Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KELOMPOK

INOVASI PENDIDIKAN

“Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)”

Disusun oleh:

Kelompok VII:

Ananda Rizki Pratiwi 1705110833


Cikita Aisyah Fauziah 1705113643
Peni Defita Sari 1705110928
Nur Rohmah Sofiani 1705122447
Nurulia Ainun Nisa 1705111037

Dosen Pengampu:

Dra. Mariani Natalina, L.M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, Kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)”. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistematika Inovasi Pendidikan.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Mariani Natalina, L.M.Pd

selaku dosen pembimbing mata kuliah Inovasi Pendidikan. Kami juga


berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ataupun kekurangan dalam


makalah yang kami buat ini. Untuk itu kritik dan saran sangat diperlukan untuk
kemajuan makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dan
bisa digunakan untuk sarana pembelajaran. Terima kasih.

Pekanbaru, 21 Oktober 2019

Kelompok 7

2
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2

1.3 Tujuan Masalah ..................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAAN

2.1 Hakikat dan Pengertian Pembealajaran CTL .....................................................4

2.2 Sejarah Pembelajaran CTL ................................................................................8

2.3 Karakteristik Pembelajaran CTL......................................................................11

2.4 Sintak Model Pembelajaran CTL .....................................................................13

2.5 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran CTL .............................................20

2.6 Skenario Model Pembelajaran CTL .................................................................22

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................28

3.2 Saran .................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................30

3
ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan adalah salah satu faktor terpenting dalam usaha pembangunan
yang dilakukan oleh sebuah negara. Sejarah mencatat bahwa negara yang
memiliki pola pengembangan pendidikan yang baik disertai dengan perhatian
yang tinggi pada dunia pendidikannya, negara tersebut akan mengalami
kemajuan yang lebih tinggi dan lebih pesat dibandingkan dengan negara lain
yang menomorduakan atau menomorsekiankan masalah pendidikan. Bagi kita
yang aktif dalam pendidikan, khususnya pemeblajaran di kelas, banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang hingga saat ini belum terjawab. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut berkisaran pada permasalahan pembelajaran, antara lain
apa cara terbaik untuk menyampaikan dan membelajarkan banyak konsep di
kelas sehingga semua murid dapat mengingat informasi yang didapatnya dan
menggunakannya? Bagaimana masing-masing kegiatan belajar mengajar
dapat dipahami sebagai bagian-bagaian yang saling terkait dan membangun
satu sama lain? Bagaimana seorang guru dapat mengkomunikasikan secara
efektif dengan murid-muridnya yang mempertanyakan apa alasan, arti, dan
relevansi dari apa yang mereka pelajari? Bagaimana kita dapat membuka
pikiran siswa dalam kelas sehingga mereka dapat mempeljari konsep dan
teknik yang akan membuka pintu kesempatan sepanjang hidup mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup beralasan, karena berbagai fakta di
lapangan menunjukkan fenomena yang cukup memprihatinkan. Pertama,
kebanyakan murid di sekolah tidak dapat membuat hubungan antara apa yang
mereka palajari dan bagaimana pengetahuan tersebut akan diaplikasikan.
Kedua, murid-murid menghadapi kesulitan memahami konsep akademik
(seperti konsep matematika) saat mereka diajarkan dengan metode tradisional,
padahal mereka sangat perlu untuk memahmi konsep-konsep saat mereka
berhubungan dengan dunia kerja. Ketiga, murid telah diharapkan untuk
membuat sendiri hubungan-hubungan tersebut, du luar kegiatan sekolah.

41
Bukti empiris tersebut diperkuat dengan beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan permasalahan dalam pembelajaran di kelas: Pertama,
kebanyakan murid lebih tertarik dan prestasi mereka dalam matematika, sains,
dan bahasa meningkat secara dramatis ketika dibantu untuk membuat
hubungan anatara informasi baru dan pengetahuan/penagalaman yang telah
dimiliki. Kedua, kebanyakan murud belajar lebih banyak secara efisien ketika
mereka diperbolehkan untuk bekerja secara kooperatif dengan murid lain di
dalam sebuah kelompok.
Menurut Teori Pembelajaran Kontekstual, bahwa belajar hanya terjadi
ketika murid memproses informasi atau pengetahuan tersebut dipahami
mereka dalam kerangka acuan.
Berdasarkan landasan tersebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
bahwa KTSP memberikan sinyal dalam implementasinya penggunaan strategi
dengan menekankan pada aspek kinerja siswa (contextual teaching and
learning). Dalam hal ini fungsi dan peran guru hanya sebagai mediator-siswa
lebih proaktif untuk merumuskan sendiri tentang fenomena yang terkaitan
dengan fokus kajian secara kontekstual bukan tekstual.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas yaitu,:
1. Apa itu Pembelajaran Contextual Teaching and Learning CTL?
2. Bagaimana Sejarah Terbentuknya Pembelajaran CTL?
3. Bagaimana Krakteristik Model Pembelajaran CTL?
4. Apa Saja Tahapan atau Sintak dalam Model Pembelajaran CTL?
5. Apa Saja Keunggulan dan Kelemahan dalam Model Pembelajaran CTL?
6. Bagaimana Implementasi CTL berupa Skenario Pembelajaran Biologi?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning CTL
2. Untuk mengetahui Sejarah Terbentuknya Pembelajaran CTL
3. Untuk mengetahui Krakteristik Model Pembelajaran CTL
4. Untuk mengetahui Tahapan atau Sintak dalam Model Pembelajaran CTL

5
2
5. Untuk mengetahui Keunggulan dan Kelemahan dalam Model
Pembelajaran CTL
6. Untuk mengetahui Implementasi CTL berupa Skenario Pembelajaran
Biologi

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 HAKIKAT DAN PENGERTIAN PEMBELAJARAN CTL

1. Istilah dan Pengertian


Pengajaran dan pemebelajaran kontekstual atau contextual teaching and
learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan
konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa
membuat hubungan anatara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja (Blanchard
dalam Trianto, 2014).
2. Pengertian Menurut Para Ahli
Menurut Jamil (2012) , ada beberapa pengertian pembelajaran kontektual
dari berbagai pendapat para ahli, yaitu:
a. Johnson (2002: 25), menyatakan bahwa the CTL system is an aducational
process that aims to help student see meaning in the academic material
they are studing by connecting academic subjects with the contex of their
daily lives, that is, with the contex of their personal social and cultural
circumstances. Artinya, sistem CTL dalam proses pendidikan memiliki
tujuan membantu siswa melihat arti dari materi akademik yang mereka
pelajari, yang mana mengkaitkan materi pelajaran dengan konteks
kehidupan sehari-hari.
b. Menurut Teachnet (2007: 1), Contextual Teaching and Learning (CTL)
helps us relate subject matter content to real world situations and motivate
students to make connections between knowledge and its applications to
their lives as family members, citizens, and workers and engage in the
hard work that learning requires. Dengan kata lain, CTL membantu kita
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa untuk membantu hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinyaserta mengaplikasikannya dalam kehidupan sebagai anggota
keluarga, warga negara, pekerja dan membutuhkan kerja keras dalam
pembelajaran.

7
c. Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian Dewey (1916)
yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang
dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan
atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran ini
menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan,
mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah
tertentu, baik secara individu maupun kelompok.
d. Trianto (2007: 101) mengatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) memberikan sinyal dalam implementasinya
menggunakan strategi dengan menekankan pada aspek kinerja siswa
(contextual teaching and learning). Jadi dalam hal ini, peran guru hanya
sebagai mediator, siswa lebih proaktif untuk merumuskan sendiri tentang
fenomena yang berkaitan dengan fokus kajian secara kontekstual bukan
tekstual. CTL merupakan suatu konsepsi yang membantu guru
mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
negara, dan tenaga kerja.
e. Karweit (1993), menambahkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual,
pembelajaran didesain sedemikian rupa agar siswa dapat memecahkan
persoalan melalui kegiatan yang merefleksikan kejadian sebenarnya dalam
kehidupan.
f. Menurut Depdiknas (2002: 26), pendekatan kontekstual merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha
siswa mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan ketika ia
belajar. Pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran
produktrif, yakni kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning),

8
menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment).
g. Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru
mengkaitkan konten/isi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
negara, dan tenaga kerja. Pembelajaran ini mempunya enam unsur kunci,
seperti pemebelajaran bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat
yang lebih tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar,
responsif terhadap budaya dan penilaian autentik (Brooks & Brooks, 1993:
31).
CTL merupakan pembelajaran yang dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari siswa. Ciri pembelajaran kontekstual, yaitu mengkaitkan topik atau
konsep yang dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari anak dan
perkembangan psikologisnya. Apabila dikaitkan dengan konteks hobi dan
kebutuhannya, siswa akan mudah tertarik untuk memerhatikan konsep yang
sedang dipelajari. Akibatnya, dengan konteks kehisupan sehari-hari dan
perkembangan psikologisnya, anak-anak akan lebih mudah untuk memahaminya.
Di situlah pentingnya guru mengaitkan apa yang dipelajari dengan kehidupan
sehari-hari (kontekstual dengan kehidupan keseharian) dan dengan menggunakan
bahasa yang dapat dimengerti oleh siswa (kontekstual dengan perkembangan
kognitif mereka. Dengan cara demikian, siswa akan memahami makna apa yang
dipelajari bagi dirinya sehingga akan menumbuhkan motivasi belajarnya.
Pentingnya pembelajaran kontekstual tampaknya juga berkaitan dengan teori
psikologis kontruktivis yang antara lain diajukan oleh Vygotsky. Inti pokok teori
ini, dalam pikiran anak terdapat skema semacam gambar atau file komputer yang
berisi gambaran pemahaman terhadap sesuatu yang dipelajari. Melalui skema
berpikir itulah, seseorang memahmi sesuatu. Skema dapat sangat sederhana, tetapi
juga dapat sangat kompleks, tergantung tingkat perkembangan kemampuan
berpikir yang bersangkutan.
Dengan demikian, CTL adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk
menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, CTL menghubungkan muatan

9
akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. “Isi” sebagai sesuatu
yang dipelajari berupa pengetahuan yang hampir tanpa batas. “Isi” harus dipelajari
dalam konteks. “Konteks” biasanya disamakan dengan lingkungan, yaitu dunia
luar yang dikomunikasikan melalui pancaindra dan ruang yang digunakan setiap
hari. “Konteks bermakna lebih dari sekedar kejadian-kejadian yang terjadi di
suatu tempat dan waktu. Konteks juga terdiri dari asumsi-asumsi bawah sadar
yang kita serap selama tumbuh, dari keyakinan yang kita pegang kuat, yang
diperoleh melalui osmosis, dan dari nilai-nilai yang membentuk pengertian kita
tentang kenyataan.
CTL menekankan pada berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas
disiplin, serta pengumpulan, penganalisisan dan pensintesisan informasi dan data
dari berbgai sumber dan pandangan. Disamping itu, telah diidentifikasi enam
unsur kunci CTL seperti berikut ini (University of Washington dalam
Trianto,2014)
(1) Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi
siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari.
Pemebelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan hidup mereka;
(2) Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana apa yang
dipelajari diterapkan dalam tatanan-tatanan lain dan fungsi-fungsi pada masa
sekarang dan akan datang
(3) Berpikir tingkat lebih tinggi: siswa dilatih untuk menggunakan berpikir kritis
dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, atau
memecahkan suatu masalah;
(4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: konten pengajaran
berhubungan dengan suatu rentang dan beragam standar lokal, negara bagian,
nasional, asosiasi, dan/atau industri:
(5) Responsif terhadap budaya; pendidik harus memahami dan menghormati
nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan siswa, sesama
rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka mendidik. Berbagai macam
budaya perorangan dan kelompok memengaruhi pemeblajaran. Budaya-
budaya ini, dan hubungan anatar budaya-budaya ini, memengaruhi bagaimana
pendidik mengajar. Paling tidak empat perspektif seharusnya

10
dipertimbangkan: individu siswa, kelompok siswa, tatanan sekolah, dan
tatanan masyarakat yang lebih besar:
(6) Penilaian autentik: penggunaan berbagai macam strategi penilaian yang
secara valid mencerminkan hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari
siswa. Strategi-strategi ini dapat meliputi penilaian atas proyek dan kegiatan
siswa, penggunaan poetofolio, rubrik, chek list, dan panduan penagamatan
disamping memberikan kesempatan kepada siswa ikut aktif berperan serta
dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan penggunaan untuk
memperbaiki keterampilan menulis mereka.

2.2 SEJARAH PEMBELAJARAN CTL


1. Latar Belakang Filosofis
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat kontruktivisme yang mulai digagas
oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget, aliran
filsafat kontruktivisme berangakat dari pemikiran epistomologi Giambatista
Vico (Wina, 2006). Vico mengungkapkan: “Tuhan adalah pencipta alam
semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanya.” Mengetahui, menurut Vico,
berarti mengetahui cara membuat sesuatu. Artinya, seseorang dikatakan
mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun
sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico pengetahuan itu tidak lepas dari
orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek
yang mengamati. Selanjutnya, pandangan filsafat kontruktivisme tentang
hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa
belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkontruksi pengetahuan
melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain
seperti guru, tetapi hasil dari proses mengkontruksi yang dilakukan setiap
individu. Pengetahuan dari hasil pemberitahuan tidak akan menjadi
pengetahuan yang bermakna.
Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memikirkan
struktur kognitif yang kemudian dinamakan “skema”. Skema terbentuk karena
pengalamanan. Misalnya, anak sering bermain dengan kucing dan kelinci yang
sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan
keduanya, yaitu kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya,

11
berkat pengalaman itulah dalam sruktur kognitif anak terbentuk skema tentang
binatang berkaki dua dan berkaki empat.
Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang
dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema dan akomodasi
adalah proses mengubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru.
Asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa.
Pada suatu hari anak merasa sakit karena percikan api, maka berdasarkan
pengalamannya terbentuk skema pada struktur kognitif anak tentang “api”,
bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari.
Dengan demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghidar.
Semakin anak dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika
anak melihat ibu memasak pakai api, ketika anak melihat bapaknya merokok
menggunakan api, maka skema yang terbentuk itu disempurnakan, bahwa api
bukan harus dihindari tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyempurnaan skema
tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilasi. Semakin anak
dewasa, pengalaman itu makin bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa
pabrik-pabrik memerlukan api, setiap kendaraan memerlukan api, dan lain
sebagainya, maka terbentuklah skema baru tentang api, bahwa api bukan harus
dihindari dan bukan hanya sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Proses penyempurna skema itu
dinamakan proses akomodasi.
Sebelum ia mampu menyusun skema baru, ia akan dihadapkan pada posisi
ketidakseimbangan (disequalibrium) yang akan menggagu psikologis anak.
Manakala skema telah disempurnakan atau anak telah berhasil membentuk
skema baru, anak akan kembali pada posisi seimbang (equilibrium). Untuk
kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman baru.
Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu
terbentuk dalam struktur konigtif anak sangat berpengaruh terhadap beberapa
model pembelajaran, diantaranya model pembeajaran kontekstual. Menurut
pembelajaran konstektual, pengetahuan itu akan bermakna manakala dibagun
sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan yang

12
bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak
fungsional.
2. Latar Belakang Secara Psikologis
Menurut (Wina, 2006) filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan
terbentuk karena peranan aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis,
CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar
terjadi karena pemahan individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa
mekanisme seperti keterkaitan simulus dan respons. Belajar tidak sesederhana
itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat,
motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang nampak pada dasarnya
adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang.
Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan
gerakan fisik saja, akan tetapi lebih penting adalah adanya faktor pendorong
yang ada dibelakang gerakan fisik itu.
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal
yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL:
a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi
pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena
itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula
pengetahuan yang mereka peroleh.
b. Belajar bukan hanya sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas.
Pengetahuan itu dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami,
sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap
pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak,
kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan seseorang.
Semakin luas dan mendalam pengetahuan seseorang, maka akan semakin
efektif dalam berpikir.
c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan
masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya
perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar
secara konstektual adalah belajar bagaimana akan menghadapi setiap
persoalan.

13
d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara
bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu,
belajar tidak sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
e. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan.
Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang
memiliki makna untuk kehidupan anak.

2.3 KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN CTL


Menurut Wina (2012) pembelajaran CTL mempunyai kharakteristik yang
berbeda dengan pembelajaran konvensional, yaitu :

1. CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan


aktif dalam setipa proses pembelajaran dengan cara menemukan dan
menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan, dalam pembelajaran
konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan
sebagai penerima informasi secara pasif.
2. Siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok,
berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam
pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual
dengan menerima, mencatat, dan menghapal materi pelajaran.
3. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara real. Sedangkan,
dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan
abstrak.
4. Kemampuan didasarkan atas pengalaman. Sedangkan, dalam pembelajaran
konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
5. Tujuan akhir dari pembelajaran melalui CTL adalah puasan diri.
Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai
atau angka.
6. Tindakan atau perilaku dibangu atas kesadaran diri sendiri, misalnya
individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa
perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat. Sedangkan, dalam
pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan

14
oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu
disebabkan takut hukuman atau sekedar untuk memperoleh nilai dari guru.
7. Pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai
dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa
terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya.
Sedangkan dalam pembelajaran konvensional ini tidak mungkin terjadi.
Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena
pengetahuan dikontruksi oleh orang lain.
8. Siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan
pembelajaran masing-masing. Sedangkan, dalam pembelajaran
konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
9. Pembelajaran bisa terjadi dimana saja dalam konteks dan setting yang
berbeda sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan, dalam pembelajaran
konvensional pembelajaran hanya terjadi didalam kelas.
10. Tujuan yang ingin dicapai seluruh aspek perkembangan siswa, maka CTL
keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara, misalnya dengan
evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi,
wawancara dan lain sebagainya. Sedangkan, dalam pembelajaran
konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari test.
Prinsip Ilmiah CTL
Pembelajaran dengan CTL menggunakan beberapa prinsip, yaitu prinsip
kesalingbergantungan, prinsip diferensiasi, dan prinsip pengaturan diri
(Johnson dalam Jamil, 2012). Berikut ini penjelasannya:
a. Prinsip kesalingbergantungan ini maksudnya ada keterkaitan antara siswa
dengan beberapa komponen sekolah seperti siswa lain,guru lain, tukang
kebun, tukang sapu, pegawai administrasi, sekretaris, orang tua, dan
masyarakat di lingkungan sekitar sekolah. Prinsip ini memungkinkan para
siswa untuk membuat hubungan yang bermakna, pemikiran kritis dan
kreatif menjadi mungkin. Prinsip kesalingbergantungan mendukung kerja
sama sehingga para siswa terbantu dalam menemukan persoalan,
merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Bekerja sama akan

15
membantu mereka mengetahui bahwa saling mendengarkan akan
menuntun pada keberhasilan.
b. Prinsip diferensiasi memberi kesempatan kepada siswa untuk menggali
bakat dan memunculkan cara belajar mereka sendiri karena setiap individu
siswa itu unik. Komponen pembelajaran kontekstual mencakup
pembelajaran aktif dan langsung (hands-on), misalnya menantang para
siswa untuk mencipta. Para siswa berpikir kreatif ketika mereka
menggunakan pengetahuan akademik untuk meningkatkan kerja sama
dengan anggota kelas mereka, ketika mereka merumuskan langkah-
langkah untuk menyelesaikan sebuah tugas sekolah, atau mengumpulkan
dan menilai informasi mengenai suatu masalah masyarakat.
c. Prinsip pengaturan diri menuntun guru untuk mendorong setiap siswa
mengeluarkan seluruh potensinya. Sesuai prinsip ini, sasaran utama CTL
adalah menolong para siswa mencapai keunggulan akademik, memperoleh
keterampilan karier, dan mengembangkan karakter dengan cara
menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta penegathuan
pribadinya.

2.4 SINTAK MODEL PEMBELAJARAN CTL


Menurut Trianto (2014), secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL
dalam kelas sebagai berikut :
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstribusi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
c. Kembangkan sifat ingin tau dengan bertanya
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok)
e. Hadirkan model sebagai contoh pemnelajaran
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

CTL sebagai suatu pembelajran memiliki 7 asas. Asas-asa ini yang melandasi
pelaksanaan proses pembelajaran CTL. Seringkali asas ini disebut juga kompone-

16
komponen CTL. Menurut Triano (2014) ketujuh asas dalam CTL, dijelaskan di
bawah ini:
1. Kontruktivisme
Salah satu landasan teoritik pendidikan modern termasuk CTL adalah teori
pembelajaran konstruktivis. pendekatan ini pada dasarnya menekankan
pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan
aktif proses belajar mengajar. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar
berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa.
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotky
yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan
pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan dan penemuan. Salah
satu prinsip kunci ysng diturunkan dari teorinya yaitu penekanan pada hakikat
sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu (Slavin
dalam Trianto, 2014). Berdasarkan teori ini dikembangkan pembelajaran
kooperatif yaitu, siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang
sulit jika mereka saling mendiskusi masalah tersebut dengan temannya. Hal ini
sejalan dengan ide (Blanchar dalam Trianto,2014), bahwa strategi CTL
mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar sama.
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan
konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit , yang hasilnya diperluas melaui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau
kaidah yang untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya dan bergelar dengan ide. Guru itu tidak akan mampu
memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan dibenak sendiri. Esensi dari teori
konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
menstransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila
dikendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

17
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkontruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran,
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam
proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Ladasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan
kaumobjektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam
pandangan konstruktivis, stategi mempeolehlebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa yang memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk
itu, tugas guru yang memfasilitasi proses tersebut dengan:
a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
belajar

Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman


berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan
pengalaman baru, menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan
dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masng-masing berisi informasi
bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan
dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam
kotak yang berbeda. Setiap pwngalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak
(struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut.

2. Inkuiri
Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan hasil dari menemukan
sendiri. Gurun harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan, apapun amteri yang diajarkannya. Siklus inkuiri terdiri atas :
a. Observasi (observation)
b. Bertanya (questioning)
c. Mengajukan dugaan (hyphotesis)
d. Pengumpulan data (data gathering)

18
e. Penyimpulan (coclusion)
Langkah- langkah kegiatan inkuiri sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah
b. Mengamati dan melakukan observasi
c. Menganalisi dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan,
tabel, dan karya lainnya.
d. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audiens lainnya.
3. Bertanya
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari “bertanya”.
Bertanya merupakan strategi utama yang berbasis konstektual. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna, untuk:
a. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademik
b. Mengecek pemahaman siswa
c. Membangkitkan respons kepada siswa
d. Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
e. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
f. Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikendaki guru
g. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
h. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Hampir pada semua aktivitas belajar dapat menerapkan questioning (bertanya):
antara siswa dan siswa, antara guru dan siswa, antara siswa dan orang lain, dan
sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja
dalam kelompok, ketika emngalami kesulitan, ketika mengamati, dan
sebagainya, kegiatan itu menumbuhkan dorongan untuk “bertanya”.
4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar
menimbang massa benda dengan menggunakan neraca Ohaus, ia bertanya

19
kepada temannya. Kemudian temannya yang sudah bisa menunjukkan cara
menggunakan alat itu. Maka dua orang anak itu sudah belajar membentuk
masyarakat belajar.
Hasil pelajaran yang diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan
antar yang tahu ke belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, semua
adalah anggota masyarakat belajar.
Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran
dalam kelompok. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen,
yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu,
yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai
gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat
bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa
di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan ahli ke
kelas.
Masyarakat belajar bisa terjadia apabila ada proses komunikasi dua arah.
Seorang guru yang mengiringi siswanya bukan contoh masyarakat belajar,
karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari
guru kearah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang
datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa, bukan
guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam
komunikasi pembelajaran saling belajar satu sama lain. Seseorang yang terlibat
dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh
teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari
teman belajarnya.
Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang
dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk
bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak harus
merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau
keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa
menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan

20
pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran teknik learning
community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
5. Pemodelan
Dalam suatu pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada
model yang bisa ditiru oleh siswanya, misalnya guru memodelkan langkah-
langkah cara menggunakan neraca Ohaus dengan demonstrasi sebelum
siswanya melakukan tugas tertentu.
Dalam pembelajaran konstektual, guru bukan satu-satunya model.
Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang bisa ditunjuk
untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya.
Model dapat juga didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya, misalnya
mendatangkan seorang perawat untuk memodelkan cara menggunakan
termometer untuk mengukur suhu tubuh pasiennya.
6. Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir
ke belajang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa
mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan
sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang abru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki
siswa diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan pengetahuan yang baru.
Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
tentang apa yang baru dipelajarinya.
Kunci dari semua itu yakni bagaimana penngetahuan itu mengendap di
benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana
merasakan ide-ide baru.
Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
melakukan refleksi. Realisasinya berupa:
a. Pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu.
b. Catatan atau jurnal di buku siswa

21
c. Kesan atau saran siswa mengenai pembelajaran hari itu
d. Diskusi
e. Hasil karya
7. Penilaian autentik (Authentic Assesment)
Assasment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan
belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran yang benar.
Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasi bahwa siswa
mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil
tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena
gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses
pembelajaran, maka asesmen tidak dilakukan di akhir periode pembelajaram
seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar, tetapi dilakukan bersama-sama
secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk
mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang
seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari,
bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir
periode pembelajaran.
Karena asesmen menekankan proses pembelajaran, maka data yang
dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada
saat melakukan proses pembelajaran. Guru ysng ingin mengetahui
perkembangan belajar biologi bagi siswanya harus mengumpulkan data dari
kegiatan nyata di kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan biologi, tidak
hanya saat siswa mengerjakan tes biologi. Pengumpulan data yang demikian
disebut pengumpulan data autentik. Penilaian autentik menilai pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa. Penilaian tidak hanya guru, tetapi
bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik penilaian autentik:
a. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
b. Bisa digunakan untuk formstif dan sumatif
c. Yang diukur keterampilan dan perfomansi, bukan mengingat fakta

22
d. Berkesinambungan
e. Terintegrasi
f. Dapat digunakan sebagai feedback

Dalam CTL hal-hal yang bisa digunakan dalam menilai pertasi siswa, antara
lain:
a. Proyek/kegiatan dan laporannya
b. Pekerjaan rumah
c. Kuis
d. Karya siswa
e. Presentasi atau penampilan siswa
f. Demonstrasi
g. Jurnal
h. Hasil tes tulis
i. Karya tulis

2.5 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CTL


Menurut Nurhidayah,dkk (2016) terdapat kelebihan serta kekurangan
dalam pembelajaran CTL, yaitu sebagai berikut :
1. Kelebihan
a. Pembelajaran lebih bermakna dan nyata. Artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa
materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan erat dal memori siswa
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosifis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”
c. Kontekstual adalah yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh,
baik fisik maupun mental

23
d. Kelas dalam pembelajaran konstektual bukan sebagai tempat untuk
memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil
temuan mereka di lapangan.
e. Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian
dari guru.
f. Penerapan pembelajaran konstektual dapat menciptakan suasana
pembelajaran yang bermakna.
2. Kekurangan
a. Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran konstektual
berlangsung
b. Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi
kelas yang kurang kondusif
c. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam CTL, guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengolah kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan
dan keterampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu
yang sedang berkembang.
d. Dalam pemilihan informasi atau materi di kelas didasarkan pada kebutuhan
siswa padahal, dalam kelas itu tingkat kemampuan siswa berbeda-beda
sehingga guru akan kesulitan dalam menentukan materi pelajaran karena
tingkat pencapaian siswa berbeda.
e. Tidak setiap siswa dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan
mengembangkan kemampuan yang dimiliki dengan penggunaan model CTL
ini.
f. Bagi siswa yang tertinggal dalam proses pembelajaran akan sulit untuk
mengejar ketertinggalan, karena dalam model pembelajaran ini kesuksesan
tergantung dari keaktifan dan usaha sendiri.

24
2.6 SKENARIO PEMBELAJARAN DENGAN MODEL CTL

Mata Pelajaran : BIOLOGI

Satuan pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)

Kelas / Semester : X / Genap

Waktu : 3 x 45 menit

Topik : Keanekargaman Hayati

A. Kompetensi Inti
3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual dan
prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
B. Kompetensi Dasar
3.1 Mengkomunikasikan keanekaragaman hayati Indonesia, dan usaha
pelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam.
Hasil Belajar
Siswa dapat mengetahui keanekaragaman hayati di lingkungan sekitar, dan
mengetahu usaha yang dapat dilakukan dalam pelestarian serta pemanfaatan
sumber daya alam disekitar dalam kehidupan sehari-hari.
C. Indikator Hasil Belajar
1. Mengetahi pengertian keanekargaman hayati.
2. Mengetahui keanekaragaman hayati di lingkungan sekitar.
3. Mengetahui cara mengidentifikasi makhluk hidup dengan kunci
determinasi.
D. Model : Contextual Teaching and Learning (CTL)
Strategi : Strategi Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan : Sainstific
Metode : ceramah, diskusi dan observasi.
Media : Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

25
E. Skenario Pembelajaran
Tabel langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran CTL :
No. Langkah- Kegiatan guru Kegiatan siswa Waktu
langkah
pembelajaran
1. Kegiatan awal  Guru membuka  Menyiapkan diri 5
pelajaran (salam, untuk mengikuti Menit
doa dan absensi) kegiatan
 Guru memberikan pembelajaran
motivasi kepada  Mengingat
siswa kembali
 Apersepsi (sedikit pengetahuan awal
menyinggung materi terhadap materi
sebelumnya yang diajarkan
(ekosistem) dengan  Memberian respon
materi yang akan
dibahas
 Guru
menyampaikan
tujuan pembelajaran
dan pokok-pokok
materi tentang
keanekaragaman
hayati.

2 Kegiatan Inti  Melalui observasi


 Fase 1 siswa ditugaskan 5
Kontruktivisme untuk mencacat Menit
berbagai hal yang
ditemukan di taman
sekolah dan di kebun
sekolah.

26
Di lapangan  Siswa melakukan
 Fase 2  Guru mengarahkan observasi 45
Inquiry lokasi observasi keanekaragaman menit
siswa hayati di lokasi
 Guru memberikan yang telah
tugas untuk ditentukan
mengamati jenis  Siswa mengamati
keanekaragaman apa dan mencatat hal-
saja yang terdapat di hal yang mereka
lingkungan sekitar temukan di lokasi
 Guru mengawasi observasi dengan
kegiatan observasi bantuan LKPD
siswa.  Siswa menayakan
hal yang ingin
ditanyakan
kepada guru
terkait
pengamatan
Di dalam kelas  Siswa
 Guru mengarahkan menyampaikan 35
siswa untuk hasil temuan menit
 Fase 3
menyampaikan  Siswa
Bertanya informasi yang melengkapai
ditemukan pernyataan siswa
berdasarkan lain.
pengamatan  Siswa merespon
 Guru mengarahkan tentang fokus
siswa lain untuk satu topik yaitu
melengkapi jenis tumbuhan
pernyataan dari yang berada di
siswa sebelumnya kebun sekolah.
 Guru memfokuskan  Siswa bertanya

27
salah satu topik dari kepada guru
materi mengenai topik
keanekaragaman pembahasan
hayati, misalnya
jenis-jenis tumbuhan
yang berada di
lokasi kebun
sekolah.
 Guru menanyakan
apakah ada
pertanyaan kepada
siswa
 Siswa dibagi kedalam  Siswa
5 kelompok dengan mendiskusikan 20
 Fase 4 jumlah anggota 6 hasil temuan menit
Masyarakat  Guru memberikan mereka sesuai
belajar Lembar Kerja Peserta dengan kelompok
Didik pada setiap masing-masing,
kelompok. disesuaikan
 Guru memberikan dengan indikator
waktu untuk pembelajaran.
berdiskusi  Siswa
 Guru membimbing melaporkan hasil
jalannya diskusi diskusi.
 Setiap kelompok
menjawab setiap
pertanyaan yang
diajukan oleh
kelompok lain.
 Guru meilustrasikan  Siswa 15
 Fase 5
siswa sebagai memperhatikan menit
Pemodelan
keanekaragman guru

28
ekosistem sekolah dan  Siswa
dikaitkan dnegan mengejarkan
upaya pelestariannya, tugas
bahwa dalam
menfaatkan
keanekaragaman
hayati perlu adanya
pengawasan dan
pengontrolan dalam
pengambilannya agar
keanekaragaman
hayati tetap lestari.
 Guru mencontohkan
cara mengidentifikasi
makhluk hidup
dengan kunci
determinasi
 Guru memberikan
tugas mengenai cara
mengidentifikasi
makhluk hidup
dengan kunci
determinasi
3 Kegiatan akhir  Guru mengulas  Siswa merespon 10
 Fase 6 kembali temuan apa guru. menit
Refleksi saja yang ada di  Siswa membuat
lokasi kesimpulan
 Guru membantu siswa dengan bantuan
membuat hubungan guru.
antar keanekragaman  Siswa
hayati dengan menyampaikan
manfaatnya di kesan dan pesan

29
kehidupan sehari-hari
dan upaya
pelestariannya.
 Guru mengajak
peserta didik
membuat kesimpulan
hasil observasi sesuai
indikator hasil belajar
yang harus dicapai
 Guru memberikan
kesempatan siswa
untuk menyampaikan
kesan dan pesannya
terkait kegiatan
observasi
 Fase 7  Guru mengumpulkan  Siswa
Penilaian hasil diskusi berupa mengumpulkan
autentik Lembar Kerja Siswa Lembar Kerja

 Guru melakukan Siswa

penilaian autentik  Siswa merespon

dengan melihat hasil guru

diskusi, presentasi,
dan niali tugas.
 Guru menutup
pembelajaran hari ini.

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cepat lambatnya penerimaan inovasi oleh masyarakat luas dipengaruhi
oleh karakteristik inovasi itu sendiri. Rogers mengemukakan 5 macam
karakteristik inovasi yaitu: keuntungan relative, kompatibel, kompleksitas,
triabilitas, dan dapat diamati. Demikian berbagai macam atribut inovasi yang
dapat mempengaruhi cepat atau lambatnya penerimaan suatu inovasi. Dengan
memahami atribut tersebut para pendidik dapat menganalisa inovasi pendidikan
yang sedang disebarluaskan, sehingga dapat memanfaatkan hasil analisisnya
untuk membantu mempercepat proses penerimaan inovasi. Macam-macam
strategi inovasi yaitu: strategi fasilitatif (facilitative strategies), strategi pendidikan
(re-educative strategies), strategi bujukan (persuasive strategies), dan strategi
paksaan (power strategies). Dalam pelaksanaan program perubahan sosial sering
juga dipakai kombinasi antara berbagai macam strategi, disesuaikan dengan tahap
pelaksanaan program serta kondisi dan situasi klien pada berlangsungnya proses
pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak perubahan sosial.
Pemahaman terhadap proses inovasi pendidikan berorientasi pada individu
yang merupakan dasar untuk memahami proses inovasi dalam organisasi. Melalui
pemahaman proses difusi inovasi dalam organisasi akan mempermudah
memahami proses difusi pendidikan mengingat komponen-komponen
pelaksanaan pendidikan merupakan suatu organisasi. Proses keputusan inovasi
adalah proses yang harus dilalui individu untuk mengambil suatu keputusan mulai
tahu adanya inovasi, dilanjutkan keputusan setuju terhadap inovasi, penetapan
keputusan menerima atau menolak adanya inovasi, implementasi inovasi dan
konfirmasi terhadap keputusan inovasi yang diambilnya. Dengan demikian
keputusan inovasi merupakan perbedaan dengan tipe keputusan yang lain dimulai
adanya ketidaktentuan dan ketidakpastian tentang sesuatu inovasi.

31
3.2 Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
untuk perbaikan selanjutnya. Diharapkan pula pembaca dapat menambah
wawasan dari berbagai sumber lain terkait dengan materi ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

Suphrihatiningrum, Jamil.(2012). Strategi Pembelajaran. Ar-Ruzz Media:


Yogyakarta.

Trianto Ibnu Badar Al-Tabany. 2014. Mendesain Model Pembelejaran Inovatif,


Progresif, Dan Konstektual. Kencana Prenada Media Group : Surabaya.

Sanjaya, Wina.(2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan. Kencana Prenada Media : Bandung.

Nurhidayah, dkk. 2016. Penerapan Model Kontekstual Teaching Learning (CTL)


terhadap hasil Belajar Fisika pada Siswa Kelas XI SMA Handayani
Sungguminasa Kabupaten Gowa. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol.4 No.2.
Hal 165-166. ISSN: 2302-8939. Makasar. Diakses pada tanggal 21
Oktober 2019.

33

Anda mungkin juga menyukai