Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PROYEK GALIFU

SEMESTER GENAP 2017-2018

ANALISA DAMPAK KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN BUDIDAYA


DI SEKITAR SUB-SUB DAS KALI LAJAR, KALI KONTO, DAS BRANTAS
MENGGUNAKAN METODE NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index) DI KABUPATEN MALANG. JAWA TIMUR

oleh :

KELOMPOK 23

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2018
PROPOSAL PROYEK GALIFU
SEMESTER GENAP 2017-1018

ANALISA DAMPAK KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN BUDIDAYA DI


SEKITAR SUB-SUB DAS KALI LAJAR, KALI KONTO, DAS BRANTAS
MENGGUNAKAN METODE NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) DI
KABUPATEN MALANG. JAWA TIMUR

PROPOSAL PROJECT GALIFU

Anggota kelompok 23
ROHMAT HIDAYAT 155040200111147
HANA NURLIANI 155040200111169
NADYA AWALIAH 155040201111216
RAYI AJENG PRAHARSACITA 155040207111022
OLGA LINGGAR PUTRI 155040207111026
NOVIA NASRIFATU WILDA 155040207111084

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS PERTANIAN

MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL PROYEK GALIFU

Judul : Analisa Dampak Kekeringan Terhadap Tanaman Budidaya


Di Sekitar Sub-Sub Das Kali Lajar, Kali Konto, Das Brantas
Menggunakan Metode NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) Di Kabupaten Malang. Jawa Timur
Kelompok : 23
Program StudI : Agroekoteknologi

Disetujui oleh :
Asisten ANLAN Asisten SISL Asisiten MGKT

Widura Bintang S Longgomita S Herni Maulidya


Nim : 145040200111077 Nim: 155 Nim:
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia termasuk dalam negara yang berada pada garis kathulistiwa
yang mempunyai iklim monsoon tropis dan sangat sensitive dengan perubahan
iklim el Nino. Perubahan el Nino biasanya terjadi apabila suhu permukaan laut di
bagian pasifik lebih tepatnya pada equator tengah hingga timur berubah menjadi
hangat yang membuat musim kemarau akan menjadi lebih panjang, dalam
perubahan ini mengakibatkan daerah tersebut akan mengalami kekeringan karena
cadangan air dalam tanah akan habis akibat dari proses penguapan atau
evaporasi.
Kekeringan ialah contoh dari salah satu bencana alam yang nantinya akan
dapat membuat dampak secara luas, baik secara ekonomi, social, kesehatan,
pendidikan dan lainnya. Kekeringan sering dianggap dalam kategori masalah yang
ringan bagi masyarakat, maka dari itu perlu diperhatikan karena prose terjadinya
kekeringan dapat berlangsung lama dan perlahan hingga musim hujan akan
datang. Kekeringan tidak hanya sering terjadi di Indonesia, negara lain yang sering
mengalami kekeringan akibat penyimpangan perubahan iklim El Nino juga terjadi
pada negara Australia, Amerika, Meksiko, dan Filiphina.
Permasalahan kekeringan dapat terjadi pada daerah mana saja, baik pada
daerah yang banyak menyediakan air yang lebih ataupun pada daerah yang tidak
banyak menyediakan air, seperti halnya pada daerah yang berada di daerah sub
Das Kali Lajar, tidak kemungkinan juga akan ada terjadinya kekeringan pada
daerah Das Kali Lajar. DAS ialah wilayah yang dibatasi oleh topografi secara alami
berupa punggung bukit yang berfungsi menampung air dan mengalirkan air ke laut
yang memiliki komponen berupa lahan, sungai, vegetasi, iklim, dan aktivitas
manusia. Permasalahan yang seringkali terjadi pada Das Kali Lajar maupun sub
Das yang ada disekitar yaitu kelebihan air yang terjadi pada musim penghujan
yang nantinya dapat menyebabkan banjir serta kekurangan air yang terjadi pada
musim kemarau dan dapat mengakibatkan kekeringan. Daerah sub Das Kali Konto
ataupun Das Kali lajar pada umumnya jarang terjadi masalah kekeringan, tetapi
dalam proposal yang kita buat bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemungkinan terjadinya masalah kekeringan yang ada pada Sub-sub Das di
daerah Kali Lajar menggunakan tanaman budidaya.
Ilmu yang dapat dijadikan sebagai solusi dari permasalahan yang ada yaitu
pengindraan jauh dan sistem informasi geografi dengan analisis data spasial yang

1
hasil akhirnya dapat disajikan dalam bentuk peta. Perkembangan dari ilmu ini
dapat menghasilkan data spasial yang berguna dalam penelitian kekeringan dapat
dilakukan dengan menggunakan citra landsat. Citra Landsat merupakan contoh
dari data pengindraan jauh yang berrfungsi untuk menentukan daaerah yang
berpotensi mengalami kekeringan. Citra landsat merupakan citra yang tergolong
citra resolusi spasial menengah dan baik dalam monitoring lahan. Sehingga dapat
menyediakan data untuk informasi dalam studi kekeringan. Ekstrasi data dilakukan
melalui pengindraan jauh dengan analisis vegetasi melalui transformasi NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index). Metode NDVI ini akan membantu dalam
proses analisa yang akan dilakukan agar dapat mengetahui seberapa besar
kekeringan yang dapat terjadi di daerah Sub Das Kali lajar
1.2 TUJUAN
1. Untuk menganalisa dan mengidentifikasi permasalahan kekeringan pada Sub-
sub DAS Kalilajar
2. Untuk menentukan pemetaan ketersediaan air pada daerah Sub-sub DAS
Kalilajar
1.3 ALUR PIKIR

Das Brantas

Das Kali Konto

Das Kali Lajar

Permasalahan Dampak El Nino


terkait dengan
kekeringan

Dilakukan dengan Menggunakan


metode NDVI aplikasi ArcGis

2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kekeringan
Kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada
suatu wilayah yang biasanya tidak pernah terjadi kekurangan air disebut dengan
Kekeringan. Menurut Red (1995) kekeringan dapat didefinisikan sebagai
pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara baik
secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka
waktu khusus. Dampak kekeringan dapat muncul karena akibat dari terjadi
penurunan air, atau perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan air.
Apabila kekeringan sudah mengganggu dampak dari tata kehidupan dan
perekonomian masyarakat maka kekeringan dapat dikatakan dengan nama lain
yaitu bencana.
Menurut Red (1995) kekeringan dapat dikelompokan berdasarkan jenisnya
yaitu: kekeringan meteorologis, kekeringan hydrologis, kekeringan pertanian, dan
kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan berdasarkan jenisnya dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kekeringan meteorologis, berasal dari kurangnya curah hujan dan
didasarkan pada tingkat kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan
normal atau rata–rata dan lamanya periode kering. Perbandingan ini
haruslah bersifat khusus untuk daerah tertentu dan bisa diukur pada musim
harian dan bulanan, atau jumlah curah hujan skala waktu tahunan.
Kekurangan curah hujan sendiri, tidak selalu menciptakan bahaya
kekeringan.
2. Kekeringan hidrologis mencakup mencangkup berkurangnya sumber–
sumber air seperti sungai, air tanah, danau dan tempat–tempat cadangan
air. Definisinya mencangkup data tentang ketersediaan dan tingkat
penggunaan yang dikaitkan dengan kegiatan wajar dari sistem yang
dipasok (sistem domestik, industri, pertanian yang menggunakan irigasi).
Salah satu dampaknya adalah kompetisi antara pemakai air dalam sistem–
sistem penyimpanan air ini.
3. Kekeringan pertanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan
hidrologi terhadap produksi tanaman pangan dan ternak. Kekeringan ini
terjadi ketika kelembapan tanah tidak mencukupi untuk mempertahankan
hasil dan pertumbuhan rata-rata tanaman. Kebutuhan air bagi tanaman,
bagaimanapun juga, tergantung pada jenis tanaman, tingkat pertumbuhan

3
dan sarana- sarana tanah. Dampak dari kekeringan pertanian sulit untuk
bisa diukur karena rumitnya pertumbuhan tanaman dan kemungkinan
adanya faktor–faktor lain yang bisa mengurangi hasil seperti hama, alang–
alang, tingkat kesuburan tanah yang rendah dan harga hasil tanaman yang
rendah. Kekeringan kelaparan bisa dianggap sebagai satu bentuk
kekeringan yang ekstrim, dimana kekurangan banjir sudah begitu parahnya
sehingga sejumlah besar menusia menjadi tidak sehat atau mati. Bencana
kelaparan biasanya mempunyai penyebab–penyebab yang kompleks
sering kali mencangkup perang dan konflik. Meskipun kelangkaan pangan
merupakan faktor utama dalam bencana kelaparan, kematian dapat
muncul sebagai akibat dari pengaruh–pengaruh yang rumit lainnya seperti
penyakit atau kurangnya akses dan jasa-jasa lainnya.
4. Kekeringan sosioekonomi berhubungan dengan ketersediaan dan
permintaan akan barang–barang dan jasa dengan tiga jenis kekeringan
yang disebutkan diatas. Ketika persediaan barang–barang seperti air,
jerami atau jasa seperti energi listrik tergantung pada cuaca, kekeringan
bisa menyebabkan kekurangan. Konsep kekeringan sosio ekonomi
mengenali hubungan antara kekeringan dan aktivitas–aktivitas manusia.
Sebagai contoh, praktek–praktek penggunaan lahan yang jelek semakin
memperburuk dampak–dampak dan kerentanan terhadap kekeringan di
masa mendatang.
2.2 Tanda-Tanda Umum Kekeringan
Kekeringan merupakan keadaan tanpa hujan yang berkepanjangan atau
masa kering yang di bawah normal yang terjadi cukup lama sehingga
menyebabkan terganggunya kesetimbangan hidrologi yang serius. Kekeringan
ada dua kategori, yaitu kategori terkena kekeringan seperti kondisi ketika musim
kering menyebabkan sawah, retak-retak diikuti tanaman kering dan mati dan
kategori terancam kekeringan yaitu kondisi ketika sawah masih basah karena
adanya suplai air akan tetapi jumlahnya jauh dari yang dibutuhkan (Soenarno dan
Syarief, 1995). Hounam et al., (1975), telah mengumpulkan berbagai pendapat
dari hasil berbagai penelitian, dimana dibatasi bahwa kekeringan terjadi jika 15
hari berturut-turut tidak turun hujan. Berdasarkan studi-studi terdahulu, Palmer
(1965) memberikan sejumlah batasan kekeringan antara lain:

4
1. Kekeringan memiliki kondisi suatu periode dengan presipitasi kurang dari
jumlah tertentu, yaitu misalnya kurang dari 2,5 mm dalam jangka waktu 48
jam.
2. Kering merupakan kondisi suatu periode dengan lebih daripada sejumlah
hari dengan presipitasi kurang dari jumlah tertentu.
3. Keadaan kering juga merupakan suatu periode dengan angin yang kuat
yaitu dengan presipitasi rendah, suhu yang tinggi dengan kelembaban
relatif yang rendah.
4. Kering disebut dengan keadaan dengan kelembaban tanah sangat rendah
yang dibandingkan dengan kapasitas lapangnya.
5. Keadaan kering adalah suatu periode dimana, terjadi kegagalan panen
akibat kekeringan dalam usaha pertanian pada umumnya.
6. Keadaan kering adalah suatu keadaan dimana presipitasi bulanan ataupun
tahunan kurang dari keadaan normalnya.
7. Keadaan kering adalah suatu keadaan, dimana dapat dikatakan presipitasi
kurang dari kebutuhan manusia dan makhluk hidup pada umumnya.
Menurut kententuan-ketentuan diatas menjelaskan bahwa keadaan kering
tidak hanya ditentukan oleh presipitasi, tetapi juga, oleh kelembaban tanah dan
kebutuhan mahluk hidup pada umumnya, sehingga untuk usaha pertanian,
terutama di daerah-daerah yang belum berpengairan teratur faktor-faktor tersebut
di atas perlu diperhatikan.
Menurut Waggoner (1968), keadaan kering memiliki kombinasi antara
kurangnya masukkan berupa curah hujan, proses transpirasi dan evaporasi, serta
terjadinya pemakaian pesediaan air sampai habis dan terjadi kekurangan air. Barry
dan Chorley (1976), mengatakan bahwa, keadaan kering memiliki arti tidak adanya
hujan dalam jangka waktu tertentu sehingga, kelembaban tanah kurang yang
menyebabkan penguapan dan pengaliran menurun dan akan berakibat pada
aktivitas biologi maupun kehidupan pada umumnya terganggu.
2.3 Faktor Penyebab Kekeringan
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekeringan adalah curah
hujan sebagai sumber air tersedia, karakteristik tanah sebagai media
penyimpanan air dan jenis tanaman sebagai subyek yang menggunakan air.
Variasi curah hujan yang tinggi dalam distribusi dan jumlahnya menyebabkan
ketidakteraturan kandungan air tanah, namun hal ini dapat diredam oleh kapasitas
pegang air tanah dan oleh kebutuhan air dari tanaman itu sendiri. Faktor penting

5
yang mempengaruhi kekeringan selanjutnya adalah tanah, sebagai media tumbuh
dan sumber hara bagi tanaman. Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi oleh
hubungan hisapan dan kelengasan, kedalamaan. tanah dan pelapisan tanah.
Hounam et al., (1975), mengemukakan bahwa hisapan dan kelengasan
berhubungan erat dengan struktur pada pori-pori mikro tanah. Jumlah tersebut
merupakan jumlah maksimum air yang dapat dipegang oleh tanah, pada zone tak
jenuh melawan gaya gravitasi.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kekeringan selanjutnya adalah
tanaman. Menurut penelitian Bruyn dan de Jager (1978), pada tanaman pangan
secara umum fase paling sensitif terhadap cekaman air adalah fase pembungaan
sekitar 70-92 hari setelah tanam. Hounam et al., (1975), menyatakan bahwa
periode kering yang disertai oleh tidak adanya air efektif hingga kedalaman tanah
satu meter akan menyebabkan penurunan hasil hingga nol. Jika ada air efektif
pada kedalaman 20-100 cm lapisan tanah, terjadi penurunan hasil tetapi tidak
merusak secara keseluruhan.
2.4 Dampak Kekeringan
Kekeringan akan berdampak negatif lebih serius, karena pengaruhnya
tidak sekedar menurunkan kualitas maupun kuantitas hasil, tetapi dapat
mematikan tanaman dan dapat menyebabkan kekurangan air bersih untuk
manusia dan ternak. Jika terjadi kekeringan, sebagian besar tanaman akan
mengalami kekurangan air, walaupun tingkat kekurangannya berbeda-beda.
Tanaman tahunan akan lebih bertahan bila dibandingkan tamanan musiman.
Tanaman yang berumur lebih tua akan lebih kuat bertahan dibandingkan tanaman
yang lebih muda.
Menurut Wisnubroto dan Sukodarmojo (1982), bahwa kekurangan air dapat
menimbulkan beberapa akibat terhadap tanaman pertanian, yaitu:
1. Tanaman tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya.
2. Tanaman dapat tumbuh tetapi tidak menghasilkan buah.
3. Tanaman dapat tumbuh dan dan berbuah tetapi dengan hasil yang rendah.
Dampak dari kekeringan juga dapat ditinjau dari sisi fisik dan non fisik
menurut Nugroho (2003) adalah sebagai berikut.
2.4.1 Dampak Kekeringan Fisik
Dampak yang ditimbulkan dari kekeringan dari segi fisik menurut Nugroho
(2003) adalah sbagai berikut
1. Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.

6
2. Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.
3. Kerusakan spesies tanaman.
4. Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).
5. Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan, berkurangnya
daya pandang).
6. Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan retak-retak,
sehingga sulit untuk dijadikan lahan pertanian. Keadaan suhu siang hari
pada saat kekeringan akibat musim kemarau menjadikan suhu udara
sangat tinggi dan sebaliknya pada malam hari suhu udara sangat dingin.

2.4.2 Dampak Kekeringan Non Fisik


Dampak kekeringan secara non fisik menurut Nugroho (2003) dapat
ditinjau dari sisi ekonomi, sosial budaya dan politik.
2.4.2.1 Ekonomi
Dampak kekeringan secara non fisik dari segi ekonomi adalah sebagai
berikut:
1. Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak, kayu, dan
perikanan.
2. Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
3. Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara langsung.
4. Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.
5. Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-biaya
energy.
6. Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.
7. Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga pangan.
8. Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait dengan
kekeringan.
9. Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya kejenuhan
pada lembaga-lembaga keuangan.
2.4.2.2 Sosial Budaya
Dampak kekeringan secara non fisik dari segi sosial dan budaya adalah
sebagai berikut:
1. Saat terjadi kekeringan, tanah menjadi kering dan pasir lembut atau debu
mudah terbawa angin. Hal ini menyebabkan debu ada dimana, sehingga

7
menimbulkan banyak gejala penyakit yang berhubungan dengan
pernafasan. Banyak orang yangakan sakit flu dan batuk.
2. Pengaruh-pengaruh kekurangan pangan (kekurangan gizi, kelaparan).
3. Kekeringan berhimbas pada kurangnya pasokan pangan sehingga banyak
manusia yang kekurangan gizi hingga menimbulkan masalah kesehetan
dan penyakit atau kondisi yang paling parah adalah hilangnya nyawa
manusia akibat tidak tercukupinya kebutuhan air bersih
4. Air yang terbatas menyebabkan terjadinya konflik antar manusia/
perselisihan sosial dalam mendapatkan pasokan air
5. Pasokan air yang terbatas menimbulkan ketidakadilan dalam
pendistribusiannya akibat dampak-dampak kekeringan
6. Sektor pertanian yang membutuhkan air akan terhambat hingga
menimbulkan pengangguran dan berdampak pada meningkatnya
kemiskinan serta kualitas hidup masyarakat pada daerah yang mengalami
kekeringan
2.4.2.3 Politik
Dampak kekeringan secara non fisik dari segi politik adalah Pemerintah
harus bekerja keras untuk membuat kebijakan penanggulangan bencana
kekeringan. Badan khusus penanggulangan bencana juga harus dibentuk, seperti
yang sudah dibentuk di Indonesia yanitu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana).
2.5 Penanggulangan Kekeringan
Membahas dampak dari kekeringan sangatlah kompleks, dampak yang
ditimbulkan dari bencana kekeringan menyangkut semua segi kehidupan yaitu
ekonomi, sosial, politik hingga budaya. Dalam sektor ekonomi, terutama
pemenuhan kebutuhan pangan dampak kekeringan akan sangat terasa. Kemarau
yang panjang akan berimbas pada pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Diperlukannya upaya-upaya penanggulangannya dalam menghadapi kemarai
yang berkepanjangan hingga kekeringan perlu dipersiapkan secara matang
melalui konseptual yang terinci. Sasaran yang dituju dari rencana penanggulangan
kekeringan bukan hanya jangka pendek namun juga dampaknya dalam jangka
panjang terutama dalam sektor pertanian. Kekeringan yang akan berakibat fatal
terhadap sektor pertanian, maka persiapan dan penanggulangan bencana
kekeringan alangkah baiknya difokuskan pada daerah-daerah yang rawan

8
kekeringan. Handoko dan Las (1994) merencanakan sebuah system sebagai
langkah penanggulangan jika terjadi bencana kekeringan, berupa:
2.5.1 Identifikasi Wilayah
Langkah awal dari perencanaan pendugaan dan penanggulangan
bencana kekeringan yaitu mengidentifikasi dan mengelompokkan wilayah
berdasarkan sifat dan tingkat resiko dan dampak kekeringan pada suatu wilayah.
Contoh analisis yang dapat dilakukan adalah analisis kekeringan berdasarkan
curah hujan, lamanya kejadian hujan pada wilayah tersebut dan simulasi neraca
air untuk mengetahui periode kelebihan dan kekurangan (surplus dan deficit),
selain itu mengidentifikasi pemilihan jenis tanaman berdasarkan umur dan
ketersediaan air tanaman juga perlu dilakukan untuk mengetahui kebutuhan air
pada sektor pertanian tersebut. Hasil dari analisis dan identifikasi tersebut
selanjutnya digunakan untuk penentuan pola tanam agar waktu pengolahan tanah,
penanaman dan panen serta jenis tanaman yang akan dibudidayakan dapat
sesuai. Langkah identifikasi wilayah terbagi menjadi beberapa metode yang lebih
jelasnya akan dibahas di bawah ini.
2.5.1.1 Identifikasi Wilayah Berdasar Awal Kemarau
Mengetahui kapan dimulainya musim kemarau perlu dilakukan karena perkiraan
musim kemarau maka akan diketahui pola awal kemarau dengan begitu kita dapat
melakukan tindakan dan mempersiapkan saat antisipasi dan tindakan dalam
menghadapi musim kemarau. Metode identifikasi wilayah berdasarkan awal
kemarau telah dilakukan dengan menggunakan data hujan pada 16 stasiun di
Jawa Barat, NTT, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara dan Kalimanatan
Timur. Hasil yang didapatkan dalam ppenggunaan metode ini didapatkan bahwa
Informasi peridode mulainya musim kemarau dari tiap-tiap wilayah dapat diketahui
dengan itu dapat dilakukan pendayagunaan sumberdaya air dapat diatur
sedemikian rupa akar penggunaannya dapat efektif dan efisien.
2.5.1.2 Identifikasi Wilayah Berdasar Lama Periode Kemarau
Identifikasi wilayang berdasarkan pada lama periode kemarau dapat
bermanfaat untuk mengetahui pola hujan yang terjadi pada suatu daerah sehingga
data analisis dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk mengetahui daerah
berdasarkan panjang dan pendeknya daerah tersebut menghadapi kemarau.
Masing-masing daerah dapat memiliki lama musim kemarau yang tidak sama,
meskipun waktu dimulainya musim kemarau bersamaan. Dengan mengetahui pola
tersebut maka dapat diketahui daerah yang rawan kekeringan dengan melihat

9
tingkat periode kemarau yang paling lama untuk dilakukannya tindakan-tindakan
perencanaan operasional berupa penentuan pola tanam yang tepat sesuai dengan
pola kemarau yang akan dihadapi.
2.5.1.2 Identifikasi Sifat Curah Hujan
Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki sifat hujan yang bervariasi menurut
tempat dan waktu, masing-masing stasiun yang mewakili suatu wilayah tertentu
mempunyai sifat hujan tersendiri yang berbeda dengan stasiun pantauan lainnya.
Evaluasi sifat curah hujan penting dilakukan guna mengetahui sifat hujan yang
terjadi pada suatu wilayah tertentu atau prakiraan musim suatu daerah. Sifat hujan
normal artinya akumulasi curah hujan yang terjadi di suatu daerah prakiraan
musim selama musim hujan berada di sekitar nilai rata-rata selama 30 tahun,
sedangkan di atas normal diartikan bahwa curah hujan lebih tinggi dari batas atas
nilai curah hujan yang normalnya terjadi, dan sifat hujan di bawah normal memiliki
arti bahwa akumulasi curah hujan yang terjadi selama musim hujan lebih rendah
dari batas normalnya. BMKG (2004) menetapkan sifat hujan menjadi tiga
kelompok yang diperoleh berdasarkan nilai perbandingan antara akumulasi curah
hujan dengan nilai curah hujan normalnya, yaitu:
a. Sifat di atas normal (A): jika nilai perbandingan > 115 %.
b. Sifat Normal (N): jika nilai perbandingan 85 % - 115 %.
c. Sifat di bawah normal (B): jika nilai perbandingannya < 85 %.
Teknik evaluasi identifikasi sifat curah hujan, juga dapat dilakukan dengan
mengelompokan wilayah yang memiliki sifat curah hujan di bawah normal (B) yang
merupakan dasar identifikasi awal bahwa wilayah yang masuk kedalam kelompok
tersebut dapat dikatakan sebgai daerah rawan kekeringan. Menurut Oldeman
(1975) dengan metode identifikasi Wilayah berdasarkan Periode Surplus-Defisit
Air, menunjukkan bahwa curah hujan sebagai faktor iklim yang mempunyai
variabilitas terbesar menurut tempat dan waktu. Surplus defisit air lahan dapat
dianalisis melalui neraca air dengan mengetahui curah hujan yang tejadi bersama
evapotranspirasi dengan didukung oleh sifat fisik tanah. Penyusunan neraca air
disuatu tempat dan suatu periode digunakan untuk mengetahui jumlah netto air
yang diperoleh, nilai surplus dan defisit air dan kapan saat terjadinya surplus dan
deficit tersebut (Nasir dan Effendi, 1999). Dengan diketahuinya periode surplus
dan defisit air maka dapat disusunnya pola tanam maupun jadwal pemberian air
irigasi sehingga pemanfaatan air mampu memberikan hasil yang maksimum untuk
usaha tani pada daerah rawan kekeringan. Basuki (1998), melakukan penelitian

10
periode surplus dan defisit air lahan Jawa Timur dimana periode surplus antara 1-
5 bulan dengan jumlah surplus antara 200-700 mm mencakup lebih kurang 94%
dari titik yang dihitung. Surplus tertinggi terjadi di Tretes sebesar 1456 mm dengan
periode surplus selama 5 bulan. Daerah yang tidak pernah mengalami surplus
adalah Probolinggo dan Pademawu. Waktu terjadinya surplus 71,8 % jatuh pada
bulan Januari hingga Februari. Keberhasilan sektor pertanian pada suatu daerah
sangat bergantung pada faktor-faktor iklim yang terjadi. Salah satu faktor iklim
yang menentukan keberhasilan tersebut adalah curah hujan untuk pemenuahan
pengirigasian lahan.
Handoko dan Las (1994), meyatakan bahwa secara konseptual terdapat
dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka membantu penyusununan
konsep dalam mengantisipasi dan menanggulangi dampak kekeringan terhadap
tanaman pangan, yaitu dengan mengidentifikasi terhadap aspek biofisik yaitu iklim
dan tanah karena aspek biofisik tersebut dapat mengindentifikasikan sifat dan
tingkat resiko kekeringan suatu wilayah serta antisipasi dampak kekeringan
berdasarkan dugaan iklim jangka pendek dan menengah yang dilakukan. Pada
sistem peringatan untuk kekeringan, data terkumpul pada masing-masing daerah
digunakan sebagai input atau masukan model neraca air secara tepat sehingga
dihasilkan system peringatan dini yang dapat dipublikasikan kepada masyarakat
sekitar rawan kekeringan tersebut.

2.5.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Air pada Pertanian


Pada sistem pertanian lahan kering maka air hujan yang turun akan
dimanfaatkan secara efisien, dengan cara langsung mengalirkan air pada vegetasi
lahan. Berdasarkan sistem alirannya, air hujan yang berlebihan mengalir dari sub-
wilayah yang muka air tanahnya sangat dalam (pluvial) ke sub-wilayah yang muka
air tanahnya sedang dangkal (freatik) dan selanjutnya menuju ke sub-wilayah yang
muka airnya sangat dangkal (fluksial). Tetapi bila musim kemarau tiba dan terjadi
kekeringan pada lahan maka perlu diambil langkah-langkah operasional untuk
penanggulangan kekeringan apabila menginginkan usaha pertanian tetap berjalan
maka dalam hal ini optimalisasi pemanfaatan sumber air perlu diterapkan. Berikut
ini adalah pemanfaatan sumber air yang dapat dilaksanakan pada sektor pertanian
menurut Wisnubroto dan Attaqy (1992), yaitu sebagai berikut.

11
2.5.2.1 Pembangunan Waduk
Pemanfaatan waduk di Indonesia sudah lama dilakukan, waduk terdiri dari
bebagai ukuran yaitu terdapat waduk dengan ukuran besar maupun yang kecil
sesuai dengan kebutuhan dan pemanfaatannya. Pembangunan waduk
merupakan salah satu upaya untuk menyimpan air yang berlebihan pada musim
hujan yang kemudian dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Pada sub-
wilayah pluvial air sungai yang biasanya dimanfaatkan secara langsung dapat
ditampung di waduk, kemudian didistribusikan pemanfaatannya pada lahan
pertanian ketika dibutuhkan sehingga pengirigasian pada lahan budidaya tidak
mengalir secara terus menerus. Hujan lokal dan air limpasan dari daerah
tangkapan hujan cukup memenuhi kebutuhan air bagi padi sawah yang
memerlukan air irigasi antara 800-1000 mm/musim dan terdapat beberapa kasus
bahwa pada musim hujan terdapat lahan sawah yang mengalami kelebihan dan
kemudian biasanya terbuang pada musim hujan namun pada musim kemarau
mengalami kekeringan. Pada kondisi tersebut air limpasan dan air tanah cukup
potensial untuk digunakan pada keadaan kritis kekurangan air. Air sungai dan air
waduk didistribusikan melalui jaringan irigasi secara teratur dan perlu
pengkoordinasian yang sesuai dalam menerapkan aturan pengelolaan air,
terutama pada sistem irigasi teknis. Tujuan dari peningkatan eftsiensi sistem irigasi
adalah menghambat penurunan volume air waduk, dan mengatur debit air sungai
yang terbatas untuk memperluas areal pengirigasian pada musim kemarau.
2.5.2.2 Pembangunan Embung
Sama seperti waduk namun lebih sederhana embung (waduk lapangan)
dapat dibuat dekat dengan petak- petak lahan sawah petani, untuk mengumpulkan
kelebihan air hujan pada musim hujan. Intensitas hujan tinggi dalam waktu singkat
pada musim hujan tertampung di petak sawah sehingga air limpasan ttidak akan
terbuang percuma. Embung dapat dibuat seluas 4-5% lahan yang dimiliki bukan
hanya dapat menampung air limpasan, namunn juga dapat digunakan untuk
melembabkan tanah di musim kemarau apabila curah hujan tidak cukup
memenuhi kebutuhan tanaman.
2.5.2.3 Pemanfaatan Air Tanah
Perlu diketaui bahwa lebih dari 15% air tawar (fresh water) tersimpan sebagai air
tanah. Sampai batas tertentu air tanah ini dapat dimanfaatkan untuk mencukupi
kebutuhan air pada musim kemarau, jika penggunaannya tidak berlebihan dan
cukup rasional. Korelasinya karena hujan selalu terjadi dan pada umumnya

12
berlebihan dalam musim hujan, Sehingga masalah pengurangan air tanah pada
musim kemarau dapat diisi kembali ketika musim hujan tiba. Namun terdapat
beberapa wilayah yang tidak dapat menerapkan pemanfaatan air tanah seperti
pada daerah yang berlokasi dekat pantai yang menyebabkan kemungkinan
terjadinya intrusi air laut.

13
III METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Survey akan dilaksanakan di DAS Sumber Brantas, Sub DAS Kalikonto
yang berlokasi di sub-sub DAS Kali Lajar, yang memanjang melewati 3 desa yaitu
Desa Sukomulyo, Desa Pujon Kidul, dan Desa Pujon Lor, Kecamatan Pujon,
Kabupaten Malang. Waktu pelaksanaan pengamatan geomorfologi berupa
analisis lanskap dan interpretasi foto udara dilaksanakan pada bulan Februari
hinggal April 2018.
3.2 Alat dan Bahan
Selama pelaksanaan proyek ini dilakukan beberapa tahapan berupa pra
survey, pelaksanaan survey, dan pasca survey. Alat dan bahan yang diperlukan
selama proyek berlangsung antara lain :
No. Alat dan bahan Fungsi
1. Software ArcGIS 10.2 .2 Aplikasi membuat Peta
2. Untuk menentukan landform dan
DEM STRIM
kelerangan
3. untuk peta administrasi (untuk
Citra Landsat 8
menunjung peta dasar )
4. Peta Penggunaan lahan Untuk menuntukan penentuan lokasi
5. Untuk mengatahui sebaran landform
Peta Landform
yang ada diproject
6. Alat untuk mempermudah deliniasi foto
Stereiskop
udara
7. Interpretasi foto udara berdasarkan
Pen OHP
penentuan lokasi
8. Untuk mengetahui daerah drainase pada
Foto udara Drainase
lokasi survey
9. Untuk mengatahui sebaran landform
Foto udara Landform
yang ada diproject
10. Untuk mempermudah melakukan
Survei set
pengamatan
11. GPS Menentukan lokasi yang akan dituju
12. Form Pengamatan Mencatat hasil dari pengamatan
13. KTT Untuk pedoman

14
14. Untuk mempermudah melakukan
Buku petunjuk Lapang
pengamatan
15. Air Bahan pembantu proses pengamatan
16. Peta RBI Untuk mendukung peta adminidstrasi
DAS Kali Lajar
17. Peta Kelerengan Untuk mengetahui tingkat perbedaan
kelerengan DAS Kali Lajar
18. Peta Geologi Untuk mengetahi formasi geologi yang
berada di DAS Kali Lajar. Dan
pendukung titik sampel yang hasilnya
digunakan untuk peta kesesuaian lahan
melalui evaluasi lahan
19. Peta Landform Untuk mengetahui sebaran landform
yang berada di DAS Kali Lajar
20. Peta DAS Sub DAS Untuk mengetahui gambaran DAS Kali
Lajar

3.3 Tahapan Pelaksanaan Proyek


Dalam pelaksanaan yang akan dilakukan dalam proyek GALIFU ini yang
berlokasi di sub-sub DAS Kali Lajar dibutuhkan beberapa tahapan, yaitu tahapan
prasurvey, tahapan pelaksanaan survey di lapangan dan tahapan pasca survey.
3.3.1. Prasurvey
Tahapan kegiatan pada prasurvei yang akan dilakukan dalam proyek
GALIFU ini diantaranya yaitu Penyusunan peta survei juga pada lokasi DAS Kali
Lajar yang berlokadi di Desa Sukomulyo, Desa Pujon Lor dan Desa Pujon Kidul
yang dibuat dalam dalam bentuk satuan peta lahan (SPL). SPL dibuat berupa peta
kelerengan dan tutupan lahan. Dalam survei ini juga membutuhkan data primer
yang didapatkan dari wawancara dan survey lapangan dan data sekunder yang
didapatkan dari studi literatur terkait topik project mengenai kekeringan
menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan data
curah hujan untuk mendukung dalam menganalisa kekeringan pada sekitar sub-
DAS Kali Lajar.
3.3.2 Pelaksanaan Survey
Dalam pelaksanaan survei lapang dilakukan di Desa Sukomulyo, Desa
Pujon Kidul, dan Desa Pujon Lor, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang yaitu di
DAS Sumber Brantas Sub DAS Kalikonto yaitu sub-sub DAS Kali Lajar. Dalam
kegiatan survey tersebut berguna untuk mengumpulkan data serta informasi untuk
mengetahui tingkat kekeringan dengan mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data dari hasil pengamatan di lapang yaitu

15
analisis tutupan lahan dan kerapatan vegetasi sedangkan data sekunder
merupakan data pendukung yang didapatkan melalui beberapa sumber. Setelah
mengumpulkan data yang dibutuhkan, selanjutnya data tersebut dianalisis
bersama dengan hasil dari pengamatan di lapang untuk mendapatkan data fisik
tanah dan kondisi sub DAS Kali Lajar.
3.3.2. Pasca Survey lapangan
Setelah dilakukan survey, tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan pasca
survei lapang yaitu dilakukannya analisis berdasarkan data yang telah didapatkan
yaitu melalui data primer merupakan data dari hasil pengamatan di lapang yaitu
analisis tutupan lahan dan kerapatan vegetasi sedangkan data sekunder
merupakan data pendukung yang didapatkan melalui beberapa sumber lalu .
Setelah mengumpulkan data yang dibutuhkan, selanjutnya data tersebut dianalisis
bersama dengan hasil dari pengamatan di lapang menggunakan metode NDVI
untuk mendapatkan kelas kerapatan vegetasi dan data fisik vegetasi dan kondisi
sub-sub DAS Kali Lajar. Sebelum pembuatan kelas kerapatan vgetasi harus
mentransformasi NDVI dengan cara:
𝐵𝑎𝑛𝑑 4−𝐵𝑎𝑛𝑑 3
𝑁𝐷𝑉𝐼 = 𝐵𝑎𝑛𝑑 4+𝐵𝑎𝑛𝑑 3
..............................................................................(1)

Dalam klasifikasi kelas kerapatan vegetasi menggunakan Spatial Analyst


di ArcGIS 10.2.2 Nilai kelas NDVI kemudian diklasifikasi ulang menjadi lima kelas.
Perhitungan interval kelas kerapatan berdasarkan rumus sebagai berikut:
(Sturgess dalam Roffiq Akbar, 2005)
𝑥𝑡−𝑥𝑟
𝐾𝐿 = ................................................................................................(2)
𝑘

Keterangan:
KL = kelas interval
xt = nilai tertinggi
xr = nilai terendah
k = jumlah kelas yang diinginkan

16
Daftar Pustaka

Red, S. B. 1992. Pengantar Tentang Bahaya. Edisi Ke 3. UNDP dan DMTP.


Soenarno dan Syarief, R. 1995. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik
Sumber Air di Pulau Jawa. Prosiding Panel Diskusi Antisipasi Kekeringan
dan Penanggulangan Jangka Panjang.
Hounam, C. E., Burgos, J.J., Kalik, M. S., Palmer, W.C. & Rodda, J. 1975 Drought
and Agriculture. Technical Note No. 138. World Meteorological Organization.
Palmer, Wayne, C. 1965. Meteorological Drought. Research Paper No. 45, U.S.
Washington D.C. : Depertment of Commerce. Weather Bureau, Washington
D.C.
Waggoner, P.E. 1968. Meteorological Data and the Agricultural Problem.
Agroclimatological Methods: Procedings of The Reading Symposium.
Natural Resources Research. Paris: UNESCO.
Barry, R.G. and R.J. Chorley. 1976. Atmosphere, Weather and Climate. New York:
The English Language Book Society and Methuen and Co. Ltd.
Bruyn, L. P., de and de Jager, J. M. 1978. A Meteorogical Approach to the
Identification of Drought Sensitive Period in Field Crops. Agricultural
Meteorology.
Wisnubroto, S. dan Sukodarmodjo, S. 1982. Hujan Buatan dan Masalah
Kekeringan dalam Pertanian Tanaman Semusim. Makalah Seminar Hujan
Buatan, Yogyakarta.
Nugroho, S. 2003. Kaitan El-Niño 1997 Terhadap Tingkat Kekeringan dan Musim
di Sumatera Barat.
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2004. Prakiraan Musim Hujan 2004 di
Indonesia. Jakarta.
Basuki. 1998. Analisis Kadar Air Tanah Selama Periode El-Niño 1997 di Propinsi
Jawa Timur. J. Meteorologi dan Geofisika Vol. 1(4): 76 – 92
Handoko dan Las, I. 1994. Metodologi Pendekatan Strategis dan Taktis untuk
Pendugaan serta Penanggulangan Kekeringan Tanaman. Di dalam Diskusi
Panel Antisipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang.
Nasir, A. dan S. Efendi. 1999. Analisis Neraca Air dan Pola Tanam. Makalah
Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia Bagian Barat
dalam Bidang Agroklimat. Bogor: BIOTROP.

17
Wisnubroto, S. dan Attaqy, R. 1992. Beberapa Usaha Mengurangi Dampak Negatif
Kemarau Panjang pada Usaha Budidaya Tanaman. Prosiding Simposium
Meteorolgi Pertanian.

18

Anda mungkin juga menyukai