Anda di halaman 1dari 25

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perairan pesisir merupakan lingkungan yang memperoleh sinar matahari

cukup yang dapat menembus sampai ke dasar perairan. Di perairan ini juga kaya

akan nutrien karena mendapat pasokan dari dua tempat yaitu darat dan lautan

sehingga merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. Karena

lingkungan yang sangat mendukung di perairan pesisir maka tumbuhan mangrove

dan lamun dapat hidup dan berkembang secara optimal.

Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga

( Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang

salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma,

daun, dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai

tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun,

berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas (kepel, 2011).

Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri

khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi

oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang

surutair laut Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forestcoastal

woodland, vloedbos dan hutan payau yang terletak di perbatasan antara darat dan

laut, tepatnya di daerah pantai dan disekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh

pasang surut air laut (Irwanto, 2006).

Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang

surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna,muara sungai) yang tergenang

waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang
2

komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove

merupakan suatu sistem yang terdiri atas organism yang berinteraksi dengan

faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove.

Berdasarkan praktek yang telah dilakukan di lapangan untuk mengetahui

komunitas mangrove dan lamun, dan organisme apa saja yang berasosiasi pada

ekosistem mangrove dan lamun maka dilakukanlah praktek biologi laut tentang

ekosistem mangrove dan lamun.

B. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari praktek biologi laut ini adalah untuk mengetahui

berapa jenis mangrove dan lamun serta organisme apa saja yang berasosiasi

didalamnya.

Adapun manfaat dari praktek lapang ini adalah memberikan pemahaman

secara langsung di lapangan yang berkaitan dengan kondisi ekosistem lamun dan

mangrove beserta asosiasi dengan organisme yang lain.


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Mangrove

1. Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem yang berada pada wilayah intertidal,

dimana pada wilayah tersebut terjadi interaksi yang kuat antara perairan laut,

payau, sungai dan terestrial. Interaksi ini menjadikan ekosistem mangrove

mempunyai keanekaragam yang tinggi baik berupa flora maupun fauna.

Mangrove hidup di daerah tropik dan subtropik, terutama pada garis lintang 25

LU dan 25 LS. Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain

(fungi, mikroba, algae, fauna, dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas

mangrove (Martuti, 2013).

Mangrove merupakan suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang

tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang terlindung dan

memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Istilah

mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang dapat

beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis pasang-surut,

meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang dan laguna

(Hermawan dkk, 2011).

Identifikasi vegetasi mangrove menunjukkan di Desa Sidodadi Kecamatan

Padang Cermin Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung memiliki struktur

tegakan vegetasi mangrove meliputi 14 jenis pada strata semai, 16 jenis strata

pancang dan 19 jenis untuk strata pohon. Sementara itu, 12 jenis dijumpai pada

setiap strata pertumbuhan meliputi: B. cylindrica, C. tagal, E. agallocha, H.

tiliaceus, P. adicula , R. stylosa, R. apiculata, R. mucronata, S. hydrophyllacea, S.


4

taccada, T. catappa dan T. populnea. Sebagian besar strata pertumbuhan

mangrove tersebut adalah berupa pohon, hanya jenis P. tectorius dan Pandanus

sp. serta P. aciduala berupa semai (Mukhlisi dkk, 2013).

Identifikasi vegetasi mangrove pada daerah suramadu dari 32 plot tersebut

teridentifikasi 7 spesies dari 4 famili yaitu Avicennia marina dan Avicennia alba

(Avicenniaceae), Sonneratia alba (Sonneratiaceae), Rhizophora stylosa,

Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata (Rhizophoraceae) dan

Xylocarpus molucensis (Meliaceae). Untuk kriteria pohon pada keseluruhan

transek di dapati 7 jenis mangrove yang ada di lokasi penelitian. Jenis mangrove

yang mempuyai nilai penting (NP) tertinggi adalah Avicennia marina dengan nilai

235,68%. Xylocarpus molucensis memiliki NP paling rendah yakni sebesar 2,98

% (Hermawan dkk, 2011).

Mangrove di pesisir Teluk Miskam merupakan mangrove alami dan

mangrove yang ditanam secara swadaya oleh masyarakat. Tujuan penanaman

adalah untuk menahan laju abrasi pantai dan menunjang produktivitas hayati.

Keberadaan dan ketebalan mangrove alami di sepanjang pesisir sudah sangat

sedikit begitu juga dengan mangrove yang ditanam. Lahan mangrove banyak

digunakan untuk perkembangan ekonomi terutama kepentingan pariwisata

(Afianti dkk, 2013).

