Anda di halaman 1dari 28

NAMA : DINI AGUSTIN WIDYATI

NPM : 216201516019
PRODI : BIOLOGI REGULER
TUGAS P-9 BAHASA INDONESIA

STRUKTUR KOMUNITAS ANNELIDA SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN


SUNGAI ANCAR KOTA MATARAM
Iwan Doddy Dharmawibawa
Jurnal Imiah Biologi
Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Mataram, Indonesia
P-ISSN 2338-5006 E-ISSN 2654-4571
ABSTRAK
Sungai Ancar merupakan aliran sungai dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk berbagai
aktivitas, seperti kegiatan pertanian, perikanan, dan tempat penanaman kangkung. Sungai Ancar
digunakan sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga dan pembuangan industri limbah
tahu sehingga berdampak negative terhadap sumber daya air antara lain menyebabkan penurunan
kualitas air. Respon Annelida terhadap perubahan lingkungan digunakan untuk melihat pengaruh,
seperti dampak industri, pertanian, dan tata guna lahan. Penelitian bertujuan untuk mengkaji
struktur komunitas Annelida sebagai bioindikator perairan terhadap kandungan bahan tercemar di
Sungai Ancar. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif, menggunakan pendekatan kuantitatif
dan kualitatif Penelitian ini menggunakan metode “Sampling Purposive” yaitu penentuan stasiun
pengamatan atas tata lahan sekitar Sungai Ancar. Annelida yang di dapat di Sungai Ancar terdiri
atas dua kelas yaitu Oligochaeta dan Hirudinea. Kelas Oligochaeta terdiri Tubifex sp., Lumbricus
terrestris, kelas Hirudinea terdiri Hirudo medicinalis. Struktur komunitas Annelida dijadikan
sebagai bioindikator pencemaran Sungai.
Kata Kunci: Struktur Komunitas, Annelida, Bioindikator Pencemaran.

iii
NAMA : DINI AGUSTIN WIDYATI
NPM : 216201516019
PRODI : BIOLOGI REGULER
Tugas 10 Bahasa Indonesia

STRUKTUR KOMUNITAS ANNELIDA SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN


SUNGAI ANCAR KOTA MATARAM
Iwan Doddy Dharmawibawa
Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Mataram, Indonesia
P-ISSN 2338-5006 E-ISSN 2654-4571
E-mail : iwandoddydharmawibawa@ikipmataram.ac.id

ABSTRAK
Sungai Ancar merupakan aliran sungai dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk berbagai
aktivitas, seperti kegiatan pertanian, perikanan, dan tempat penanaman kangkung. Sungai Ancar
digunakan sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga dan pembuangan industri limbah
tahu sehingga berdampak negative terhadap sumber daya air antara lain menyebabkan penurunan
kualitas air. Respon Annelida terhadap perubahan lingkungan digunakan untuk melihat pengaruh,
seperti dampak industri, pertanian, dan tata guna lahan. Penelitian bertujuan untuk mengkaji
struktur komunitas Annelida sebagai bioindikator perairan terhadap kandungan bahan tercemar di
Sungai Ancar. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif, menggunakan pendekatan kuantitatif
dan kualitatif Penelitian ini menggunakan metode “Sampling Purposive” yaitu penentuan stasiun
pengamatan atas tata lahan sekitar Sungai Ancar. Annelida yang di dapat di Sungai Ancar terdiri
atas dua kelas yaitu Oligochaeta dan Hirudinea. Kelas Oligochaeta terdiri Tubifex sp., Lumbricus
terrestris, kelas Hirudinea terdiri Hirudo medicinalis. Struktur komunitas Annelida dijadikan
sebagai bioindikator pencemaran Sungai.
Kata Kunci: Struktur Komunitas, Annelida, Bioindikator Pencemaran.
PENDAHULUAN
Daerah aliran Sungai Ancar merupakan aliran Sungai yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar untuk berbagai aktivitas, seperti kegiatan pertanian, perikanan, dan tempat penanaman
kangkung. Selain kegiatan tersebut, Sungai Ancar digunakan juga sebagai tempat pembuangan
limbah rumah tangga dan pembuangan industri limbah tahu. Dengan pemanfaatan tersebut aliran
Sungai Ancar mempunyai peluang tercemar lebih besar dan berdampak negatif terhadap sumber
daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan

iv
gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya
air (Effendi, 2003).
Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan di segala
bidang, produksi limbah industri dan limbah rumah tangga semakin meningkat, masalah ini dapat
merubah kualitas dan fungsi dari Sungai. Makin buruk kualitas suatu perairan, makin buruk pula
kualitas kehidupan di dalam perairan tersebut. Ini berarti komunitas organisme yang hidup di
perairan jernih berbeda dengan yang hidup di perairan tercemar (Santosa, 2000).
Kualitas perairan berpengaruh langsung terhadap organisme yang hidup di dalamnya yang salah
satu adalah phylum Annelida. Annelida hidup relatif menetap di suatu substrat sehingga
keberadaan ataupun ketidakberadaannya dapat memberikan gambaran kondisi perairan tempat
hidupnya. Kelompok hewan ini berperan penting dalam rantai makanan, karena Annelida salah
satu mata rantai dalam proses penguraian bahan organik dan sumber makanan bagi organisme lain.
Menurut Odum (1971), di antara berbagai organisme yang paling banyak hidup di Sungai adalah
ikan, perifiton dan benthos. Makrozoobenthos merupakan organisme aquatik yang hidup di dasar
perairan dengan pergerakan yang pergerakan relatif lambat yang kehidupanya sangat dipengaruhi
oleh substrat dasar dan kualitas perairan, karena itu makrozoobenthos dapat dijadikan indikator
biologis.
Respon Annelida terhadap perubahan lingkungan dapat digunakan untuk melihat pengaruh
berbagai kegiatan, seperti dampak kegiatan industri, pertanian, dan tata guna lahan (APHA, 1976
dalam Santosa, 2000). Dengan demikian, untuk mendapat informasi tentang kondisi daerah aliran
Sungai Ancar Kota Mataram diperlukan data yang meliputi kualitas air berupa parameter kimia
maupun fisika.
ISI
A. Struktur Komunitas Annelida
• Komposisi jenis
Komposisi Annelida menggambarkan kekayaan jenis Annelida di perairan Sungai. komposisi jenis
per stasiun secara relatif dijabarkan dalam persentase sebagai jumlah individu masing-masing jenis
Annelida dalam komunitas yang ditemukan di setiap stasiun.
• Indeks Dominansi Jenis
Melihat ada tidaknya jenis yang mendominasi pada suatu ekosistem dapat dilihat dari nilai indeks
dominansi dengan rumus (Setiawan, 2008)
B. Analisis Parameter Fisika dan Kimia
• Analisis Parameter Fisika
Pengukuran parameter Fisika seperti suhu, kecerahan kedalaman, kecepatan arus, salinitas, dan
substrat dilakukan di lapangan. Pengukuran suhu menggunakan thermometer, yaitu dengan
mencelupkan thermometer ke dalam air, kemudian mencatat hasilnya, sedangkan untuk mengukur
kecerahan menggunakan secci dish, yaitu dengan cara menurunkan alat tersebut sampai hampir
v
tidak tampak, mencatat kedalamannya, kemudian diturunkan lagi hingga tidak tampak,
mengangkat secara perlahan, begitu secci dish tampak, catat kedalamannya. Kecepatan harus
menggunakan bantuan bola pimpong, salinitas dengan menggunakan refraktometer dan substat
dengan cara visual.
• Analisis Parameter Kimia
Pengukuran parameter kimia dilakukan di lapangan dan di Laboratorium, parameter kimia yang
diukur di lapangan adalah pH, sedangkan parameter kimia yang dianalisis di Laboratorium adalah
kadar Nitrat, Fosfat DO, TSS, BOD, dan COD.
1. Kondisi Fisika-Kimiawi Perairan Sungai Ancar Kota Mataram.
• Suhu
Sejatinya tinggi rendahnya suhu dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang menyinari perairan dan
dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian yang mana pada umumnya suhu udara dataran rendah lebih
tinggi dibandingkan dataran tinggi. Secara keseluruhan, suhu ke enam stasiun pengamatan tersebut
tidak akan berpengaruh drastis terhadap makrozoobenthos (Annelida) karena ke enam suhu
tersebut masih dalam kisaran normal. Suhu 35-40oC merupakan lethal temperatur
makrozoobenthos (Welch, 1980 dalam Santosa, 2000) dalam artian bahwa pada temperatur
tersebut organisme benthik telah mencapai titik kritis yang menyebabkan kematian.
• Kecerahan
Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat hubungannya dengan fotosintesis.
Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsungnya proses fotosintesis oleh
fitoplankton dengan baik. Ketika fitoplanton terganggu yang disebabkan oleh kekurangan cahaya
tentunya organisme di atasnya ikut terganggu. Kondisi perairan yang kecerahannya rendah dan
kecerahannya yang terlalu tinggi akan menurunkan kelimpahan zoobenthos (Goldman dan Hornen,
1984 dalam Setiawan, 2008).
• Kecepatan Arus
Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobenthos secara tidak langsung
mempengaruhi substrat dasar perairan. Menurut Welch (1980) dalam Santosa (2000), arus
mempengaruhi transport sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan
menjadi substrat batu, pasir, liat, ataupun debu. Sungai dengan arus air yang cepat, substrat
dasarnya terdiri dari batuan dan kerikil sedangkan Sungai dengan arus air yang lambat substrat
dasarnya terdiri dari pasir atau lumpur.
• Kedalaman
Dimana kedalaman suatu perairan sangat mempengaruhi jumlah spesies dan individu. Perairan
yang dangkal cenderung keanekaragamannya lebih tinggi. Pada kondisi perairan yang dangkal,
intensitas matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan, daerah
dangkal biasanya memiliki variasi habitat yang lebih besar dari pada daerah yang lebih dalam
sehingga cenderung mempunyai makrozoobenthos yang beranekaragam (Annelida).

