Anda di halaman 1dari 22

ACARA 3

ANALISIS SIFAT KIMIA AIR SUNGAI BANJARAN PADA DAERAH HULU,


TENGAH DAN HILIR

Disusun Oleh :

Yuli Nurhayati
NIM.L1A016048

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup oraang
banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air tersebut
harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia dan
makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan
secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan
generasi mendatang. Salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya aalah sungai. Sungai
merupakan ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai juga menyediakan
air bagi manusia untuk berbagai kepentingan seperti pertanian, industri maupun
rumah tangga.
Air sungai yang keluar dari mata air biasanya mempunyai kualitas yang
sangat baik. Namun dalam proses pengalirannya air tesebut akan menerima berbagai
macam bahan pencemar dan pada akhirnya terjadi penurunan kualitas air. Suatu
sungai dikatakan terjadi penurunan kualitas air, jika air tersebut tidak dapat
digunakan sesuai dengan status mutu air secara normal (Ali et. al., 2013). Merujuk
dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990, kualitas air harus memenuhi
syarat kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika, kimia, dan
radioaktif.
Sungai Banjaran merupakan salah satu sungai yang berada di Kabupaten
Banyumas. Sungai tersebut masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada di
sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti MCK dan tempat
pembuangan limbah rumah tangga maupun industri. Pemanfaatan sungai yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut dapat menurunkan kualitas air sungai. Bahan
buangan yang masuk ke badan sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan
karakteristik fisika, kimia, dan biologi di perairan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
analisis kimia meliputi pH, DO, CO2 bebas, COD, dan BOD terhadap Sungai
Banjaran untuk mengkaji kondisi kualitas air di perairan tersebut.

1.1. Tujuan
Tujuan praktikum acara analisis sifat kimia air sungai adalah :
1. Mengetahui teknik pengukuran yang berkaitan dengan faktor kimia pada
sungai
2. Mengetahui analisis perbandingan faktor kimia dari masing-masing titik
pengambilan sampel.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai
Sungai merupakan salah satu ekosistem perairan darat yang aliran airnya satu
arah dan akan mengalir dari dataran tinggi menuju ke dataran rendah dan akan
menuju suatu muara sungai. Sungai dapat berperan sebagai sumber air untuk irigasi,
habitat organisme perairan, kegiatan perikanan, perumahan, dan sebagai daerah
tangkapan air. Peran sungai yang beragam seiring dengan berkembangnya aktivitas
manusia di sekitar sungai akan berdampak pada penurunan kualitas air (Kurniadi,
2015).
2.1.1. Sungai Banjaran

Gambar 1. Sungai Banjaran


Sumber : dokumen pribadi

Sungai Banjaran terletak di wilayah Kabupaten Banyumas, dengan letak


geografis 109 BT/07 LS. Hulu sungai terletak di lereng Gunung Slamet di desa
Ketenger Kecamatan Baturaden. Sungai Banjaran melewati enam Kecamatan yaitu
Kecamatan Baturraden, Kedungbanteng, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat,
Purwokerto Selatan, Purwokerto Timur, dan Patikraja. Hulu aliran sungai Banjaran
dimanfaatkan untuk penggerak turbin PLN, PLTA Ketenger, irigasi, perikanan,
sumber air bersih penduduk setempat dan keperluan lainnya. Sungai Banjaran
merupakan salah satu sungai yang melintasi wilayah Kota Purwokerto dan sekitarnya,
dengan aliran airnya secara alami mengalir sepanjang tahun. Di bagian tengah, selain
digunakan untuk irigasi, air sungai dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluan
mandi cuci dan kakus. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang
mengalir dari arah Utara ke arah Selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah
Patikraja dengan luas DAS kira‐kira 47.16 km2 (BLH Banyumas 2010 dalam
Bhagawati, 2013).

2.2. Parameter Kimia Sungai


2.2.1. pH
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH
sekitar 6,5-7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila
pH di bawah pH normal, maka air tersebut asam, sedangkan air yang mempunyai pH
di atas pH normal, bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan
mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan organisme di dalam air
(Wardhana, 2004 dalam Yuliastuti, 2011).
2.2.2. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut atau dissolve oxygen sangat menetukan kehidupan biota
perairan. Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi, sehingga
banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen terlarut juga memegang peranan
penting sebagai indiktor kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam
proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Suatu perairan yang
tingkat pencemarannya rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik
memiliki kadar oksigen terlarut (DO) > 5 ppm (Salmin, 2005 dalam Yuliastuti,
2011).
2.2.3. CO2 Bebas
Istilah karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang terlarut
dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat dan ion
karbonat. CO2 bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di perairan yang
membentuk kesetimbangan dengan CO2 di atmosfer (Efendi, 2003). Permukaan air
biasanya mengandung CO2 bebas kurang dari 10 mg/L, sedangkan pada dasar air
konsentrasinya dapat lebih dari 10 mg/L. Keberadaan bahan organik total di perairan
sangat dipengaruhi oleh keterbukaan perairan dari daerah sekitarnya (Barus, 2002).

2.2.4. COD (Chemical Oxygen Demand)


Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan
buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Bahan buangan
organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bikromat yang digunakan sebagai
sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion
krom. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L,
sedangka pada perairan yang tercemar lebih dari 200 mg/L, dan pada limbah inustri
dapat mencapai 60.000 mg/L (Warlina, 2004 dalam Yuliastuti, 2011).
2.2.5. BOD (Biological Oxygen Demand)
Biological Oxygen Demand adalah jumlah okdigen yang dibutuhkan
mikroorganisme di dalam air untuk memecah (mendegredasi) bahan organic yang ada
di dalam peraira tersebut. Jumlah mikroorganisme dalam lingkungan bergantung pada
tingkat kebersihan lingkungan. Kadar oksigen biokimia (BOD) dalam air yang
tingkat pencemarannya masih rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang
baik berkisar 0 – 1- ppm (Salmin, 2005 dalam Yuliastuti, 2011).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat
Tabel 1. Alat Praktikum
No Namaalat Ukuran/ jumlah Merek Fungsi
Pyrex Mengambil sampel air dari
1 Botol winkler 1 (250ml)
Iwaki lingkungan perairan
Pyrex
2 Buret dan Statif 4 Melakukan titrasi
Iwaki
Pyerx Menyimpan sampel air
3 Labu enlenmeyer 8
Iwaki yang mau dititrasi
Pyerx Menambahkan sampel air
4 Pipet tetes 8
Iwaki ke dalam labu enlemeyer
Pyerx Mengukur air sampel yang
5 Gelas ukur 100 ml 8
Iwaki akan diukur
Mengikubasi sampel BOD
6 Inkubator 1 Memert selama 5 hari dengan suhu
20o C
7 Penangas air 2 Memanaskan sampel COD
Lutron
8 Ph meter 1 Mengukur pH air sampel
Ph 208

3.1.2. Bahan
Tabel 2. Bahan Praktikum
Ukuran/
No Namabahan Merek Fungsi
jumlah
6 botol
1 Sampel air Aqua Sampel yang akan dianalisi
sampel
2 Larutan 𝑀𝑛𝑆𝑂4 1 ml Mengendapkan O2
3 Larutan KOH-KI 1 ml Mengikat O2
4 Larutan 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 0,025 N Larutanuntuktitrasi DO dan BOD
5 Larutan 𝐻2 𝑆𝑂4 4N Menghilangkanendapan
Larutanuntuktitrasipadapengukuran
6 Larutan 𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 0,01 N
CO2 bebas
Larutanuntuktitrasipadapengukuran
8 Larutan 𝐾𝑀𝑛𝑂4 0,01 N
COD
Indikatorwarnapadapengukuran
9 Indikator amilum 5%
DO dan BOD
10 Indikator phenolpthalein 5% Indikatorwarnapadapengukuran
CO2 bebas
Mengenceran sample air
11 Akuades
padapengukuran COD dan BOD
Larutan buffer pH 4,0 dan
12 Kalibrasi pH meter
pH 7,0

3.2. Metode
3.2.1. pH
Kertas indikator pH diambil selembar dan dicelupkan ke dalam air selama
beberapa menit (± 5 menit). Kemudian, perubahan warna pada kertas tersebut
dicocokan dengan warna standar dan hasil dicatat.
3.2.2. DO
Pengukuran O2 dilakukan secara In-situ yaitu dilakukan langsung di lokasi
pengambilan sampel. Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara
perlahan supaya tidak ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan.
Saat sampel hampir penuh, perlahan-lahan tegakkan botol Winkler.Bolak-balik botol
Winkler dalam air kemudian tutup dengan rapat saat botol masih di dalam air.
Selanjutnya, sampel diikat O2nya dengan larutan KOH-KI dan MnSO4 masing-
masing 1 ml. Sampel yang didapat ditambahkan 1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml larutan
KOH-KI dengan bantuan pipet tetes.Botol sampel kemudian ditutup dengan hati-hati
agar udara tidak masuk ke dalam botol dan bolak-balik minimal 15 kali dan diamkan
selama 2 menit sampai terjadi endapan coklat atau cairan supernatan tampak
jernih.Selanjutnya, tambahkan larutan H2SO4 pekat 1 ml, tutup kembali botol dan
dikocok sampai semua endapan larut dan bewarna kuning kecoklatan.Ambil
sebanyak 100 ml dengan gelas ukur dan masukkan ke dalam labu Erlenmeyer.
Tambahkan indikator amilum sebanyak 3 tetes hingga berwarna biru.Titrasi dengan
larutan Na2S2O3 0,025 N dan kocok hingga tercampur merata sampai terjadi
perubahan warna larutan dari coklat menjadi kuning muda.Titrasi dilanjutkan kembali
sampai warna biru tepat hilang. Tambahkan titran satu tetes jika titik akhir tercapai.
Volume titrasi yang digunakan dicatat. Nilai DO dihitung dengan rumus :
1000
Oksigen terlarut = xpxqx8
100
Keterangan :
p = volume larutan Na2S2O3
q= normalitas larutan
8 = bobot setara larutan
3.2.3. CO2 Bebas
Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara perlahan supaya tidak
ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan. Saat sampel hampir
penuh, perlahan-lahan tegakkan botol Winkler.Bolak-balik botol Winkler dalam air
kemudian tutup dengan rapat saat botol masih di dalam air. Kemudian dituangkan ke
dalam gelas ukur sebanyak 100 ml dan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer.
Kemudian didalamnya ditambahkan 10 tetes indikator phenolpthalein. Sampel
dititrasikan dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu
muda dan titrasi dilakukan duplo. Nilai CO2 Bebas dihitung dengan rumus :
1000
Kadar CO2 bebas = x p x q x 22 mg/l
100
Keterangan :
p = volume larutan Na2CO3 yang terpakai
q = normalitas larutan
22 = bobot setara CO2
3.2.4. COD
Sampel air diambil dengan botol sampel di tiga titik sampel yaitu tepi 1, tengah
dan tepi 2 pada setiap stasiun sungai. Kemudian dihomogenkan. Jika diperlukan
dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Kemudian ditempatkan kedalam labu
erlenmeyer sebanyak 100 ml dan kedalamnya ditambahkan sebanyak 5 ml larutan
H2SO4 4 N dan 10 ml larutan KmnO4 0,01 N. Ditutup dengan alumunium foil
kemudidan dididihkan selama 10 menit dan setelah dingin ditambahkan sebanyak 10
ml larutan asam oksalat 0,01 N sampai berwarna jernih. Selanjutnya dilakukan titrasi
dengan larutan KmnO4 0,01 N sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda.
Untuk blanko diberi perlakuan sama dengan sampel air. Nilai COD dihitung dengan
1000
rumus : Kadar COD = x 0,01 x 31,6 mg/L
100
Keterangan :
a = ml KmnO4 yang terpakai,
F = Faktor koreksi KMnO4,
31,6 = berat equivalen KMnO4
3.2.5. BOD
Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml secara perlahan supaya tidak
ada gelembung udara yang masuk dengan cara dimiringkan. Saat sampel hampir
penuh, perlahan-lahan botol Winkler ditegakkan. Botol Winkler dibolak-balikkan
dalam air kemudian ditutup dengan rapat saat botol masih di dalam air. Botol winkler
pertama segera diperiksa kandungan oksigennya, sedangkan botol kedua diinkubasi
selama selama 5 hari dengan suhu 20oC kemudian setelah diinkubasi, diperiksa
kandungan oksigennya. BOD dapat dihitung dengan rumus:

BOD =
Keterangan :
A0: Oksigen terlarut sampel pada nol hari
A5: Oksigen terlarut sampel pada lima hari
S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari
S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari
T : Persen perbandingan antara A0 : S0
P : Derajat pengenceran
3.3. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 Maret 2018 di tiga stasiun
pengambilan sampel yaitu hulu Sungai Banjaran yang berada di desa Ketenger,
Baturaden dengan titik koordinat pada 7019’26.1”S 109013’05.2”E; bagian tengah
Sungai Banjaran yang berada di desa Bobosan, Purwokerto Utara dengan titik
koordinat 7024’27.9”S 109013’29.1”E; dan hilir Sungai Banjaran yang berada di desa
Kedungwringin, Patikraja dengan titik koordinat 7027’05.7”S 109012’50.6”E.
Kemudian pengamatan sampel dilakukan di Laboratorium FPIK Universitas Jenderal
Soedirman.
3.4. Analisis data
Data yang diperoleh dapat dianalisis secara deskriptif dengan histogram atau
diagram balok antara titik sampling dan standar kualitas air.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 3. Sifat Kimia Sungai Banjaran
Sungai Banjaran Standar
Parameter Satuan Hulu Tengah Hilir Baku Pustaka
Mutu
pH - 7,66 7,57 7,52 6–9 PPRI No.82
Tahun 2001
Kelas II
ml/L 7,6 5 5,9 >4 PPRI No.82
DO Tahun
2001Kelas II
CO2 bebas ml/L 1,98 2,86 4,8 2-9 PPRI No.82
Tahun 2001
Kelas II
BOD mg/L 0,178 0,4 0,8 <3 PPRI No.82
Tahun 2001
Kelas II
COD mg/L 4,04 5,88 7,68 <25 PPRI No.82
Tahun 2001
Kelas II

4.2. Pembahasan
4.2.1. pH
Hasil pengamatan dari parameter derajat keasaman dari Sungai Banjaran

daerah hulu, tengah dan hilir memiliki pH masing-masing sebesar 7,66; 7,57; dan

7,53. Angka pH lebih kecil dari 7 menunjukkan bahwa air di tempat tersebut bersifat

asam, sedangkan angka pH lebih besar dari 7 menunjukan bahwa perairan tersebut

bersifat basa. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pH dalam suatu perairan yaitu

dipengaruhi oleh adanya buangan limbah organik dan anorganik ke sungai (Ali et.al.,

2013). Selain itu adanya senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida juga akan
menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebeas dan asam

karbonat menaikkan keasaman suatu perairan (Pujiastuti et.al., 2013).

9 pH
8.5

7.5 7.66 7.57 7.52


7

6.5

6
Hulu Tengah Hilir pH Sungai Banjaran

Gambar 2. Graik pH Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 2. menunjukan bahwa nilai pH tertinggi terdapat pada


bagian hulu Sungai Banjaran, sedangkan nilai pH terendah terdapat pada bagian hilir.
Hal ini diperkirakan akibat dari kondisi perairan yang lebih asam pada bagian hilir,
karena letaknya yang berdekatan langsung dengan pemukiman warga maupun
pertanian, sehingga lebih banyak buangan atau zat-zat yang masuk ke badan sungai,.
Hal ini menyebabkan fluktuasi pada derajat keasaman suatu perairan. Seperti
penelitian yang pernah dilakukan oleh Soraya et.al (2014), yang menyatakan bahwa
daerah lahan basah terbuka yang dikembangkan sebagai area perkebunan kelapa
sawit (pertanian), akan mengakibatan kondisi asam perairan. Kondisi tepian sungai
yang termasuk dalam kategori rawa, ikut mempengaruhi keasaman perairan.
Mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Kelas Air, dapat
dinyatakan kondisi derajat keasaman (pH) pada perairan Sungai Banjaran memenuhi
standar baku kualitas air Kelas II yaitu dalam kisaran pH 6-9. Kondisi seperti ini
mengindikasikan bahwa perairan Sungai Banjaran dalam kondisi baik dan layak
untuk kehidupan organisme air. pH air sangat penting bagi komunitas biotik karena
sebagian besar organisme akuatik beradaptasi dengan pH rata-rata (Majumder, 2014).
Seperti yang dijelaskan oleh Hasanah (2013), bahwa pH yang baik untuk perairan
adalah 7,4-8,5.
4.2.2. DO
Hasil pengamatan parameter oksigen terlarut (DO) di Sungai Banjaran pada
bagian hulu, tengah dan hilir berturut-turut yaitu 7,6; 5; dan 5,9. Nilai DO
mengindikasikan adanya kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan. Semakin
tinggi kadar DO, maka semakin baik perairan tersebut. Faktor yang dapat
mempengaruhi kandungan DO di suatu perairan adalah respirasi biota, dekomposisi
bahan organik, kenaikan suhu, dan reduksi anorganik seperti hidrogen sulfida,
amonia, nitrit, besi besi, dll (Katakwar, 2014).

8.00 DO

7.60
7.00

6.00
ml/L

5.9
5.00
5

4.00
Hulu Tengah HilirDO Sungai Banjaran

Gambar 3. Grafik Oksigen Terlarut (DO) Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 3. menunjukan bahwa nilai DO tertinggi Sungai


Banjaran terdapat pada bagian hulu, dan nilai DO terendah terdapat pada bagian
tengah. Hal ini diperkirakan terjadi akibat banyaknya akitivitas buangan buangan
domestik maupun industri yang terjadi lebih besar di bagian tengah Sungai Banjaran.
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena
oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik, semakin tercemar suatu perairan maka semakin sedikit kadar oksigen yang
terdapat di dalamnya, karena oksigen yang terdapat di perairan membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Ali et.al. (2013) yang menjelaskan bahwa pada umumnya air yang
telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah, makin banyak bahan buangan
organik di dalam air makin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalam air.
Merujuk pada Baku Mutu Air pada PP Nomor 82 Tahun 2001, batas minimum
kadar DO perairan untuk kategori perairan kelas II sebesar 4 mg/L. Hasil
pengamatan terhadap kadar DO di Sungai Banjaran lebih besar dibandingkan
kelayakan kadar DO pada kriteria mutu air kelas I dan II. Berdasarkan hal tersebut
dapat dinyatakan bahwa perairan Sungai Banjaran masih layak digunakan sebagai air
kelas I dan kelas II. Oksigen terlarut adalah salah satu parameter yang paling penting
untuk menilai kualitas air, secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan
distribusi flora dan fauna dalam suatu ekosistem (Majumder, 2014). Melimpahnya
oksigen terlarut di perairan maka organisme yang hidup di perairan tersebut dapat
beraktivitas lebih banyak dan siklus aerob pun berjalan lancar (Hasanah, 2013).
Sebaliknya rendahnya kadar oksigen juga berdampak pada kehidupan organisme,
aktivitas fitoplankton menurun sejalan dengan menurunnya kandungan oksigen.
Makin subur suatu perairan, makin banyak fitoplankton yang hidup di dalamnya dan
akhirnya akan meningkatkan pasokan oksigen terlarut dalam air (Soraya, 2014).
4.2.3. CO2 Bebas
Hasil pengamatan parameter Karbondioksida (CO2) Bebas di Sungai Banjaran
pada bagian hulu, tengah dan hilir berturut-turut yaitu 1,98; 2,86; dan 4,8. Kandungan
CO2 Bebas dalam air berbanding terbalik dengan kandungan DO. Apabila kandungan
DO nya tinggi maka kandungan CO2 nya menjadi rendah (Rafitri dkk, 2015). Faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai CO2 Bebas yaitu bertambahnya
kedalaman disuatu perairan, proses respirasi dan dekomposisi bahan organik (Zaki,
2014).
25.00 CO2 bebas
20.00

15.00
ml/L

10.00

5.00
4.80
0.00 1.98 2.85
Hulu Tengah Hilir CO2 bebas Sungai…
Gambar 4. Grafik CO2 Bebas Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 4. menunjukan bahwa nilai CO2 Bebas tertinggi Sungai


Banjaran terdapat pada bagian hilir, dan nilai CO2 Bebas terendah terdapat pada
bagian hulu. Hal ini diperkirakan terjadi akibat banyaknya bahan organik yang
terkandung serta organisme yang hidup pada bagian hilir. Organisme yang hidup
melakukan metabolisme dan menghasilkan CO2 Bebas. Hal ini sependapat dengan
Zaki (2014) yang menyatakan bahwa tingginya konsentrasi CO2 bebas di dasar
karena pada proses dekomposisi oleh bakteri menghasilkan CO2 bebas yang dapat
meningkatkan konsentrasi CO2 bebas di dasar perairan.
Merujuk pada Baku Mutu Air pada PP Nomor 82 Tahun 2001, batas
minimum kadar CO2 Bebas perairan untuk kategori perairan kelas II sebesar 2-9
mg/L. Hasil pengamatan terhadap kadar CO2 Bebas di Sungai Banjaran lebih besar
dibandingkan kelayakan kadar CO2 Bebas pada kriteria mutu air kelas I dan II.
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa perairan Sungai Banjaran masih
mampu mendukung kehidupan organisme akuatik yang terdapat di dalamnya
(Hasanah, 2013). Karbon dioksida merupakan parameter utama yang diperlukan
untuk proses fotosintesis pada tumbuhan. Dalam badan air CO2 bereaksi dengan air
dan membentuk asam karbonat, yang segera terdisosiasi menjadi karbonat dan
bikarbonat, yang mengubah pH air (Majumder, 2014). pH, alkalinitas dan karbon
dioksida bebas dalam ekosistem akuatik saling berkaitan karena sebagian besar
karbon dioksida bebas dalam air berasal dari dekomposisi bahan organik dan dari
respirasi organisme (Katakwar, 2014).
4.2.4. COD (Chemical Oxygen Demand)
Hasil pengamatan parameter COD (Chemical Oxygen Demand) di Sungai
Banjaran pada bagian hulu, tengah dan hilir berturut-turut yaitu 4,04; 5,88; dan 7,68.
Nilai COD yang cenderung tinggi menunjukkan bahwa bahan organik yang ada di
perairan lebih banyak berada dalam bentuk yang sukar terdegradasi secara biologis
(Soraya, 2014). Faktor yang mempengaruhi nilai COD yaitu, banyaknya bahan
buangan organik yang terbawa oleh arus menuju ke daerah laut. Banyaknya bahan
organik mengakibatkan banyaknya bakteri pengurai yang muncul untuk
mengoksidasi bahan organic (Indrayana, 2014).

COD Sungai Banjaran


10
7.68
8
5.88
Nilai COD

6
4.04
4
COD Sungai Banjaran
2
0
Hulu Tengah Hilir
Stasiun Pengamatan

Gambar 5. Grafik COD Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 5. menunjukan bahwa nilai COD tertinggi berada pada


bagian hilir yaitu 7,68 dan terendah pada bagian hulu yaitu 4,04. Nilai COD dari hulu
ke hilir semakin naik diakibatkan pada bagian hilir interaksi sungai dengan ekosistem
lain lebih besar sehingga pengaruh bahan-bahan kimiawi yang masuk lebih banyak
dan menyebabkan tingginya kebutuhan oksigen total untuk mengoksidasi senyawa
organik secara kimiawi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Andara et.al., 2014) yang menyatakan bahwa tingginya nilai COD dapat disebabkan
karena banyak sampah yang berserakan yang menyebabkan kandungan bahan
kimiawi yang tinggi. Serta pendapat dari Ali et.al. (2013) yang menyatakan bahwa
Angka COD yang tinggi, mengindikasikan semakin besar tingkat pencemaran yang
terjadi pada suatu perairan.
Merujuk pada Baku Mutu Air pada PP Nomor 82 Tahun 2001, batas
minimum kadar COD perairan untuk kategori perairan kelas II sebesar <25 mg/L.
Hasil pengamatan terhadap kadar COD di Sungai Banjaran memenuhi standar
kelayakan kadar COD pada kriteria mutu air kelas II. Berdasarkan hal tersebut dapat
dinyatakan bahwa perairan Sungai Banjaran dalam kondisi tidak tercemar dan masih
dapat mendukung untuk digunakan pada kepentingan perikanan dan pertanian, atau
masih dalam batas baku mutu air sesuai peruntukannya (Pujiastuti et.al., 2013).
4.2.5. BOD (Biological Oxygen Demand)
Hasil pengamatan parameter BOD (Biological Oxygen Demand) di Sungai
Banjaran pada bagian hulu, tengah dan hilir berturut-turut yaitu 0,178; 0,4; dan 0.8.
Nilai BOD mengindikasikan banyaknya oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh
bakteri pengurai untuk menguraikan bahan pencemar organik dalam air. Semakin
besar nilai BOD menunjukkan bahwa derajat pengotoran air limbah semakin besar
(Andara, 2014). Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton,
konsentrasi bahan organik dan faktor-faktor lain mempengaruhinya (Hasan, 2016).

BOD
4.00

3.00
mg/L

2.00

1.00
0.8
0.00 0.4
0.18
Hulu Tengah Hilir BOD Sungai Banjaran
Gambar 6. Grafik BOD Sungai Banjaran

Berdasarkan Gambar 6. menunjukan bahwa nilai BOD tertinggi berada pada


bagian hilir yaitu 0,8 dan terendah pada bagian hulu yaitu 0,178. Sama halnya dengan
COD, nilai BOD dari hulu ke hilir semakin tinggi diakibatkan pada bagian hilir
interaksi sungai dengan ekosistem lain lebih besar sehingga pengaruh bahan-bahan
pencemar dari luar lebih besar yang masuk ke sungai atau dapat dikatakan sebagai
kondisi tercemar (Tanjung, 2016). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ali et.al. (2013) yang menyatakan bahwa makin besar kadar BOD nya, maka
merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar.
Mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Kelas Air, dapat
dinyatakan kondisi BOD (Biological Oxygen Demand) pada perairan Sungai
Banjaran memenuhi standar baku kualitas air Kelas II yaitu pada <3 mg/L. Kondisi
seperti ini mengindikasikan bahwa perairan Sungai Banjaran dalam kondisi baik dan
layak digunakan pada kepentingan perikanan dan pertanian, atau masih dalam batas
baku mutu air sesuai peruntukannya (Pujiastuti et.al., 2013).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Parameter kimia yang dijadikan untuk mengetahui kualitas air pada perairan
lotik Sungai Banjaran antara lain : pH, DO, CO2 Bebas, COD dan BOD.
2. Kandungan atau kadar dari masing-masing parameter mengalami perubahan
dari titik sampel di hulu, tengah dan hilir.

5.2. Saran
Diharapkan para praktikan dapat melakukan praktikum dengan hati-hati dan
serius agar dapat mendapatkan data yang valid.
DAFTAR PUSTAKA

Agustira, Riyanda dkk. 2013. “Kajian Karakteristik Kimia Air, Fisika, dan Debit
Sungai pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan Limbah
Tapioka”. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1 (3).
Ali, A., Soemarno, & M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu Air
Sungai Metro di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari.
Vol 13 No 2 : 265-274.
Andara, Diani Riezki., Haerudin, dan A.Suryanto. 2014. Kandungan Total Padatan
Tersuspensi, Biochemical Oxygen Demand dan Chemical Oxygen
Demand serta Indeks Pencemaran Sungai Klampisan di Kawasan Industri
Candi, Semarang. Diponegoro Journal of Maquares. 3 (3): 177-187.
Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara, Medan. 164
hal.
Bhagawati, D., M.N Abulias, & A. Amurwanto. 2013. Fauna Ikan Siluriformes Dari
Sungai Serayu, Banjaran, Dan Tajum Di Kabupaten Banyumas. Jurnal
MIPA .36 (2): 112-122
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Konsius. Yogyakarta.
Hasan, H., E. Prasetio, & S. Muthia. 2016. Analisis Kualitas Perairan Sungai
Ambawang di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
untuk Budidaya Perikanan. Jurnal Ruaya. 4(2) : 34-40
Hasanah I., P. Widjanarko, & M. Musa. 2013. Evaluasi Kelayakan Tambak
Tradisional Ditinjau dari Segi Biofisik di Desa Tritunggal Kecamatan
Babat Kabupaten Lamongan. MSPi Student Journal. 1(1) :11-21
Indrayana, R. & M.Y.A Rifai. 2014. Pengaruh Arus Permukaan Terhadap Sebaran
Kualitas Air di Perairan Genuk Semarang. Jurnal Oseanografi. 3(4) : 651
– 659
Katakwar, Muskesh. 2014. Water quality and pollution status of Narmada River’s
Korni Tributary in Madhya Pradesh. International Journal of Chemical
Studies. 2(2) : 5-9
Majumder S., & T.K. Dutta. 2014. Studies on seasonal variations in physico-chemical
parameters in Bankura segment of the Dwarakeshwar River (W.B.) India.
International Journal of Advanced Research. 2(3) :877-881
Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang Syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Pujiastuti, Peni., Bagus Ismail, dan Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemaran
Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains. 5 (1): 59 – 76.
Rafitri, R., T.R Setyawati, & A.H Yanti. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton di
Perairan Gambut Sungai Ambawang Desa Pancaroba Kecamatan Sungai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Protobiont. 4(1) : 253-259
Soraya, Z. Hanafiah, & Y. Windusari. 2014 Analisis Fisik Kimia Perairan untuk
Mendeteksi Kualitas Perairan Sungai Rambang Kabupaten Ogan Ilir
Sumatra Selatan. Biospecies Vol. 7 No.2 : 43-46.
Tanjung, R.H.R, H.K. Maury, & Suwito. 2016. Pemantauan Kualitas Air Sungai
Digoel, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Jurnal Biologi
Papua. 8( 1) : 38–47
Yuliastuti, Etik. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam
Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Zaki, M., M. Siagian, & A.H Simarmata. 2014. The Vertical Profile Of Nitrate in
Pinang Dalam Oxbow Lake Buluh China Village Siak Hulu Sub District
Kampar District Riau Province. JOU Universitas Riau. 1(2) : 1-12

Anda mungkin juga menyukai