitamin A bisa saja
tidak menimbulkan gejala apapun. Namun, jika kondisi ini tidak
segera diatasi, kekurangan vitamin A yang parah dapat
menimbulkan banyak masalah Kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk


Menganalisis perilaku dan budaya perempuan dewasa di pesisir
untuk mencari pengobatan terkait masalah kekurangan vitamin A.
Metode penelitian : kepustakaan (library research) dengan mengkaji
secara kritis di dalam tubuh literatur berorientasi akdemik. Sumber
literatur ada jurnal penelitian yang disesuaikan dengan tema dan
permasalahan literatur review. Metode Analisa data menggunakan
anotasi bibliografi (annotated bibliography) dimana setiap sumber
akan ditarik simpulan terkait dengan yang tertulis. Hasil penelitian
yang diperoleh dapat dijadikan landasan untuk membuat kebijakan
atau program untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga pesisir.

Kata kunci : Perilaku dan budaya, Vitamin A, Perempuan


pesisir

Abstract

The socio-cultural life of coastal communities and small


islands in Indonesia is very diverse. This socio-cultural development
is directly and indirectly influenced by natural factors. Further
developments provide characteristics in the activities of managing
natural resources. Many factors have been stated as challenges in
health development, such as an environment and facilities that are
still inadequate, including inadequate provision of clean water, lack
of good environmental sanitation, and still high prevalence of
infectious diseases and other infectious diseases.

The Department of Nutrition for Health and Development


(NHD) maintains a vitamin and mineral nutritional information
system (VMNIS) that includes three databases related to three
micronutrient disorders of global public health importance: iodine
deficiency, iron deficiency, anemia and vitamin A deficiency.Vitamin
A is famous for its benefits in maintaining eye health. In the early
stages, vitamin A deficiency may not cause any symptoms.
Analysing the woman’s consuetude whom living on the coast to
seek treatment of vitamin A deficiency. Research method: library
research by critically reviewing in the body of academically oriented
literature. Literature sources are research journals that are adapted
to the themes and problems of the literature review. Methods Data
analysis uses annotated bibliography (annotated bibliography)
where each source will be drawn conclusions related to what is
written. The results obtained can be used as a basis for making
policies or programs to improve the welfare of coastal families.

PENDAHULUAN
GAMBARAN TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT
PESISIR

Masyarakat Pesisir meyakini bahwa lautan yang dimiliki oleh


mereka berdasarkan pembagian kawasan laut yang disahkan oleh
Raja Desa itu merupakan suatu sumberdaya alam yang dijadikan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lebihnya dijual untuk
keuntungannya. Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil di Indonesia sangatlah beragam. Perkembanagan
sosial budaya ini secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi
oleh factor alam. Perkembangan selanjutnya memberikan
karakteristik dalam aktifitasnya mengelola SDA. Tidaklah jarang
ditemukan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil belum
tentu memilih laut sebagai lahan mata pencarian utama. Demikian
pula, pada menunjukan pola dan karakter yang berbeda dari kawasan
perairan satu kekawasan lain memiliki pola yang berbeda. Adat
istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sangatlah beragam pula. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya
budaya pengaturan lahan laut atau sering disebut Hak ulayat laut.
Aturan-aturan semacam ini merupakan satu kearifan local yang perlu
dihargai sesuai dengan UUD 1945Pasal 18B ayat 2 yang disebutkan
bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-
Undang. Warga masyarakat yang proses sosialnya berada di wilayah
pesisir dapat digolongkan sebagai masyarakat yang peradabannya
“kasar”. Hal ini ditandai oleh sikap-sikapnya yang lugas, spontan,
tutur kata yang digunakan cenderung kasar, demikian juga tipe
keseniannya, sedangkan dari segi keagamaannya cenderung Islam
puritan. Berbeda dengan kebudayaan masyarakat Negarigung ,tutur
kata yang digunakan halus, demikian juga tipe keseniannya,
sedangkan darisegi keagamaannya sinkretis, yaitu campuran antara
Islam dan Hindu-Buddha (Koentjaraningrat 1984:25-29). Pada
masyarakat pesisir, agama Islam diletakkan sebagai landasan
idialnya, sementara kebudayaan yang bercorak Hinduistik yang lebih
dulu ada digeser sedemikian rupa, sehingga corak keislamannya
lebih menonjol (lihat Suparlan, 1999:xi). Kebudayaan masyarakat
pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan atau sistem
kognisi yang ada dan berkembang pada masyarakat pesisir, yang
isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara
selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi
lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan
kelakuan-kelakuan yang diperlukan. Dalam pengertian, kebudayaan
adalah suatu model pengetahuan yang dijadikan pedoman atau
pegangan oleh manusia untuk bersikap atau bertindak dan
beradaptasi dalam menghadapi lingkungannya untuk dapat
melangsungkan kehidupannya (lihat Suparlan 1983:67). Kebudayaan
pesisiran, merupakan wilayah kebudayaan yang pendukungnya
adalah msyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal
disepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, dari Cirebon sampai
Gresik. Dalam pembagian wilayah kebudayaan Jawa, Kabupaten
Demak termasuk lingkup kebudayaan Pesisiran. Karakteristik
masyarakatnya terwujud antara lain dalam sistem kepercayaan,
sistem upacara, dan sistem nilai. Penduduk di sepanjang pesisir utara
pulau Jawa, termasuk Kabupaten Demak umumnya beragama Islam
puritan, sehingga kehidupan sosial-budayanya diselimuti oleh nilai-
nilai. Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang
dapat membangun ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan
karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka diperlukan
bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-
Undang no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah
yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri
segala urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua
masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk
untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka.
Kerajinan tangan, tarian, silat tradisional dan masih banyak lainnya
telahmenjadi bukti betapa masyarakat pesisir ini seperti masyarakat
kaledupa memiliki beragam budaya yang tak kalah dengan daerah
lain. Jenis dan penggunaannya pun terasa sangat jelas dan memiliki
nilai yang besar dikalangan masyarakat. Penghargaan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai budaya tentu harus menjadi
sesuatu yang mendasar demi tercapainya kelestarian budaya
masyarakat karena betapapun modernnya suatu masyarakat rasanya
sangat sulit untuk mencapai sebuah keharmonisan tanpa adanya
nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup disamping Al-
Qur’an dan Al-Hadits serta peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
masyarakat dan pemerintah. Penghargaan terhadap nilai budaya di
lingkungan kehidupan masyarakat Kaledupa terlihat dari masih
banyaknya padepokan-padepokan yang mempelajari silat tradisional
khas daerah serta taman belajar tarian yang mempelajari berbagai
jenis tarian dan kesenian tradisional daerah yang bersangkutan.
Melestarikan berbagai kesenian daerah bukan berarti bahwa mereka
tidak mau mengikuti perkembangan zaman yang serba modern ini
tetapi hanya ingin agar budaya warisan dari leluhur mereka tidak
punah ditelah waktu dan keadaan yang serba modern seperti
sekarang ini. Tradisi sedekah laut juga merupakan sebuah bentuk
rasa syukur yang hampir dimiliki banyak masyarakat pesisir di
Nusantara. Tradisi sedekah laut dihelat sebagai wujud syukur kepada
Tuhan atas limpahan kekayaan laut yang dapat menghidupi para
nelayan. Di Karimunjawa tradisi sedekah laut dikenal dengan nama
Pesta Lomba dan dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri.
Tradisi masyarakat pesisir didaerah pantai utara jawa yaitu
Indramayu, dan Cirebon juga terdapat upacara nadran yaitu
mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama
Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar
diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala
(keselamatan). Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa
anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau,
kembang tujuh rupa, buah- buahan, makanan khas, dan lain
sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu
mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambal diiringi
dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring,
barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer
(drumband).Tradisi masyarakat pesisir sangat kental dengan aktivitas
bahari, jauhsebelum teknologi mesin modern menempel di perahu-
perahu mereka, jauhsebelum itu mereka ber-panggayo dari satu
tempat ke tempat lainnya. Panggayo (Bahasa yang digunakan
masyarakat pesisir Maluku), atau dalam Bahasa Indonesia berarti
mendayung yang merupakan salah satu bentuk kearifan loka ldan
adaptasi masyarakat pesisir wilayah yang dikelilingi laut tersebut
dalam menyambung rantai kehidupan mereka. Bagi masyarakat
daerah pesisir, menangkap ikan dengan cara yang tradisional selain
untuk melestarikan budaya pendahulu juga dianggap sebagai cara
yang tepat untuk tetap bisa bersahabat dengan alam sekitar yang
telah menjadi tempat menggantungkan hidup mereka. Kedekatan
mereka dengan alam sekitar telah terbukti dengan tetap lestarinya
fauna dan flora yang tersebar luar disepanjang pantai dan lautan
tempat mereka menghabiskan waktu untuk mencari penghidupan (1)

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research),


yaitu penelitian yang mengkaji atau meninjau secara kritis
pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat di dalam tubuh
literatur berorientasi akademik (academic- oriented literature)
contohnya buku ensiklopedia, jurnal ilmiah, koran, majalah dan
dokumen, serta merumuskan kontribusi teoritis dan metodologisnya
untuk topik tertentu. Adapun sifat dari penelitian ini adalah analisis
deskriptif, yakni penguraian secara teratur data yang telah diperoleh,
kemudian diberikan pemahaman agar dapat dipahami dengan baik
oleh pembaca.
HASIL DAN PEMBAHASAN
POTENSI MASALAH KESEHATAN AKIBAT KEBUDAYAAN
DAN TRADISI MASYARAKAT PESISIR

Banyak faktor yang telah dinyatakan sebagai tantangan dalam


pembangunan kesehatan, seperti lingkungan dan fasilitas yang masih
kurang menunjang, antara lain belum memadainya penyediaan air
bersih, belum tercapainya sanitasi lingkungan yang baik, masih
tingginya prevalensi penyakit menular dan penyakit infeksi lainnya,
masih tingginya angka kelahiran dan kematian bayi. Namun hal yang
perlu diperhatikan pula sebagai tantangan pembangunan kesehatan
adalah respon perilaku masyarakat dalam menerima perubahan.
Salah satu kendala utama penerimaan program-program kesehatan
adalah kendala budaya pada masyarakat yang semula hanya
mengenal sistem medis tradisional. Masyarakat dalam kesatuan
suku-suku dengan identitas kebudayaannya masing-masing, memiliki
dan mengembangkan sistim medisnya sendiri sebagai bagian dari
kebudayaan mereka secara turun-temurun. Persepsi tentang
kehamilan yang dimiliki oleh masyarakat sangat menentukan
perilaku masyarakat terhadap kehamilan. Persepsi tentang kehamilan
ini terbentuk berdasarkan kepercayaan-kepercayaan dan simbol-
simbol yang dimiliki oleh masyarakat. Pengalaman kehamilan
khususnya adalah sumber dari simbol tentang kesuburan,
pertumbuhan bayi dalam kandungan, dan Kesehatan ibu dan anak.
Kehamilan, persalinan, dan nifas merupakan peristiwa yang istimewa
dalam keluarga sehingga kepedulian keluarga dan masyarakat cukup
tinggi. Kepedulian tersebut terwujud dalam bentuk adanya pantangan
makanan dan perilaku yang menunjukkan kepedulian keluarga
terhadap keselamatan si ibu dan bayinya dari hal-hal yang mereka
anggap berbahaya bagi kehamilan dan persalinan. Bagi mereka yang
masih memegang kepercayaan terhadap tradisi leluhur mengakui
adanya praktek melakukan pantangan makan. Mereka
mengungkapkan sejumlah bahan makanan yang termasuk dalam
pantangan seperti : ikan asin yang menurut mereka dapat
meningkatkan tekanan darah, juga pantangan makan cumi-cumi yang
ditakutkan dapat menyebabkan plasenta atau tembuni lengket seperti
yang terjadi di daerah pesisir Tanjung Limau. Selain bahan makanan
yang berasal dari hasil laut, terdapat pula pantangan mengkonsumsi
buah-buahan tertentu. Buah seperti jeruk nipis, nanas muda dan
durian merupakan pantangan. Jeruk nipis disebutkan dapat
menyebabkan kesulitan dalam persalinan, nanas muda dan durian
dianggap dapat menyebabkan keguguran. Kemudian untuk daerah
pesisir wilayah Abeli Kota Kendari juga memiliki tradisi atau
kepercayaan terhadap pantangan terhadap beberapa jenis makanan
tertentu, makanan yang dipantang oleh ibu hamil selama masa
kehamilan terdiri atas golongan hewani, golongan nabati dan
gabungan dari keduanya (golongan nabati dan hewani). Makanan
yang dipantang ibu hamil dari golongan hewani adalah cumi-cumi,
gurita, kepiting, daging, kepiting dan udang yang baru ganti kulit,
ikan pari, ikan yang tidak memiliki lidah, ikan yang memiliki banyak
duri (terundungan) dan telur bebek. Kepercayaan berpantang makan
ini didasarkan atas hubungan asosiatif antara bahan makanan tersebut
menurut bentuk atau sifatnya dengan akibat buruk yang akan
ditimbulkan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil
berpantang makan cumi-cumi sebab cumi-cumi berjalan maju
mundur diasosiasikan dengan proses melahirkan yang sulit di pintu
lahir, bayi akan menyulitkan persalinan dengan maju mundur pada
saat proses kelahiran. Kepiting dilarang karena dikhawatirkan anak
akan nakal dan suka menggigit jika besar. Gurita dilarang sebab
bersifat lembek diasosiasikan dengan bayi yang juga akan lemah
fisiknya seperti gurita. Kepiting dan udang yang baru ganti kulit
dilarang sebab bertekstur lembek tidak bertulang diasosiasikan
dengan anak yang juga akan lemah tak bertulang jika lahir, begitu
juga dengan ikan pari dipantang karena memiliki tulang lembut
dipercayai akan menyebabkan bayi juga bertulang lembut, daging
dipantang karena dikhawatirkan ibu akan kesulitan melahirkan jika
bayinya terlalu sehat, ikan yang bemiliki banyak duri (terundungan)
dilarang karena akan menyebabkan perasaan ibu hamil tidak enak
dan menimbulkan rasa panas selama kehamilan, telur bebek
dipantang karenaakan menyulitkan persalinan. Makanan yang
dipantang oleh ibu hamil dari golongan nabati adalah rebung, daun
kelor, terong dan tebu. rebung dilarang karena dikhawatirkan akan
menyebabkan anak memiliki banyak bulu/rambut jika lahir, pisang
kembar dipantang diasosiasikan anak juga akan kembar jika lahir,
daun kelor dilarang karena mengandung getah yang pedis yang akan
menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran dikenal dengan
sebutan “getah kelor”, (2)juga karena daun kelor yang berakar
diasosiasikan dengan ari-ari bayi yang juga akan berakar. Terong
dilarang karena juga dapat mengakibatkan gatal-gatal pada ibu dan
bayinya. Tebu dilarang karena akan menyebabkan rasa sakit karena
ibu akan mengeluarkan banyak air mendahului proses kelahiran
diasosiasikan dengan tebu yang juga mengandung banyak air. Dilihat
semua jenis pantangan makanan yang dikonsumsi ternyata
sebenarnya merupakan makanan yang menjadi sumber gizi yang
berguna selama masa kehamilan baik untuk perkembangan bayi
maupun bagi kesehatan ibu seperti ikan. Ikan laut segar lebih
dianjurkan kepada ibu hamil. Tetapi bila tidak ada, ikan kering
ataupun ikan yang diawetkan juga bermanfaat dan berkhasiat bagi
ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Hal itu bisa menjadikan
anak yang akan dilahirkan mempunyai kemampuan menyerap kosa
kata dan menangkap visual lebih baik dan kemampuan motorik yang
lebih baik. Karena ternyata perkembangan otak bayi sangat
ditentukan pada saat dia di dalam kandungan. Hal itu terjadi pada
saat trisemester kedua masa kehamilan ibu. Manfaat ikan laut tidak
hanya itu saja, ikan laut yang kaya akan protein itu juga bermanfaat
mencegah kebutaan. Mitos ibu hamil yang tidak boleh makan
ketiping atau seafood tidaklah benar. Seafood kaya akan protein dan
omega-3 yang bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan otak
selama dalam kandungan. Ahli penyakitdan nutrisi Charles Santerre
dalam www.babycenter.com membenarkan bahwa ibu hamil butuh
mengkonsumsi makanan laut karena mengandung protein dan
omega-3 yang baik untuk pertumbuhan janin. Pantangan untuk tidak
memakan kelor juga merugikan ibu hamil. Sebab daun kelor
merupakan salah satu sayuran yang kaya kandungan gizi. Kandungan
vitamin A daun kelor setara 4 kali kandungan vitamin A pada wortel,
7 kali kandungan vitamin C pada jeruk, 4 kali kandungan mineral
calcium dari susu, dan 9 kali kandungan protein dari yoghurt. Kelor
mengandung zat besi sebanyak 28,2mg/100 gram daun kering, 25
kali lebih banyak dibanding bayam, 3 kali lebih banyak dari kacang
almond dan 1,77 kali lebih banyak banyak yang diserap kedalam
darah. Dimana diketahui ibu hamil banyak membutuhkan zat besi
selama hamil untuk menghindari kejadian anemia. Rebung Menurut
Amelinda Angela, STP, peneliti dari Nutrifood ResearchCentre,
dalam satu cangkir irisan rebung hanya mengandung 14 kalori dan
sepertiga lemak. Dalam porsi yang sama justru mengandung 1,2
gram serat. Setara dengan setengah porsi nasi merah. Serat
dibutuhkan oleh tubuh sebagai pelancar pencernaan dan bisa
mencegah timbulnya berbagai penyakit kardiovaskular. Seperti
penyumbatan pembuluh darah, hipertensi, penyakit jantung koroner,
serta kolesterol berlebih.Terong juga mengandung asam folat yang
sangat dibutuhkan oleh Wanita hamil dan janin yang dikandungnya.
Asam folat berperan dalam mencegah kerusakan otak bayi di dalam
kandungan. Air rebusan akar terong juga dipercaya sebagai tonik
bagi wanita setelah proses persalinan. Terong ungu mengandung :air,
protein, lemak, karbohidrat, kalori, serat kasar, kalsium, besi, fosfor,
karotin, vitamin B1, B2, C, vitamin P dan asam nikotinat. Tetes tebu
atau yang dikenal dengan molases memiliki rasa yang manis yang
lengket. Molases memiliki beberapa gizi tersembunyi, termasuk
magnesium, mangan dan vitamin B6. Mangan merupakan mineral
penting yang berperan dalam pembangunan tulang bayi yang normal.
Vitamin B6 berperan sebagai cadangan natrium-fosfor yang
menentukan seberapa banyak air yang ada dalam tubuh Anda. Dan
kalium adalah mineral lain yang terlibat dalam retensi air.
Mendapatkan cukup vitamin B6 dan potasium dapat membantu
mengecilkan bengkak kaki dan pergelangan kaki yang sering terjadi
pada kebanyakan orang hamil. Selain dari pantangan dari segi
makanan yang dapat merugikan, selama kehamilan juga bukan hanya
bidan yang berhubungan dengan ibu hamil dan keluarganya tetapi
juga peran dukun masih besar dan diinginkan oleh masyarakat.
Dukun beranak disini adalah orang-orang yang mempunyai
keterampilan pengobatan secara turun temurun terutama yang
mempunyai keterampilan menolong persalinan. Dukun beranak
sebagian besar berjenis kelamin perempuan,dan biasa dipanggil
"sanro" sesuai bahasa Bugis yang merupakan bahasa sehari-hari
masyarakat Desa Tanjung Limau. Dukun beranak biasa dipanggil
datang ke rumah si ibu hamil untuk melakukan pemijatan agar posisi
bayi dalam kandungan tidak sungsang sehingga si ibu dapat
melahirkan secara normal. Pemijatan juga dilakukan bila si ibu
mengalami cidera fisik yang dapat mempengaruhi posisi bayi dalam
kandungan, misalnya terjatuh saat hamil. Hal seperti ini dalam dunia
medis tidak dibenarkan sebab memutar posisi bayi dapat
menyebabkan lilitan tali pusat sehingga tali pusat putus sebab posisi
bayi dalam kandungan dan letak plasenta serta Panjang tali pusat
tidak diketahui secara pasti. Banyaknya pantangan yang harus
dipatuhi oleh ibu hamil kadang kala membuat si ibu merasa stres.
Ruang geraknya terasa dibatasi. Masa kehamilan merupakan masa
yang rentan stres karena banyaknya stressor yang dihadapi oleh ibu
hamil. Ibu hamil harus menyesuaikan diri dengan perubahan
fisiologis dan psikologis yang dihadapinya selama masa kehamilan.
Perubahan-perubahan tersebut sudah cukup membuat seorang ibu
merasa stres jika tidak mampu beradaptasi dengan baik, apalagi
ditambah dengan adat pantang yang banyak. Memang, adat pantang
yang biasanya datang dari orang tua dan mertua dari si ibu tujuannya
baik, demi keselamatan ibu dan anak yang dikandungnya. Namun,
adat pantang tersebut tidak semuanya benar, tidak pula semuanya
salah.

Bagian dari mandate Kesehatan dunia adalah memberikan


informasi mengenai status Kesehatan masyarakat di tingkat global.
Dalam hal ini, sejak tahun 1991, Departemen gizi untuk Kesehatan
dan pembangunan (NHD) telah memelihara system informasi gizi
vitamin dan mineral (VMNIS) yang mencakup tiga database terkait
dengan tiga gangguan mikronutrien yang penting bagi kesehatan
masyarakat secara global : defisiensi yodium, kekurangan zat besi,
anemia dan kekurangan vitamin A. Tujuan VMNIS adalah untuk
menilai status populasi di tingkat global untuk meningkatkan
kesadaran komunitas Kesehatan masyarakat dan pembuat kebijakan,
mengevaluasi dampak intervensi dan mengukur kemajuan menuju
tujuan yang didukung oleh komunitas internasional, untuk
membandingkan data antar negara, melacak perubahan dari waktu ke
waktu dan meningkatkan kapasitas negara dalam mengelola data
Kesehatan terkait mikronutrien. Perkiraan WHO mengenai
prevalensi global kekurangan vitamin A pertama kali diterbitkan
melalui system informasi defisiensi mikronutrien pada tahun 1995.
Sejak itu, program besar mengenai pengendalian kekurangan vitamin
A telah dilaksanakan di beberapa negara dimana kekurangan vitamin
A merupakan masalah Kesehatan masyarakat. Banyak diantaranya
program ini melibatkan suplementasi vitaminA dan diperkuat dengan
dikombinasikan dengan kampanye pemberantasan POLIO. Selain
itu, indicator status vitamin A, khususnya pelaporan gejala rabun
senja dan konsentrasi retinol serum, telah dinilai dalam lebih banyak
survey nasional dibandingkan yang dilaporkan pada perkiraan
sebelumnya. Akibatnya, Sebagian besar data yang dikumpulkan
dalam laporan ini didasarkan pada Riwayat rabun senja dan
konsentrasi retinol serum yang dilaporkan. (3)

Vitamin A terkenal akan khasiatnya untuk menjaga Kesehatan mata.


Pada tahap awal, kekurangan vitamin A bisa saja tidak menimbulkan
gejala apapun. Namun, jika kondisi ini tidak segera diatasi,
kekurangan vitamin A yang parah dapat menimbulkan banyak
masalah Kesehatan.

Berikut ini beberapa masalah Kesehatan yang dapat terjadi jika tubuh
kekurangan vitamin A : (4)

Defisiensi vitamin A pada tahap ringan hingga sedang, umumnya


tidak menimbulkan gejala khusus. Namun, kekurangan vitamin A
dapat menyebabkan masalah Kesehatan tertentu. Apabila
berlangsung dalam waktu yang lama, seperti :

1. Gangguan pada mata

Kurangnya vitamin A dapat menyebabkan gangguan pada mata.


Masalah penglihatan ini dapat dialami oleh siapa saja. Mulai dari
anak-anak hingga orang dewasa. Gangguan mata akibat defisiensi
vitamin A biasanya ditandai dengan xerophthamia yang terjadi
Ketika retinol plasma menurun dan kekurangan vitamin A di mata.
Xerophthalmia dapat menyebabkan mata kering, kekurangan air
mata, hingga rabun senja (kesulitan melihat cahaya di tempat redup).
Apabila tidak ditangani dengan segera, kondisi ini dapat
mempengaruhi kornea yang dapat memicu terjadinya kebutaan
permanen.

2. Kulit kering

Tak hanya untuk mata, vitamin A dapat membantu regenerasi kulit


dan mencegah peradangan, kurangnya asupan vitamin A dapat
menyebabkan efek keratinisasi pada kulit dan selaput lender.
Beberapa masalah kulit yang bisa terjadi akibat kekurangan vitamin
A adalah : kulit gatal, rambut kering, kulit menjadi kering, bersisik
dan lebih menebal, jerawat dan peradangan pada kulit wajah

3. Gangguan pertumbuhan pada janin dan anak

Vitamin A adalah salah satu nutrisi yang berperan penting bagi ibu
hamil dan janin saat dalam kandungan, yaitu mendukung
perkembangan organ dan kerangka janin. Sehingga, kekurangan
vitamin ini bisa mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan janin.

Resiko tertinggi terjadi Ketika kehamilan menginjak trimester ketiga,


dimana pertumbuhan janin sedang pesat-pesatnya. Oleh karena itu,
ibu hamil disarankan berkonsultasi dengan dokter mengenai cara
yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan vitamin A. (5)

4. Meningkatkan resiko kanker

Terdapat perdebatan yang mengatakan bahwa vitamin A dapat


meningkatkan resiko kanker. Hal ini disebut dalam suatu penelitian
bahwa kurangnya kadar vitamin A dalam tubuh beresiko memicu
pertumbuhan sel-sel kanker. Meski demikian, pernyataan ini
membutuhkan penelitian lebih lanjut.

5. Masalah kesuburan

Masalah kesuburan atau infertilitas dapat dipicu oleh berbagai hal.


Salah satu faktornya adalah kurangnya asupan vitamin A. Masalah
kesuburan ini dapat terjadi pada pria dan Wanita.

Kurangnya vitamin A dalam tubuh juga meningkatkan resiko


terjadinya keguguran dan kelainan bawaan pada janin. Oleh karena
itu, penting untuk selalu memenuhi kebutuhan vitamin dan minera,
untuk menjaga kesuburan terutama pada masa kehamilan.

6. Daya tahan tubuh menurun

Akibat kekurangan vitamin A berikutnya adalah membuat tubuh


lebih rentan terserang penyakit. Pasalnya, vitamin A dapat membantu
menjaga sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh.

Menurunnya daya tahan tubuh inilah yang dapat menyebabkan tubuh


lebih rentan terserang infeksi virus atau bakteri dan menimbulkan
beberapa kondisi seperti nyeri dada, sakit tenggorokan, infeksi
saluran pernafasan, dan gastroenteritis.

7. Penyembuhan luka lebih lambat

Vitamin A juga memiliki manfaat dalam proses penyembuhan luka


dan meredakan inflamasi. Saat tubuh mengalami defisiensi vitamin
A, kulit akan kekurangan kolagen dan proses regenerasi pun turut
melambat, sehingga menyebabkan luka lebih sulit untuk sembuh.

Untuk mencegah hal ini, anda meningkatkan imun tubuh dengan


mencukupi kebutuhan vitamin A melalui beberapa makanan seperti
hati sapi, tomat, wortel,, telur dan susu. (6)

Pencegahan Defisiensi Vitamin A

Xerophthalmia dan Kebutaan Nutrisi

Defisiensi vitamin A (VAD) mempengaruhi jaringan mata melalui


dua cara: memperlambat regenerasi pigmen visual setelah terpapar
cahaya terang dan mengganggu integritas epitel. Ketidakmampuan
untuk melihat dengan baik dalam pencahayaan redup (rabun senja)
adalah gejala yang tercatat dalam literatur medis Mesir kuno,
Yunani, dan Asyur dan, baru-baru ini, dalam tulisan para dokter
Eropa. Cacat epitel pada jaringan mata yang menyebabkan kebutaan
dijelaskan pada anjing oleh Magendie dan pada manusia oleh Budd
pada awal tahun 1800-an. Mereka mengamati kerusakan progresif
dari xerosis konjungtiva menjadi xerosis kornea, ulserasi, dan
likuifaksi (keratomalacia) sebagai akibat dari diet terbatas, tanpa apa
yang sekarang kita kenal sebagai sumber vitamin A (Wolf,
1996). Manifestasi dari efek melemahkan yang berbeda ini telah
diketahui sebelum penemuan nutrisi penting oleh McCollum, yang
disebut vitamin A yang larut dalam lemak, pada awal tahun 1900an
(McCollum dan Davies, 1913); deskripsi perubahan jaringan setelah
kekurangan nutrisi ini (Wolbach dan Howe, 1925); penjelasan peran
molekulernya dalam penglihatan (Wald, 1968); dan deskripsi terbaru
mengenai perannya dalam regulasi ekspresi genetik (Kastner et al.,
1994; Mangelsdorf et al., 1994).

Hubungan pada manusia antara gejala dan tanda yang jelas secara
klinis dan pola makan yang salah telah dikemukakan sekitar tahun
1860 dan kemudian dikonfirmasi di banyak masyarakat
(Guggenheim, 1981; Wolf, 1996). Penyembuhan dikaitkan dengan
makanan tertentu—pada awalnya dengan penggunaan topikal atau
konsumsi hati hewan dan ikan, dan di tahun-tahun berikutnya dengan
konsumsi makanan nabati yang mengandung pigmen hijau dan
kuning (Wolf, 1996). McCollum dan Davies (1913), diikuti segera
setelahnya oleh Osborne dan Mendel (1913), menjelaskan zat yang
dapat mencegah keratomalacia, membatasi pertumbuhan, dan larut
dalam lemak yang diisolasi dari makanan berkhasiat. Zat-zat ini
kemudian disebut vitamin A dan karotenoid.

Steenbock (1919) mendalilkan, dan kemudian menegaskan, bahwa


karotenoid dari jagung kuning dapat mendukung pertumbuhan dan
mencegah lesi mata melalui konversi fisiologis menjadi vitamin A
yang aktif secara biologis. Sejak Isler et al. (1947) menemukan cara
yang hemat biaya untuk mensintesis vitamin A, penyembuhan dan
pencegahan juga dimungkinkan melalui vitamin A sintetis yang
diproduksi secara komersial.

Luasnya Masalah

Karena hubungan VAD yang melemahkan—dan terkadang fatal—


dengan kesehatan sudah diketahui secara pasti, dan sumber makanan
yang efektif dan relatif murah serta vitamin A sintetis tersedia untuk
pencegahan dan pengendalian VAD, mengapa masalah kesehatan
masyarakat global masih terus terjadi? Jelas sekali kesalahannya
terletak pada penerapan pengetahuan yang tidak memadai atau tidak
efektif dalam pelaksanaan program untuk memperbaiki distribusi
sumber daya yang tidak merata di antara dan di dalam populasi yang
terkena dampak. WHO memperkirakan pada tahun 1995 bahwa
setidaknya 3 juta anak mengalami xerophthalmia setiap tahunnya—
mereka mengalami defisiensi klinis dan berisiko mengalami
kebutaan. Tambahan 250 juta anak di bawah usia 5 tahun berisiko
mengalami status kekurangan vitamin A (berdasarkan prevalensi
distribusi retinol serum di bawah 0,70 µmol/L); mereka kekurangan
subklinis, dan berisiko mengalami kesakitan parah dan kematian dini
(WHO, 1995a). Perkiraan ini tidak mencakup perempuan hamil dan
menyusui yang berada di daerah endemis VAD pada masa kanak-
kanak, sehingga kemungkinan besar berada dalam status miskin,
namun data epidemiologinya terbatas. Prevalensi rabun senja pada
ibu yang tinggi (Katz dkk., 1995) dan rendahnya kadar vitamin A
dalam ASI (Newman, 1993) dilaporkan terjadi di wilayah
tersebut. Kurangnya indikator non-klinis yang sensitif, dapat
diterapkan dalam survei, dan khusus untuk VAD telah menghambat
evaluasi status berbasis populasi di kalangan perempuan usia subur
dan kelompok umur dan gender lainnya (WHO, 1996a).

Faktor risiko

Jenis kelamin

. Namun, dalam konteks lingkungan budaya dan komunitas yang


beragam, variasi dalam praktik pemberian makan dan perawatan
anak yang spesifik gender kemungkinan akan memasukkan sedikit
perbedaan gender dalam persyaratan untuk memperhitungkan
perbedaan gender yang dilaporkan dalam prevalensi
xerophthalmia. Wanita hamil dan menyusui, tentu saja, memerlukan
tambahan vitamin A untuk mendukung pertumbuhan jaringan ibu
dan janin serta kehilangan laktasi yang tidak dialami oleh orang
dewasa pascaremaja lainnya (NAS, FNB, IOM, 1990). (7)

Kualitas Makanan

Sumber makanan vitamin A yang aktif secara biologis ditemukan


dalam beberapa makanan hewani atau sebagai provitamin karotenoid
dari tumbuhan. Tidak ada persyaratan khusus bagi manusia untuk
karotenoid selain potensi konversinya menjadi retinoid yang aktif
secara biologis. Vitamin A yang telah dibentuk sebelumnya sangat
tersedia secara hayati, sedangkan ketersediaan hayati karotenoid
provitamin A bervariasi menurut jenis sumber tanaman (Rodriguez-
Amaya, 1997). Ketersediaan hayati karotenoid provitamin A dari
tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat matriks yang menempel (yaitu
sayuran berserat, berdaun hijau tua [DGLV] atau sayuran dan buah-
buahan berdaging lunak berwarna kuning/oranye) dan komposisi
makanan yang menyertainya. Karotenoid, setelah dilepaskan di
saluran pencernaan dari matriks yang tertanam, hanya diserap ketika
lemak tersedia secara bersamaan. Lemak makanan diperlukan untuk
merangsang sekresi usus dan pankreas. Sekresi ini mengandung
enzim lipolitik untuk pencernaan lemak, dan fosfolipid serta garam
empedu yang diperlukan misel untuk membentuk dan melarutkan
vitamin A yang telah dibentuk sebelumnya (Blumhoff et al., 1991)
dan karotenoid (Erdman, 1988). Hanya karotenoid yang terlarut
dalam misel yang dapat memasuki enterosit dimana terjadi
biokonversi menjadi retinol, atau transfer utuh ke kilomikra; artinya,
mereka menjadi tersedia secara hayati. (8)
Terjadinya Penyakit

Penyakit menular berkontribusi terhadap penipisan vitamin


A. Infeksi enterik dapat mengubah luas permukaan penyerapan,
bersaing untuk mendapatkan tempat pengikatan penyerapan, dan
meningkatkan kehilangan urin (Alvarez et al., 1995; Solomons dan
Keusch, 1981). Infeksi sistemik demam juga meningkatkan
kehilangan urin (Stephensen et al., 1994) dan tingkat pemanfaatan
metabolik. Penyakit sering dikaitkan dengan tanda-tanda mata yang
memicu adanya defisiensi laten (Curtale et al., 1995; Feacham,
1987). Infeksi virus campak sangat merusak metabolisme vitamin A,
sehingga mengganggu efisiensi pemanfaatan dan konservasi (Hussey
dan Klein, 1990; Sommer dan West, 1996). Malnutrisi energi-protein
(PEM) yang parah mempengaruhi banyak aspek metabolisme
vitamin A, dan bahkan ketika simpanan cadangan retinil-ester cukup,
hal ini dapat menghambat sintesis protein transpor, yang
mengakibatkan imobilisasi simpanan vitamin A yang ada (Arroyave
et al., 1967 ; Smith dkk., 1973; Smith dkk., 1975).

Faktor Budaya

Kebiasaan dan pantangan makanan sering kali membatasi konsumsi


makanan sumber vitamin A yang berpotensi baik, seperti mangga
dan sayuran berdaun hijau. Praktik budaya tertentu dalam pemberian
makan pada anak-anak, remaja, dan wanita hamil dan menyusui
adalah hal biasa (Chen, 1972; Johns et al., 1992; Mele et al.,
1991). Larangan penggunaan makanan “dingin/panas” (yin/yang)
yang berhubungan dengan penyakit dan sebelum dan sesudah
melahirkan banyak terdapat dalam budaya tradisional (Mahadevan,
1961). Pengaruh tersebut mengubah distribusi makanan jangka
pendek dan jangka panjang dalam keluarga yang mungkin hanya
berdampak pada distribusi makanan dalam keluarga. terdeteksi
melalui survei asupan makanan yang dipilah berdasarkan usia dan
jenis kelamin dan/atau diskusi kelompok terfokus yang mendalam
(Kuhnlein dan Pelto, 1997).Informasi spesifik budaya semacam ini
sangat penting dalam rancangan intervensi perubahan perilaku
berbasis makanan.

Indikator VAD

Identifikasi Kelompok dan Populasi

Sistem klasifikasi standar untuk xerophthalmia (VAD yang terbukti


secara klinis) dan kriteria yang diterima secara universal untuk
mendefinisikan masalah kesehatan masyarakat disepakati pada tahun
1982 (WHO et al., 1982). Kriteria ini (lihat Tabel 4-1 ) tetap sesuai
untuk mengidentifikasi populasi yang berisiko tinggi mengalami
malnutrisi yang membutakan dan terkait vitamin A—populasi yang
berada paling kiri dalam kontinum status vitamin A ( Gambar 4-
1 ). Namun, data tersebut tidak memadai untuk mengidentifikasi
populasi dengan defisiensi subklinis —konsentrasi vitamin A dalam
jaringan cukup rendah sehingga menimbulkan konsekuensi
kesehatan yang merugikan, bahkan tanpa adanya xerophthalmia,
definisi VAD menurut WHO saat ini (WHO, 1996a). (9)
TABEL 4-1

Indikator Biologis Defisiensi Vitamin A Klinis: Xerophthalmia pada


Anak Usia 6–71 Bulan.

Sayangnya, tidak ada indikator tunggal yang praktis mengenai


spesifisitas dan sensitivitas yang memadai untuk mendeteksi
defisiensi subklinis dalam kondisi masyarakat—yaitu, populasi di
bagian kiri tengah rangkaian status vitamin A (lihat Gambar 4-
1 ). Oleh karena itu, WHO merekomendasikan penggunaan dua atau
lebih indikator, paling tidak salah satunya bersifat biologis dan
berada di bawah titik batas yang disepakati pada Tabel 4-2 .

TABEL 4-2

Indikator Biologis Defisiensi Vitamin A Subklinis pada Anak Usia


6–71 Bulan (persen).

Apabila tidak mungkin memperoleh dua indikator biologis, WHO


menyarankan agar salah satu indikator tersebut harus didukung oleh
gabungan dari setidaknya empat faktor risiko demografi dan ekologi
tidak langsung yang diberikan pada Tabel 4-3A dan 4-3B . Dua dari
empat indikator tidak langsung harus berhubungan dengan gizi dan
pola makan ( Tabel 4-3A ). Indikator sosioekonomi ( Tabel 4-3C )
juga merupakan indikator kualitatif yang berguna untuk mengetahui
karakteristik populasi berisiko tinggi. Nilai batas yang disarankan
pada Tabel 4-3 merupakan hasil refleksi dari konsultasi para ahli
yang disponsori WHO. Kelompok tersebut menunjukkan perlunya
konfirmasi tambahan mengenai kegunaan nilai-nilai tersebut dan
menyarankan batas prevalensi. Indikator-indikator ekologi ini
mencerminkan konteks kekurangan pangan dan kekurangan sosial
dan ekonomi yang telah dikaitkan dengan VAD endemik melalui
penyelidikan epidemiologi (Sommer dan West, 1996). Kegunaannya
adalah dalam mengidentifikasi wilayah dan populasi yang berisiko
tinggi, bukan individu. Indikator biologis diperlukan untuk
memastikan adanya masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.

TABEL 4-3A

Indikator Ekologi Wilayah dan Populasi Berisiko KVA: Indikator


Terkait Gizi dan Pola Makan.
TABEL 4-3B

Indikator Terkait Penyakit pada Anak Usia 6–71 Bulan.

TABEL 4-3C

Indikator Sosial Ekonomi.

Memantau Dampak dan Hasil Intervensi

Indikator yang tepat dalam pemantauan dampak intervensi akan


berbeda-beda sesuai dengan tujuan intervensi. Misalnya, tujuan
program mungkin untuk meningkatkan cakupan penerima suplemen
vitamin A; untuk memastikan bahwa makanan yang diperkaya
vitamin A memenuhi standar jaminan kualitas atau dipilih untuk
dikonsumsi oleh kelompok sasaran; menyebabkan perubahan
perilaku konsumsi pangan, seperti frekuensi konsumsi DGLV; atau
untuk meningkatkan ketersediaan pangan kaya vitamin A sepanjang
tahun di kebun rumah tangga atau masyarakat. Indikator
dampak spesifik intervensi yang sesuai untuk masing-masing tujuan
tersebut akan berbeda; dalam beberapa kasus, indikator proses akan
digunakan, dalam kasus lain, indikator biologis dapat digunakan
( Tabel 4-3 ). Jika hasil intervensi yang diinginkan adalah
mendokumentasikan perubahan status vitamin A pada populasi
penerima, maka indikator biologis pada Tabel 4-1 dan 4-2 sudah
sesuai.

Ketersediaan sumber daya dapat membatasi kelayakan evaluasi


biologis langsung karena indikator-indikator ini biasanya lebih mahal
untuk diperoleh dan dievaluasi dibandingkan data indikator tidak
langsung. Dalam situasi seperti ini, hasil yang diperoleh dari studi
komunitas metabolik dan/atau terkontrol memberikan kepercayaan
pada kesimpulan kausatif dari hasil serupa dari intervensi yang
diterapkan dalam studi komunitas yang kurang
terkontrol. Ketidakmampuan untuk melakukan evaluasi biologis saja
tidak boleh menghalangi dimulainya, atau dihentikannya, program
pengendalian VAD ketika dan di mana program tersebut diperlukan.
(10)

Pergi ke:

Elemen Penting Untuk Keberhasilan Program Intervensi Gizi

Karakteristik keberhasilan program gizi masyarakat ditinjau pada


tahun 1989 oleh International Nutrition Planners Forum
(International Nutrition Planners, 1990). Elemen penting
diidentifikasi dalam enam kategori: (1) komitmen politik; (2)
mobilisasi dan partisipasi masyarakat; (3) pengembangan sumber
daya manusia, seperti pelatihan, pelatihan ulang, dan
pengawasan; (4) penargetan; (5) sistem informasi pemantauan,
evaluasi, dan manajemen; dan (6) replikasi dan
keberlanjutan. Kriteria umum ini, serta faktor-faktor tambahan yang
ditemukan spesifik pada konteks vitamin A, merupakan kerangka
kerja yang digunakan untuk menilai program pengendalian vitamin
A yang ditinjau dalam makalah ini.

Makalah ini juga mengacu pada laporan tahun 1994 dari Subkomite
PBB untuk Nutrisi (SCN) dari Komite Administratif untuk
Koordinasi (ACC). Evaluasi dampak dari sekitar 46 percobaan dan
program skala besar untuk mencegah VAD dirangkum (Gillespie dan
Mason, 1994). Evaluasi terhadap beberapa program diperbarui di
sini, dan informasinya diperluas ke evaluasi program baru. Hanya
beberapa intervensi spesifik dan berhasil yang disorot secara rinci
untuk menggambarkan elemen-elemen yang terkait dengan
keberhasilan atau kegagalan dalam konteks tertentu. Program lain
dirujuk secara singkat, jika diperlukan, untuk menguatkan unsur-
unsur yang terkait dengan keberhasilan dan melampaui konteks
tertentu. Tidak ada upaya yang dilakukan untuk meninjau atau
merujuk seluruh program intervensi secara komprehensif atau
memberikan rincian yang mendalam. Referensi disediakan untuk
laporan asli atau ulasan terkini sehingga pembaca dapat menemukan
rincian yang diperlukan.

Pergi ke:
Pendekatan Pencegahan Atau Koreksi Vad

Pendekatan intervensi vitamin A umumnya dikelompokkan menjadi


dua strategi pengendalian utama: (1) peningkatan langsung asupan
vitamin A melalui modifikasi pola makan dengan makanan dan
suplemen alami atau yang diperkaya dan (2) tindakan kesehatan
masyarakat tidak langsung untuk mengendalikan frekuensi
penyakit. Informasi, pendidikan, dan komunikasi (IEC) ,
termasuk pemasaran sosial dan pendidikan nutrisi khusus yang
berorientasi pada vitamin A , mungkin menyertai atau tidak
menyertai setiap intervensi di atas. Fortifikasi adalah pendekatan
berbasis pangan, namun untuk lebih jelasnya dalam makalah ini,
pendekatan ini dibahas secara terpisah dari pendekatan berbasis
pangan lainnya. Suplementasi vitamin A juga dipertimbangkan
secara terpisah. Upaya-upaya pengendalian penyakit di bidang
kesehatan masyarakat hanya disebutkan secara singkat karena
intervensi-intervensi tersebut bukan merupakan fokus utama kajian
ini, kecuali intervensi-intervensi tersebut melengkapi strategi
pengendalian VAD secara langsung. Terlepas dari proyek-proyek
penelitian yang terkontrol (misalnya, dengan intervensi dan
komunitas kontrol yang sesuai), kita jarang dapat mengevaluasi
“keberhasilan” dari satu intervensi berbasis komunitas yang
dilaksanakan dari waktu ke waktu. Kehadiran program
pengembangan nasional dan masyarakat lainnya dengan cakupan dan
dampak yang bervariasi terhadap populasi sasaran yang tumpang
tindih dengan intervensi spesifik vitamin A merupakan hal yang
lazim. Dua contohnya adalah pembangunan ekonomi nasional dan
skema pengentasan kemiskinan masyarakat serta peningkatan
cakupan imunisasi campak pada masyarakat yang juga diberikan
suplemen vitamin A secara berkala.

Pendekatan Berbasis Pangan

Seperti disebutkan sebelumnya, VAD sebagai masalah kesehatan


masyarakat adalah akibat dari pola makan yang salah yang
menyediakan sumber vitamin A yang tidak tersedia secara hayati.
Faktor penyebab langsungnya berbeda-beda di setiap masyarakat,
namun mencakup terbatasnya ketersediaan (karena alasan ekonomi
atau akses lainnya); budaya tabu dan/atau kurangnya pengetahuan
yang mengarah pada praktik pangan yang tidak tepat (khususnya
dalam memberi makan anak-anak dan wanita hamil dan
menyusui); seringnya sakit mempengaruhi efisiensi penyerapan dan
pemanfaatan zat gizi, serta nafsu makan; kurangnya lemak makanan
yang cukup untuk memfasilitasi penyerapan, terutama
karotenoid; dan praktik pengolahan, penyimpanan, dan penyiapan
makanan yang menyebabkan kerugian berlebihan. Untuk merancang
pendekatan pencegahan atau koreksi berbasis pangan yang berhasil,
kita harus mempertimbangkan pentingnya faktor-faktor penyebab
dan sumber daya yang tersedia—atau sumber daya yang dapat
dihasilkan—untuk memperbaikinya dalam konteks lokal tertentu
untuk penerapannya (Kuhnlein dkk., 1996).
Modifikasi Pola Makan: Dimana Sumber Makanan Vitamin A
Tersedia tetapi Kurang Dimanfaatkan

Ironisnya, prevalensi VAD pada anak usia prasekolah cukup tinggi di


banyak masyarakat yang memiliki sumber provitamin A karotenoid
yang melimpah. Dalam keadaan seperti ini, modifikasi perilaku
melalui konseling diet dan pendidikan gizi jelas merupakan pilihan
yang logis. Namun konsensus umumnya adalah bahwa pendekatan-
pendekatan ini tidak efektif dalam membawa perubahan perilaku
masyarakat secara signifikan dan berkelanjutan dalam pola konsumsi
pangan. Tinjauan ekstensif terhadap efektivitas strategi yang
digunakan dalam penyampaian pendidikan gizi—bukan isi ilmu gizi
—dari 217 pengalaman yang dirancang dengan baik dan dievaluasi
secara cermat di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa pendidikan
gizi akan “berhasil” ketika perubahan perilaku menjadi tujuan dan
sasarannya. intervensi dirancang untuk mencapai tujuan tersebut,
bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan atau mengubah sikap
(Contento et al., 1996). Metodologi riset pasar yang digunakan di
sektor swasta untuk mencapai modifikasi perilaku konsumen—
pemasaran perilaku sosial atau mobilisasi sosial—kini diterapkan di
lingkungan internasional di sektor publik untuk mencapai tujuan
perilaku yang diinginkan secara sosial dan terkait dengan kesehatan,
yaitu peningkatan status gizi (Parlato, dkk., 1992;Seidel,
1996). Smitasiri (1994) menyatakan bahwa ketidakefektifan dalam
mengubah perilaku pangan masyarakat miskin sumber daya melalui
pendidikan gizi mungkin disebabkan oleh kurangnya analisis
sistematis terhadap situasi lokal. Analisis tersebut dapat
menghasilkan rancangan intervensi yang tepat dan berorientasi pada
tindakan masyarakat, tertanam dalam budaya yang ada, dan
menggabungkan struktur sosial, politik, dan organisasi pendukung
yang diperlukan untuk keberlanjutan. (8)

Gula yang Diperkaya Vitamin A di Guatemala: Pengalaman


Nasional yang Sukses

Konteks. Xerophthalmia bukan merupakan masalah kesehatan


masyarakat di sebagian besar negara Amerika Latin, termasuk
Guatemala, namun asupan vitamin A yang rendah dan nilai retinol
serum yang rendah sering terjadi. Sebagian besar gula rafinasi
diproses di dalam negeri oleh beberapa produsen dan, kecuali di
beberapa daerah di mana gula lokal lebih disukai, sebagian besar
penduduknya mengonsumsi gula rafinasi. Terdapat kisaran asupan
gula harian yang relatif sempit di seluruh spektrum usia. Pada tahun
1970-an, Guatemala mulai melakukan fortifikasi gula dengan
vitamin A, meskipun ada keberatan dari beberapa ahli terhadap
penggunaan gula sebagai sarana program pengendalian defisiensi
gizi kesehatan masyarakat. Pada masa start-up, komitmen produsen
untuk melakukan fortifikasi tanpa kenaikan harga kepada konsumen
diamanatkan oleh pemerintah. Evaluasi ekstensif dimasukkan ke
dalam program awal untuk mendokumentasikan efektivitas biologis
dan keberhasilan proses. Hal ini menghasilkan salah satu upaya
pengendalian nasional yang paling sukses dan terdokumentasi
dengan baik melalui fortifikasi yang belum pernah terjadi di negara
berkembang (Arroyave dkk., 1979).

Namun usaha awal tersebut tidak dapat dipertahankan. Kendala


politik dan ekonomi, termasuk ketergantungan pada devisa negara
untuk membeli vitamin A selama periode krisis ekonomi,
menghentikan program ini. Pada periode ini, VAD muncul kembali
karena intervensi pengendalian VAD lainnya belum mendapat
perhatian nasional. Program fortifikasi dimulai kembali sekitar tahun
1990, sebagian karena meningkatnya kesadaran—dan kepekaan—
sektor swasta dan politik global dan nasional terhadap konsekuensi
dari masalah defisiensi. Program revitalisasi ini disesuaikan dengan
pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman awal untuk
meningkatkan peluang keberlanjutan. Langkah-langkah yang
dilakukan antara lain adalah pemberian insentif pemulihan biaya
kepada produsen swasta dan penciptaan rasa tanggung jawab sosial
di antara mereka. Upaya pemasaran sosial dilakukan untuk
menciptakan dan mempertahankan permintaan konsumen, visibilitas
politik, dan tanggung jawab sosial. Komitmen global untuk
menghilangkan VAD sebagai tujuan dekade ini dibuat oleh para
pemimpin politik Guatemala yang menghadiri pertemuan
internasional tingkat tinggi mengenai mikronutrien, termasuk
Summit for Children pada tahun 1990, Conference on Hidden
Hunger pada tahun 1991, dan Kongres Internasional tentang Nutrisi
pada tahun 1991. 1992. Pertemuan-pertemuan ini meningkatkan
kesadaran akan konsekuensi politik, ekonomi, dan kesehatan bagi
pembangunan nasional dan sumber daya manusia karena
membiarkan kekurangan zat gizi mikro terus berlanjut. Dukungan
terhadap tujuan internasional yang terikat waktu (tahun 2000) untuk
menghilangkan VAD merupakan sebuah “pengungkit” yang berguna
di Guatemala untuk merevitalisasi dan mempertahankan komitmen
politik terhadap program mikronutrien nasional yang telah terbukti
efektif secara biologis. Pengalaman teknis fortifikasi gula
dikodifikasikan dalam serangkaian manual yang baru-baru ini
tersedia (Arroyave dan Dary, 1996).

Hasil. Survei VAD nasional Guatemala terbaru, pada tahun 1996,


mengungkapkan bahwa prevalensi kadar retinol serum yang
rendah (<0,70 mol/L) telah menurun dalam 5 tahun sejak program
direvitalisasi (Delgado dan Delrue, 1996). Guatemala kini
diklasifikasikan berdasarkan kriteria WHO sebagai negara dengan
masalah kesehatan masyarakat VAD yang sedang, bukan parah
(WHO, 1995a, 1996a). Produsen gula membentuk komite untuk
melanjutkan fortifikasi, yang kini mereka pandang sebagai tanggung
jawab sosial mereka. (11)

Keberhasilan program fortifikasi gula Guatemala telah mendorong


replikasi di negara-negara Amerika Latin lainnya—Honduras, El
Salvador, Ekuador, dan Bolivia, misalnya—dan program ini juga
sedang dilakukan di beberapa negara di kawasan lain yang konteks
fortifikasi gulanya juga menjanjikan. Masalah utama yang masih ada
adalah variabilitas dalam jaminan kualitas produk fortifikasi pada
tingkat produksi. Solusi teknis sudah ada dan perlu diterapkan:
meningkatkan mesin untuk memastikan keseragaman dalam
pencampuran massal premix yang mengandung vitamin A.

Survei VAD nasional Guatemala terbaru, pada tahun 1996,


mengungkapkan bahwa prevalensi kadar retinol serum yang
rendah (<0,70 mol/L) telah menurun dalam 5 tahun sejak program
direvitalisasi (Delgado dan Delrue, 1996). Guatemala kini
diklasifikasikan berdasarkan kriteria WHO sebagai negara dengan
masalah kesehatan masyarakat VAD yang sedang, bukan parah
(WHO, 1995a, 1996a). Produsen gula membentuk komite untuk
melanjutkan fortifikasi, yang kini mereka pandang sebagai tanggung
jawab sosial mereka.

Keberhasilan program fortifikasi gula Guatemala telah mendorong


replikasi di negara-negara Amerika Latin lainnya—Honduras, El
Salvador, Ekuador, dan Bolivia, misalnya—dan program ini juga
sedang dilakukan di beberapa negara di kawasan lain yang konteks
fortifikasi gulanya juga menjanjikan. Masalah utama yang masih ada
adalah variabilitas dalam jaminan kualitas produk fortifikasi pada
tingkat produksi. Solusi teknis sudah ada dan perlu diterapkan:
meningkatkan mesin untuk memastikan keseragaman dalam
pencampuran massal premix yang mengandung vitamin A.

Peran tenaga kesehatan masyarakat dalam pembangunan


Kesehatan. Tenaga kesehatan masyarakat (Kesmas) merupakan
bagian dari sumber daya manusia yang sangat penting perannya
dalam pembangunan kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional
(SKN). Pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat merupakan
upaya meningkatkan kemandirian masyarakat dalam menjaga
kesehatan melalui kesadaran yang lebih tinggi pada pentingnya
pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Pelayanan
promotif, untuk meningkatkan kemandirian dan peran serta
masyarakat dalam pembangunan kesehatan diperlukan program
penyuluhan dan pendidikan masyarakat yang berjenjang dan
berkesinambungan sehingga dicapai tingkatan kemandirian
masyarkat dalam pembangunan kesehatan. Dalam program promotif
membutuhkan tenaga-tenaga kesmas yang handal terutama yang
mempunyai spesialisasi dalam penyuluhan dan pendidikan.
Pelayanan preventif, untuk menjamin terselenggaranya pelayanan ini
diperlukan parar tenaga kesmas yang memahami epidemiologi
penyakit, cara-cara dan metode pencegahan serta pengendalian
penyakit. Program preventif ini merupakan salah satu lahan bagi
tenaga kesmas dalam pembangunan kesehatan. Keterlibatan kesmas
dibidang preventif di bidang pengendalian memerlukan penguasaan
teknik-teknik lingkungan dan pemberantasan penyakit. Tenaga
kesmas juga dapat berperan dibidang kuratif dan rehabilitative, kalau
yang bersangkutan mau dan mampu belajar dan meningkatkan
kemampuannya dibidang tersebut. Peran Tenaga Kesehatan
Masyarakat Dalam Merubah Perilaku Masyarakat Menuju Hidup
Bersih Dan Sehat. Program promosi perilaku hidup bersih dan sehat
yang biasa dikenal PHBS/Promosi Higiene merupakan pendekatan
terencana untuk mencegah penyakit menular yang lain melaui
pengadopsian perubahan perilaku oleh masyarakat luas. Program ini
dimulai dengan apa yang diketahui, diinginkan dan dilakukan
masyarakat setempat dan mengembangkan program berdasarkan
informasi tersebut (Curtis V dkk, 1997; UNICEF, WHO. Bersih,
Sehat dan Sejahtera). Oleh karena itu untuk mengubah perilaku yang
berkaitan dengan budaya dan tradisi masyarakat Pesisir yang sifatnya
dapat menimbulkan masalah kesehatan maka seperti yang telah
dijelaskan membutuhkan pelayanan baik dari segi promotif maupun
preventif. Sesungguhnya tujuan dari Kesmas adalah bersifat
menyeluruh dimana diharapkan untuk dapat meningkatkan derajat
kesehatan. Intervensi dapat dilakukan salah satunya melalui program
PHBS, Sasaran PHBS tidak hanya terbatas tentang hygiene, namun
harus lebih komprehensif dan luas, mencakup perubahan lingkungan
fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial-budaya masyarakat
sehingga tercipta lingkungan yang berwawasan kesehatan dan
perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Lingkungan fisik seperti
sanitasi dan hygiene perorangan, keluarga dan masyarakat,
tersedianya air bersih, lingkungan perumahan, fasilitas mandi, cuci
dan kakus (MCK) dan pembuangan sampah serta limbah.
Lingkungan biologi adalah flora dan fauna. Lingkungan sosial-
budaya seperti pengetahuan, sikap perilaku dan budaya setempat
yang berhubungan dengan PHBS. Program promosi PHBS harus
dilakukan secara profesional oleh individu dan kelompok yang
mempunyai kemampuan dan komitmen terhadap Kesehatan
masyarakat serta memahami tentang lingkungan dan mampu
melaksanakan komunikasi, edukasi dan menyampaikan informasi
secara tepat dan benar yang sekarang disebut dengan promosi
kesehatan. Tenaga kesehatan masyarakatdiharapkan mampu
mengambil bagian dalam promosi PHBS sehingga dapat melakukan
perubahan perilaku masyarakat untuk hidup berdasarkan PHBS.
Tenaga kesehatan masyarakat telah mempunyai bekal yang cukup
untuk dikembangkan dan pada waktunya disumbangkan kepada
masyarakat dimana mereka bekerja. Dalam mewujudkan PHBS
secara terencana, tepat berdasarkan situasi daerah maka diperlukan
pemahaman dan tahapan sebagai berikut :Memperkenalkan kepada
masyarakat gagasan dan teknik perilaku Program promosi Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Program ini dimulai dari apa yang
diketahui, diinginkan, dan dilakukan masyarakat. Perencanaan suatu
program promosi untuk masyarakat dilakukan berdasarkan jawaban
atau pertanyaan diatas atau bekerjasama dengan pihak yang terlibat,
untuk itu diperlukan pesan-pesan sederhana, positif, menarik yang
dirancang untuk dikomunikasikan lewat sarana lokal seperti poster,
leaflet. Mengidentifikasikan perubahan perilaku masyarakat, dalam
tahap ini akan dilakukan identifikasi perilaku beresiko melalui
pengamatan terstruktur. Sehingga dapat ditentukan cara pendekatan
baru terhadap perbaikan pola hidup. Memotivasi perubahan perilaku
masyarakat, langkah-langkah untuk memotifasi orang untuk
mengadopsi perilaku PHBS termasuk :

1. Memilih beberapa perubahan perilaku yang diharapkan dapat


diterapkan.
2. Mencari tahu apa yang dirasakan oleh kelompok sasaran mengenai
perilakutersebut melalui diskusi terfokus, wawancara dan melalui uji
coba perilaku.
3. Membuat pesan yang tepat sehingga sasaran mau melakukan
perubahan perilaku.
4. Menciptakan sebuah pesan sederhana, positif, menarik berdasarkan
apa yang disukai kelompok sasaran.
5. Merancang paket komunikasi. Merancang program komunikasi, pada
tahap ini telah dapat menentukan perubahan perilaku dan
menempatkan pesan dengan tepat dengan memadukan semua
informasi yang telah dikumpulkan, selanjutnya dikomunikasikan
dengan dukungan seperti audio visual (video, film), oral (radio),
cetak (poster, leaflet), visual (flip charts). Perubahan terhadap
lingkungan memerlukan intervensi dari tenaga kesehatan terutama
Tenaga Kesehatan Masyarakat yang mempunyai kompetensi
sehingga terciptanya lingkungan yang kondusif dalam Program
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang diharapkan dapat memberikan
penyuluhan kepada masyarakat
untuk meningkatkan derajat
kesehatan menuju masyarakat sejahtera. (9)

SIMPULAN

Proyek pemasaran sosial di Indonesia, Bangladesh, dan Filipina juga


dinilai berhasil dalam meningkatkan konsumsi makanan kaya
vitamin A. Berbeda dengan Thailand, masing-masing negara ini juga
mempunyai program ekstensif untuk mendistribusikan suplemen
vitamin A (VAC) secara berkala karena xerophthalmia sedang—atau
pernah terjadi di Indonesia—yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Proyek pemasaran sosial berskala besar dilakukan di
setiap negara untuk mengubah sikap dan perilaku yang menghambat
konsumsi makanan kaya vitamin A dalam jumlah besar dan cakupan
kapsul (Favin dan Griffiths, 1991; Pollard dan Favin,
1996). Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mendeteksi perubahan
prevalensi xerophthalmia, namun evaluasi biologis, seperti serum
retinol, tidak dimasukkan.

Peningkatan sikap dan perilaku mengenai konsumsi makanan kaya


vitamin A ditunjukkan di semua lokasi. Namun program pemasaran
sosial di Bangladesh tidak efektif dalam meningkatkan cakupan
VAC (Ali et al., 1993), namun berhasil di Indonesia (Reis et al.,
1996). Komponen kunci keberhasilan dalam meningkatkan konsumsi
makanan kaya vitamin A serupa di ketiga lokasi dan serupa dengan
yang ditemukan di proyek Thailand:

 Pengembangan strategi intervensi dan pesan sepenuhnya didasarkan


pada sikap, praktik, dan perilaku konsumen lokal.
 Pesan definisi citra produk digunakan untuk menargetkan DGLV
tertentu dan mengubah posisi citranya; artinya, nilai DGLV diperluas
dari kesehatan mata hingga kesehatan umum.
 Solusi kreatif ditambahkan untuk mengatasi titik-titik resistensi lokal
yang telah ditentukan dan ditargetkan.
 Campuran media antara komunikasi massa (untuk memperluas
liputan) dan antarpribadi (untuk memperkuat perubahan perilaku
yang berkelanjutan) digunakan, dengan beberapa penekanan pada
penerapan di tempat penjualan (pasar tempat sebagian besar
perempuan membeli DGLV).

Perbedaan besar dari proyek di Thailand adalah bahwa partisipasi


masyarakat—penyematan—tidak ditekankan. Hal ini dipandang
terlalu memakan waktu untuk ''waktu pendanaan donor yang relatif
singkat.'' Selain itu, beberapa DGLV dipromosikan, bukan hanya
satu produk. Keberlanjutan perubahan perilaku pangan yang
diinginkan setelah periode dukungan donor belum tercapai.
didokumentasikan.

Berdasarkan pembelajaran yang diperoleh dari proyek percontohan,


Indonesia telah meningkatkan strategi pemasaran sosial yang
ditargetkan untuk meningkatkan cakupan VAC dan meningkatkan
konsumsi makanan kaya vitamin A (Shaw dan Green, 1996). Strategi
media massa nasional, provinsi, dan komunitas yang didukung secara
internal sedang diterapkan untuk memperluas liputan
khalayak. Organisasi non-pemerintah (LSM) nasional (kelompok
perempuan) melengkapi strategi media massa untuk mencapai kontak
interpersonal melalui kunjungan rumah yang diperlukan untuk
memperkuat perubahan perilaku yang diinginkan dan untuk
menghubungi populasi yang sulit dijangkau dan berisiko tinggi
(seperti masyarakat miskin perkotaan). penduduk dan mereka yang
tidak mengunjungi pos kesehatan setempat).
Pengalaman Pemasaran Sosial Lainnya

Fitur dari tujuh program komunikasi gizi dirangkum dalam publikasi


IVACG baru-baru ini (IVACG, 1992). Aplikasi di Brazil, India,
Mauritania, dan Nepal ditambahkan ke beberapa proyek yang
disebutkan di atas. Program intervensi vitamin A yang dilakukan
dalam konteks keragaman ini hampir secara universal menunjukkan
bahwa penerapan metodologi pemasaran sosial dalam pengembangan
pesan pendidikan gizi dan strategi komunikasi lainnya dapat dengan
cepat (dalam 18-24 bulan) mengubah sikap dan perilaku pangan
kelompok rentan menjadi meningkat. asupan vitamin A mereka dari
DGLV yang familiar, tersedia, dan kurang
dimanfaatkan. Pengecualian dalam sebagian besar proyek modifikasi
perilaku sosial yang ditargetkan adalah bayi berusia 6 hingga 12
bulan; penolakan untuk memberi mereka DGLV tetap ada. Ketika
diskusi kelompok terfokus menunjukkan adanya penolakan pada
populasi tertentu, pemasaran sosial harus mempertimbangkan
makanan alternatif yang kaya vitamin A yang tersedia secara lokal—
seperti buah-buahan berwarna kuning dan sayuran berwarna oranye
—untuk kelompok usia ini.

Kendala utama terhadap replikasi dan keberlanjutan strategi


pemasaran sosial di sebagian besar proyek adalah biaya. Caruaru,
Brasil, merupakan pengecualian. Di Caruaru, sosialisasi upaya
komunikasi dibatasi pada periode dua kali setahun ketika distribusi
suplemen dilakukan, dan paket komunikasi dikembangkan
menggunakan sumber daya lokal yang terjangkau (IVACG,
1992). Indonesia juga telah mendesentralisasikan sebagian strategi
pemasaran sosialnya ke lembaga-lembaga lokal, sehingga
meningkatkan keterjangkauan, komitmen, dan otonomi. Di
Bangladesh, intervensi gizi dan proyek pendidikan dan motivasi
berbiaya rendah yang dikembangkan dan dilaksanakan secara lokal
juga efektif dalam mengurangi rabun senja dalam jangka waktu 18
bulan (Yusuf dan Islam, 1994).

Pembelajaran dalam Modifikasi Perilaku di Tempat Tersedianya


Makanan Kaya Vitamin A

 Strategi pemasaran sosial yang menggunakan bauran komunikasi


multimedia sangat penting. Media massa diperlukan untuk mencapai
liputan khalayak luas dan kontak interpersonal diperlukan untuk
memperkuat perubahan perilaku yang diinginkan pada khalayak
sasaran. Setidaknya sebagian dari strategi tersebut perlu
didesentralisasikan—dan terjangkau—ke unit administratif yang
paling efektif.
 Pengembangan dan penyampaian materi media harus didasarkan
pada persepsi lokal dan ketersediaan sumber daya.
 Komitmen dan kepemilikan sektor politik, publik, dan swasta dari
tingkat nasional hingga lokal diperlukan untuk
keberlanjutan. Bantuan keuangan dan teknis eksternal dapat
memfasilitasi dimulainya kegiatan intervensi, namun program tidak
boleh bergantung pada bantuan tersebut untuk kelanjutannya.
 Pemantauan di tingkat komunitas memberikan umpan balik proses
yang terputus-putus dan fleksibilitas untuk menghadapi perubahan
situasi. Reposisi komponen-komponen dalam strategi secara berkala
akan diperlukan untuk memastikan kemajuan ke depan menuju
tujuan yang telah ditetapkan.

Survei VAD nasional Guatemala terbaru, pada tahun 1996,


mengungkapkan bahwa prevalensi kadar retinol serum yang
rendah (<0,70 mol/L) telah menurun dalam 5 tahun sejak program
direvitalisasi (Delgado dan Delrue, 1996). Guatemala kini
diklasifikasikan berdasarkan kriteria WHO sebagai negara dengan
masalah kesehatan masyarakat VAD yang sedang, bukan parah
(WHO, 1995a, 1996a). Produsen gula membentuk komite untuk
melanjutkan fortifikasi, yang kini mereka pandang sebagai tanggung
jawab sosial mereka.

Keberhasilan program fortifikasi gula Guatemala telah mendorong


replikasi di negara-negara Amerika Latin lainnya—Honduras, El
Salvador, Ekuador, dan Bolivia, misalnya—dan program ini juga
sedang dilakukan di beberapa negara di kawasan lain yang konteks
fortifikasi gulanya juga menjanjikan. Masalah utama yang masih ada
adalah variabilitas dalam jaminan kualitas produk fortifikasi pada
tingkat produksi. Solusi teknis sudah ada dan perlu diterapkan:
meningkatkan mesin untuk memastikan keseragaman dalam
pencampuran massal premix yang mengandung vitamin A.

Vitamin A kini dikenal untuk mengatur ekspresi berbagai gen yang


mempengaruhi kesehatan, perkembangan, dan kelangsungan hidup
hewan, sehingga memberikan landasan ilmiah untuk penghitungan
sejarah tentang pentingnya vitamin A dalam makanan
manusia. Beberapa juta nyawa anak dapat diselamatkan, angka
kesakitan dapat dikurangi, dan penglihatan yang sehat dapat
dipertahankan dengan memastikan kecukupan nutrisi vitamin A di
antara 250 juta anak usia prasekolah yang saat ini mengalami
kekurangan subklinis. Status vitamin A yang memadai dapat dicapai
melalui strategi berbasis makanan yang menyediakan sumber
makanan alami atau provitamin A dan produk makanan yang
diperkaya, atau suplemen vitamin A. Program-program ini sering
kali berhasil dengan baik dalam kondisi yang terkendali namun
menjadi kurang efektif dan berkelanjutan jika diperluas ke tingkat
regional atau nasional. Hambatan terhadap keberlanjutan di negara-
negara berpenghasilan rendah yang kekurangan vitamin A adalah
kurangnya rencana jangka panjang yang mempertimbangkan konteks
lokal dari permasalahan tersebut dan bagaimana mengintegrasikan
suplementasi, fortifikasi dan/atau modifikasi pola makan, melalui
pemasaran sosial dan pendidikan, dalam kerangka program. kerangka
pembangunan dengan tujuan pencapaian yang terikat waktu dan
terukur. Program pengendalian penyakit—misalnya pemberian ASI,
imunisasi, dan obat cacing—harus menjadi bagian dari program
pengobatan dan pengendalian defisiensi vitamin A karena parasit
berkontribusi pada tidak efisiennya pemanfaatan dan konservasi
vitamin tersebut.

Elemen keberhasilan dari seluruh strategi intervensi mencakup


pemasaran sosial dan pendidikan khalayak sasaran, dan untuk
keberlanjutan, keterlibatan berbasis masyarakat dalam proses
perancangan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program yang
berdampak pada masyarakat. Bahkan program fortifikasi yang, di
permukaan, tampaknya hanya memerlukan keterlibatan pasif,
memerlukan konsumen yang terinformasi untuk memastikan pilihan
produk yang difortifikasi ketika ada alternatif yang tidak difortifikasi,
dan seringkali berbiaya lebih rendah. Distribusi suplemen berdosis
tinggi dan menyasar penyakit serta program pengendalian penyakit
mendukung implementasi melalui infrastruktur Puskesmas,
sedangkan suplemen berdosis rendah yang sering didistribusikan
memungkinkan adanya kendali dari sektor swasta dan
masyarakat. Namun, program dosis rendah berbasis masyarakat
belum dicoba dan dievaluasi secara luas di negara-negara
berpendapatan rendah. Program fortifikasi dalam jangka panjang
merupakan program yang paling hemat biaya dan berkelanjutan,
meskipun tidak dapat dilaksanakan dengan segera di beberapa
masyarakat yang terkena dampak.

Pengalaman negara-negara yang sukses dalam mencapai


penghapusan KVA pada tingkat kesehatan masyarakat
menggambarkan pentingnya perencanaan program jangka panjang
yang terpadu dalam kerangka pembangunan nasional dan
manusia. Perencanaan program terpadu yang cermat dan spesifik
pada konteks dapat mencapai hasil yang terukur hanya dalam waktu
5–10 tahun, atau memerlukan jangka waktu yang lebih lama,
bergantung pada sumber daya dan infrastruktur yang tersedia untuk
mendukung dan mempertahankan upaya ini. Komitmen politik dan
sumber daya yang stabil serta pengelolaan sumber daya yang
fleksibel untuk dukungan program sangat penting untuk
mempertahankan kemajuan bertahap menuju penghapusan
kekurangan vitamin A yang berdampak buruk bagi kesehatan
masyarakat. (12)

DAFTAR PUSTAKA
1. Sore K, Epidemiologi P, Kesehatan F, Fakultas M, Masyarakat K. TUGAS. 2013.

2. ’Susanti Toripah S. AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KANDUNGAN


TOTAL FENOLIK EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa oleifera LAM).
3. who. WORLD HEALTH ORGANIZATION. GLOBAL PREVALENCE OF
VITAMIN A DEFICIENCY. MICRONUTRIENT DEFICIENCY
INFORMATION SYSTEM (MDIS). PAPER NO. 2 (WHO/NUT/95.3).
GENEVA: WORLD HEALTH ORGANIZATION, 2000.
4. Pratiwi YS, Satya Pratiwi Y, Fakultas P, Kesehatan I, Muhammadiyah Jember
U, Jember UM. KEKURANGAN VITAMIN A (KVA) DAN KEKURANGAN
VITAMIN A (KVA) DAN INFEKSI INFEKSI A AB BST STR RA ACT CT.
Vol. 3, THE INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH SCIENCE. 2013.
5. Kekurangan Vitamin A.
6. “siloam’hospital.”
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/akibat-kekurangan-
vitamin-a .
7. DP. Vitamin A deficiency and dietary control: Historical background. 2000.
8. Le T. Vuong. Underutilized β-Carotene–Rich Crops of Vietnam.
9. ’Barbara A. Underwood PhD. 1998 by the National Academy of Sciences. All
rights reserved. Bookshelf ID: NBK230106.
10. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1446365/pdf/11029982.pdf.
11. Gibson RS, Hotz C, Temple L, Yeudall F, Mtitimuni B, Ferguson E, dkk.
Dietary strategies to combat deficiencies of iron, zinc, and vitamin A in
developing countries: Development, implementation, monitoring, and
evaluation. Vol. 21, Food and Nutrition Bulletin. 2000.
12. DP. F&N Bulletin Vol 21 No 2. 2000.

Anda mungkin juga menyukai