vi
• Substrat
Secara umum dari ke enam stasiun pengamatan substratnya berbeda-beda. Jenis substranya adalah
batu, pasir, kerikil, dan lumpur. Berdasarkan Brower, et al., (1998), mengatakan bahwa jenis
substrat sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos yang termasuk di dalamnya
adalah Annelida. Jenis substrat sangat dipengaruhi oleh pergerakan air atau kecepatan arus.
Apabila arus tersebut kuat maka pertikel yang mengendap berukuran besar, tetapi jika arusnya
lemah maka yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus. Bahan-bahan organik yang
mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi hewan benthos termasuk di
dalamnya adalah Annelida. Bahan tersebut berasal dari dekomposisi organisme yang masuk ke
Sungai. Organisme yang mendiami lumpur seringkali mempunyai rumbai-rumbai halus dari
rambut atau setae, yang dapat menghambat partikel-partikel lumpur masuk ke ruang pernapasan.
• pH (potensial Hidrogen)
Makrozoobenthos memiliki kisaran toleransi terhadap pH yang berbeda-beda. Nilai pH
menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh air dan menwakili konsentrasi
ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen akan berdampak langsung terhadap keanekaragaman
dan distribusi organisme serta menentukan reaksi kimia yang akan terjadi. Nilai pH dipengaruhi
oleh beberapa parameter yaitu biologi, suhu, kandungan oksigen dan adanya ion-ion, berdasarkan
hasil penelitian yang didapatkan, yang sangat mempengaruhi yaitu suhu karena dari perhitungan
atau pengukuran pH dari tiap-tiap stasiun dalam keadaan cuaca yang berbeda-beda.
• TSS
Dari hasil penelitian didapatkan nilai TSS semakin tinggi padatan tersuspensi maka semakin tinggi
kekeruhan. Kekeruhan yang terjadi pada Sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh
bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang
terbawa oleh aliran air pada saaat hujan (Effendi, 2003 dalam Sentosa, 2000).
• Oksigen Terlarut
Sumber utama oksigen di Sungai adalah aerasi dari permukaan air. setiap makrozoobenthos
(Annelida) memiliki kemampuan yang berbeda- beda terhadap ketersediaan oksigen.
Makrozoobenthos yang dapat hidup pada kadar oksigen rendah biasanya memiliki adaptasi secara
morfologi dan fisiologi (Welch, 1980 dalam Sentosa, 2000).
Perbedaan nilai oksigen terlarut tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor sumber dan
faktor sebab. Faktor sumber yaitu terkait dengan aktifitas fotosintesis dimana di setiap lokasi
memiliki kondisi lingkungan yang berbeda-beda di pinggir Sungai banyak tumbuhan air dan
pepohonan dan itulah penyebabnya sehingga kandungan oksigen memiliki nilai tinggi selain dari
variabel tersebut. Kadar oksigen terlarut kurang disebabkan oleh banyak mengandung bahan
polutan sehingga proses kegiatan dekomposisi yang dilakukan meningkat dimana proses
dekomposisi itu membutuhkan oksigen. Semakin banyak sampah maka kegiatan dekomposisi
meningkat. Hal ini akan mengurangi kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan.

vi
i
• BOD ( (Biochemical Oxygen Demand).
BOD adalah banyaknya oksigen yang digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan
organik yang terdapat dalam air selama lima hari. Dari pengertian tersebut bisa dijadikan indikator
dalam menentukan kelimpahan bahan organik dalam air. Penjelasan ini menunjukkan bahwa
memiliki bahan organik yang tinggi dan berlimpah yang salah satu sumbernya adalah bahan
organik yang berasal dari pembuangan limbah industri tahu.
KESIMPULAN
Selama penelitian dari stasiun I sampai stasiun VI, didapatkan 2 kelas Annelida yaitu Oligochaeta
yang terdiri atas Tubifex sp., dan Lumbricus terresteris. Hal ini disebabkan daya adaptasi yang
berbeda-beda, dari ke enam stasiun penelitian didominasi oleh Tubifex sp. Hal ini dikarenakan
Sungai Ancar terutama di stasiun V dan VI, substratnya berlumpur sehingga kebanyakan yang
ditemukan adalah jenis makrozoobenthos (Annelida) yang dominan hidup di substrat berlumpur
dan mempunyai tipe cara makan deposit feeders seperti jenis cacing Oligochaeta, sebagaimana
diketahui bahwa kelas Oligochaeta seperti Tubifex sp.
Berdasrkan hasil penelitian bahwa Annelida jenis Tubifex sp., dapat dijadikan sebagai indikator
pencemaran Sungai dan dari hasil tersebut bahwa Sungai Ancar mengalami pencemaran yang
disebabkan oleh bahan organik baik dari sampah masyarakat maupun sampah limbah industri tahu
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, T. M. (2009). Retrieved Februari 25, 2019. http://tatangmanguny.wordpress.com.
Brower, J. E., Zar, J. H., & Ende, C. N. V. (1998). Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Australia: Trove.
Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.
Hawkes, J. (1979). Potential Theory of Levy Processes. Proceedings of the London Mathematical
Society. Stanford, Amerika Serikat: Stanford University.
Mason, G., & Webb, C. (1993). Nursing Diagnosis: a Review of the Literature. Journal of Clinical
Nursing, 2, 67-74.
Melati, D. R., & Sukarman. (2006). Pengaruh Lama Penyimpanan Stek Berakar terhadap
Pertumbuhan Nilam (Pogostemon cablin Benth). Jurnal Littri, 12(4), 135-139.
Mukhtar. (2010). Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah. Jakarta: Gaung Persada Press.
Santosa, M. (2000). Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Indikator Perubahan Kualitas
Perairan Sungai Ciamuk di Daerah Kabupaten Sumedang. SPd Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Setiawan, D. (2008). Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Kualitas
Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi. MSi Tesis. Institut Pertanian Bogor.

vi
ii
NAMA : DINI AGUSTIN WIDYATI
NPM : 216201516019
PRODI : BIOLOGI REGULER
TUGAS P-11 BAHASA INDONESIA

PERILAKU HARIAN MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)


DAN KEHADIRAN PENGUNJUNG DI TAMAN WISATA ALAM SANGEH
BALI

DAILY BEHAVIOUR OF LONG-TAILED MACAQUES (Macaca fascicularis) AND


VISITORS’ PRESENCE AT SANGEH MONKEY FOREST BALI

SKRIPSI SARJANA SAINS

Oleh

PUTU MAS ITHA PUJIANTARI

FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS


NASIONAL JAKARTA
ix
2019

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
telah memberikan Asung Kertha Wara Nugraha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul PERILAKU HARIAN MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DAN
KEHADIRAN PENGUNJUNG DI TAMAN WISATA ALAM

SANGEH BALI, sebagai syarat untuk memenuhi Tugas Akhir di Fakultas Biologi
Universitas Nasional
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua, adik dan keluarga besar penulis yang terus memberikan motivasi,
doa, nasehat, dukungan untuk apapun yang penulis lakukan dan bantuan selama
penulis melakukan penelitian dan menulis skripsi.
2. Ibu Dr. Sri Suci Utami Atmoko selaku pembimbing pertama yang telah sabar dalam
memberikan arahan, saran, bimbingan serta semangat sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Tatang Mitra Setia, MSi selaku pembimbing kedua yang juga telah sabar
dalam memberikan arahan, saran, bimbingan serta semangat sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepada seluruh staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan telah
mendampingi selama penelitian di kawasan Sangeh
5. Kepada seluruh staf Pengelola Objek Wisata Sangeh yang telah dengan senang
hati menerima penulis selama melakukan penelitian
6. Bapak Drs. Ikhsan Matondang, MSi selaku Pembimbing Akademik angkatan 2014
yang telah memberi motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini
7. Ibu Maria van Noordwijk dan Bapak Carel van Schaik yang telah memberi ilmu dan
masukan untuk penulis guna menyelesaikan skripsi ini
x
8. Kak Fajar Saputra M.Si yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini
9. Marc A. yang selalu dengan setia menemani, memberikan semangat, mendengarkan
keluh kesah serta membantu mencari literatur sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini
10. Bapak Drs. Ikna Suyatna Jalip M.S yang telah memberikan motivasi dan
masukan untuk segera menyelesaikan skripsi ini
11. Teman – teman seperjuangan angkatan 2014 “Totally Fresh” (Mutia, Putri, Mei,
Gede, Akbar, Mutiara, Dewi, Oca, Ilmi, Dyah, Aulia, Tri, Kevin, Euis, Ofel, dan
Adit) yang telah seperti keluarga untuk seluruh kenangan suka duka dan
kekompakan selama perkuliahan.
12. Nabela Bersenica S.Si yang telah memberi nasehat kepada penulis
dalam memecahkan masalah selama penelitian
13. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional yang telah
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam hal materi
maupun penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik,saran
dan bimbingan yang bersifat membangun agar dapat memperbaiki skripsi ini sehingga
dapat menjadi acuan oleh berbagai pihak dikemudian hari.

Jakarta, Maret 2019

Penulis

35
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................v

DAFTAR GAMBAR............................................................................................................vii

DAFTAR TABEL............................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1

BAB II METODE PENELITIAN...........................................................................................5

A. Waktu Dan Tempat Penelitian..................................................................................5

B. Instrumen Penelitian................................................................................................. 6

C. Cara Kerja................................................................................................................. 7

D. Analisis Data...........................................................................................................12

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................. 15

A. Pola aktivitas harian antar kelompok monyet ekor panjang................................... 15

B. Perilaku harian non makan MEP dan kehadiran pengunjung.................................18

C. Perbandingan perilaku harian antar kelompok MEP.............................................. 19

D. Perilaku makan MEP..............................................................................................21

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 33

A. Kesimpulan............................................................................................................. 33

B. Saran....................................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 35

LAMPIRAN..........................................................................................................................39

35
DAFTAR PUSTAKA

Aggimarangsee, N. 1992. Survey For Semi-Tame Colonies of Macaques in Thailand.


Natural History Bulletin of the Siam Society 40:103-166

Altmann J. 1973. Observational Study of Behaviour: Sampling Method. University of


Chicago. USA

Bishop N, Hrdy, SB, Teas J et al. 1981. Measures of Human Influence in Habitat of South
Asian Monkeys. International Journal of Primatology Vol 2 (Issue 2): 153 – 167

Brotcorne F. 2014. Behavioral Ecology of Commensal long-tailed macaque (Macaca


fascicularis) populations in Bali, Indonesia : Impact of anthropic factors. Dissertasi.
University of Liege. Belgium

Brotcorne F, Giraud G, Gunst N, et al. 2017. Intergroup Variation in Robbing and


Bartering by Long-Tailed Macaques at Uluwatu Temple (Bali, Indonesia). Primates.
Japan Monkey Centre and Springer Japan

Cords M. 2012. The Behavior, Ecology, and Social Evolution of Cercopithecine Monkeys.
In: Mitani JC, Call J, Kappeler M, Palombit RA, Silk JB, (Eds). The Evolution of
Primate Societies. Chicago: The University of Chicago Press : 91-112

D’Eath RB, Tolkamp BJ, Kyriazakis I. et al. 2009.‘Freedom from Hunger’ and Preventing
Obesity: The Animal Welfare Implications of Reducing Food Quantity or Quality.
Animal Behavior Vol 77 (Issue2) : 275 – 288.

Defler TR. 1995. Time Budget of A Group of Wild Woolly Monkeys (Lagothrix
lagotricha). International Journal of Primatology. Vol 16 (Issue 1) : 107 – 120

Dunbar RIM. 2002. Modelling Primate Behavioral Energy. International Journal of


Primatology. Vol 23 (Issue 4) : 785 – 819.

El Alami A, Van Lavieren E, Rachida A. et al. 2012. Differences in Activity Budgets and
Diet Between Semiprovisioned and Wild-Feeding Groups of the Endangered
Barbary Macaque (Macaca sylvanus) in the Central High Atlas Mountains,
Morocco. American Journal of Primatology Vol 74 (Issue 3) : 210 – 216.

Engel GA, Jones-Engel L, Schilaci MA. et al. 2002. Human Exposure to Herpesvirus-B
Seropositive Macaques, Bali, Indonesia. Emerg Infect Dis 8 (Issue 8) : 789 – 795

35
Fuentes A dan Gamerl, S. 2005. Disporpotionate Participation by Age/Sex Classes in
Aggressive Interactions Between Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis) and
Human Tourists at Padangtegal Monkey Forest, Bali, Indonesia. Amercan Journal
of Primatology Vol 66 (Issue ) : 197 – 204.

Fuentes A. 2006. Human Culture and Monkey Behavior: Assessing the Contexts of
Potential Pathogen Transmission Between Macaques and Humans. American
Journal of Primatology Vol 68 (Issue 10) : 880 – 896

Fuentes A, Shaw E, Cortes J. 2007. Qualitative Asessment of Macaque Tourist Sites in


Padangtegal, Bali, Indonesia and Upper Rock Nature Reserve Giblartar. Int J
Primatol. Vol 28 : 1143 – 1158. DOI 10.1007/s10764-007-9184-yario

Fuentes A, Kalchik S, Gettler L. et al. 2008. Characteristic Human – Macaque Interactions


in Singapore. American Journal of Primatology Vol 70 (Issue ) : 879 – 883

Fuentes A. 2010. Naturalcaltural Encounters in Bali : Monkeys, Temples, Tourists, and


Ethnoprimatology. Vol 25 (Issue 4) : 600 – 624

Fragaszy , D. dan Perry , S. (2003) The Biology of Traditions: Models and Evidence.
Cambridge University Press, Cambridge, UK

Gautier JP dan Biquand S. 1994. Primate Commensalism. Rev Ecol (Terre Vie) Vol 49
(Issue 3) : 210 – 212.

Gumert MD, Hamada Y, Malaivijitnond S. 2013. Human activity negatively affects stone
tool-using Burmese long-tailed macaques Macaca fascicularis aurea in Laem Son
National Park, Thailand. Fauna &Flora International. Vol 47 (Issue 4) : 535 – 543.

Hambali K, Ismail A dan Md-Zain BM. 2012. Daily Activity Budget of Long-Tailed
Macaques (Macaca fascicularis) in Kuala Selangor Nature Park. : International
Journal of Basic & Applied Sciences. Vol 12 (Issue 4) : 47 – 52

Isabirye-Basuta GM dan Lwanga JS. 2008. Primate Populations and Their Interactions with
Changing Habitats. Int J Primatol. Vol 29 (Issue 1) : 35 – 48.

Janson CH dan Golsmith ML. 1995. Predicting Group Size in Primates : Foraging Costs and
Predation Risks : Behavioral Ecology. Vol 6 (Issue 3) : 326 – 336.

Jones-Engel L, Engel GA, Heidrich J. et al. 2006. Temple Monkeys and Health
Implications of Commensalism, Kathmandu Nepal. Emerging Infectios Disease Vol
12 (Issue 6) : 900 – 906

36
Knight RL dan Temple SA. 1995. Wildlife and Recreationist: Coexistances Through
Management h. 327 – 333. Dalam Wildlife and Recreationist Coexistances Through
Management and Research; Knight RL dan Gutzwiller KJ (Eds.) Islands Press

Korstjens AH dan Blumstein RIM. 2008. Time Constraints Limit Group Sizes and
Distributions in Red and Balck-and-White Colobus : Int J. Primatol. 28 : 551 – 557.

Lucas PW dan Corlett RT. 1991. Relationship between the Diet of Macaca fascicularis and
Forest Phenology. Folia Primatologica. 57 : 201 – 215.

Manfredo MJ, Vaske JJ, Decker DJ. 1995. Human Dimension of Wildlife Management: Basic
Concepts. h. 17 – 31. Dalam Wildlife and Recreationist Coexistances Through
Management and Research; Knight RL dan Gutzwiller KJ (Eds.) Islands Press

McLennan MR dan Plumptre AJ. 2013. Protected Apes, Unprotected Forest: Composition,
Structure and Diversity or Riverine Forest Fragments and Their Conservation Value
in Uganda : Tropical onservation Science Vol 5 (Issue 1) : 79 – 103.

Ong P dan Richardson M. 2008. Macaca fascicularis. The IUCN red list of threatened
Species. http://www.iucnredlist.org/details/39768/0 © IUCN 2015. ISSN Online
2307-8235. Diakses tanggal 5 September 2018

Pollard KA dan Blumstein DT. 2008. Time Allocation and The Evolution of Group Size.
Animal Behavior. 76, 1683 – 1699

Roos C, Boonratana R, Suprijatna J, et al. 2014. An Updated Taxonomy and Conservation


Status Review of Asian Primates : Asian Primate Journal. Vol 4 (Issue 2) : 8-9

Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. Pogonias Press, Charlestown.
Rhode Island.

Sabbatini G, Stammati M, Tavares MCH, et al. 2006. Interactions Between Human and
Capuchin Monkeys (Cebus libidinosus) in The Parque Nacional de Brasilia Brazil.
Applied Animal Behavior Sciences. Vol 97 (Issue 2) : 272 – 283.

Saj T. Sicotte P & Paterson JD. 1999 Influence of Human Foods Consumption on the Time
Budget of Vervets. International Journal of Primatology. Vol 20 (Issue 6) : 977–994.

Sapolsky MR dan Share LJ. 2004. A Pasific Culture Among Wild Baboons : Its
Emergence and Transmission : Plos Biology. Vol 2 (Issue 4) : 534 – 541.

Schilaci MA, Engel GA, Fuentes A. et al 2009. The Not-So-Scared Monkeys of Bali : A
Radiographic Study of Human – Primate Commensalism. H. 249 – 256. Dalam :
37
Indonesian Primates; Gursky-Doyen S dan Suprijatna J (Eds.). University
of Toronto Scarborough

Sha JCM, Gumert MA, Lee BPYH. et al. 2009. Status of the Long-Tailed Macaque
(Macaca fascicularis) in Singapore and Implications for Management. Biodivers
Conserv Vol 18 (Issue -) : 2909 – 2926

Sha JCM dan Hanya G. 2013. Diet, Activity, Habitat Useand Ranging of Two
Neighboring Groups of Food-Enhanced Long-Tailed Macaques (Macaca
fascicularis). American Journal of Primatology. Vol 75 (Issue 6) : 581 – 592.

Simonds PE. 1974. The Social Primates. Harper and Row Publiser New York

Ungar PS. 1995. Fruit Preferences of Four Sympatric Primate Species at Ketambe, Northern
Sumatra, Indonesia. International Journal of Primatology Vol 16 (Issue 2) : 221 – 245

van Schaik CP, van Noordwick MA, de Boer RJ, et al. 1983. The Effect of Goup Size on
Time Budget and Social Behaviour in Wild Long-Tailed Macaques (Macaca
fascicularis). Behav Ecol Sociobiol Vol – (13) 173 – 181

van Schaik, C., & Setia, T.M. 1990. Changes in the behaviour of wild long-tailed
macaques (Macaca fascicularis) after encounters with a model python. Folia
Primatologica, 55(2), 104-108.

Welker C, Schafer-Witt C, Voigt K. 1992. Social Position and Personality in Macaca


fascicularis : Folia Primatol. Vol 58 (Issue 2) : 112 – 117

Zhao QK dan Deng ZY. 1992. Dramatic Qonsequences of Foods Handouts to Macaca
thibetana at Mount Emei, China. Folia Primatologica. Vol 58 (Issue 1) : 24 – 31.

37
NAMA : DINI AGUSTIN WIDYATI
NPM : 216201516019
PRODI : BIOLOGI REGULER
TUGAS P-12 BAHASA INDONESIA

IDENTIFIKASI JENIS TERIPANG GENUS HOLOTHURIA ASAL PERAIRAN


SEKITAR KEPULAUAN SERIBU BERDASARKAN PERBEDAAN MORFOLOGI
Dewi Elfidasari*, Nita Noriko, Ninditasya Wulandari, Analekta Tiara Perdana
Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Al Azhar Indonesia, Jl.
Sisingamangaraja, Jakarta 12110
*Penulis untuk Korespondesi: d_elfidasari@uai.ac.id

ABSTRAK

Teripang adalah hewan invertebrata laut yang merupakan anggota hewan berkulit duri (Echinodermata) memiliki
potensi ekonomi yang cukup besar karena mengandung berbagai bahan yang bermanfaat dan dapat dijadikan
sebagai sumber protein hewani, obat luka dan anti inflamasi. Eksploitasi yang terjadi secara besar-besaran
dikhawatirkan akan merusak kelestarian teripang di alam. Untuk itu diperlukan informasi dasar terkait jenis dan
morfologi teripang yang terdapat di perairan sekitar Kepulauan Seribu, khususnya di P. Pari dan P. Pramuka.
Pengambilan sampel dilakukan pada pagi dan sore hari, yaitu pada saat kondisi surut di perairan sekitar P. Pari dan
P. Pramuka. Sampel selanjutnya dikoleksi untuk diidentifikasi jenisnya berdasarkan perbedaan morfologi. Hasil
analisis bentuk, warna, corak warna dan tipe spikula pada teripang tersebut menunjukan, terdapat empat jenis
teripang yang berbeda berasal dari Kelas Holothuroidea, Subkelas Aspidochirotacea, Ordo Aspidochirotda, Famili
Holothuriidae dan Genus Holothuria. Dua jenis yang terdapat di perairan sekitar P. Pari adalah Holothuria impatiens
dan H. atra, sedang dua jenis yang diperoleh dari perairan sekitar P. Pramuka adalah H. edulis dan H. fuscocinerea.
Perbedaan jenis pada masing-masing perairan disebabkan karena perbedaan jenis habitat dan sumber bahan
makanan yang terdapat di perairan tersebut.

Kata Kunci : Teripang, Pulau Pari, Pulau Pramuka, Identifikasi, Morfologi

ABSTRACT

Sea cucumber is marine invertebrate that that member of Echinodermata (the thorn- skinned animals), which has
considerable economic potential because it contains many useful material and can be used as source of animal
protein, drug injury, and anti inflammatory. Massive exploitation is predicted destroying the existance of sea
cucumbers in nature. Furthermore, basic information related with the type and morphology of sea cucumbers,
especially in Pari Island and Pramuka Island is required. Sampling was carried out in the morning and the
afternoon when the condition of waters around Pari Island and Pramuka Island is being low tide. The following
samples were collected to identify the species based on morphological differences. The result of the analysis of
shape, colour, colour shades, and type of spicules on sea cucumbers showed there are four different types of sea
cucumbers from the Class Holothuroidea, Subclass Aspidochirotacea, Order Aspidochirotida, Family
Holothuriidae and Genus Holothuria. Two types found in Pari Island are Holothuria impatiens and H. atra,

37
whereas two types found in Pramuka Island are H. edulis and H. fuscicinerea. The diffrences in each type are
caused by the difference of habitat and food source in the waters of Pari Island and Pramuka Island.

Keywords – sea cucumber, Pari Island, Pramuka Island, identification, morfology

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu biota laut yang memiliki potensi ekonomi adalah teripang. Nilai ekonomi penting
pada teripang berasal dari tingginya kandungan atau kadar nutrisi yang tinggi yang terdapat
dalam tubuh teripang. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa orang menunjukan
bahwa kandungan nutrisi teripang dalam kondisi kering terdiri dari protein sebanyak 82%, lemak
1,7%, kadar air 8,9%, kadar abu 8,6%, dan karbohidrat 4,8% (Aji & Winanto, 1996). Teripang
juga mengandung mineral yang cukup lengkap berupa kalsium, natrium, fosfor, kromium,
mangan, zat besi, kobal, seng, dan vanadium (Kordi, 2010).
Tingginya kadar nutrisi dalam tubuh teripang inilah yang menyebabkan terjadinya
pengambilan teripang secara besar-besaran tanpa memperhatikan kelestariannya. Kecenderungan
ini diduga disebabkan adanya peningkatan eksploitasi dan pengambilan teripang dari habitat
alaminya dengan meningkatnya permintaan ekspor akan produk teripang di Indonesia yang
diikuti dengan semakin naiknya harga di pasaran internasional (Hartati et al, 2005).
Apabila hal ini dilakukan secara terus menerus tanpa adanya upaya budidaya untuk menjaga
kelangsungan hidup teripang, maka dapat dipastikan sumber alam yang sangat potensial ini akan
musnah. Sehingga perlu dilakukan berbagai upaya upaya untuk menjaga kelestarian teripang di
perairan Indonesia antara lain dengan tersedianya data biologi terkait keberadaan teripang di
perairan Indonesia. Informasi dasar yang perlu diketahui antara lain data terkait jenis dan
morfologi teripang yang memiliki nilai penting ekonomis tersebut.
Salah satu perairan di sekitar Indonesia, khusunya di sekitar Pulau Jawa yang memiliki
populasi teripang cukup baik adalah perairan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan, jenis-jenis teripang yang terdapat di perairan ini berasal dari
famili Holothuriidea (Aziz, 1987 & Darsono, 1987). Jenis teripang ini termasuk yang memiliki
nilai ekonomis tinggi. Untuk itu perlu diperoleh data apakah jenis-jenis teripang tersebut masih
terdapat di perairan di sekitar Kepulau Seribu dan bagaimana morfologi teripang tersebut.

37
II. Tinjauan Pustaka
Teripang adalah salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata). Duri pada
teripang sebenarnya merupakan rangka atau skelet yang tersusun dari zat kapur dan terdapat di
dalam kulitnya. Rangka dari zat kapur itu tidak dapat terlihat dengan mata telanjang karena
sangat kecil sehingga perlu menggunakan mikroskop. Meski demikian, tidak semua jenis teripang
mempunyai duri beberapa jenis teripang tidak memiliki duri. Terdapat sekitar 1.250 jenis teripang
yang telah didiskripsikan oleh para taksonom. Teripang teripang tersebut dibedakan dalam enam
bangsa (ordo) yaitu Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida,
dan Elasipoda (Pawson, 1982).
Secara taksonomi, klasisfikasi teripang (Pechenik, 2005) adalah, :
Filum : Echinodermata
Subfilum : Echinozoa
Kelas : Holothuroidea
Subkelas : Aspidochirotacea
Ordo : Aspidochirotida
Famili : Holothuriidae
Genus : Holothuria, Muelleria, Stichopus
Semua jenis teripang komersil, khususnya dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa
(ordo) Aspidochirotida dari suku (family) Holothuriidae dan Stichopodidae. Meliputi genus
Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Terdapat 25 jenis teripang
berpotensi komersil yang diidentifikasikan berasal dari perairan karang di Indonesia (Pawson,
1982), sepuluh jenis diantaranya mempunyai nilai komersil baik (Tabel 1).

37
Tabel 1. Jenis teripang yang terdapat di perairan Indonesia
Famili Ordo Genus Spesies Nama daerah
Aspidochirotida Holothuriidae Actinopyga A. miliaris Teripang lotong
A. lecanora Teripang batu
A. echinites Teripang batu
A. mauritiana Teripang bilalo
Holothuria H. scabra Teripang pasir, teripang putih
H. nobilis Teripang susuan hitam
H. fuscogilva Teripang susuan putih
H. atra Teripang dada merah
H. edulis Teripang keling
H. coluber Teripang tali jangkar
H. leucospilota Teripang hitam
H. pervicax Teripang karang
H. fuscocinerea Teripang karang
H. gyrifer Teripang karang
H. hilla Teripang karang
H. impatiens Teripang karang
H. pardalis Teripang karang
Bohadschia B. argus Teripang mata kucing
B. graeffei
B. marmorata Teripang getah putih
Stichopodidae Stichopus S. chloronotus Teripang belimbing
S. horrens
S. variegates Teripang kasur
Thelenota T. ananas Teripang nenas
T. anax

Tubuh teripang umumnya berbentuk bulat panjang atau silindris sekitar 10-30 cm,
dengan mulut pada salah satu ujungnya dan anus pada ujung lainnya. Mulut teripang dikelilingi
oleh tentakel atau lengan peraba yang kadang bercabang-cabang. Tubuhnya berotot, sedangkan
kulitnya dapat halus atau berbintil (Martoyo, 1996).
Habitat teripang tersebar luas di lingkungan perairan di seluruh dunia, mulai dari zona
pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat.
Beberapa diantaranya lebih menyukai perairan dengan dasar berbatu karang, yang lainnya
menyukai rumput laut atau dalam liang pasir dan lumpur (Pawson, 1982). Jenis teripang yang
termasuk dalam Holothuria, Scitopus dan Muelleria memiliki habitat berada di dasar berpasir
halus, terletak di antara terumbu karang, dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Darsono,
2005).
Di sekitar perairan Pulau Pari, penyebaran teripang dapat dibagi berdasarkan habitat
teripang yang meliputi, daerah rataan pasir (berbatasan dengan daerah pertumbuhan alga) pada
daerah ini dijumpai teripang jenis Holothuria dalam jumlah sedikit; daerah ilalang laut dan daerah
pertumbuhan alga yang memiliki keragaman teripang cukup tinggi karena dijumpai jenis-jenis
Holothuria scabra, H. arenicola, H. edulis, H. nobilis, H. atra dan Stichopus variegatus, dan
daerah perairan dangkal yang memiliki jenis Holothuria atra, H. coluber, Stichopus variegatus,
S. choloronatus dan Thelenota anana (Aziz, 1987).

37
Teripang memiliki peran yang cukup penting dalam perairan, karena merupakan
komponen utama dalam rantai pakan (food chain) terumbu karang dan ekosistem asosiasinya
pada berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan
deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder) ( Bakus et al, 1973).
Dalam rantai makanan di perairan laut (marine aquatic), teripang berperan sebagai
penyumbang pakan berupa telur, larva dan juwana teripang, bagi organisma laut lain seperti
berbagai krustasea, moluska maupun ikan. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, yang
memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas sedimen (Pechenik & Darsono, 2005).
Tingkah laku teripang yang “mengaduk” dasar perairan dalam cara mendapatkan
pakannya, membantu menyuburkan substrat disekitarnya. Keadaan ini mirip seperti dilakukan
cacing tanah di darat. Proses tersebut mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik
dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisma patogen termasuk
bakteri tertentu (Darsono, 2005).
Penelitian yang dilakukan dalam (Hartati et al, 2005) mengenai aktivitas makan pada
teripang di Pasifik yang hidup di berbagai pulau, termasuk yang hidup di rataan terumbu karang
Pulau Palao, membagi aktivitas makan teripang dalam dua kelompok, yaitu teripang yang selalu
diam pada permukaan pasir dan makan setiap saat, siang dan malam hari dan teripang yang
makan 2 sampai 3 kali sehari dan sisa waktunya digunakan untuk berlindung di batu karang atau
menggali lubang di bawah permukaan pasir atau alga hijau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi teripang yang ada di sekitar Pulau Pari
dan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Manfaat dari penelitian ini adalah diperoleh informasi
yang dapat menjadi acuan bagi upaya budidaya teripang sebagai penunjang sumber bahan
makanan alternatif khususnya protein bagi masyarakat.

37
III. METODE PENELITIAN
Objek penelitian berupa teripang yang diperoleh dari perairan di skeitar Pulau Pari dan
Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.
Identifikasi morfologi dan anatomi dilakukan di Laboratorium Biologi Makro,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan, IPB
tempat identifikasi dan analisa morfologi anatom

Gambar 1. Lokasi pengambilan teripang di sekitar perairan P. Pari dan P. Pramuka


III.1. Metode Pengambilan Sampel
Sampel diambil secara acak dengan menelusuri daerah timur dan barat Pulau Pari dan
daerah utara Pulau Pramuka. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi dan sore hari pada saat air
mengalami kondisi surut. Teripang yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol koleksi dan diberi
label sesuai lokasi dan waktu pengambilan.
III.2. Identifikasi Sampel
Sampel yang telah diperoleh dianalisis di laboratorium untuk diidentifikasi jenisnya
dengan panduan dari beberapa literatur (Purwati & Wirawati, 2009) dan juga menggunakan
program berbasis internet The Taxonomicon dan ZipcodeZoo untuk megidentifikasi taksonomi
dari jenis teripang.
Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi dan warna tubuh serta spikula dari jaringan
integumen dorsal. Spikula yang diamati berupa tulang-tulang mikroskopis yang terbentuk dari zat
kapur yang terbenam di jaringan integumen, tentakel, papila, dan podia. Spikula diisolasi dari
jaringan integumen bagian dorsal. Potongan daging teripang sebesar 1-2 cm2 direndam dalam
larutan pemutih selama 10-20 menit. Larutan akan melarutkan jaringan penyusun integumen dan
spikula akan akan mengendap di dasar cawan. Supernatan lalu dibuang dan spikula yang

37
mengendap dicuci dengan akuades 2-3 kali. Kemudian spikula diamati di bawah mikroskop
dengan perbesaran 10 dan 40 kali.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAAN


Dari hasil pengambilan sampel di kawasan perairan sekitar P. Pari dan P. Pramuka secara
keseluruhan diperoleh tujuh sampel teripang, lima sampel berasal dari perairan di sekitar P. Pari
dan 2 sampel berasal dari perairan di sekitar P. Pramuka.
Hasil analisis morfologi sampel teripang yang diperoleh pada penelitian ini diketahui
bahwa teripang yang berada di sekitar perairan Kep. Seribu terdiri dari empat spesies yang
berbeda yang berasal dari satu genus (Holothuria). Dua spesies berasal dari perairan di sekitar
Pulau Pari yaitu Holothuris impatiens dan H. athra dan dua spesies di sekitar Pulau Pramuka
yaitu H. edulis dan H. fuscocinerea.
Secara morfologi dan anatomi, masing-masing jenis teripang memiliki perbedaan.
Perbedaan yang tampak secara nyata dapat dilihat langsung dari bentuk, warna dan corak warna
yang dimiliki oleh teripang.
Jenis Holothuria impatiens memiliki penampang tubuh bulat, sisi ventral cenderung
datar, dan lubang anus bulat. Warna tubuh adalah abu-abu dengan belang berwarna hitam di
punggungnya. Tubuhnya lunak dan tipis. Tipe spikula yang ditemukan di bagian dorsal adalah
tipe meja dan kancing. Teripang ini ditemukan di sela pipa besar yang permukaannya seperti
batu.

Gambar 2. H. impatiens dari perairan sekitar P. Pari


Jenis teripang lain yang juga di temukan di perairan sekitar P. Pari adalah Holothuria atra.
Secara morfologi, teripang ini memiliki penampang tubuh bulat, sisi ventral yang cenderung
datar, dan lubang anus yang bulat. Warna tubuh hitam kulit tubuhnya lembut dan tebal. Tipe
spikula yang ditemukan di bagian dorsal adalah tipe meja, roset, dan lempeng. Ditemukan di
daerah bersubstrat pasir kasar dan tubuhnya diselimuti oleh pasir halus.

Gambar 3. H. atra dari perairan sekitar P. Pari

37
Jenis H. edulis yang dijumpai di perairan di sekitar P. pramuka secara morfologi
memiliki penampang tubuh bulat, sisi ventral yang cenderung datar, dan lubang anus yang bulat.
Terdapat perbedaan warna tubuh pada bagian dorsal dan ventral. Tubuh bagian dorsal berwarna
hitam, sedangkan bagian ventral berwarna merah muda.
Tipe spikula yang dimiliki oleh H. edulis yang ditemukan di bagian dorsal adalah tipe
meja dan kancing sama hal seperti yang terdapat pada H. Impatiens. Teripang H. edulis
ditemukan di daerah bersubstrat pasir kasar dan tubuhnya diselimuti oleh pasir halus.

Gambar 4. Holothuria edulis dari perairan sekitar P. Pramuka (A. Dorsal; B. Ventral)
Jenis teripang lain yang dijumpai di sekitar P. Prmauka adalah Holothuria fuscocinerea.
Teripang ini secara morfologi memiliki penampang tubuh bulat, sisi ventral yang cenderung
datar, dan lubang anus yang bulat. Warna tubuh bagian dorsal coklat dan bercorak, sedangkan
bagian ventral berwarna coklat pucat tanpa corak. Tipe spikula yang ditemukan di bagian dorsal
adalah tipe meja dan kancing. Teripang ini memiliki habitat di daerah lamun sehingga banyak
dijumpai di kawasan tersebut.

Gambar 5. Holothuria fuscocinerea dari perairan sekitar P. Pramuka (A. Dorsal; B. Ventral)

37
Hasil penelitian menunjukan bahwa teripang yang diperoleh dari perairan di sekitar
P.Pari dan P. Pramuka berasal dari genus Holothuria dan terdiri dari empat jenis (spesies)
berbeda. Keempat jenis teripang tersebut ditemukan pada habitat yang berbeda. Holothuria atra
dan H. edulis memiliki habitat di daerah bersubstrat pasir kasar, H.impatiens ditemukan di sela
pipa besar yang permukaannya seperti batu dan H. fuscocinerea dijumpai pada habitat berupa
padang lamun. Variasi habitat pada teripang dengan kondisi ekologis yang berbeda inilah yang
akan menyebabkan perbedaan komposisi jenis, jumlah dan distribusi teripang pada setiap lokasi.
Berkumpulnya teripang tertentu pada suatu habitat menunjukan bahwa keberadaan hewan ini
dipengaruhi oleh tersedianya sumber bahan makanan yang terdapat pada habitat tersebut (Aziz &
Darsono, 1987).
Sama seperti organisme lainnya, teripang memiliki kondisi lingkungan tertentu untuk
dapat hidup dan berkembang biak pada suatu lokasi. Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan teripang meliputi salinitas, temperatur, cahaya, tekanan dan makanan
(Aziz & Darsono, 1987). Salinitas yang dibutuhkan oleh teripang genus Holothuria adalah
salinitas normal 30-37/oo ,genus ini tidak mampu bertahan hidup pada salinitas yang rendah.
Kadar salinitas yang rendah akan menyebabkan sel-sel dalam tubuh Holothuria lisis sehingga
tidak mampu bertahan hidup (Aziz & Darsono, 1987), (Bakus et al, 1973)
Faktor berikutnya adalah temperatur lingkungan, hothuria hidup di semua kedalaman laut
sehingga memiliki kemampuan toleransi pada kisaran temperature yang luas. Beberapa peneliti
mencatat bahwa teripang mampu bertahan pada temperatur 25-35°C. Lebih dari 35°C tubuh
teripang akan mengalami inaktif akan tetapi tentakelnya masih dapat bergerak (Pawson, 1982),
(Bakus et al, 1973). Cahaya juga merupakan faktor lingkungan yang berperan bagi teripang.
Sebagian besar genus Holothuria bersifat nokturnal yang aktivitas hidupnya dilakukan pada
malam dari atau dengan intensitas cahaya rendah. Meski demikian ada beberapa spesies yang
melakukan aktivitas pada siang hari di antara terumbu karang, alga atau lamun, atau di dalam
timbunan pasir. Intensitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan pergerakan teripang menjauhi
sumber cahaya, hal ini berkaitan dengan kemampuan kontraksi otot tubuh teripang (Pechenik,
2005), (Bakus et al, 1973).
Genus Holothuria dapat dijumpai pada kedalaman 0-10.750 m dpl, hal ini menunjukan
bahwa toleransi terhadap tekanan sangat besar. Genus ini mampu hidup pada beragam tekanan,
akan tetapi pada beberapa genus lain tekanan akan mempengaruhi keberadaannya. Teripang yang
hidup di laut dalam memiliki kisaran toleransi terhadap tekanan yang cukup kecil, beberapa genus
diantaranya adalah Stichopus dan Thelenota (Bakus et al, 1973), (Darsono, 2005). .
Faktor utama lain yang mendukung keberadaan teripang pada suatu habitat tertentu
adalah makanan. Makanan teripang berupa plankton, detritus dan kandungan zat-zat organik lain
yang berada di dalam lumpur atau pasir (Aziz, 1987). Jenis makanan lain adalah organisme-
organisme kecil, protozoa, algafilamen, rumput laut, dan potongan- potongan kecil hewan
maupun tumbuhan laut serta partikel-partikel pasir (Bakus et al, 1973). Hasil penelitian
menunjukan bahwa teripang menyukai habitat dengan perairan yang jernih dan aliran air relatif
tenang, mereka hidup secara berkelompok (Radjab, 1996).

37
Selain perbedaan habitat, penyebaran Holothuria juga dipengaruhi oleh kelimpahan
makanan yang tersedia berupa plankton dan detritus. Beberapa penelitian menunjukan terdapat
korelasi positif antara penyebaran beberapa jenis teripang dengan tipe habitat (Aziz, 1987).

V. KESIMPULAN
Terdapat empat jenis teripang yang dijumpai di perairan sekitar P. Pari dan P. Pramuka.
Jenis yang ditemukan di sekitar perairan P. Pari adalah Holothuria impatiens dan H. atra,
sedangkan H. edulis dan H. fuscocinerea di temukan di sekitar perairan P. Pramuka.
Perbedaan setiap jenis teripang terlihat pada morfologi yang meliputi bentuk, warna,
corak warna dan tipe spikula yang dimiliki masing- masing jenis teripang.

37
VI. DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz, Beberapa Catatan Tentang Perikanan Teripang Indonesia dan Kawasan Indo Pasifik
Barat, Oseana 2:68-78, 1987.
A. Aziz, dan P. Darsono, Beberapa Catatan Mengenai Fauna Ekhinodermata di Daerah Rataan
Terumbu Karang Bagian Selatan Gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Balitbang Biologi,
Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta, 1987.
A.W. Radjab. Teripang di Teluk Un, Pulau Dullah Maluku Utara. Bidang Sumberdaya Laut,
Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta, 1996.
D. L. Pawson, Holothuroidea, In: Parker, S. P., ed. Synopsis and Classification of Living
Organisms. McGraw-Hill, New York, p.813-818, 1982.
G.J. Bakus, In: Q.A. Jones, R. Endean (Eds.) Biology and Geology of Coral Reefs, vol. II,
Academic Press, New York, p.247, 1973.
J.A. Pechenik Biology of the Invertebrates, 5th Ed, Mc-Graw-Hill, New York, p.503-514, 2005.
J.N. Martoyo, Aji, dan T. Winanto, Budi Daya Teripang, Penebar Swadaya, Depok, 1996.
M.G. Kordi. A to Z Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmetik, dan Obat-Obatan,
Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010.
P. Darsono. Teripang (Holothurians) Perlu Dilindungi. Bidang Sumberdaya Laut, Puslit
Oseanografi – LIPI. Jakarta, 2005.
P. Purwati dan I. Wirawati, Holothuriidae (Echinodermata, Holothuridea, Aspirochirotida)
Perairan Dangkal Lombok Barat Bagian I Genus Holothuria. Jurnal Oseanologi 2(1/2):1-25,
2009.
P. Purwati dan A. Syahailatua (Ed) Timun Laut Lombok Barat, Ikatan Sarjana Oseanologi
Indonesia (ISOI), Jakarta, 2008.
R. Hartati, Widianingsih, dan D. Pringgienis. Skripsi Teknologi Penyediaan Pakan Bagi Teripang
Putih (Holothuria scabra), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro,
Semarang, 2005
Taxonomicon, http://taxonomicon.taxonomy.nl (Diakses pada 22 Oktober 2011)
ZipcodeZoo, http://zipcodezoo.com/ (Diakses pada 22 Oktober 2011)
http://paradisonesia.wordpress.com/2011/04/29/pulau-pari-the-hidden-paradise/, 2011. (Diakses
pada 22 Oktober 2011)

37
NAMA : DINI AGUSTIN WIDYATI
NPM : 216201516019
PRODI : BIOLOGI REGULER
TUGAS P-13 BAHASA INDONESIA

IDENTIFIKASI JENIS TERIPANG GENUS HOLOTHURIA ASAL PERAIRAN


SEKITAR KEPULAUAN SERIBU BERDASARKAN PERBEDAAN MORFOLOGI
Dewi Elfidasari*, Nita Noriko, Ninditasya Wulandari, Analekta Tiara Perdana
Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Al Azhar Indonesia, Jl.
Sisingamangaraja, Jakarta 12110
*Penulis untuk Korespondesi: d_elfidasari@uai.ac.id

TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu biota laut yang memiliki potensi ekonomi adalah teripang. Nilai ekonomi
penting pada teripang berasal dari tingginya kandungan atau kadar nutrisi yang tinggi yang
terdapat dalam tubuh teripang. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa orang
menunjukan bahwa kandungan nutrisi teripang dalam kondisi kering terdiri dari protein
sebanyak 82%, lemak 1,7%, kadar air 8,9%, kadar abu 8,6%, dan karbohidrat 4,8% (Aji &
Winanto, 1996). Teripang juga mengandung mineral yang cukup lengkap berupa kalsium,
natrium, fosfor, kromium, mangan, zat besi, kobal, seng, dan vanadium (Kordi, 2010).
Tingginya kadar nutrisi dalam tubuh teripang inilah yang menyebabkan terjadinya
pengambilan teripang secara besar-besaran tanpa memperhatikan kelestariannya. Kecenderungan
ini diduga disebabkan adanya peningkatan eksploitasi dan pengambilan teripang dari habitat
alaminya dengan meningkatnya permintaan ekspor akan produk teripang di Indonesia yang
diikuti dengan semakin naiknya harga di pasaran internasional (Hartati et al, 2005).
Salah satu perairan di sekitar Indonesia, khusunya di sekitar Pulau Jawa yang memiliki
populasi teripang cukup baik adalah perairan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan, jenis-jenis teripang yang terdapat di perairan ini berasal
dari famili Holothuriidea (Aziz, 1987 & Darsono, 1987).
Teripang adalah salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata). Duri pada
teripang sebenarnya merupakan rangka atau skelet yang tersusun dari zat kapur dan terdapat di

37
dalam kulitnya. Rangka dari zat kapur itu tidak dapat terlihat dengan mata telanjang karena
sangat kecil sehingga perlu menggunakan mikroskop. Meski demikian, tidak semua jenis
teripang mempunyai duri beberapa jenis teripang tidak memiliki duri. Terdapat sekitar 1.250
jenis teripang yang telah didiskripsikan oleh para taksonom. Teripang teripang tersebut
dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida,
Apodida, Molpadida, dan Elasipoda (Pawson, 1982).

Secara taksonomi, klasisfikasi teripang (Pechenik, 2005) adalah, :


Filum : Echinodermata
Subfilum : Echinozoa
Kelas : Holothuroidea
Subkelas : Aspidochirotacea
Ordo : Aspidochirotida
Famili : Holothuriidae
Genus : Holothuria, Muelleria, Stichopus
Semua jenis teripang komersil, khususnya dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa
(ordo) Aspidochirotida dari suku (family) Holothuriidae dan Stichopodidae. Meliputi genus
Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Terdapat 25 jenis teripang
berpotensi komersil yang diidentifikasikan berasal dari perairan karang di Indonesia (Pawson,
1982).
Habitat teripang tersebar luas di lingkungan perairan di seluruh dunia, mulai dari zona
pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat.
Beberapa diantaranya lebih menyukai perairan dengan dasar berbatu karang, yang lainnya
menyukai rumput laut atau dalam liang pasir dan lumpur (Pawson, 1982). Jenis teripang yang
termasuk dalam Holothuria, Scitopus dan Muelleria memiliki habitat berada di dasar berpasir
halus, terletak di antara terumbu karang, dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Darsono,
2005).
Di sekitar perairan Pulau Pari, penyebaran teripang dapat dibagi berdasarkan habitat
teripang yang meliputi, daerah rataan pasir (berbatasan dengan daerah pertumbuhan alga) pada
daerah ini dijumpai teripang jenis Holothuria dalam jumlah sedikit; daerah ilalang laut dan
daerah pertumbuhan alga yang memiliki keragaman teripang cukup tinggi karena dijumpai jenis-
jenis Holothuria scabra, H. arenicola, H. edulis, H. nobilis, H. atra dan Stichopus variegatus, dan
daerah perairan dangkal yang memiliki jenis Holothuria atra, H. coluber, Stichopus variegatus, S.
choloronatus dan Thelenota anana (Aziz, 1987).

37
Dalam rantai makanan di perairan laut (marine aquatic), teripang berperan sebagai
penyumbang pakan berupa telur, larva dan juwana teripang, bagi organisma laut lain seperti
berbagai krustasea, moluska maupun ikan. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, yang
memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas sedimen (Pechenik & Darsono, 2005).
Tingkah laku teripang yang “mengaduk” dasar perairan dalam cara mendapatkan
pakannya, membantu menyuburkan substrat disekitarnya. Keadaan ini mirip seperti dilakukan
cacing tanah di darat. Proses tersebut mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik
dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisma patogen termasuk
bakteri tertentu (Darsono, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz, Beberapa Catatan Tentang Perikanan Teripang Indonesia dan Kawasan Indo Pasifik
Barat, Oseana 2:68-78, 1987.
A. Aziz, dan P. Darsono, Beberapa Catatan Mengenai Fauna Ekhinodermata di Daerah Rataan
Terumbu Karang Bagian Selatan Gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Balitbang Biologi,
Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta, 1987.
D. L. Pawson, Holothuroidea, In: Parker, S. P., ed. Synopsis and Classification of Living
Organisms. McGraw-Hill, New York, p.813-818, 1982.
J.A. Pechenik Biology of the Invertebrates, 5th Ed, Mc-Graw-Hill, New York, p.503-514, 2005.
M.G. Kordi. A to Z Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmetik, dan Obat-Obatan,
Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010.
P. Darsono. Teripang (Holothurians) Perlu Dilindungi. Bidang Sumberdaya Laut, Puslit
Oseanografi – LIPI. Jakarta, 2005.
R. Hartati, Widianingsih, dan D. Pringgienis. Skripsi Teknologi Penyediaan Pakan Bagi
Teripang Putih (Holothuria scabra), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro, Semarang, 2005

37

Anda mungkin juga menyukai