Anda di halaman 1dari 25

Subsiden

Beberapa aspek kuantitatif-praktis dalam proyeksi subsiden di


lahan gambut yang didrainase

Dipa Satriadi Rais

2 April, 2016

Artikel singkat ini ditujukan untuk mahasiswa dan praktisi drainase di lahan gambut,
memaparkan aspek-aspek kuantitatif praktis subsiden secara sederhana yang meliputi tiga
komponen utama: kosolidasi, shrinkage, dan oksidasi bahan organik. Penekanan diberikan pada
teknik proyeksi 1 dimensi dalam konteks penggunaan lahan gambut yang melibatkan drainase
di Indonesia. Dalam artikel ini juga ditinjau secara ringkas topik mengenai drainability limit dan
drainage base yang kemudian dirangkai dengan konsep laju subsiden untuk menduga waktu
deplesi gambut. Setiap topik disertai dengan soal Latihan dan penyelesaiannya.

Pengertian dan arti penting subsiden di lahan gambut


Subsiden (Inggris: subsidence) dalam pengertian sederhana adalah amblasan lahan atau
penurunan muka lahan. Dalam berbagai literatur subsiden sering juga disebut sebagai
settlement, dan pada prinsipnya kedua istilah ini mengandung makna yang sama.
Subsiden yang terjadi di lahan gambut merupakan salah satu bentuk kerusakan lahan yang
bila berlangsung dalam jangka lama akan sukar atau tidak dapat diperbaiki. Sehubungan
dengan posisi basal contact lahan gambut pantai Indonesia yang berada pada elevasi
sangat rendah (umumnya pada elevasi yang sama dengan muka laut), maka subsiden yang
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan perubahan drastis pada pola neraca air
setempat. Permukaan lahan dapat turun sedemikian rupa, sampai suatu batas tertentu,
dalam kondisi mana input air yang memasuki lahan tidak dapat lagi dikeluarkan melalui
drainase gravitasi, dan berakhir dengan terjadinya genangan permanen atau genangan
dalam periode panjang setiap tahun. Dalam keadaan seperti itu lahan yang terdampak
disebut mencapai titik drainability limit. Untuk dapat digunakan lebih lanjut sebagai lahan
budidaya atau infrastruktur diperlukan drainase mekanis (dengan pemompaan). Bila hal
ini dilakukan maka subsiden akan berlanjut kembali sampai seluruh tubuh tanah gambut
habis teroksidasi, basal contact terbuka ke permukaan dan elevasi lahan berada lebih
rendah dari tubuh air sekitar.
Dalam penggunaan lahan gambut yang melibatkan drainase diperlukan pemahaman
terhadap mekanisme subsiden serta komponen-komponennya. Pemahaman ini merupakan
dasar untuk melakukan proyeksi subsiden ke depan terutama pada lahan-lahan gambut
yang mengalami pendalaman saluran secara berkala. Proyeksi laju subsiden dan jangka
waktu tercapainya drainability limit sangat diperlukan dalam perencanaan penggunaan
lahan yang bijaksana untuk menghindari/mengurangi terjadinya degradasi dan penurunan
nilai guna lahan dimasa depan, perubahan drastis pada neraca air dan karakteristik area
tangkapan hujan, serta degradasi dan kerusakan lingkungan pada ekosistem-ekosistem
berdampingan sehubungan dengan sifat eksternalitas kubah gambut.

Konsep subsiden di lahan gambut


Faktor utama penyebab atau yang mempercepat terjadinya subsiden di lahan-lahan
gambut Indonesia adalah penurunan muka air tanah melalui drainase buatan. Mekanisme
hubungan antara penurunan muka air tanah dengan subsiden dapat dipilah berdasarkan
komponennya, dan dijelaskan lebih lanjut berikut ini berdasarkan konsep-konsep
mekanika tanah yang umum dijumpai di dalam literatur-literatur terkait, antara lain
seperti tertera dalam Referensi tulisan ini.
Subsiden terjadi karena adanya penurunan volume tanah, mengikuti teori perubahan
volume (Eggelsmann, 1976; Schothorst, 1977). Terdapat tiga mekanisme perubahan
volume pada lahan gambut, yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama, dalam
bentuk kehilangan massa atau tanpa kehilangan massa.

1) Compression, sering juga disebut consolidation, dan di-Indonesiakan sebagai konsolidasi,


merupakan bentuk subsiden tanpa kehilangan massa yang terjadi akibat perubahan
volume tanah gambut sehubungan dengan perubahan effective stress pada zona freatik
(dibawah muka air tanah). Konsolidasi mengikuti hukum-hukum fisika empiris dalam
mekanika tanah. Teori konsolidasi yang cukup luas digunakan saat ini adalah teori
konsolidasi klasik dari Terzaghi (1943).
2) Compaction dan shrinkage, juga merupakan bentuk subsiden tanpa kehilangan massa,
seringkali merupakan perubahan volume tak balik. Shrinkage terjadi dalam kondisi
tidak jenuh dan berhubungan dengan meningkatnya tegangan negatif air tanah pada
matriks gambut dalam vadose zone. Dalam keadaan tidak jenuh, air dalam pori mikro
menarik (mengikat) partikel-partikel tanah dengan lebih erat dibandingkan dalam
keadaan jenuh. Gaya ikat ini berasal dari tegangan permukaan air yang bekerja pada
antar muka air-udara di dalam pori mikro (lihat umpamanya Ng dan Menzies, 2007).
Compaction sebaliknya bekerja malalui gaya luar, dapat berupa beban (load) pada
permukaan gambut, atau vibrasi yang merambat melalui matriks gambut yang
menyusun-ulang dan mempersempit jarak antar partikel-partikel gambut, yang
selanjutnya diperkuat oleh gaya-gaya kohesi, adhesi, dan tegangan matriks.
3) Oxidation atau oksidasi, adalah bentuk subsiden dengan kehilangan massa, merupakan
perubahan volume tak balik (irreversible volume change), disebabkan oleh proses
oksidasi atau mineralisasi karbon menjadi air dan karbon dioksida atau metana
(dekomposisi mikrobial dan/atau kebakaran substrat gambut)
Dalam bentuk ringkas, jika setiap komponen subsiden (S) di-indeks dengan i maka
subsiden dapat dituliskan sebagai penjumlahan aljabar dari seluruh komponenkomponennya (Persamaan 1) dan mempunyai dimensi panjang (L)
=

Persamaan 1.