Pemulihan kawasan hutan mangrove yang rusak di kawasan Teluk Ambon

bagian Dalam (TAD) dapat memberikan kontribusi yang sangat bermanfaat,

bukan saja dalam rangka mitigasi bencana tsunami, namun juga sebagai penahan

badai dan adaptasi kawasan pesisir terhadap kenaikan permukaan laut sebagai

dampak dari perubahan iklim global. Untuk menjamin keberhasilan revegetasi,


5

pertumbuhan anakan yang bebas dari gangguan biota penempel merupakan faktor

utama dalam upaya pemulihan tersebut (Tapilatu dan Pelasula, 2012).

Mangrove dapat ditemukan di muara sungai, di pinggir teluk yang

terlindung, di sekitar genangan air payau di pesisir pantai dan banyak juga

terdapat di pulau-pulau kecil di Indonesia (Rahman dkk, 2014).

2. Klasifikasi

Menurut Anwar, (2006) mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae
Class : Magnoliophyta
Order : Myrtales
Family : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Species : Sonneratia alba

(Gambar 1. Mangrove (Sonneratia alba)


(Sumber. Google, 2016)
6

Menurut Arief, (2003) mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae
Class : Magnoliopsida
Order : Malpighiales
Family : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Species : Rhizophora sp.

(Gambar 2. Mangrove (Rizopora sp.)


(Sumber. Google, 2016)

3. Interaksi Organisme Asosiasi

Biota yang dominan pada mangrove daerah Ambon adalah yang berasal dari

kelompok moluska dan krustasea. Dari kelompok moluska, ditemukan empat jenis

gastropoda yaitu Littorina scabra, Nerita oualaniens, Terebralia sulcata, Cassidula

nucleus dan satu jenis bivalvia (Saccostrea cucullata). Sedangkan dari kelompok

krustasea biota yang dominan adalah kelomang (Clibanarius ambonensis) dan

Cardisoma carnifex (Tapilatu dan Pelasula, 2012).

Organisme yang berasosiasi yang terdapat pada mangrove di daerah Delta

Mahkama, Kalimantan timur adalah jenis krustasea. didapatkan 40 jenis krustasea

dengan 9 suku. Yang terdapat jenis krustasea yang non ekonomi sebanyak 38 jenis

diantaranya: Alpheus euphrosyne, Alpheus sp., Metaplax elegans, Parasesarma

eydouri dan Uca coarctata coarctata. Sedangkan krustasea yang ekonomi penting
7

terdiri dari 2 jenis, yaitu: Varuna yui dan Scylla olivacea. Selain itu, dari 38 jenis

yang non ekonomi penting ditemukan 2 jenis kepiting baru yaitu: Metaplax sp.

nov. (Grapsidae) dan Macrophthalmus sp. nov. (Suku Sesarmidae) (Pratiwi,

2009).

Ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan biota yang

hidup didalamnya seperti, ikan, moluska. Kerapatan vegetasi mangrove dalam

suatu ekosistem memberikan perlindungan terhadap biota yang menempati tempat

ini dari faktor alam dan hewan predator. Hal ini membuat ekosistem mangrove

sering digunakan sebagai tempat memijah dan mengasuh bagi berbagai organisme

yang berasosiasi didalamnya (schaduw, 2015).

Kelimpahan Pelecyphoda tertinggi terdapat pada pemetaan 1 yaitu 49 I nd/m 2

dan terendah pada pemetaan 3 yaitu 9 ind/m 2.Kelimpahan spesies Pelecyphoda yang

tertinggi yaitu Telina radiata sebesar 8.33 ind/m 2 dan terendah yaitu Lithopaga nigra

sebesar 5.33 ind/m2.Nilai koefisien korelasi adalah 0,716 yang berarti hubungan

kerapatan mangrove dengan kelimpahan Pelecypoda adalah sangat lemah positif yang

mengindikasi kerapatan mangrove hanya sedikit mempengaruhi kelimpahan

Pelecypoda (Sari dkk, 2013).

Fauna akuatik bernilai ekonomis ditemukan berjumlah 21 jenis dari 15

famili. Kelompok fauna ikan ditemukan ikan bedul (A. caninus) mempunyai

kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56 gr, sedangkan

kelompok fauna non ikan ditemukan udang werus (Metapenaeus sp.) mempunyai

kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa

sebesar 13.609,38 gr yang berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang

(Rustrianto, 2015).
8

B. Ekosistem Lamun

1. Lamun

Lamun merupakan salah satu ekosistem penting di perairan pesisir dan laut

dangkal karena mempunyai banyak peran, baik secara ekologis maupun secara

ekonomis. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang

berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah.

Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae). Lamun dapat ditemukan di

seluruh dunia kecuali di daerah kutub (Riniatsih dan Endrawati, 2013)

Perairan Pulau Barranglompo Makassar Jumlah jenis lamun yang

ditemukan sebanyak 8 jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Halophila ovalis (family Hydrocharitaceae), Cymodocea rotundata, C. serulata,

Halodule uninervis, H. pinifolia dan Siringodium isoetifolium (family

Potamogetonaceae). Sebaran lamun didominasi oleh tiga jenis yaitu E. acoroides,

T. hemprichii dan C. rotundata. Umumnya lamun menyebar pada sisi selatan,

barat dan utara, sedangkan pada sisi timur sebaran lamun sangat terbatas (Supriadi

dkk, 2012).

Perairan teluk Banten ditemukan 7 spesies lamun yaitu Enhalus acoroides,

Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis,

Syringodium isoetifolium, dan Thalassia Hemprichii. Jenis lamun yang dominan

yang tersebar hamper setiap kawasan adalah Enhalus acoroides dan Thalassia

Hemprichii (Setiawan dkk, 2012).

Keberadaan ekosistem lamun di wilayah pesisir secara ekologis

memberikan kontribusi yang cukup besar terutama berperan penting sebagai

penyumbang nutrisi bagi kesuburan lingkungan perairan pesisir dan laut.


9

Ekosistem lamun di daerah pesisir mempunyai produktivitas biologis yang tinggi,

memiliki fungsi sebagai produsen primer, pendaur zat hara, stabilisator dasar

perairan, perangkap sedimen, serta penahan erosi (Wisnubudi, 2012).

Lamun tumbuh subur terutama pada daerah terbuka pasang surut dan

perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil dan patahan karang

mati dengan kedalaman 4 meter. Padang lamun terbentuk di dasar laut yang masih

ditembusi cahaya matahari yang cukup untuk pertumbuhannya. Pada perairan

yang sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh dalam kedalaman 8

15 meter. Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah dan sering

membentuk padang yang lebat dan luas diperairan tropis (Damayanti dkk, 2013).

2. Klasifikasi

Menurut Kopalit, (2011) lamun dapat di klasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae
Class : Angiosssspermae
Ordo : Helobiae
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Thalassia
Species : Thalassia Hemprichii

(Gambar 2. Mangrove (Rizopora sp.)


(Sumber. Google, 2016)
10

3. Interaksi Organisme Asosiasi

Organime yang berasosiasi daerah lamun yaitu makrozoobentos yang

mendominasi tegakan padang lamun di Bandengan dan Pulau Panjang berasal dari

kelas Polychaeta. Selain itu, semakin tinggi kerapatan lamun, makrozoobentos

cenderung melimpah (Ruswahyuni, 2008).

Tumbuhan lamun Jumlah isolat bakteri simbion yang didapatkan dari

semua jenis lamun adalah 53, terdiri dari 11 isolat didapatkan dari E. acoroides,

10 isolat dari H.ovalis, 9 isolat dari C. rotundata, 7 isolat dari H.uninervis, 7 isolat

dari T. hemprichii, dan 9 isolat dari S.isoetifolium. Morfologi sel bakteri yang

berasosiasi dengan lamun yaitu bentuk kIokus, koma, spiral dan batang, dan hasil

pewarnaan Gram semua isolat bakteri yang didapatkan Gram negative

(Ravikumar dkk., 2008).

Organisme yang berasosiasi pada lamun daerah pantai Bama, Situbondo

pada musim pancaroba yaitu jenis Makrozoobentos dari genus Holothuria dengan

nilai kelimpahan 52,06 % (Faizal dkk, 2015).

Ikan yang tertangkap pada daerah lamun dari tiga stasiun di Perairan

Teluk Bakau selama penelitian berjumlah 439 individu yang meliputi 22 spesies

dari 16 famili. Lethrinus lentjan adalah spesies yang umum ditemukan dengan

kelimpahan relatif sebesar 14,81 % (Rostika dkk, 2014).

Moluska yang ditemukan hidup bersama dengan lamun pada kedua

stasiun berjumlah 42 jenis yang terdiri dari 39 jenis Gastropoda dan 9 jenis

Bivalvia. Moluska dengan INP tertinggi pada kedua stasiun adalah Circe sp. Circe

sp. pada Teluk Gilimanuk, Bali Barat menjadi key species dalam ekosistem
11

padang lamun serta memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem

(Damayanti dkk, 2013)

C. Manfaat Mangrove Dan Lamun

1. Manfaat Mangrove

Ada beberapa manfaat penting hutan mangrove diantaranya adalah:

kayunya dapat dipakai sebagai kayu bakar, arang, dan beberapa jenis pohon

mangrove mempunyai kualitas kayu yang baik sehingga dapat digunakan sebagai

bahan untuk perumahan dan kontruksi kayu, daunnya dapat digunakan sebagai

makanan hewan ternak serta buahnya sebagian ada yang dapat dimakan

(Supriharyono, 2000).

Masyarakat pesisir Sinjai Timur melakukan pe-manfaatan hutan mangrove

secara langsung berupa kayu, buah dan daun bakau masing-masing sebanyak

67%, 20% dan 13% responden. Potensi manfaat langsung hutan mangrove

tersebut adalah sebagai kayu bakar dari jenis Rhizophora sp. umur pohon 5-10

tahun, sebagai kayu bahan bangunan dari jenis Rhizophora sp. umur pohon 10-15

tahun dan 15-20 tahun, buah bakau sebagai penghasil sumber benih diperoleh dari

jenis Rhizophora sp. umur pohon 10 tahun dan daun bakau sebagai penghasil

pakan ternak, dipungut dari jenis Rhizophora sp. umur pohon 5-10 tahun

(Saprudin dan Halidah, 2012).

Manfaat yang dapat diperolehdari ekosistem mangrove yaitu seperti

tempat menangkap ikan, kepiting, kerang, bahan kayu bakar, tempat penelitian

dan tempat wisata (Marhayana dkk, 2012).


12

Masyarakat sudah mengetahui dan memahami manfaat hutan mangrove,

walaupun masih ada sebagian masyarakat yang tetap melakukan penebangan

pohon mangrove untuk dimanfaatkan sebagai keperluan kayu bakar, karena

kondisi ekonomi mereka (ketidak mampuan membeli minyak tanah), serta akses

untuk mengambil kayu bakar dari hutan mangrove sangat mudah (dekat dengan

pemukiman) dibandingkan dengan mengambil kayu bakar di hutan yang jauh dari

pemukiman (Ontorael dkk, 2012)

Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove, yaitu tempat

pembuatan tambak ikan/udang, pemasangan jaring apung (karamba), tempat

penangkapan langsung, sumber kayu bakar dan arang, sumber kayu bangunan,

sumber bahan pangan, pakan ternak, bahan obat, bahan baku industri, serta

kepentingan sosial-budaya berupa pariwisata dan pendidikan (Setiawan dkk,

2006).

2. Manfaat Lamun

Lamun (seagras) adalah salah satu ekosistem penting di wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil yang memegang peranan penting dalam melindungi garis

pantai serta daratan pulau kecil. Daun-daun yang lebat dapat memperlambat serta

mengurangi arus dan gelombang air laut, sehingga perairan disekitarnya menjadi

tenang, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga

menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan substrat yang akhirnya dapat

mencega terjadinya erosi di wilayah pesisir khususnya pulau-pulau kecil (Subur

dkk, 2011).

Sulawesi Utara tanaman lamun yang dikembangkan menjadi obat

tradisional untuk menyembukan penyakit. Pengobatan dengan menggunakan


13

tanaman obat yang dikembangkan sekarang ini lebih murah dan mempunyai efek

samping yang relative sedikit dibanding obat-obat sintesis yang beredar saat ini

salah satunya tanaman lamun yang dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional

(Aldi dkk, 2012).

Padang lamun ini dimanfaatkan oleh organisme laut sebagai tempat

mencari makan, berlindung, maupun tempat bereproduksi (Mardiyana dkk, 2014).

Metabolit sekunder yang umumnya diproduksi oleh organisme berperan

untuk pertahanan diri dari lingkungan yaitu lamun maupun dari serangan

organisme lain termasuk organisme penempel/epifit pada batang dan daun lamun,

dan mencegah adanya infeksi dari patogen (Marhaeni dkk. 2010).

Salah satu tumbuhan air yang mempunyai manfaat penting yang dapat

mengganti sumber antioksidan alami yaitu lamun (seagrass). Lamun merupakan

tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat menyesuaikan dirinya untuk

hidup di dalam air laut (Tristanto dkk, 2014).

III. METODE PRAKTEK


A. Waktu dan Tempat

Praktek lapang biologi laut dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 5 Mei

2016, pukul 08.0011.00 WITA, bertempat di Desa Bungkutoko, Kec. Abeli, Kota

Kendari Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan


14

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum biologi laut dapat

di lihat pada Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Alat Dan Bahan yang digunakan pada Praktikum Biologi Laut pada
Lamun dan Mangrove Beserta Kegunaannya.
No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan
1. Alat
- Meteran jahit Cm Mengukur diameter pohon
mangrove
- Tali Rafia - Membuat transek garis (line
transek)
- Alat tulis - Mencatat hasil pengamatan
- Kamera - Dokumentasi
- Kertas label - Memberi label pada organisme
yang diidentifikasi
- Kertas sampel Menyimpan organisme yang
diidentifikasi
2. Bahan
- Mangrove - Objek Pengamatan
- Lamun - Objek pengamatan

C. Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada praktek lapang biologi laut pada ekosistem

lamun dan mangrove adalah sebagai berikut.


1. Prosedur kerja pada mangrove
- Membuat transek sebanyak 2 plot ukuran 1x1 dan 10x10 m.
- Mengukur diameter pohon, anakan, semai, dan mengidentifikasi organisme

yang berasosiasi. .
- Mencatat hasil pengamatan.

2. Prosedur kerja pada lamun

- Meletakan transek kuadrat ukuran 1x1 m.


- Meletakan transek pada vertical lamun.
- Melakukan pengambilan sampel secara acak plot yang berbeda.
- Menghitung jumlah tegakan lamun dan mengidentifikasi organisme yang

berasosiasi.
- Memasukan sampel kedalam kertas sampel.
- Melakukan identifikasi organisme yang diambil.
- Mencatat hasil pengamatan.
15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Adapun hasil pengamatan pada praktek lapang ini dapat dilihat pada Tabel

2. berikut.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Praktek Lapang Biologi Laut Pada Ekosistem
Mangrove.
Plot 1.

Diameter Organisme
No. Jenis Mangrove Batang Kategori Yang
(cm) Berasosiasi
1. Sonneratia alba 24,4 Pohon Burungo
(T. telescopium)
2. Sonneratia alba 14,9 Pohon Teritip
(L. scabra)
3. Rhizopora sp. 5,09 Anakan Kepiting bakau
(S. serrata)
4. Sonneratia alba 22,25 Pohon Kelomang
(C. ambonensis)
5. Sonneratia alba 15,9 Pohon

6. Rhizopora sp. 5,09 Anakan

7. Sonneratia alba 16,56 Pohon

8. Sonneratia alba 7,46 Anakan

9. Sonneratia alba 3,18 Semai

Plot 2.

Diameter Organisme
No. Jenis Mangrove Batang Kategori Yang
16

(Cm) Berasosiasi

1. Sonneratia alba 14,96 Pohon Burungo


(T. telescopium)
2. Sonneratia alba 14,86 Pohon Teritip
(L. scabra)
3. Sonneratia alba 9,23 Anakan Kepiting bakau
(S. serrata)
4. Sonneratia alba 14,33 Pohon Kelomang
(C.ambonensis)
5. Sonneratia alba 6,36 Anakan

6. Sonneratia alba 31,8 Pohon

7. Sonneratia alba 16 Pohon

8. Sonneratia alba 15 Pohon

9. Sonneratia alba 3,18 Semai


10. Sonneratia alba 17,19 Pohon
11. Sonneratia alba 17,83 Pohon

Tabel 3. Hasil Pengamatan Praktek Lapang Biologi Laut Pada Ekosistem Lamun.

Tipe Organisme
No Transek Jenis Lamun Jumlah Substrat Yang
. Berasosiasi
1. Plot I. Thalassia 20 Berpasir Burungo (T.
hemprichii, telescopium)
Plot II. Thalassia 10 Lumpur Bintang laut
hemprichii, (P.nodosus)
Plot III. Thalassia Lumpur
hemprichii,

Tipe Organisme
No Transek Jenis Lamun Jumlah Substrat Yang
. Berasosiasi
2. Plot I. Thalassia 12 Berpasir Kerang
hemprichii,
Plot II. Thalassia 15 Berpasir Burungo (T.
hemprichii, telescopium)
17

Plot III. Thalassia 15 Berpasir Burungo (T.


hemprichii, telescopium)

Tipe Organisme
No. Transek Jenis Lamun Jumlah Substrat Yang
Berasosiasi
3. Plot I. Thalassia 19 Berpasir Teripang (H.
hemprichii, scabra)
Plot II. Thalassia 17 Berpasir Bintang laut
hemprichii, (P.nodosus
Plot III. Thalassia 11 Berpasir Burungo (T.
hemprichii, telescopium)

Tipe Organisme
No. Transek Jenis Lamun Jumlah Substrat Yang
Berasosiasi
4. Plot I. Thalassia 30 Berpasir Bintang laut
hemprichii, (T.
telescopium)
Plot II. Thalassia 15 Berpasir Burungo (T.
hemprichii, telescopium)
Plot III. Thalassia 12 Berpasir Burungo (T.
hemprichii, telescopium)

B. Pembahasan

1. Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas substrat berpasir atau

berlumpur , berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh

pasang surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana

terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik dimana daerah ini terdapat

organisme yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
18

peryataan Irwanto, (2006) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh

di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna,muara sungai)

yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut

surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem

mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi

dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove.

Bedasarkan hasil pengamatan praktek lapang pada ekosistem mangrove di

perairan Bungkutoko, struktur komunitas yang ditemukan pada perlakuan dengan

mengunakan cara transek 10 m x 10 m dengan 2 kali pengulangan pada stasiun

yang berbeda untuk mengukur tegakan pohon mangrove, tinggi pohon yang

dimaksud, yaitu anakan semai dan tegakan pohon serta diameter pohon. Jenis

mangrove yang ditemukan di dalam transek 10 m x 10 m pada 2 kali pengulangan

dengan stasiun yang berbeda yaitu jenis Sonneratia alba dan Rhizopora sp.

Dimana jenis mangrove yang mendominasi perairan ini adalah jenis Sonneratia

alba. Walaupun Jenis Sonneratia alba yang lebih banyak mendominasi perairan

yang ada dalam transek tersebut dari pada Rhizopora sp. tetapi kedua jenis ini

lebih banyak mendominasi daerah perairan substrat berlumpur sama dengan

substrat di perairan Bungkuto. Hal ini sesuai dengan peryataan Fachrul, (2007)

Pengamatan pada tegakan hutan mangrove untuk mendapatkan data potensi

tegakan dilakukan dengan metode observasi lapangan melalui pembuatan petak

berukuran (10 m x 10 m). Untuk setiap tipe strata tegakan variabel yang diukur

meliputi luas hutan, luas strata umur, jumlah pohon pada setiap strata, diameter

serta tinggi pohon.


19

Hasil pengamatan organisme yang ditemukan berasosiasi pada mangrove

di perairan Bungkutoko dengan mengunakan metode 1 m x 1 m adalah jenis

Burungo (T. telescopium), Teritip (L. scabra), dan Kelomang (Cilibanarius

ambonensis). Organisme tersebut ditemukan menempel pada batang akar, anakan

dan daun. Selain itu jenis lain yang di temukan berasosiasi pada mangrove, yaitu

jenis kepiting bakau (scilla serrata). Organisme ini ditemukan pada akar

mangrove. Organisme yang paling banyak ditemukan berasosiasi pada transek 1

m x 1 m pada 2 kali perlakuan pada stasiun yang berbeda adalah jenis Teritip (L.

scabra) yang menempel pada daun dan anakan mangrove. Walaupun akar dan

anakan mangrove adalah habitat teritip, tetapi oranisme Teritip menyebabkan

masalah serius bagi perumbuhan mangrove karena akan menghabat tumbuhnya

pohon mangrove. Batang, akar, anakan dan daun ini merupakan habitatnya bagi

jenis organisme tersebut untuk mencari makan berproduksi atau yang lainnya

walaupun sebagian kelompok dari organisme tersebut adalah penghambat

pertumbuhan mangrove, . Hal ini sesuai dengan pernyataan Tapilatu dan Pelasula,

(2012) ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi, baik secara ekologis maupun

ekonomis. Salah satu fungsi ekologisnya yaitu merupakan habitat dan mencari

makan dari berbagai jenis biota laut, termasuk biota penempel. Biota penempel

yang terdapat pada berbagai bagian (daun, rizosfer dan anakan) dari vegetasi

mangrove sebagian besar berasal dari golongan krustasea, bivalvia dan

gastropoda. Kelompok-kelompok organisme ini menyebabkan masalah serius

karena merupakan penghambat kelangsungan hidup anakan mangrove. Teritip

misalnya, merupakan faktor penyebab stres ekofisiologis seperti reduksi

fotosintesis dan penghambat pertukaran gas pada anakan dan tumbuhan dewasa.
20

2. Ekosistem Lamun

Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil dan tedapat jelas memiliki

akar, daun, batang, bunga, buah dan biji serta dapat melakukan proses fotosintesis

dan lamun memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap salinitas. Tumbuhan ini

sama dengan tumbuhan didarat namun perbedaannya lamun mampuh tumbuh di

perairan yang bersalinitas tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepel dkk,

(2011) lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga

( Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang

salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma,

daun, dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai

tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun,

berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.

Berdasarkan hasil pengamatan praktek lapang pada ekosistem lamun di

perairan Bungkutoko, struktur komunitas lamun yang ditemukan dengan

mengunakan metode transek 1 m x 1 m dengan 4 kali pengulangan pada stasiun

yang berbeda adalah jenis Thalassia hemprichii pada substrat berpasir dan

berlumpur. Lamun yang di temukan di perairan ini lebih banyak

mendominasi perairan bersubstrat pasir sedangkan pada substrat

belumpur kurang ditemukan pada 4 transek yang dibuat dengan

stasiun yang berbeda.

Organisme yang ditemukan berasosiasi pada ekosistem lamun di

perairan Bungkutoko adalah organisme dari filum moluska salah

satunya jenis kerang dan burungo karena daerah ini merupakan

habitatnya dan organisme moluska ini berperan penting dalam rantai

makanan pada ekosistem lamun. Hal ini sesuai dengan pernyataan


21

Damayanti dkk, (2013) beberapa jenis substrat yang mampu ditumbuhi Lamun

adalah substrat pasir, kerikil, dan patahan karang mati dalam kedalaman sampai 4

meter. Padang lamun yang terdapat di kawasan ini merupakan ekosistem yang

luas dengan berbagai biota yang hidup didalamnya. Salah satunya biota yang

umum dijumpai hidup dengan Lamun adalah moluska.

Sedangkan organisme lainnya yang ditemukan di perairan

Bungkutoko pada ekosistem lamun adalah organisme dari filum

echinodermata salah satunya jenis teripang dan bintang laut. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Komala, (2015) Teripang merupakan salah satu

hewan dari filum Echinodermata yang banyak tersebar di beberapa perairan laut,

termasuk di Indonesia. Habitat teripang berupa ekosistem lamun dan ekosistem

terumbu karang, selain teripang 0rganisme yang ditemukan adalah bintang laut

dan bulu babi.

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil praktek lapang Biologi Laut pada ekosistem mangrove

dan ekosistem lamun dapat disimpulkan bahwa komunitas mangrove yang di


22

temukan pada metode transek 10 m x 10 m adalah jenis Soneratia alba dan

Rizopora sp. dan organisme yang berasosiasi pada ekosistem mangrove dengan

metode 1 m x 1 m yaitu jenis Burungo (T. telescopium), Teritip (L. scabra), dan

Kelomang (Cilibanarius ambonensis). Sedangkan pada ekosistem lamun dengan

metode transek 1 m x 1 m struktur komunitas yang di temukan adalah jenis

Thalassia hemprichii dan organisme yang berasosiasi adalah jenis Kerang,

Burungo, Teripang dan Bintang laut.

B. Saran

Pada pratek lapang biologi laut selajutnya diharapkan untuk

pelaksanaannya agar tepat waktu seperti yang telah ditetapkan sehingga praktek

lapang ini dapat terselesaikan dengan singkat dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Afianti R., N., Rustam A., Kepel T., L., Sudirman N., Astrid M., Daulat A.,
Dwiyanti D., S., Puspitaningsih Y., Mangindaan P. dan Hutahaean A.
2013. Karbon Stok Dan Struktur Komunitas Mangrove Sebagai Blue
Carbon Di Tanjung Lesung, Banten. Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Hal 1-14
23

Aldi R., R., Jaya H., E. dan Yudistira A. 2012. Isolasi Dan Identifikasi Flavonoid
Dalam Daun Lamun (Syringodium Isoetifolium). FMIPA UNSRAT
Manado. Hal 1-5

Anwar, C. 2006. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove


BerbasisMasyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa
Hutan dan Non KayuBerbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan
Produktivitas dan Pelestarian Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.

Arief A. 2003. Hutan Mangrove : Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.


Damayanti A., A., Syamsuri I. dan Dhamarwan A. 2013. Struktur Komunitas
Moluska Di Padang Lamun Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat.
Universitas Negeri Malang. Hal 1-10

Fachrul, M. F. (2007). Metode sampling bioekologi (cetakan pertama). Jakarta:


Bumi Aksara.
Faizal M., U., Andriyono S., Hanif M., A., Kenconojati H., Dinda D., N., dan
Setia D., B. 2015. Dominansi dan Diversitas Lamun dan Makrozoobenthos
pada Musim Pancaroba di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran,
Situbondo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan (ISSN: 2085-5842).
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. Surabaya

Hermawan A., S., Soedarti T. dan Purnobasuki H. 2011 Struktur Komunitas


Mangrove di Sekitar Jembatan Suramadu Sisi Surabaya. Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Airlangga. Hal 1-8

Irwanto, 2006. Keanekaragaman fauna pada habitat mangrove. Jakarta: Bumi


Aksara.
Kepel R., C. dan Sandra B. 2011. Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Pulau
Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Vol 1 (4-1). Hal. 1-5

Komala R. 2015. Keanekaragaman teripang pada ekosistem lamun dan terumbu


karang di Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Vol. 1 (2). Hal. 1-5

Kopalit, H., 2011, Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Manokwari


Papua Barat, J. Perikanan dan Kelautan, 7 (1). Hal 1-9
Mardiyana, Effendi H, dan Nurjanah, 2014. Hubungan Biomassa Epifit Dengan
Aktivitas Antioksidan Lamun Di Peraira Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu, Dki Jakarta. Vol. 17 (1). Hal 1-7

Marhaeni B, Radjasa OK, Bengen DG, Kaswadji RF. 2010. Screening of bacterial
symbionts of seagrass Enhalus sp. against biofilm-forming bacteria.
Journal of Coastal Development 13(2):126-132.
Marhayana S., Niartiningsih A.dan Idrus R. 2012. Manfaat Ekonomi Ekosistem
Mangrove Di Taman Wisata Perairan Padaido Kabupaten Biak Numfor,
24

Papua. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.


Makassar. Hal 1-15

Martuti N. 2013. Keanekaragam Mangrove Di Wilayah Tapak, Tugurejo,


Semarang. Jurnal MIPA. Vol. 36 (2).
Mukhlisi, Boedi I., H. dan Purnaweni H. 2013. Keanekaragaman Jenis dan
Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Universitas Diponegoro.
Semarang, Indonesia. Hal 1-8
Ontorael R., Wantasen A., S. dan Rondonuwu A., B. 2012. Kondisi Ekologi dan
Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove di Desa Tarohan Selatan Kecamatan
Beo Selatan Kabupaten Kepulauan Talaud. Jurnal Ilmiah Platax Vol.(1).
Hal 1-5
Pratiwi R. 2009. Komposisi Keberadaan Krustasea Di Mangrove Delta Mahakam
Kalimantan Timur. Makara, Sains, Vol. 13, (1). Hal 1-12

Rahman, Yanuarita D. dan Nurdin N. 2014. Struktur Komunitas Mangrove di


Kabupaten Muna. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol.24 (2). Hal 1-8

Ravikumar, S., Thajuddin, N, P. Suganthi, S. Jacob Inbaneson and Vinodkumar,


2008. Bioactive potential of seagrass bacteria against human bacterial
pathogens. Journal of Environmental Biology 31 387-389

Riniatsih I. dan Endrawati H. 2013. Pertumbuhan Lamun Hasil Transplantasi


Jenis Cymodocea rotundata di Padang Lamun Teluk Awur Jepara. Vol. 2
(2). Hal. 1-6
Rostika, Said T., R. dan Zulfikar A. 2014. Struktur Komunitas Ikan Padang
Lamun di Perairan Teluk Baku Pulau Bintan Kepulauan Riau. FIKP
UMRAH. Kepulauan Riau. Hal 1-15

Rustrianto Y., B. 2015. Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove di


Denpasar. Hal 1-121

Ruswahyuni, 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos Yang Berasosiasi


Dengan Lamun Pada Pantai Berpasir Di Jepara. Jurnal Saintek Perikanan
Vol. 3 (2). Hal 1-4

Saprudin dan Halidah 2012. Potensi Dan Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Hutan
Mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Balai Penelitian
Kehutanan Manado. Hal 1-7

Sari S., Pratomo A. dan Yandri F. 2013. Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap
Kelimpahan Pelecypoda Di Pesisir Kota Rebah Kota Tanjung pinang.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Hal 1-12
25

Schaduw J., N., W. 2015. Bioekologi Mangrove Daerah Perlindungan Laut


Bebasis Masyarakat Desa Blongko Kecamatan Sinonsayang Kabupaten
Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal LPPM Bidang Sains dan
Teknologi Vol. 2, (1). Hal 1-14

Setiawan F., Harahap S., A., Andriani Y., dan Hutahaean A., A. 2012. Deteksi
Perubahan Padang Lamun Menggunakan Penginderaan Jauh dan
Kaitannya Dengan Kemampuan Menyimpan Karbon di Perairan Teluk
Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3 (3). Hal. 1-13

Setyawan A., D. dan Winarno K. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem


Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya;
Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Vol. 7 (3). Hal 1-10

Subur R., Yulianda F., Budi S., S. dan Fahrudin A. 2011. Kapasitas Adaptif
Ekosistem Lamun (Seagrass) Di Gugus Pulau Guraici Kabupaten
Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Agribisnis. Vol. 12 (3).
Hal 1-12

Supriadi, Kaswadji R., F., Bengen D., G dan Malikusworo Hutomo M. 2012.
Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan
Karakteristik Habitat. Maspari Journal Vol. 4 (2). Hal. 1-11

Supriharyono. (2000). Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah


pesisir tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tapilatu Y. dan Pelasula D. 2012. Biota Penempel Yang Berasosiasi Dengan
Mangrove Di Teluk Ambon Bagian Dalam. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol. 4, (2). Hal 1-13

Tristanto R., Arsita M., P., Situmorang A., P. dan Suryanti, 2014. Optimalisasi
Pemanfaatan Daun Lamun Thalassia Hemprichii Sebagai Sumber
Antioksidan Alami. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 10 (1). Hal 1-5

Wisnubudi G. dan Wahyuningsih E. 2012. Kajian Ekologis Ekosistem


Sumberdaya Lamun Dan Biota Laut Asosiasinya Di Pulau Pramuka,
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Tnkps). Fakultas Biologi,
Universitas Nasional. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai