Anda di halaman 1dari 9

STUDI BANDING PARIWISATA WILAYAH SUNGAI BERBASIS KEARIFAN LOKAL

DI SUNGAI CITARIK, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

Kajian Awal Ekoturisme Sungai Ciliwung Ruas Depok yang Berbasis Kearifan Lokal

OLEH:

AKTIFIS LINGKUNGAN PENGGIAT KOTA HIJAU DEPOK

KOTA DEPOK
2017
I. PENDAHULUAN
Salah satu kegiatan wisata minat khusus yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini, bahkan telah
menjadi isu global yaitu dengan berkembangnya ekowisata (ecotourism) sebagai kegiatan wisata
alam yang berdampak ringan. Kehadiran ekowisata dalam era pembangunan berwawasan
lingkungan merupakan suatu misi pengembangan pariwisata alternatif yang tidak banyak
menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun terhadap sosial budaya dan daya
tarik wisata lainnya. Kegiatannya lebih berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya alami, asli, dan
belum tercemar.
Secara definisi, ekowisata, menurut pengertian Panduan Ekowisata yang dikeluarkan oleh UNESCO,
merupakan jenis wisata yang bertanggung jawab pada tempat alami serta memberi kontribusi
terhadap kelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Sedangkan menurut Kementerian Pariwisata, ekowisata merupakan konsep pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan dengan tujuan mendukung pelestarian alam dan budaya serta
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberikan manfaat ekonomi
kepada masyarakat lokal.
Ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan dibanding dengan terjemahan yang seharusnya
dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme. Terjemahan yang seharusnya dari ecotourism adalah
wisata ekologis. Yayasan Alam Mitra Indonesia (1995) membuat terjemahan ecotourism dengan
ekoturisme. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah ekowisata yang banyak digunakan oleh para
rimbawan. Hal ini diambil misalnya dalam salah satu seminar dalam Reuni Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada (Fandeli,
1998). Kemudian Nasikun (1999), mempergunakan istilah ekowisata untuk menggambarkan adanya
bentuk wisata yang baru muncul pada dekade delapan puluhan.
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada
hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap
kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan
mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk
ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk
dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.
Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990)
sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan
dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan
penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan
di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya
tetap terjaga.
Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak
digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan
kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru
dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri
pariwisata (Eplerwood, 1999). Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah
berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam
mengembangkan ekowisata ini.
Bahkan di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran baru yang berkait dengan pengertian
ekowisata. Fenomena pendidikan diperlukan dalam bentuk wisata ini. Hal ini seperti yang
didefinisikan oleh Australian Department of Tourism (Black, 1999) yang mendefinisikan ekowisata
adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap
lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini
memberi penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata
lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest
tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.
Tempat tinggal manusia banyak yang berada berdekatan dengan sungai, karena di dalam
kehidupannya manusia membutuhkan air, yang dengan mudah didapatkan dari sungai. Sungai juga
sudah lama dimanfaatkan sebagai sumber air untuk berbagai macam kebutuhan hidup manusia, dari
air untuk keperluan rumah tangga, irigasi, perikanan, pariwisata bahkan sungai pun dapat digunakan
sebagai sarana transportasi. Sungai tidak hanya dimanfaatkan airnya, tetapi alur sungai juga
dimanfaatkan untuk keperluan hidup manusia. Pemanfaatan alur sungai dilakukan oleh masyarakat
setempat untuk berbagai keperluan, dari pertanian sampai ke permukiman. Di dalam Undang-
Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Oleh sebab itu pemanfaatan dan pemeliharaan
sungai dan alur sungai merupakan bagian dari pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Fakta
di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan alur sungai tersebut tidak sesuai dengan
perundangan yang berlaku. Daerah bantaran sungai yang seharusnya tidak boleh digunakan untuk
berbagai keperluan sudah dimanfaatkan untuk permukiman. Selain memanfaatkan alur sungai,
masyarakat setempat juga melakukan pemeliharaan agar alur sungai terhindar dari kerusakan yang
timbul, baik kerusakan yang timbul secara alamiah maupun kerusakan yang timbul karena aktivitas
manusia. Di dalam memanfaatkan dan memelihara alur sungai masyarakat banyak yang melakukan
berdasarkan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun, namun juga ada juga yang
melakukannya dengan menggunakan teknologi yang relatif baru. Kondisi lingkungan setempat
mempunyai pengaruh pada cara masyarakat memanfaatkan dan memelihara alur sungai. Budaya
masyarakat setempat dengan tradisi yang dimilikinya merupakan hal yang berpengaruh juga
terhadap cara masyarakat memanfaatkan air sungai dan memelihara alur sungai. Pemeliharaan
sungai-sungai yang besar biasanya dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, namun pemanfaatan dan pemeliharaan sungai-sungai yang kecil yang seringkali
juga tidak dikenal namanya banyak dilakukan oleh masyarakat setempat dengan menggunakan
kebiasaan yang dimilikinya.
Studi banding ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui serta mengkaji cara masyarakat setempat memanfaatkan air sungai.
2) Mengetahui dan menganalisis cara masyarakat memanfaatkan dan memelihara alur sungai-
sungai kecil berdasarkan atas kebiasaan yang dimilikinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan
disebut alur sungai (Sosrodarsono, 1985). Alur sungai berfungsi untuk mengalirkan air sungai,
sehingga perpaduan antara alur sungai dan aliran airnya disebut dengan sungai. Karena di dalam air
yang mengalir terdapat sedimen serta zat-zat kimia serta unsur hara, maka fungsi alur sungai tidak
hanya mengalirkan air, tetapi juga mengalirkan sedimen, zat-zat kimia dan unsur hara yang
terkandung di dalam air. Alur sungai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan. Pemanfaatan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain adalah
karakteristik alur sungai dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Terkait dengan pengelolaan
sumberdaya air secara keseluruhan, termasuk di dalamnya pengelolaan sungai, Sudarmadji dkk.,
(2011) telah melakukan penelitian pengelolaan sumberdaya air yang melibatkan masyarakat
Partisipasi. Masyarakat di dalam mengelola sumberdaya air lebih nampak kepada pengelolaan mata
air untuk berbagai keperluan. Budaya masyarakat perdesaan nampak sangat menonjol di dalam
mengelola mata air, terutama di dalam memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapinya
mengedepankan kepada musyawarah dan kebersamaan dan gotong royong. Pemeliharaan terhadap
alur sungai belum dikemukakan dengan baik, walaupun sudah disinggungnya bahwa pengelolaan
sungai-sungai besar lebih menjadi tanggung jawab pemerintah daripada masyarakat setempat.

III. METODE
Studi banding ini dilakukan di daerah sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan
mengambil objek penelitian pada sungai Citarik yang dimanfaatkan dan dipelihara oleh masyarakat
setempat. Pengamatan lebih mendetail difokuskan pada kawasan sempadannya. Studi banding
dilakukan dengan survei langsung di lapangan. Data dikumpulkan dengan cara melakukan observasi,
pengukuran dan dokumentasi terhadap karakteristik sungai. Wawancara di lapangan dilakukan
dengan cara tidak terstruktur terhadap masyarakat yang memanfaatkan air sungai dan alur sungai,
agar lebih dapat secara bebas menggali pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan dan
pemeliharaan alur sungai. Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap tokoh masyarakat
setempat, terutama yang berdekatan dengan sungai Citarik yang dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat. Hasil wawancara direkam dan dicatat kemudian diolah dengan cara kualitatif selanjutnya
dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang pemanfaatan dan pemeliharaan
alur sungai di daerah penelitian.

IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN


Pada umumnya sungai di derah penelitian mempunyai aliran yang sangat ditentukan oleh musim,
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kebanyakan lembah sungai yang ada di daerah penelitian
mempunyai bentuk V, ditandai dengan lereng yang curam dan mempunyai lebar yang lebih besar di
bagian atas dan menyempit di bagian bawah dekat dengan dasar sungai. Material penyusun dasar
sungai didominasi oleh batu boulder dan gravel, sedangkan pasir relatif sangat sedikit. Hal ini
disebabkan karena kuatnya aliran air yang mengangkut material yang halus dan ringan lebih jauh,
sementara material yang berat dan kasar tidak terangkut; dengan demikian maka penambangan
pasir tidak banyak dilakukan. Penambangan batu juga tidak banyak dilakukan, karena hal ini akan
menimbulkan kerusakan pada sungai. Penambangan batu memerlukan angkutan kendaraan berat,
truck yang dapat merusak lingkungan sekitar sungai. Pemanfaatan air sungai di daerah penelitian
dimanfaatkan, baik oleh masyarakat di dekat sungai tersebut maupun oleh masyarakat yang tinggal
di daerah hilirnya.
Isu ekowisata yang sedang berkembang tersebut, dilandasi suatu rumusan definisi (Boo, 1991: 54)
yang berbunyi:
Nature of ecotourism is that consist in travelling to relatively understurb of contaminated natural
area with spesific objective of studying, admiring, enjoying and it plants, animal as well as any
existing cultural manifestation (both past and present) found these areas.
Sebagai kegiatan wisata alam yang mempunyai tujuan khusus dan bertanggung jawab, ekowisata
semakin banyak diminati masyarakat sebagai kegiatan wisata yang menyenangkan. Kecenderungan
ini ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat pencinta alam di dunia termasuk masyarakat
Indonesia yang melakukan berbagai kegiatan wisata alam berupa lintas alam (hiking), panjat tebing
(climbing), arung jeram (rafting), berkemah (camping ground), naik sepeda gunung (rising bycicle),
menikmati keindahan alam, serta keaslian budaya lokal.
Meskipun Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki potensi daya tarik wisata cukup
banyak seperti sumber daya alam, keragaman hayati, dan berbagai nilai-nilai budaya yang tersebar
di berbagai kawasan nusantara, namun untuk pengelolaan ekowisata nampak belum berkembang
secara merata di berbagai daerah tujuan wisata (DTW). Kegiatannya masih terbatas pada
pengelolaan kawasan tertentu (kawasan dilindungi).
Melihat kondisi pengembangan ekowisata di Indonesia dengan keragaman potensi daya tarik wisata
yang cukup banyak terdapat di berbagai kawasan nusantara, maka ekowisata sangat perlu untuk
dikembangkan secara intensif di berbagai DTW yang potensial.
Salah satu kawasan objek wisata di Kota Depok yang menarik adalah DAS Ciliwung. Kawasan
tersebut memilki potensi daya tarik ekowisata yang cukup menarik dan beragam, terutama keaslian
potensi sungainya dan nilai-nilai eksotik yang terkandung dalam keseharian kehidupan masyarakat
Depok yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai.
Berdasarkan pengamatan, hampir sepanjang sungai Ciliwung memiliki potensi besar yang cukup
menarik serta memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai satu pengelolaan ekowisata (Inskeep,
1991; Groot, 1990) yaitu : (1) memiliki keindahan dan keaslian alam serta sifat khusus lingkungan
yang indah, menarik, dapat menunjang kegiatan rekreasi; (2) berdekatan dengan daerah yang
memiliki keadaan alam yang menarik serta berbagai peninggalan bersejarah; (3) berkaitan dengan
kelompok atau masyarakat berbudaya yang merupakan daya tarik wisata yang unik.
Selain sebagai objek wisata sungai yang banyak mendapat perhatian mancanegara dari berbagai
negara, DAS Ciliwung memiliki potensi lainnya yaitu: (1) terletak pada posisi strategis yang dapat
terjangkau dengan berbagai jenis angkutan darat; (2) memiliki kondisi air dan jeram sungai yang
aman; (3) terdapat beberapa sumber daya tarik alam berupa air terjun kecil, batu putih, keindahan
alam, flora dan fauna, hamparan hutan bambu, daerah pertanian, perkebunan rakyat, tebing terjal;
(4) terdapat perkampungan masyarakat dengan berbagai peninggalan tradisional khas.
Jika segala potensi daya tarik wisata DAS Ciliwung dikembangkan dengan terencana dan terpadu
serta memenuhi standar internasional, maka tidak hanya kegiatan wisata sungai yang menjadi
tujuan utama wisatawan, akan tetapi berbagai paket wisata lainnya dapat dikembangkan sehingga
manfaatnya akan sangat menguntungkan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah serta
kepentingan sosial lainnya.
Namun yang patut mendapat perhatian terhadap pengelolaan DAS Ciliwung sebagai objek
kunjungan wisata sungai, secara realitas pengelolaan objek wisata tersebut belum terlaksana
sebagaimana yang diharapkan. Bentuk pengelolaan serba tidak sempurna, disebabkan kebijakan
pemerintah belum berjalan sebagaimana mestinya, koordinasi antar sektor tidak efektif, keterlibatan
masyarakat sangat rendah, dan tata ruang pembangunan tidak mendukung pengelolaan objek
wisata di DAS Ciliwung. Begitupula kontribusinya terhadap peningkatan ekonomi daerah dan
ekonomi kerakyatan serta pelestarian nilai budaya dan lingkungan tergolong masih rendah.
Untuk meningkatkan pengelolaan potensi daya tarik objek di DAS Ciliwung, maka diperlukan suatu
model pengelolaan ekowisata yang efektif. Dalam rangka itulah maka Studi Banding tentang “Model
Pengelolaan Ekowisata di DAS Citarik Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat” memiliki urgensi untuk
dapat dijadikan acuan bagi Pengembangan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di DAS Ciliwung Ruas
Depok.
Fokus masalah dalam Studi Banding ini adalah: (1) Apakah potensi daya tarik objek wisata DAS
Citarik menarik untuk dikembangkan sebagai model pengelolaan ekowisata? (2) Bagaimanakah
efektivitas pengelolaan objek wisata DAS Citarik dan kontribusinya terhadap pendapatan daerah,
pendapatan masyarakat, pelestariaan lingkungan, pelestarian nilai budaya dan pemberdayaan
potensi masyarakat sekitar? (3) Bagaimanakah prospek pengembangan daya tarik objek wisata DAS
Citarik sebagai model pengelolaan ekowisata? (4) Bagaimanakah model pengelolaan ekowisata yang
dapat dikembangkan di DAS Citarik Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat? (5) Bagaimanakah model
yang dapat diterapkan dalam pengelolaan ekowisata di DAS Ciliwung Ruas Depok berdasarkan hasil
studi banding ini?
1. Potensi Daya Tarik Objek Wisata DAS Ciliwung
Jenis potensi daya tarik objek wisata DAS Ciliwung dapat diklasifikasi dalam beberapa kelompok
yakni: potensi daya tarik wisata sungai, daya tarik wisata alam, daya tarik wisata jenis fauna dan
daya tarik jenis flora, potensi daya tarik wisata budaya, efektifitas pengelolaan dan kontribusi
terhadap pendapatan daerah, ekonomi masyarakat, pelestarian nilai budaya dan lingkungan,
dukungan sarana-prasarana dan partisipasi berbagai pihak terkait (lembaga terkait, dunia usaha, dan
masyarakat).
Realitas ini mencerminkan bahwa daya tarik objek wisata di DAS Ciliwung mempunyai prospek untuk
dapat dikembangkan sebagai model pengelolaan ekowisata, sebagaimana yang berkembang seperti
di South East Queesland (Project Queensland State Government, 1993) dan tulisan DAS Ciliwung
(WALHI, 1991).
Rendahnya efektivitas pengelolaan objek wisata di DAS Ciliwung disebabkan karena pengelolaan
daya tarik objek wisata ini belum terkelola sebagaimana diharapkan. Pengelolaannya yang ditangani
oleh swasta, orientasinya lebih mengarah kepada persaingan bisnis tanpa memperhitungkan
kontribusinya terhadap pendapatan daerah, pendapatan masyarakat, serta kelestarian nilai budaya
dan lingkungan.
Hasil analisis efektifitas pengelolaan daya tarik objek wisata DAS Ciliwung yang tergolong rendah,
belum sesuai dengan apa yang ditekankan Kusler (1997: 8) bahwa konsep pengelolaan ekowisata
lebih mengarah kepada efektifitas pengelolaan, nilai-nilai konservasi dan preservasi terhadap
berbagai sumber daya tarik wisata dan lingkungan.
2. Kontribusi Pengelolaan Obyek Wisata DAS Ciliwung
Kontribusi pengelolaan objek wisata selama ini tergolong masih rendah, Keadaan tersebut nampak
bahwa kontribusi terhadap pendapatan daerah, ekonomi masyarakat, kelestarian nilai budaya dan
lingkungan objek wisata belum memberi kontribusi sesuai yang diharapkan. Kontribusi pengelolaan
daya tarik objek wisata di DAS Ciliwung tergolong rendah, namun kontribusinya terhadap kelestarian
lingkungan setempat cukup tinggi. Rendahnya kontribusi pengelolaan objek wisata terhadap
pendapatan daerah dan masyarakat, kelestarian budaya dan pemberdayaan potensi masyarakat
setempat, berkaitan dengan rendahnya efektivitas pengelolaan daya tarik objek wisata di DAS
Ciliwung selama ini.
3. Kontribusi Pengelolaan Objek Wisata
Untuk mewujudkan DAS Ciliwung sebagai model pengelolaan ekowisata idaman sebagaimana dalam
visi pembangunan pariwisata Jawa Barat sebagai “daerah idaman yang paling indah dan tempat
tinggal masyarakat yang beriman, kreatif, dinamis, sejahtera dan penuh persahabatan serta dilandasi
berbagai nilai agama dan budaya tradisional, bernuansa berkelanjutan”, maka perlu dukungan
berbagai faktor ketersediaan potensi daya tarik objek wisata, sarana prasarana, peran lembaga
terkait, dunia usaha, dan masyarakat.
4. Pendukung Objek Wisata DAS Ciliwung sebagai Model Pengelolaan Ekowisata.
Dukungan terhadap pengelolaan potensi daya tarik objek wisata DAS Ciliwung adalah ketersediaan
prasarana jalan (jalan utama, jalan desa dan jalan setapak), sarana transportasi, informasi dan
komunikasi serta akomodasi seperti penginapan, rumah makan, warung suvenir, sanggar budaya
dan sebagainya. Dukungan sarana-prasarana, akomodasi dan keramahtamahan masyarakat
terhadap pengembangan potensi daya tarik objek wisata di DAS Ciliwung sebagai model pengelolaan
ekowisata tergolong rendah dan perlu ditingkatkan.
5. Dukungan para Pihak Terhadap Pengelolaan Objek Wisata DAS Ciliwung
Dukungan para pihak merupakan suatu bentuk partisipasi yang terintegrasi terhadap prospek
pengembangan model pengelolaan ekowisata di DAS Ciliwung dalam hal penyedian sarana
prasarana dan akomodasi lainnya. Lembaga terkait dan dunia usaha serta berbagai komunitas di
masyarakat cukup mendukung prospek pengembangan daya tarik objek wisata DAS Ciliwung sebagai
model pengelolaan ekowisata.
6. Simpulan Awal
DAS Ciliwung sebagai salah satu kawasan objek wisata sungai yang berkualifikasi internasional di
Kota Depok, Jawa Barat cukup potensial untuk dikembangkan sebagai model pengelolaan ekowisata.
Selain didukung potensi daya tarik alam yang mempesona, ciri khas nilai budaya dan peninggalan
tradisional yang unik, DAS Ciliwung berpotensi menjadi kawasan wisata yang memiliki daya saing
dan daya serap yang tinggi.
Untuk mengembangkan DAS Ciliwung sebagai model pengelolaan ekowisata, maka selain didukung
hasil analisis potensi daya tarik wisata, kondisi lingkungan, ketersediaan prasarana jalan, fasilitas dan
akomodasi, perlu pula didukung partisipasi aparat terkait, dunia usaha dan masyarakat, serta
dukungan berbagai unsur lain.
Unsur-unsur lain yang dimaksudkan adalah faktor kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan
dengan peraturan daerah (PERDA), Undang-Undang, program pembangunan daerah (PROPEDA),
rencana strategis pembangunan daerah (RENSTRA), rencana pembangunan jangka menengah
daerah (RPJMD), norma dan nilai, serta sistem pengelolaan potensi daya tarik ekowisata. Selain
beberapa unsur tersebut, yang dapat dijadikan landasan pengembangan konsep model pengelolaan
ekowisata di DAS Ciliwung, perlu pula acuan beberapa model pengelolaan ekowisata di daerah lain
seperti di Blize, Equador, South East Queensland, Tangkuban Perahu dan Ciater serta Sungai Citarik,
Jawa Barat. Hal ini dimaksudkan sebagai landasan operasional dalam pengembangan model
ekowisata di DAS Ciliwung.
Model pengelolaan ekowisata yang telah dikembangkan dibeberapa daerah, masing masing memiliki
kesamaan dan perbedaan potensi daya tarik obyek wisata, nilai budaya dan ciri khas daerah. Namu n
pada dasarnya memiliki tujuan pengelolaan yang sama. Selain sebagai kawasan pengembangan
berbagai daya tarik ekowisata yang menarik, mengesankan, bermakna, bertanggung jawab dan
berkelanjutan, juga merupakan sarana konservasi dan preservasi terhadap potensi daya tarik,
ekologi/lingkungan. Model pengelolaan ekowisata di Blize misalnya, memanfaatkan daya tarik
bentang alam, potensi sungai, keindahan alam, hutan lindung, cagar budaya dan upacara adat khas
Indian. Sedang model pengelolaan ekowisata di Sungai Ciliwung memanfaatkan potensi sungai,
bentang alam, cagar alam, keindahan alam dan nilai-nilai eksotik budaya lokal.
Manfaat pengelolaan ekowisata diberbagai daerah rata-rata orientasinya tertuju pada aspek
pertumbuhan ekonomi daerah dan ekonomi kerakyatan, konservasi dan preservasi terhadap sumber
daya alam, lingkungan, dan nilai budaya. Sedangkan aspek sosialnya tertuju pada upaya peningkatan
pendapatan masyarakat melalui kesempatan kerja serta pemberdayaan masyarakat. Demikian pula
terhadap pelestarian berbagai peninggalan tradisionil dan sumber daya tarik lainnya.
Dengan konsep model pengelolaan ekowisata, DAS Ciliwung dapat dikembangkan sebagai suatu
model pengelolaan ekowisata idaman yang bertanggung jawab, sebagaimana model pengelolaan
ekowisata lestari yang di kembangkan Sadler (1990). Begitupula dengan formulasi konsep ekowisata
yang dikemukakan Inskeep (1991) dan Groot (1990) sebagai salah satu syarat pengembangan
ekowisata lestari, indah, alami, menarik, bermakna dan bertanggung jawab. Selain bertujuan untuk
meningkatkan daya tarik dan kegiatan wisata, kualitas lingkungan, kelestarian nilai budaya dan
partisipatif masyarakat, juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah, pendapatan
masyarakat serta pemberdayaan masyarakat.
Berbagai unsur yang terkait dalam pengembangan DAS Ciliwung sebagai objek kunjungan ekowisata,
dapat diformulasikan dalam bentuk bagan sebagai suatu konsep model pengelolaan ekowisata.
Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada
umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah
aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven.
Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya
tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya.
Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat,
jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan
lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan
pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa
alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan.
Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism.
Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan
mengenal kejenuhan pasar.
The Ecotourism Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu:
1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya,
pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya
setempat.
2) Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan
pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
3) Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk
ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung
penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara
langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian
alam.
4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan
pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat
diharapkan ikut secara aktif.
5) Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari
kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
6) Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk
pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam.
Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini.
Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta
menjaga keaslian budaya masyarakat.
7) Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang
lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat
banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
8) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan
pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong
sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah
setempat.

7. Penelitian dan Pendidikan


Kegiatan penelitian dalam bidang ekoturisme terutama studi banding ke wilayah Sungai Citarik,
Sukabumi, merupakan kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam berbagai tahapan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga ke monitoring. Melalui penelitian akan diperoleh informasi yang
diinginkan, sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan suatu program.
Penelitian juga dapat membantu memformulasikan aturan dan kebijakan terhadap kegiatan
ekoturisme (Ani Mardiastuti, 2000).
Salah satu konsep yang ditawarkan dalam pengembangan ekoturisme adalah menggunakan prinsip
Participatory Action Research (PAR) yang dikemukakan oleh Ryan dan Robinson (1990), secara
umum mempunyai lima prinsip penelitian yaitu :
1) Penelitian harus melibatkan masyarakat secara penuh dan aktif mulai dari proses penelitian.
2) Penelitian harus melibatkan seluruh komponen masyarakat secara penuh: kaum miskin,
tertekan dan kelompok yang tereksploitasi.
3) Proses penelitian dapat membuat sadar masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan
menggerakkan untuk membangun kepercayaan diri.
4) Metode penelitian yang digunakan harus teliti dan menggunakan analisis autentik
berdasarkan realitas sosial.
5) Peneliti adalah orang yang mempunyai komitmen dan belajar dari proses penelitian
Sedangkan kegiatan pendidikan ekoturisme pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu pendidikan untuk
para ekoturis dan pendidikan bagi para penyelenggara kegiatan ekoturisme. Aspek pendidikan yang
akan diterima oleh para ekoturis sangat bergantung dari kualitas program yang diikutinya. Program
yang diikuti para ekoturis merupakan akumulasi pengetahuan para stakeholder, khususnya
penyelengga (operator) turisme. Oleh karena itu pendidikan bagi penyelenggara kegiatan
ekoturisme merupakan hal yang sangat penting (Ani Mardiastuti, 2000).
Kegiatan pendidikan umum diperlukan oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kegiatan
ekoturisme, yaitu pemerintah, masyarakat, Komunitas, pengusaha, lembaga donor, biro perjalanan,
tour operator, tour guide, pelaksana home stay, pembuat dan pedagang cinderamata, serta peneliti.
Pendidikan ini diperlukan untuk menyamakan visi dan pemahaman tentang konsep ekoturisme
diantara para stakeholders. Sedangkan pendidikan khusus ditujukan kepada stakeholder tertentu
untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, atau keterampilan dari stakeholder tersebut (Ani
Mardiastuti, 2000).

V. Penutup
Ekowisata mempunyai pengertian suatu perjalanan wisata ke daerah yang masih alami. Meskipun
perjalanan ini bersifat berpetualang, namun wisatawan dapat menikmatnya. Ekowisata selalu
menjaga kualitas, keutuhan dan kelestarian alam serta budaya dengan rnenjamin keberpihakan
kepada masyarakat. Peranan masyarakat lokal sangat besar dalam upaya menjaga keutuhan alam.
Peranan ini dilaksanakan mulai saat perencanaan, saat pelaksanaan pengembangan dan
pengawasan dalam pemanfaatan. Studi banding ini bersifat sebagai kajian awal untuk merumuskan
formulasi Ekowisata Sungai Ciliwung di Ruas Kota Depok ke depannya.

Mengetahui, Hormat Kami,


Forum Komunitas Hijau Koordinator Studi Banding
Kota Depok

Heri Saefudin D. Wahyu Nurdiansyah


Koordinator

Anda mungkin juga menyukai