Sedangkan laju subsiden adalah turunan subsiden terhadap waktu, atau dalam bentuk
diskrit sebagai nisbah subsiden terhadap rentang waktu dan mempunyai dimensi panjang
dan invers waktu (LT-1), seperti diberikan pada Persamaan 2.
=
dimana
S : Total subsiden (L)
Si : Komponen subsiden (L)
t
: Waktu (T)

Persamaan 2.

Compression (Consolidation)
Compression atau consolidation (yang untuk selanjutnya kita sebut sebagai konsolidasi)
terjadi bila effective stress yang bekerja pada partikel-partikel tanah meningkat
dibandingkan effective stress maksimum yang pernah dialami oleh suatu tubuh tanah di
masa lalu. Misalnya, bila permukaan tanah mendapat beban dengan berdirinya sebuah
gedung di permukaan tanah, maka effective stress meningkat akibat meningkatnya total
stress. Demikian juga, bila muka air tanah diturunkan dengan dibuatnya kanal-kanal
drainase maka effective stress meningkat akibat berkurangnya tegangan air pori.
Pada tulisan ini akan dibahas perilaku konsolidasi sehubungan dengan perubahan
komponen-komponen tegangan yang bekerja pada partikel-partikel tanah. Pada kondisi
alami, muka air tanah gambut berada dekat dengan permukaan tanah (dangkal). Apabila
lahan tersebut didrainase muka air tanah akan turun sehingga terjadi perubahan tegangan
efektif (effective stress) pada zona freatik (di bawah level muka air tanah). Model
konsolidasi 1D dari Terzaghi dapat digunakan untuk memodelkan atau memprediksi
konsolidasi lahan gambut akibat perubahan tegangan air pori, total stress dan effective
stress (Persamaan 3).
=

Persamaan 3.

dimana
: Effective stress, yaitu tegangan bersih yang bekerja pada partikel tanah (ML-1T-2)
: Total stress yang bekerja pada partikel tanah (ML-1T-2)
: Tegangan air pori (ML-1T-2)
Dalam bentuk ringkas peranan masing-masing komponen tegangan dalam Persamaan 3
disajikan pada box berikut

Distribusi total stress pada tubuh tanah memiliki pola sedemikian rupa, dimana total stress
meningkat secara linear menurut arah normal (arah kedalaman tubuh tanah), karena
mengikuti hukum mekanika dimana gaya berat bertambah secara linear pada setiap titik
menurut arah normal akibat akumulasi massa padatan diatasnya (Persamaan 4)
= (1 )( )

Persamaan 4.

dimana
: Kerapatan butir, sering juga disebut Berat Partikel atau Particle Density (ML-3)
: Percepatan gravitasi (9.8 m/s2)(LT-2)
: Kedalaman dihitung dari permukaan lahan (L)
: Porositas tanah gambut (-)

Distribusi tegangan air pori pada tubuh tanah memiliki pola sedemikian rupa, dimana
tegangan air pori meningkat secara linear menurut arah normal (arah kedalaman dari
muka air tanah), karena mengikuti hukum mekanika fluida dimana tekanan bertambah
secara linear pada setiap titik menurut arah normal karena akumulasi berat zat cair
diatasnya (Persamaan 5)
Persamaan 5.
= (1 )( )
dimana
:Massa jenis air (1,000 kg/m3) (ML-3)
: Kedalaman dihitung dari muka air tanah (L)
Distribusi tegangan yang bekerja pada partikel-partikel tanah pada suatu tubuh tanah
dapat digambarkan secara grafis seperti diberikan pada Gambar 1.
0

-50

Kedalaman (cm)

-100

-150

-200

-250

Tegangan air pori


Tegangan total

-300

Tegangan efektif
Level permukaan tanah

-350

Level muka air tanah


-400
-4

-2

Tegangan (kPa)

Gambar 1. Diagram contoh distribusi vertikal tegangan air pori (pore water pressure),
tegangan total (total stress) dan tegangan efektif (effective stress) dalam suatu
tubuh tanah gambut.
Pada kedua Persamaan 4 dan 5 terdapat peubah porositas (n) yang nilainya dapat ditaksir
bila kerapatan butir dan kerapatan lindak diketahui (Persamaan 6)

= 1

Persamaan 6.

dimana
: Kerapatan lindak, sering juga disebut Berat Volume atau Bulk Density (ML-3)
Diatas level muka air tanah (pada vadose zone) tidak terdapat tekanan hidrostatis, tetapi
berlaku tegangan matriks yang bekerja pada pori mikro. Tegangan ini bernilai negatif,
dengan demikian tegangan air pori pada vadose zone juga bernilai negatif. Tegangan efektif
dihitung sebagai total stress yang bekerja pada partikel tanah dikurangi dengan tegangan
air pori. Pada zona freatik tegangan air pori ini memberikan gaya apung terhadap partikel
tanah (Persamaan 7), yang juga sesuai dengan hukum Archimedes, lihat juga Gambar 1.
= (1 )[( ) ( )]

Persamaan 7.

Dalam meninjau bagaimana mekanisme komponen-komponen tegangan yang bekerja pada


tubuh tanah meregulasi proses konsolidasi kita perlu meninjau Gambar 1. Andaikan pada
suatu kondisi awal level muka air tanah berada pada ketinggian H0 dihitung dari dasar
gambut (300 cm diatas dasar gambut, atau pada posisi 100 cm dibawah permukaan tanah
pada Gambar 1). Pada kondisi ini effective stress yang bekerja pada tubuh tanah adalah
sebesar0 . Bila muka air tanah diturunkan dari level awal (H0) ke level baru H1 sebesar H
(katakanlah ke posisi 200 cm di bawah permukaan tanah pada Gambar 1), dimana
= 0 1

Persamaan 8.

maka effective stress berubah menjadi 1 . Total stress, yaitu beban yang ditanggung oleh
partikel-partikel yang berasal dari bobotnya sendiri, tidak berubah. Tetapi gaya apung
yang berasal dari tegangan air pori berkurang karena ketebalan air telah turun dari H0
menjadi H1, dalam hal ini dari 300 cm menjadi 200 cm. Sebagian tubuh tanah yang
sebelumnya mendapat gaya apung, yaitu pada posisi antara -100 cm dan -200 cm telah
mengalami kehilangan gaya apung.
Untuk lebih rinci, besaran effective stress pada masing-masing keadaan diberikan pada
Persamaan 9 dan 10 berikut.
Effective stress pada kondisi awal adalah
0 = (1 )[( ) ( 0 )]

Persamaan 9.

Effective stress setelah terjadi penurunan muka air tanah adalah


1 = (1 )[( ) ( (0 ))]

Persamaan 10.

Dari dua keadaan ini secara intuitif dapat dilihat bahwa 1 > 0 karena (0 ) < 0
yang menunjukkan berkurangnya gaya apung pada kondisi kedua setelah turunnya muka
air tanah. Berkurangnya gaya apung pada zona freatik menyebabkan partikel-partikel

tanah turun mengisi ruang-ruang yang sebelumnya ditempati oleh sebagian air pori yang
telah ter-disipasi kedalam drainase.
Latihan 1
Diketahui ketebalan gambut pada suatu tempat adalah 5 meter. Tinggi muka air
tanah awal pada tempat tersebut adalah 4.8 meter dihitung dari dasar gambut,
kemudian diturunkan sebesar 1 m. Hitunglah tegangan efektif awal dan tegangan
efektif akhir yang bekerja pada dasar gambut bila diketahui kerapatan butir dan
kerapatan lindak tanah masing-masing 0.1 g/cc dan 1.2 g/cc.
Penyelesaian
Persoalan diatas dapat digambarkan pada sebuah sketsa seperti terlihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Diagram skematisasi untuk soal Latihan 1.


Langkah 1 : Hitung angka porositas (n) menggunakan Persamaan 6,
g
cm3 = 0.92
= 1
g
1.2 3
cm
0.1

Langkah 2 : konversi sistem satuan pada kerapatan butir dari cgs ke mks

cm3
1000,000
g
m3 = 1,200 kg
= 1.2 3
g
cm
m3
1,000
kg
Langkah 3 : Substitusi angka-angka yang telah diketahui kedalam persamaan yang
sesuai
Effective stress awal sebelum penurunan muka air tanah dihitung berdasarkan
persamaan 9,
0 = (1 0.92) [(1,200

kg
m
kg
m

9.8

5m)

(1,000

9.8
4.8m)]
m3
s2
m3
s2

0 = 980

kg
= 980 Pa
m s2

Effective stress akhir setelah penurunan muka air tanah dihitung berdasarkan
Persamaan 10,
1 = (1 0.92) [(1,200

kg
m
kg
m
9.8 2 5m) (1,000 3 9.8 2 3.8m)]
3
m
s
m
s

1 = 1,796.7

kg
= 1,796.7 Pa
m s2

Konsolidasi yang terjadi akibat perubahan effective stress disebut konsolidasi primer yang
besarnya sebanding dengan ketebalan tubuh yang berkonsolidasi (hukum stress-strain
relationship), berbanding lurus lurus dengan logaritma nisbah effective stress, dan
berbanding terbalik dengan void ratio. Dalam mekanika tanah, besarnya konsolidasi primer
(Dp) akibat perubahan effective stress dapat dihitung dengan Persamaan 11.
= 0

1
( )
1 + 0
0

Persamaan 11.

Dimana
: Indeks konsolidasi primer (-), untuk gambut tropis Asia Tenggara nilai Cp biasanya
berkisar antara 2 3
0 : Ketebalan tubuh tanah awal yang berkonsolidasi (L)
0 : Void ratio (nisbah ruang pori) awal tanah gambut (-)
Pada persamaan 11 dimunculkan sebuah peubah yang disebut void ratio atau nisbah ruang
pori. Void ratio (e) adalah nisbah antara volume pori (Vv) terhadap volume padatan (Vs)
yang dapat juga dihitung dari angka porositas, kerapatan lindak dan kerapatan butir tanah.
Hubungan antar peubah-peubah ini diberikan pada Persamaan 12 15, lihat umpamanya
Verruijt (2012).

Persamaan 12.

Persamaan 13.

Persamaan 14.

+1

Persamaan 15.

=
Dimana
: Kerapatan butir tanah (ML-3)
: Kerapatan lindak tanah (ML-3)
Latihan 2

Berdasarkan Latihan 1 taksirlah besarnya konsolidasi primer yang terjadi bila


diketahui indeks konsolidasi primer (Cp) sebesar 2.2.
Penyelesaian
Langkah 1 : Hitung void ratio awal (0 ) menggunakan Persamaan 13,
0 =

0.92
= 11.0
1 0.92

Langkah 2 : Periksa kembali Gambar 2. Perhatikan bahwa pada kondisi awal


ketebalan vadose zone adalah 0.2 m. Pada kondisi awal ini vadose zone tidak
mengalami gaya apung, oleh karena itu turun atau tidaknya muka air tanah tidak
menyebabkan vadose zone mengalami konsolodisi. Pada kondisi kedua setelah
muka air tanah turun sebesar 1 m ketebalan vadose zone bertambah menjadi 1.2 m.
Tubuh tanah yang berkonsolidasi adalah tubuh tanah dalam zona freatik, yaitu
dibawah muka air tanah, setelah kondisi kedua. Dengan demikian ketebalan tubuh
yang berkonsolidasi adalah 5 m 1.2 m = 3.8 m. Bukan berarti zona vadose zone
yang baru terbentuk tersebut tidak mengalami subsiden, tetapi akan dihitung
sebagai shrinkage dan tidak termasuk ke dalam komponen konsolidasi.
Langkah 3 : Substitusi semua angka yang sudah diketahui kedalam Persamaan 11,
= 3.8 m

2.2
1,796.7 Pa
log (
)
1 + 11.0
980 Pa

= 0.183 m = 18.3 cm

Sesuai dengan namannya, konsolidasi primer merupakan komponen terpenting dari


konsolidasi. Berdasarkan terminologi ini, dapat diduga bahwa terdapat juga konsolidasi
sekunder, dan bahkan konsolidasi tersier. Kedua terminologi terakhir ini disebut juga
rayapan (creep). Laju konsolidasi sekunder dan tersier nilainya lebih kecil jika
dibandingkan dengan laju konsolidasi primer (setidaknya jika dibandingkan pada rentang
waktu jangka pendek). Dalam banyak kasus kedua komponen terakhir ini, terutama
konsolidasi tersier, sering diabaikan.
Konsolidasi sekunder bersifat time-dependent, besarnya sebanding dengan ketebalan tubuh
tanah yang berkonsolidasi, berbanding terbalik dengan void ratio awal, dan lajunya
berkurang menurut waktu. Konsolidasi sekunder dapat terjadi bersamaan dengan, atau
begitu konsolidasi primer akan berakhir. Dalam penerapan praktis, bila melibatkan jangka
waktu yang panjang, katakanlah tahunan, konsolidasi sekunder dapat diasumsikan dimulai
bersamaan dengan terjadinya konsolidasi primer. Model konsolidasi sekunder diberikan
pada Persamaan 16.
= 0

( )
1 + 0
0

Persamaan 16.

Dimana
: Indeks konsolidasi sekunder, nilainya umumnya sekitar 0.06Cp (-)
: Rentang waktu sejak dimulainya konsolidasi sekunder, dalam satuan hari (T)
0 : Waktu referensi (T), t0 =1 pada saat dimulainya konsolidasi sekunder
Kontribusi konsolidasi sekunder terhadap total konsolidasi pada tanah gambut cukup
siginifikan dibandingkan dengan tanah mineral.
Latihan 3
Berdasarkan Latihan 2, bila diketahui indeks konsolidasi sekunder sebesar 0.06Cp
taksirlah besarnya konsolidasi sekunder 50 hari sejak dimulainya drainase (t0 = 1),
dan 50 hari dari suatu waktu acuan t0 = 10.
Penyelesaian
Dengan memasukkan angka-angka yang sesuai kedalam Persamaan 16,
Untuk t0 =1
= 3.8 m

Untuk t0 =10

0.06 2.2
50 d
(
)
1 + 11.0
1d

= 0.071 m = 7.1 cm
= 3.8 m

0.06 2.2
10 d + 50 d
(
)
1 + 11.0
10 d

10

= 0.033 m = 3.3 cm
Konsolidasi tersier juga bersifat time-dependent. Besaran konsolidasi tersier (Dt) jauh
lebih kecil dibandingkan konsolidasi sekunder. Dengan demikian komponen ini, secara
konservatif, dapat kita abaikan.
0

Persamaan 17.

Total subsiden akibat konsolidasi adalah penjumlahan aljabar antara komponenkomponen konsolidasi primer, sekunder dan tersier, seperti terlihat pada Persamaan 18.
= + +

Persamaan 18.

Bila konsolidasi tersier diabaikan, maka berdasarkan Persamaan 17 dan 18, kita peroleh
Persamaan 19.
= +

Persamaan 19.

Latihan 4
Berdasarkan Latihan 2 dan 3 berapakah total subsiden akibat konsolidasi primer
dan sekunder 50 hari setelah drainase?
Penyelesaian
Perhatikan bahwa konsolidasi primer dapat dianggap hanya terjadi sekali (onetime) dan kita asumsikan sebagai sebuah proses instant, dengan demikian tidak
time-dependent. Walaupun proses konsolidasi primer dapat berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu, lajunya tidak dapat dimodelkan dengan
mudah disini dan kita tidak tahu kapan persisnya ia berakhir. Kita berkonsentrasi
pada besaran totalnya saja. Kita asumsikan juga bahwa konsolidasi sekunder terjadi
bersamaan dengan konsolidasi primer. Selanjutnya dengan memasukkan angkaangka yang sesuai kedalam Persamaan 19 kita peroleh:
= 18.3 cm + 7.1 cm = 25.4 cm

Compaction dan Shrinkage


Pada prinsipnya, compaction dan shrinkage menghasilkan efek yang lebih kurang serupa
terhadap tanah gambut, yaitu menyebabkan matriks gambut pada vadose zone menjadi
lebih kompak dan menciut. Tetapi masing-masing terjadi melalui mekanisme berbeda.
Compaction dapat dimodelkan berdasarkan kurva hubungan antara beban yang diperlukan
untuk memperoleh satu unit perubahan volume atau void ratio pada suatu sampel utuh
tanah gambut yang diambil pada vadose zone, dan kadangkala dapat diindikasikan secara

11

kasar dengan Penetrometer. Shrinkage dapat dimodelkan dengan menggunakan Soil


Shrinkage Curve (SSC), yaitu kurva yang merelasikan antara void ratio (e ) terhadap
moisture ratio (). Dengan demikian model ini bersifat empiris dan site-specific. Suatu
contoh kurva SSC diberikan pada Gambar 3. Kurva SSC tidak berbentuk linear dan dapat
dinyatakan dalam persamaan eksponensial, umpamanya seperti yang dapat dilihat pada
Persamaan 20.
= e +

Persamaan 20.

dimana
e
: Void ratio (-)

: Moisture ratio (-)


e
: Bilangan dasar logaritma natural
a, b, c : Konstanta regresi SSC (-)

Gambar 3. Contoh suatu kurva SSC


Peubah Moisture ratio () yang muncul pada Persamaan 20 adalah suatu nisbah antara
volume air dalam pori (Vw) terhadap volume padatan (Vs).
=

Persamaan 21.

Bila diingat kembali bahwa, di dalam fisika tanah, peubah kadar air gravimetrik tanah
(kadangkala disebut juga gravimetric wetness, Hillel, 1971) dinyatakan sebagai nisbah
antara massa air didalam pori terhadap massa kering tanah,

12

=
dimana
: Kadar air volumetrik (-)
Mw : Massa air didalam pori tanah (M)
Ms : Massa kering padatan tanah (M)

Persamaan 22.

maka dengan sedikit aljabar kita dapat memasukkan peubah kadar air gravimetrik ( ),
kerapatan butir tanah ( ), dan massa jenis air ( ) kedalam Persamaan 21. Dengan
demikian moisture ratio dapat dituliskan sebagai sebuah fungsi peubah kadar air seperti
dapat dilihat pada Persamaan 23.
=

Persamaan 23.

Dengan menggunakan kurva SSC dan berdasarkan Persamaan 15, nilai kerapatan lindak
yang bersesuaian untuk setiap nilai moisture ratio dapat diestimasi dengan menggunakan
konstanta-konstanta regresi kurva (Persamaan 24).
=

(1 + ) + e

Persamaan 24.

Dimana a, b, dan c adalah konstanta-konstanta regresi kurva SSC.


Secara intuitif dapat kita lihat bahwa dengan Persamaan 24 besarnya subsiden akibat
shrinkage (Ss) untuk setiap penurunan kadar air pada vadose zone dapat diestimasi melalui
perubahan kerapatan lindak apabila ketebalan vadose zone (DO) diketahui, sebagaimana
diberikan dalam Persamaan 25.
= 0

Persamaan 25.

Latihan 5
Suatu tanah gambut pada awalnya dalam keadaan mendekati saturasi dimana muka
air tanah dekat dengan permukaan tanah, kemudian didrainase sehingga ketebalan
vadose zone meningkat menjadi 1 meter. Diketahui rata-rata kerapatan lindak dan
kerapatan butir awal masing-masing sebesar 0.1 g/cc dan 1.2 g/cc, dengan
konstanta kurva SSC a = 0.92, b = 0.133, c = 7.03. Berapakah besarnya shrinkage jika
kadar air gravimetrik rata-rata pada vadose zone turun menjadi 0.3?

13

Penyelesaian
Langkah 1 : Kita dapat memahami persoalan ini sebagai berubahnya kerapatan
lindak dari kondisi awal ke suatu kondisi baru, yaitu dari ,0 ke ,1. Perubahan ini
berhubungan dengan perubahan moisture ratio dari keadaan awal yang mendekati
saturasi (0 ) ke suatu keadaan baru (1 ):
,0 0
,1 1
Tetapi kita tidak perlu menghitung 0 karena kerapatan lindak awal ,0 diketahui.
Dengan demikian kita hanya perlu menyelesaikan moisture ratio akhir 1 .
Menggunakan Persamaan 23 kita dapat meng-konversi kadar air gravimetrik akhir
manjadi moisture ratio yang ekivalen dengannya,
g
cm3 = 0.4
1 = 0.3
g
1 3
cm
1.2

Langkah 2 : Masukkan konstanta-konstanta regresi SSC kedalam Persamaan 24


untuk menaksir kerapatan lindak akhir berdasarkan moisture ratio akhir (yang
dihasilkan dari langkah pertama)
,1 =

1.2
g
=
0.13
(1 + 7.03) + 0.92 e0.1330.4
cm3

Langkah 3 : Taksir shrinkage berdasarkan ketebalan vadose zone dan perubahan


kerapatan lindak
0.13
= 100 cm

g
g
0.1 3
3
cm
cm = 33.4 cm
g
0.1 3
cm

Oksidasi
Oksidasi bahan organik gambut terjadi pada lapisan teratas tanah melalui oksidasi lambat
(proses-proses biokimia dekomposisi oleh mikroba tanah, pada kedalaman beberapa cm
lapisan teratas) atau dengan sangat cepat (selama kebakaran lahan lahan gambut, yang
dapat mencapai puluhan cm lapisan teratas). Pada kondisi aerob dimana suplai oksigen
mencukupi, laju oksidasi gambut berlangsung lebih cepat dibandingkan dalam kondisi
anaerob (dalam keadaan suplai oksigen terbatas). Pada oksidasi aerob kandungan karbon
dalam gambut terlepas menjadi CO2 dan air melalui pernafasan sel mikrobial
(heterothrophic respiration) atau pembakaran. Pada oksidasi anaerob kandungan karbon
gambut dilepaskan menjadi CH4 dalam proses methanogenesis.

14

Baik oksidasi aerob maupun anaerob ditandai dengan neraca karbon yang negatif, karena
CO2 dan CH4 keduanya berada dalam fase gas, tidak dapat bertahan lama dalam pori atau
matriks gambut maupun sebagai terlarut dalam air tanah, sehingga akhirnya gas-gas ini
terlepas ke atmosfir. Laju kehilangan karbon pada oksidasi gambut sangat sulit untuk
dihitung/diprediksi berdasarkan model reaksi kimia, karena reaksi yang terlibat dalam
biokimia tanah sangat kompleks. Oleh karena itu laju pelepasan karbon ini lebih sering
diukur secara langsung dari emisi gas yang dilepaskan, atau secara tidak langsung dengan
mengukur subsiden di lapangan dilanjutkan dengan proses koreksi terhadap komponenkomponen subsiden lain (kompaksi, shrinkage, konsolidasi).
Persamaan 26.

=
dimana
SM : Subsiden terukur di lapangan (L)

Pengukuran subsiden yang handal memerlukan jangka waktu cukup panjang, dalam skala
tahunan. Beberapa hasil riset di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya telah
menghasilkan perkiraan laju emisi CO2 dan CH4, dua spesies Gas Rumah Kaca (GRK) yang
paling penting di lahan gambut, seperti diberikan pada Supplement Table Panduan
Inventori GRK yang dirilis oleh International Panel for Climate Change (IPCC) pada tahun
2013. Angka-angka yang disajikan dalam tabel tersebut disebut Emission Factor (EF),
berbasis land use, dan dinyatakan dalam laju emisi GRK setara berat CO2 atau C per satuan
luas lahan per satuan waktu. Contoh beberapa nilai EF yang dinyatakan berlaku untuk
kondisi Asia Tenggara disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Emission Factor (EF) untuk GRK CO2 pada beberapa landuse, dikutip dari IPCC
2013
Land use
Perkebunan di lahan gambut dengan dengan
drainase, dengan rotasi yang tidak diketahui
atau rotasi panjang
Perkebunan di lahan gambut dengan dengan
drainase, dengan rotasi pendek
Tanaman pangan dengan drainase, termasuk
yang menerapkan rotasi bera (fallow)
Tanaman padi dengan drainase

Contoh
Perkebunan kelapa sawit
di lahan gambut
Perkebunan akasia di
lahan gambut
Pertanian hortikultura di
lahan gambut
Pertanian padi non-irigasi
di lahan gambut

EF CO2
(ton C ha-1th-1)
15
20
14
9.4

Emission Factor dapat digunakan untuk memproyeksikan atau memperkirakan laju


subsiden akibat oksidasi gambut pada tipe-tipe landuse yang diberikan. Prinsip dasarnya
adalah melakukan back-calculating untuk menghitung ketebalan gambut ekivalen yang
hilang akibat oksidasi berdasarkan laju emisi (EF) dan karakteristik fisik gambut pada
lahan yang dikaji. Model untuk back-calculating ini diberikan pada Persamaan 27.

15

, =

Persamaan 27.

1 EF

dimana
,
: Laju subsiden akibat oksidasi gambut pada waktu t (LT-1)

: Fraksi massa karbon gambut, disebut juga proporsi kandungan karbon gambut (-)
EF
: Emission Factor, atau faktor emisi (ML-2T-1)

: Kerapatan lindak gambut (ML-3)


: Berat atom karbon (12 Dalton)
: Berat molekul setara GRK yang disajikan pada EF (Dalton)
Bila laju emisi GRK dapat diukur di lapangan maka hasil pengukuran GRK tersebut dapat
digunakan sebagai pengganti peubah EF dalam Persamaan 27, sepanjang kualitas hasil
pengukuran tersebut dapat diandalkan.
Latihan 6
Suatu lahan gambut didrainase untuk perkebunan kelapa sawit. Kerapatan lindak
pada permukaan tanah setelah didrainase adalah 0.11 g/cc dan fraksi massa karbon
50%. Berapa laju subsiden ekivalen yang diakibatkan oleh oksidasi gambut pada
lahan tersebut berdasarkan Emission Factor (EF) dari IPCC 2013 jika hanya CO2
yang dianggap sebagai GRK yang signifikan dan GRK lain diabaikan ?
Penyelesaian
Langkah 1 : Konversi kerapatan lindak dari satuan cgs ke mks,
cm3
1000,000 3
g
m = 110 kg
= 0.11 3
g
cm
m3
1,000
kg
Langkah 2 : Dapatkan nilai EF untuk landuse kelapa sawit di lahan gambut yang
didrainase pada Tabel 1,
EF = 15

ton C
ha y

Langkah 3 : Konversei EF kedalam satuan mky,


kg
ton C 1,000 ton
kg C
EF = 15

= 1.5 2
2
m
ha y
m y
10,000
ha

16

Langkah 4 : Periksa apakah EF tersebut dinyatakan dalam bentuk setara C atau


dalam bentuk setara CO2. Jika dinyatakan dalam bentuk setara C maka MMGHG = MAC
= 12 Dalton; sebaliknya bila dalam bentuk setara CO2 maka
2 = 12 + 2 16 = 44 Dalton
Berdasarkan pemeriksaan terhadap EF yang disajikan pada Tabel 1, diketahui
bahwa EF tersebut dinyatakan dalam bentuk setara C. Dengan demikian
= 12 Dalton
Langkah 5 : Masukkan semua nilai yang diketahui kedalam persamaan 27,

kg C
1.5 2
1
m
cm
m y 12 Dalton
=

= 0.027
= 2.7
kg C
kg 12 Dalton
y
y
0.5
110 3
kg
m

Total subsiden akibat oksidasi gambut untuk suatu rentang waktu adalah penjumlahan
Reimann dari laju subsiden berdasarkan interval waktu (t) dan cacah interval waktu (m):

Persamaan 28.

= ,
=1

Kita pilih penjumlahan Reimann disini ketimbang menggunakan perkalian langsung karena
laju subsiden dapat bersifat dinamis. Pada kenyataannya di lapangan laju subsiden
cenderung menurun menurut waktu (deminishing rate), berbentuk kurva eksponensial
atau pangkat, dan mempunyai slope negatif. Jika demikian halnya, bila laju subsiden dapat
dinyatakan sebagai fungsi waktu, maka penjumlahan Reimann dapat dengan mudah
dikonversi menjadi bentuk integral

Persamaan 29.

= ()
1

dimana SO(t) adalah laju subsiden (akibat oksidasi gambut) sebagai fungsi waktu.
Latihan 7
Berdasarkan Latihan 6 berapa besar subsiden akibat oksidasi gambut pada lahan
tersebut selama 12 tahun?

17

Penyelesaian
Langkah 1 : Periksa satuan yang digunakan dalam data laju subsiden yang diberikan.
Dalam hal ini diketahui bahwa dengan satuan cm per tahun, unit waktu terkecil
yang dapat digunakan adalah tahun. Dengan demikian partisi waktu yang sesuai
adalah,
= 1 y
Langkah 2 : Dengan menggunakan penjumlahan Reimann pada Persamaan 28, total
subsiden selama 12 tahun adalah,
12

cm
cm
1 y = 12 y 2.7
= 32.7 cm
y
y

= 2.7
=1

Dalam hal ini kita dapat menggunakan perkalian langsung karena laju subsiden
bersifat (diasumsikan) konstan.

Total subsiden dan laju subsiden rata-rata


Total subsiden adalah penjumlahan aljabar ketiga komponen subsiden (konsolidasi,
shrinkage/compaction dan oksidasi)
= + +

Persamaan 30.

Demikian juga, laju subsiden adalah penjumlahan aljabar dari seluruh komponennya
= , + , + ,

Persamaan 31.

Secara intuitif kita dapat melihat bahwa, dalam bentuk diskrit berlaku

Persamaan 32.

=
dan dalam bentuk kontinu berlaku

=1

Persamaan 33.

= ()
1

Sedangkan rata-rata laju subsiden adalah


=

Persamaan 34.

18

Persamaan 35.

dimana
S
: Total subsiden (L)
Sc
: Subsiden akibat konsolidasi (L)
Ss
: Subsiden akibat shrinkage atau compaction (L)
SO
: Subsiden akibat oksidasi (dekomposisi) gambut (L)
Srate : Laju subsiden rata-rata (LT-1)
t
: Waktu (T)
T
: Rentang waktu (T)
m
: Cacah pertisi waktu (-)
Latihan 8
Bila diberikan data sebagai berikut, bila konsolidasi tersier diabaikan, bila
konsolidasi primer dan shrinkage dianggap bersifat instan dan hanya terjadi sekali
di awal, dan bila laju oksidasi gambut dianggap konstan
-

Data
Landuse : perkebunan akasia dengan drainase, EF = 20 ton C/ha/th
Ketebalan gambut sebelum didrainase: 6 meter
Muka air tanah awal sebelum didrainase dihitung dari permukaan tanah : 0.2 meter
Muka air tanah setelah didrainase dihitung dari permukaan tanah (vadose zone,
dianggap mampu dipertahanakn konstan selama 50 tahun oleh pihak penyelenggara
kebun): 1 meter
Kerapatan lindak gambut awal : 0.09 g/cc
Kerapatan butir gambut : 1.1 g/cc
Indeks konsolidasi primer : 2.3
Indeks konsolidasi sekunder : 0.06Cp
Kurva SSC : a = 0.92, b = 0.133, c = 7.03
Setelah didrainase rata-rata kadar air gravimetrik pada vadose zone turun menjadi :
0.25
Fraksi massa karbon gambut : 48%
(1) Buatlah tabel dan kurva laju subsiden menurut waktu
(2) Prediksi laju subsiden rata-rata selama 50 tahun
Penyelesaian
Langkah 1 : Hitung konsolidasi primer
Hitung effective stress sebelum dan sesudah drainase menggunakan Persamaan 7
dan 8,

19

0 = (1 0.92) [(1,100

kg
m
kg
m
9.8 2 6m) (1,000 3 9.8 2 5.8m)]
3
m
s
m
s
0 = 641.5 Pa

1 = (1 0.92) [(1,100

kg
m
kg
m
9.8 2 6m) (1,000 3 9.8 2 5m)]
3
m
s
m
s
1 = 1,282.9 Pa

Hitung void ratio menggunakan Persamaan 13,


0 =

0.92
= 11.2
1 0.92

Hitung konsolidasi primer menggunakan Persamaan 11. Perhatikan bahwa


ketebalan vadose zone sesudah didrainase adalah 1 meter. Dengan demikian
ketebalan tubuh tanah yang berkonsolidasi adalah 6 m 1 m = 5 m,
= 5 m

2.3
1,282.9 Pa
(
)
1 + 11.2
641.5 Pa
= 28.3 cm

Langkah 2 : Hitung shrinkage menggunakan Persamaan 23, 24 dan 25,


g
cm3 = 0.275
1 = 0.25
g
1 3
cm
1.1

,1 =

1.1
g
= 0.12 3
0.1330.275
(1 + 7.03) + 0.92 e
cm
0.12

= 100 cm

g
g
0.09 3
cm3
cm = 36.0 cm
g
0.09 3
cm

Langkah 3 : Kembangkan persamaan konsolidasi sekunder sebagai fungsi waktu.


Ingat kembali bahwa ketebalan tubuh tanah yang berkonsolidasi adalah 5 meter.
Selesaikan Persamaan 16 dengan membiarkan suku yang melibatkan logaritma.
() = 5 m

0.06 2.3

log ( )
1 + 11.2
0

20

() = 5.65 cm log ( )
0
Langkah 4 : Berdasarkan langkah ketiga, dengan mengatur ulang t dan t0
sedemikian rupa, dimana t0 dapat kita geser secara progresif sepanjang langkah
waktu perhitungan (ingat kembali Latihan 3), maka dua peubah waktu yang
berurutan dengan rentang satu tahun dapat kita tuliskan menggunakan indeks
pengurutan i sebagai berikut
1 = 1 y
Berdasarkan hal ini, dengan mensubstitusi ti sebagai pengganti t dan ti-1 sebagai
pengganti t0 kita peroleh persamaan untuk menghitung laju subsiden konsolidasi
sekunder untuk setiap nilai t yang diberikan

5.65 cm [log(365 ) log(3651 )]


() =

1y
Disini, setiap nilai t dikalikan dengan 365 hari/tahun, karena peubah t yang kita
inginkan memiliki satuan tahun. Ingatlah bahwa laju subsiden kita menggunakan
satuan cm/tahun, sedangkan pada persamaan logaritma asalnya peubah waktu
mempunyai satuan hari.
Langkah 5 : Hitung laju subsiden akibat oksidasi gambut. Ingatlah bahwa lapisan
vadose zone telah mengalami shrinkage (lihat langkah kedua) sehingga kerapatan
lindak pada vadose zone telah bertambah dari 0.09 g/cc menjadi 0.12 g/cc. Dengan
demikian angka kerapatan lindak yang digunakan adalah 0.12 g/cc. Selanjutnya
konversi kerapatan lindak ke satuan mks, lalu masukkan angka-angka yang sesuai
kedalam Persamaan 27.

kg C
2.0 2
1
cm
m y 12 Dalton
=

= 3.4
kg C
kg 12 Dalton
y
0.48
120 3
kg
m

Langkah 6 : Kembangkan hasil-hasil perhitungan dalam bentuk tabel, masukkan


komponen-komponen subsiden pada baris waktu dan kolom komponen yang
bersesuaian. Untuk komponen konsolidasi sekunder, digunakan persamaan yang
dihasilkan pada langkah empat dengan mensubstitusi nilai ti dan ti-1 berdasarkan
harga peubah waktu (dalam satuan tahun) yang diberikan pada kolom 1.

21

Tabel 2. Laju subsiden menurut komponen untuk pembuatan kurva Latihan 8


Tahun

Konsolidasi
primer
(cm/y)
28.32
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0

1
2
5
10
20
50

Konsolidasi
sekunder
(cm/y)
14.47
1.70
0.55
0.26
0.13
0.05

Shrinkage
(cm/y)

Oksidasi
(cm/y)

36.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0

3.40
3.40
3.40
3.40
3.40
3.40

Total (cm/y)
82.23
5.10
3.95
3.66
3.53
3.45

Langkah 7 : Buat kurva laju subsiden sebagai fungsi waktu, seperti diperlihatkan
pada Gambar 4.
90
Laju subsiden (cm/tahn)

80
70
60

50
40
30
20
10
0
0

10

20

30

40

50

60

Waktu (tahun)

Gambar 4. Kurva laju subsiden untuk soal Latihan 8


Langkah 8 : Hitung laju subsiden rata-rata selama 50 tahun menggunakan
Persamaan 30. Komponen-komponen subsiden yang hanya terjadi sekali di awal
(konsolidasi primer dan shrinkage) dapat dimasukkan langsung sebagai suku aditif
pada posisi pembilang. Komponen subsiden yang bersifat (diasumsikan) konstan
(oksidasi) dimasukkan sebagai suku aditif pada posisi pembilang dengan terlebih
dahulu mengalikan dengan periode waktu perhitungan. Komponen subsiden yang
lajunya berkurang menurut waktu (konsolidasi sekunder) ditempatkan sebagai
suku aditif pada posisi pembilang dalam bentuk persamaan asalnya. Periode waktu
perhitungan ditempatkan pada posisi penyebut.

22

cm
28.3 cm + 36.0 cm + (50 y 3.4 y ) + 5.65 cm log
=
50 y
=

d
50 y 365 y
1d

28.1 cm + 36.0 cm + 170.15 cm + 24.06 cm


cm
= 5.17
50 y
y

Drainage base dan drainability limit


Drainability adalah sifat atau karakteristik mudah tidaknya lahan didrainase serta
klasifikasi dampak dan resiko drainase di masa depan. Drainability limit adalah kondisi
dimana lahan tidak dapat lagi didrainase secara gravitasi. Drainability limit ditentukan oleh
drainage base, atau disebut juga Drainability Elevation Limit (DEL), yaitu batas elevasi
dimana drainability limit tercapai. DEL dapat dihitung (dan dipetakan) bila elevasi ratarata muka air tahunan terendah (musim kemarau) tubuh air alami terdekat dari suatu
lahan diketahui. DEL dapat dihitung dengan Persamaan 36.
Persamaan 36.

DEL = +

dimana
DEL : Drainability Elevation Limit (L), dihitung dari suatu datum
HNWB : Elevasi rata-rata muka air terendah pada tubuh air terdekat (L), dihitung dari suatu
datum
c
: Konstanta slope limit resistansi saluran (-), secara konservatif dapat dipakai angka
20 cm/km = 0.0002.
X : Jarak suatu titik atau lahan yang dikaji dari tubuh air terdekat (L)
Jika basal contact gambut berada pada posisi lebih tinggi dari DEL maka tidak terdapat
masalah drainability di kemudian hari, walaupun mungkin saja muncul masalah singkapan
pirit dan pasir kuarsa. Sebaliknya, bila basal contact berada di bawah DEL maka pada suatu
saat di kemudian hari, bila subsiden tetap berlangsung, lahan tidak dapat lagi didrainase
secara alami karena sudah hampir sama rata dengan muka air sungai terdekat di musim
kemarau. Jangka waktu tercapainya drainability limit, disebut juga Peat Depletion Time
(PDT), dapat ditaksir bila ketebalan gambut (D), elevasi permukaan lahan (Z), laju subsiden
rata-rata (Srate) dan DEL diketahui; seperti ditampilkan pada Persamaan 37.
Bila basal contact berada dibawah DEL,
Bila basal contact berada diatas DEL,

PDT =

DEL

Persamaan 37.

PDT =

Parameter PDT sangat penting untuk diperhatikan dalam sebuah perencanaan drainase,
karena perencanaan dan pembuatan saluran yang gegabah dapat mempercepat waktu
kepunahan gambut, mempercepat tersingkapnya pirit atau lapisan pasir kuarsa di dasar

23

gambut, mempercepat terjadinya banjir permanen, serta kerusakan-kerusakan ekosistem


setempat dan yang berdampingan. Dari Persamaan 37 dapat dipahami bahwa PDT
berkurang bila laju subsiden meningkat. Oleh karena itu seorang perencana dan
penyelenggara drainase yang bijak akan berusaha mendesain saluran yang dapat
mempertahankan storage dalam akuifer sebesar mungkin di musim kemarau, mencegah
penurunan muka air tanah melebihi yang diperlukan, dengan tujuan mengurangi laju
subsiden melalui pengelolaan air yang baik.
Latihan 9
Melanjutkan latihan 8, bila permukaan lahan tersebut berada pada elevasi 5 meter
diatas muka laut, bila sungai terdekat dari lahan tersebut berjarak 1 km, dan elevasi
muka air terendah musim kemarau pada titik sungai terdekat tersebut 1 m-dpl
(1) Tentukanlah apakah ada kendala drainability di masa depan
(2) Hitung PDT, dan tafsirkan maknanya
Penyelesaian
Langkah 1 : Hitung DEL dengan Persamaan 36,
= 1 m. dpl + 0.0002 1,000 m = 1.2 m. dpl
Langkah 2 : Hitung elevasi basal contact. Karena diketahui dari Latihan 8 bahwa
ketebalan gambut awal pada posisi lahan tersebut 6 m, maka elevasi basal contact,
= 5 m. dpl 6 m = 1 m. dpl
Terlihat bahwa elevasi basal contact berada 2.2 meter dibawah DEL. Artinya lahan
ini akan mengalami kendala drainability dimasa depan.
langkah 3 : Hitung PDT; Karena basal contact berada dibawah (pada elevasi lebih
rendah daripada) DEL, maka kita gunakan persamaan 37 baris pertama,
cm
(5 m 1.2 m) 100
m = 74 y
PDT =
cm
5.17 y
Artinya lahan tersebut dapat digunakan untuk budidaya akasia dengan drainase
selama 74 tahun saja. Setelah itu lahan harus dikembalikan ke negara dalam
keadaan rusak yang tidak dapat lagi diperbaiki. Jika faktor kenaikan muka air laut
(jika perubahan iklim gagal dimitigasi) ikut diperhitungkan maka PDT akan tercapai
lebih singkat lagi, mungkin sekitar 50 tahun saja. Persoalan ini adalah pesan utama
yang ingin disampaikan dalam artikel ini, semoga pembaca dapat memahami
ancaman besar yang sedang dihadapi lahan gambut Indonesia saat ini.

24

Referensi
Baver, L.D., W.H. Gardner and W.R. Gardner. 1972. Soil Physics. John Wiley & Sons,
New York. p 498.
Bowles, J.E. 1980. Physical and Geotechnical Properties of Soils. McGraw Hill,
London. p 570.
Das, B.M. 2008. Advanced Soil Mechanics, 3rd Edition. Taylor and Francis, New York.
p. 567
Eggelsmann, R.F. 1976. Peat consumption under influence of climate, soil condition
and utilization. Proc. 5th Int. Peat Congr., Poznan. Poland 1, 233247.
Hillel, D. 1971. Soil and Water. Physical principles and processes. Academic Press,
New York. p 288.
Ng, C.W.W and B. Menzies. 2007. Advanced Unsaturated Soil Mechanics and
Engineering. Taylor and Francis, New York. p. 687
PS Consultant and LAWOO. 2001. Water management guidelines for agricultural
development in lowland peat swamps of Sarawak. Jawatan Pengairan dan Saliran,
Sarawak.
Schothorst, C.J. 1977. Subsidence of low moor peat soils in the western Netherlands.
Geoderma 17, 265291.
Terzaghi, K.V. 1943. Theoretical Soil Mechanics. John Wiley & Sons, New York p. 510.
Verruijt, A. 2012. Soil Mechanics. Delft University of Technology, Delft. The
Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai