1
Cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keberadaannya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Dalam Undang-undang no.41
tahun 1999 tentang kehutanan.
2
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Zonasi Taman Nasional Alas Purwo
(Banyuwangi: TP,2015) hlm.1.
37
38
suaka margasatwa yakni sebagai suatu kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas
berupa keanekaragaman jenis satwa tertentu, sehingga untuk menunjang kelestarian
satwa tersebut dari ancaman kepunahan perlu dilakukan upaya-upaya pembinaan
terhadap habitatnya.6
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan pada awal penetapan berdasarkan
Staatsblaaden tanggal 1 september 1939 No.6 Staatsbladden No.456. secara
keseluruhan memiliki luas total 62.000 hektar. Luas tersebut terdiri atas 41.149,1 ha
wilayah hutan asli yang berada di sebelah timur, sedangkan sisanya 19.202,2 ha di
sebelah barat merupakan wilayah berupa hutan jati, hutan lindung, perkebunan tebu,
dan hutan bakau.7 Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan secara geografis terletak
pada titik 8° 26’ 46’’ dan 8° 47’ 00” lintang selatan, serta 114° 20’ 16” dan 114° 36’
00” bujur timur.8 Lokasi Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan pada masa awal
penetapan terbentang di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Muncar, Kecamatan
Tegaldlimo, Kecamatan Purwoharjo, Kecamatan Bangorejo, Kecamatan Pedaton, dan
Kecamatan Pesanggaran.9
Ditinjau dari sisi topografi wilayahnya Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan merupakan wilayah yang masuk dalam kategori agak bergelombang serta
struktur vegetasinya yang tertutup. Kondisi topografi wilayah Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan di bagian timur mempunyai topografi area bergelombang ringan
hingga berat, serta berbukit hingga bergunung. Sedangkan di bagian barat Suaka
6
UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
7
Taman Nasional Baluran,” Laporan Team Evaluasi Suaka Alam di Pulau Jawa”,
Laporan pada Balai Taman Nasional Baluran tahun 1981, hlm.6.
8
Taman Nasional Baluran,” Laporan Inventarisasi Banteng (Bos Javanicus) di Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan tahun, Laporan pada Taman Nasional Baluran, 1985,
hlm.7.
9
Margasatwa didominasi oleh medan yang bergelombang ringan hingga datar serta
terdapat rawa-rawa. Di bagian barat banyak ditemukan tanaman-tanaman seperti jati,
mahoni serta terdapat area pemukiman warga. Selain itu, di bagian barat suaka telah
banyak lahan yang digunakan untuk keperluan persawahan dan perkebunan. 10
Ketinggian wilayah Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan terletak pada angka 384
mdpl. Beberapa sungai mengalir di area ini seperti Kali Wergul, Kali Bango, Kali
Jambe, Kali Bendo, serta beberapa sungai kecil lainnya.11
Menurut Schmidt dan Fergusson daerah Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan termasuk ke dalam kategori daerah dengan tipe iklim B. Dengan demikian
daerah Suaka Margsatwa Banyuwangi Selatan ini kondisi hutan di dalamnya
merupakan hutan hujan tropis basah dataran rendah.12 Kondisi ini tentunya
berpengaruh besar dalam pola vegetasi di dalamnya. Beberapa vegetasi yang terdapat
di Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan antara lain; hutan pantai, hutan payau,
hutan rawa, hutan hujan tropis, hutan rawa dan hutan bambu.13
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan yang memiliki luas area 62.000 Ha
merupakan habitat bagi beberapa jenis satwa dari berbagai kelas diantaranya kelas
aves, mamalia, dan reptilia. Pada tahun 1979, Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam berhasil menghimpun data satwa-satwa yang berada dalam
pengawasan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berdasarkan kelas dari masing-
masing satwa antara lain kelas mamalia, aves dan reptil.14
Dari kelas mamalia terdapat beberapa satwa yang masuk dalam kategori
pemakan daging (karnivora) seperti macan tutul (Panthera pardus melas), harimau
10
Ibid., hlm.49.
11
Direktorat Bina Program Kehutanan, op.cit., hlm.10.
12
Taman Nasional Baluran,” Laporan Investigasi Banteng (Bos Javanicus) di Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan, Laporan pada Taman Nasional Baluran, 1985, op.cit.,
hlm.1.
13
kumbang (Panthera pardus), kucing hutan (Felis bengalensis). Macan tutul dan
macan kumbang merupakan predator utama dari kelas mamalia dalam rantai makanan
di Kawasan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Kedua spesies ini termasuk
satwa yang yang dilindungi keberadaannya. Selain karnivora juga terdapat mamalia
pemakan rerumputan atau herbivora seperti banteng (Bos javanicus), rusa (Rusa
timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), tupai (Tupaia javanica), landak (Acanthion
brachyrum), babi hutan (Sus sp), serta kancil (Tragulus javanicus).15
Banteng, rusa dan kijang termasuk satwa yang menjadi prioritas Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan untuk dilindungi populasinya karena seringkali
menjadi obyek sasaran perburuan. Baik banteng, rusa maupun kijang sama-sama
satwa yang memiliki tanduk dan bagian inilah yang banyak diburu oleh manusia
karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Ketiga satwa ini mudah untuk dijumpai
karena habitatnya yang berada di wilayah hutan dataran rendah yang banyak
ditumbuhi rerumputan. Banteng menjadi satwa yang paling banyak menjadi objek
perburuan karena sering bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat
sekitar kawasan konservasi. Ruang jelajah banteng tidak hanya dalam lingkup
kawasan suaka margasatwa saja namun juga diluar kawasan seperti halnya kawasan
hutan produksi, serta di dalam area perkebunan masyarakat sekitar. Masuknya satwa
yang memiliki nama latin Bos Javanicus D’Alton 1823 ini ke area perkebunan
masyarakat dianggap sebagai hama yang berpotensi merusak tanaman perkebunan.16
Satwa lain dari kelas mamalia yang mendiami kawasan Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan berasal dari keluarga primata seperti lutung (Trachypithecus
criststatus) dan kera (Macaca fascicularis) banyak dijumpai di sekitar hutan tropis
dataran rendah Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Selanjutnya terdapat satwa
yang memiliki ukuran tubuh yang cukup kecil diantaranya, bajing (Callosciurus
15
Ibid., hlm.54.
16
notatas), musang (Paguna lavarta), kalong (Pteropus vampyrus) tikus hutan (Rattus
surifer solaris), dan jelarang (Ratufa bicolor sparmann).17
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan juga merupakan habitat bagi satwa-
satwa yang termasuk dalam kelas aves atau burung. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Tim Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang meniliti
berbagai jenis satwa dari kelas aves di Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan,
menyebutkan bahwa terdapat 16 jenis satwa dari kelas aves.18 Berdasarkan laporan
dari Tim Taman Nasional Baluran yang melakukan inventarisasi satwa berhasil
melakukan pendataan ulang terhadap satwa dari kelas aves. Hasilnya jumlah satwa di
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dari kelas aves sebanyak 23 spesies.
Berdasarkan inventarisasi, Tim membagi satwa berdasarkan tingkat populasi nya.
Satwa yang tingkat populasinya banyak antara lain bangau tong-tong, elang Jawa,
gagak kecil, burung beo, burung pipit, rangkok, srigunting, terocok, dan walet. Satwa
yang tingkat populasinya cukup banyak antara lain ayam hutan, alap-alap, betet,
bubut, kucica, kepodang, kutilang, kangkareng, merak, pecuk ular, raja udang, dan
tulun tumpuk. Terdapat juga satwa yang jumlah populasinya sedikit di antaranya
burung bekiko dan burung perkutut.19 Dari sekian jenis burung di Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan, jenis satwa seperti merak menjadi perhatian khusus sebab
sering menjadi target perburuan liar. Bulu merak yang memiliki nilai eksostis serta
harga yang tinggi menarik perhatian para pemburu liar. Selain satwa dari kelas
mamalia dan aves terdapat pula satwa dari kelas reptil. Satwa-satwa yang masuk
dalam kategori reptil antara lain ular gadung, ular weling, ular belang, bunglon,
kadal , ular sanca, biawak, dan penyu.20 Di antara satwa-satwa reptilian tersebut,
17
Tony Whitten, R.E Soeriaatmadja, dan Suraya A. Afif, Ekologi Jawa dan Bali,
penerjemah S.N. Kartikasari, Tyas Budi Utami, Agus Widyantoro (Jakarta: Prenhallindo,
1999) hlm. 822.
22
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, op.cit., hlm.68.
44
23
Ibid., hlm.3.
24
Taman Nasional Baluran “Laporan Team Evaluasi Suaka Alam di Pulau Jawa”
Laporan pada Balai Taman Nasional Baluran tahun 1981, op.cit., hlm.7.
25
Agus Setya Budi, op.cit., hlm.76.
45
dengan lembaga lain yakni BKSDA atau Badan Konservasi Sumber Daya Alam yang
tersebar di berbagai provinsi maupun kota/kabupaten. Dalam hal ini BKSDA IV
Malang diserahi tugas untuk mengelola beberapa Suaka Margasatwa di wilayah
Provinsi Jawa Timur seperti Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dan Suaka
Margasatwa Meru Betiri.26
Kerjasama antara Dinas PPA Jawa Timur Wilayah II dengan BKSDA IV
Malang tentu merupakan langkah positif bagi keberlangsungan konservasi di Jawa
Timur lebih khusus lagi bagi Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Akan tetapi
langkah positif tersebut ternyata tidak dibarengi dengan kebijakan dari pemerintah
pusat. Karena pada tahun 1976 pemerintah pusat menginstruksikan untuk
meningkatkan kebutuhan gula baik dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor.
Peningkatan jumlah produski gula hanya dapat dicapai dengan dua cara yakni
perluasan area tanam dan pendirian pabrik gula baru. Alasan tersebut yang mendasari
keluarnya SK Menteri Pertanian tanggal 7 Juli 1976 No.414/kpts/Um/7/1976 yang
memustuskan bahwa lahan seluas 3.415,4 ha milik Perum Perhutani digunakan untuk
perkebunan tebu. Tak hanya itu dampak dari Keputusan Menteri Pertanian tahun
1976 telah mengizinkan berdirinya pabrik gula yang berlokasi di Benculuk dengan
nama PT. Perkebunan XXIV-XXV. Konversi ini menyebabkan luas area yang
dikelola oleh Perum Perhutani menjadi 18.384,6 ha, padahal sebelumnya luas area
yang dikelola oleh Perum Perhutani sebesar 21.800 ha. Hal ini diperparah dengan
masih banyaknya lahan-lahan hutan yang digarap oleh penduduk sekitar bahkan
sudah berkembang menjadi permukiman seluas 575 ha, demikian pula lahan milik
PT. Perkebunan XXIV-XXV yang juga telah memunculkan permukiman baru seluas
500 ha.27
26
Kantor Wilayah Departemen Kehutan Provinsi Jawa Timur,”Rencana Umum
Kehutanan Provinsi Jawa Timur”, Laporan pada Departemen Kehutanan Republik Indonesia
tahun 1985, hlm.3.
27
28
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, op.cit., hlm.81.
29
Ibid., hlm.82-83.
47
30
Kantor Wilayah Departemen Kehutan Provinsi Jawa Timur, op.cit., hlm.204
31
Soewardi, Menyongsong Taman Nasional (National Park) di Indonesia (Bogor:
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Jenderal Kehutanan,1978)
hlm.24.
48
32
Ibid., hlm.i.
33
Pada tahun 1987 atas usulan dari Taman Nasional Baluran yang mengajukan
mintakat atau dalam istilah sekarang disebut juga zonasi untuk Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pengawetan
Alam. Mintakat Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan sesuai dengan Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No.51/Kpts/DJ-VI/1987 adalah sebagai berikut:
Mintakat inti : 17.200 ha
Mintakat Rimba: 24.767 ha
Mintakat pemanfaatan: 250 ha
Mintakat penyangga : 1.203 ha34
Permintaan mintakat ini merupakan upaya untuk memperkuat pengelolaan
kawasan wilayah kerja Taman Nasional Baluran. Selain itu, Balai Taman Nasional
Baluran juga melakukan pengukuhan batas kawasan, invetarisasi potensi dan kondisi
kawasan serta peningkatan pengadaan sarana-prasarana di Suaka Margasatwa
35
Banyuwangi Selatan. Berbagai upaya yang dilakukan juga bertujuan untuk
menyiapkan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan sebagai calon taman nasional.
Berkaitan dengan hal itu maka Pihak Balai Taman Nasional Baluran melakukan
berbagai langkah pembangunan fisik di Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan yang
dipusatkan di wilayah Marengan dan Grajagan. Langkah awal yang dilakukan dengan
memulai pembangunan pusat perdagangan lokal serta menambah sarana akomodasi
baik di darat maupun di laut.36 Langkah pembangunan awal di Banyuwangi Selatan
ini lebih banyak dipengaruhi oleh tujuan pengembangan area wisata.
Selain pembangunan fisik, Balai Taman Nasional Baluran juga melakukan
pengembangan potensi kawasan dengan melakukan penelitian dan inventarisasi
34
Bagian Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo, “Laporan
Evaluasi Zonasi Taman Nasional Alas Purwo”, Laporan pada Balai Taman Nasional Alas
Purwo tahun 1999 hlm.4.
35
Departemen Kehutanan, Laporan Akhir Engineerig Design Taman Nasional
Baluran (Bandung: PT.ISO-IKI,1987) hlm .79.
36
Ibid., hlm.149.
50
terhadap flora dan fauna di Banyuwangi Selatan. Langkah inventarisasi ini bahkan
tetap berlanjut hingga tahun 1997. Beberapa inventarisasi yang berhasil dilakukan
oleh Tim Balai Taman Nasional Baluran di wilayah Banyuwangi Selatan antara lain:
inventarisasi satwa banteng (Bos Javanicus) tahun 1985, inventarisasi flora eksotik
tahun 1996, inventarisasi potensi hutan bakau dan rawa di daerah segoro anak tahun
1994, inventarisasi satwa predator tahun 1997 dan inventarisasi flora dataran rendah
tahun 1997.37 Berbagai pembangunan fisik maupun nonfisik yang dilakukan oleh
Balai Taman Nasional Baluran membuahkan hasil positif pada tahun 1992 dengan
ditetapkannya Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan menjadi Taman Nasional Alas
Purwo dengan luas total 43.420 ha. Nama Alas Purwo diadopsi karena memang
wilayah ini sejak awal merupakan hutan luas bernama hutan Purwo. Pada masa
Belanda pun wilayah ini dikenal sebagai hutan Purwo yang memiliki kekayaaan hasil
hutan berupa kayu.38 Istilah hutan dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah
alas, sedangkan purwo merupakan kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti yang
utama atau awal.
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Zonasi Taman Nasional Alas Purwo
(Banyuwangi: TP,2015) Loc.cit
51
39
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.283/Kpts-II/1992.
52
batas sampai temu gelang yang berupa batas darat dan batas alam pantai. Terakhir
melakukan penetapan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagai kawasan
konservasi. Kendati, sudah resmi menjadi Taman Nasional namun status pengelolaan
TNAP tetap berada di bawah naungan dari pihak Balai Taman Nasional Baluran. Hal
tersebut terjadi karena Unit Pelaksana Teknis atau UPT Alas Purwo masih belum bisa
dibentuk.40 Pengelolaan Taman Alas Purwo secara mandiri baru bisa dilakukan
setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1997
tanggal 31 Maret 1997. Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut maka pada
tanggal 10 November 1997 secara resmi pengelolaan Alas Purwo benar-benar
berpisah dengan Balai Taman Nasional Baluran. 41 Meskipun demikian pihak Balai
Taman Nasional Baluran tetap memantau dan membantu perkembangan di Alas
Purwo. Hal ini dibuktikan dengan barang-barang inventaris milik Balai Taman
Nasional Baluran yang statusnya dipinjam pakai oleh pengelola Alas Purwo. Barang-
barang yang dipinjam pakai oleh Taman Nasional Alas Purwo antara lain: tanah
sebanyak 8 lokasi, 45 unit bangunan, kendaraan bermotor roda empat sebanyak satu
unit, kendaraan bermotor roda dua sebanyak sembilan unit, alat angkutan darat bukan
motor (sepeda gunung) sebanyak empat unit, alat angkutan apung bermotor dua unit,
dan alat angkutan apung tak bermotor sebanyak satu unit.42
Pada tahun 1999 hingga 2000 di bawah kepemimpinan Ir.Sunandar TN selaku
Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo banyak kerjasama diadakan dengan
beberapa stakeholder terkait untuk melakukan pembangunan fisik. Pembangunan
fisik bertujuan untuk menguatkan keamanan kawasan serta untuk mempermudah
petugas dalam melakukan pengawasan. Terdapat empat hal yang menjadi tujuan
40
Tim Penulis Proyek Pengembangan Taman Nasional Alas Purwo“Laporan
Inventarisasi Flora Eksotik di Taman Nasional Alas Purwo”, Laporan pada Taman Nasional
Baluran,tahun 1996 ,hlm.11.
41
Bagian Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo , Loc.cit.
42
Balai Taman Nasional Baluran,”Laporan Hasil Inventarisasi Barang Inventaris
Kekayaan/Milik Negara pada Balai Taman Nasional Baluran”, Laporan pada Departemen
ehutanan dan Perkebunan tahun 1998, hlm. 11-12.
54
pembangunan fisik di Taman Nasional Alas Purwo yakni pembangunan pondok jaga
seluas 60 m2, rehabilitasi pondok peneliti seluas 70 m2, rehabilitasi kantor balai seluas
90 m2, dan pembangunan shelter seluas 16 m2 sebanyak dua buah. Guna
mensukseskan rencana pembangunan fisik tersebut Pihak Balai Taman Nasional Alas
Purwo menggandeng CV. Dinamika Arsi Prima pada November 1999. Total biaya
untuk perencanaan pembangunan fisik di Taman Nasional Alas Purwo menelan biaya
sebesar Rp. 7.550.000.43 Pembangunan fisik ini merupakan langkah positif yang
menunjang tingkat keamanan kawasan.
43
Balai Taman Nasional Alas Purwo, “Surat Perjanjian Pekerjaan Perencanaan”,
Laporan pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam tahun 1999, hlm.7.
44
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Master Plan Desa Model: Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Penyangga Balai Taman Nasional Alas Purwo (Banyuwangi
:Departemen Kehutanan, 2006) hlm.1.
55
Ibid., hlm.3.
46
Ibid., hlm.16.
56
47
49
Ibid., hlm.3.
50
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Master Plan Desa Model: Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Penyangga Balai Taman Nasional Alas Purwo (Banyuwangi
:Departemen Kehutanan, 2006) loc.cit.
58
dari Desa Sumbersari pada 29-31 Oktober 2007. Initial survey berupa hasil
pengamatan Tim Balai Taman Nasioal Alas Purwo mengenai potensi Desa
Sumberasri khususnya di Blok Bedul yang kemudian dijadikan bahan diskusi
bersama dengan perwakilan Desa Sumberasri. Selanjutnya Tim Balai Taman
Nasional Alas Purwo melakukan survey lokasi di Desa Sumberasri pada tanggal 28
hingga 30 April 2008 yang dihadiri oleh warga setempat untuk menyamakan presepsi
bersama mengenai keberadaan hutan mangrove di Blok Bedul. Kemudian pada
tanggal 22 juli 2008 diadakan pertemuan lanjutan tapi dengan pihak-pihak terkait
diantaranya perwakilan dari Dinas Pariwisata Banyuwangi, serta LSM untuk
menyamakan presepsi tentang pengelolaan Blok Bedul. Hasil dari berbagai
pertemuan tersebut berhasil membentuk Badan Pengelola Wisata Mangrove Blok
Bedul atau BPWMB yang diresmikan pada 29 Oktober 2008.51
Proyek Ekowisata Mangrove Bedul baru diresmikan pada bulan Juli 2009
berdasarkan hasil kesepakatan baik oleh Pihak Taman Nasional Alas Purwo,
Pemerintah Desa Sumberasri dan stake holder terkait yakni berupaya untuk
mengenalkan keindahan dan keunikan mangrove. Sebenarnya cikal bakal keberadaan
Ekowisata Mangrove Bedul berasal dari kegiatan PPK-MDK Desa Sumberasri pada
Desember 2006. Dalam kegiatan tersebut terdapat rekomendasi-rekomendasi yang
bertujuan untuk menjadikan Desa Sumberasri sebagai desa wisata melalui
komunikasi dan dialog antara pihak promotor maupun eksekutor PPK-MDK.
Pembangunan SDM, infrastruktur, kelembagaan serta jejaring kerja juga disinggung
demi pemantapan Desa Sumberasri sebagai desa wisata.52 Rekomendasi ini dalam
praktiknya dijalankan dengan seksama sehingga pengelolaan Ekowisata Mangrove
51
Balai Taman Nasional Alas Purwo,” Laporan Perjalanan Dinas dalam Seminar on
Demonstration for Sustainable Mangrove Management: Follow up Activities of The JICA
Technical Cooperation Sub Sectoral Programme on Mangrove”, Laporan pada Balai Taman
Nasional Alas Purwo tahun 2010, hlm. 17.
52
Bedul bisa dikelola secara mandiri oleh BPWMB tanpa harus melibatkan invenstor
besar. Ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai untuk para pengunjung sangat
diperlukan untuk menunjang Ekowisata Mangrove Bedul. Fasilitas yang dimaksud
antara lain pembangunan dermaga senilai Rp.500.000.000 pada tahun 2009,
rehabilitasi jalan sepanjang 5 km sampai ke area parkir menelan biaya
Rp.1.200.000.000. Sumber dana pembangunan dermaga dan rehabilitasi jalan berasal
dari Dinas PU dan Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Fasilitas pendukung
lain seperti 6 unit perahu penyebrangan, 6 unit warung makan dan 5 rumah penduduk
yang digunakan untuk penginapan merupakan hasil dari swadaya masyarakat.53
Pada awal pembukaan Ekowisata Mangrove Bedul jumlah petugas pengelola
BPWMB mencapai 18 orang dengan rincian 8 orang bekerja sebagai tour gaet dan
sekitar 10 orang lainnya bertugas untuk mengatur manajemen organisasi,
pertanggungjawaban konservasi, perencanaan, distribusi keuntungan, kemudian
merencanakan rehabilitasi mangrove, serta melaksanakan program pendidikan
lingkungan dengan cara datang ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan ekologi
mangrove.54 Dalam kaitannya untuk meningkatkan kapasitas anggota BPWMB maka
dilakukan berbagai pelatihan diantaranya: pelatihan identifikasi flora dan fauna yang
hidup di dalam ekosistem mangrove, pelatihan bahasa Inggris yang diakomodir oleh
perwakilan dari JICA serta Dinas Pariwisata Banyuwangi, terakhir dengan melakukan
study banding ke wisata mangrove yang ada di Bali, Lombok, Batam dan Bintan.55
Ekowisata Mangrove Bedul menawarkan keindahan hutan mangrove bagi
para pengunjung. Pihak pengelola ekowisata menyediakan berbagai macam paket
diantaranya paket PLH yang terdiri atas 10 orang dalam satu grup seharga
53
Ibid., hlm.23.
54
Wawancara dengan Wahyu Setyawan, Banyuwangi, 10 Januari 2019.
55
Balai Taman Nasional Alas Purwo,” Laporan Perjalanan Dinas dalam Seminar on
Demonstration for Sustainable Mangrove Management: Follow up Activities of The JICA
Technical Cooperation Sub Sectoral Programme on Mangrove”, Laporan pada Balai Taman
Nasional Alas Purwo tahun 2010, op.cit., hlm.24.
60
Rp.150.000 dengan fasilitas seperti guide, boat, hand out, dan air mineral; paket
mancing untuk satu grup yang terdiri dari lima orang dalam waktu maksimal 10 jam
dibanderol dengan harga Rp.150.000 dengan fasilitas perahu; paket wisata pantai
selatan yang hanya dikenai biaya penyebrangan sebesar Rp.4000 /orang; paket
penginapan sebesar Rp.75.000 per malam.56
Berkat pengelolaan yang dilakukan secara kolektif dan terencana, Ekowisata
Mangrove Bedul mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, pada tahun
2010 Ekowisata Mangrove Bedul dipercaya mewakili Kabupaten Banyuwangi dalam
lomba Anugerah Wisata Nasional (AWN) Jawa Timur dan berhasil menyabet
penghargaan sebagai the best commitment ecotourismt.57 Tak hanya itu, berdasarkan
informasi yang dihimpun dari petugas pengelola Ekowisata Mangrove Bedul jumlah
pengunjung pada tahun 2010 cukup ramai. Berikut tabel Pengunjung Ekowisata
Mangrove Bedul tahun sejak 2010 hingga 2012;
Tabel 3.1
Jumlah Pengunjung Ekowisata Mangrove Bedul 2010 higga 2012.
Tahun 2010 83.439
Tahun 2011 58.752
Tahun 2012 (hingga bulan Juli) 26.399
Sumber : Balai Taman Nasional Alas Purwo, Laporan Pengunjung Ekowisata
Mangrove Bedul tahun 2012.
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pada tahun 2010 jumlah
pengunjung Ekowisata mangrove Bedul mencapai 83.439, akan tetapi pada tahun
2011 jumlah pengunjung menurun menjadi 58.752 pengunjung, dan pada Januari
hingga Juli 2012 sebanyak 26.399 pengunjung.58 Penurunan tersebut disebabkan
karena berbagai faktor seperti munculnya destinasi wisata baru di sekitar wilayah
56
Ibid., hlm.26.
57
Tabel 3.2
Grafik Penelitian di Alas Purwo Tahun 1988-2012
59
UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
62
Kehutanan (51%)
MIPA (24%)
Perikanan dan Kelautan
(4%)
Lain-lain (16%)
Tanpa keterangan (5%)
62
Rudijanta Tjahja Nugraha dkk, Buku Informasi Penelitian Alas Purwo (Banyuwangi:
Balai Taman Nasional Alas Purwo, 2012) Hlm. 1-3.
63
Ibid., hlm.6.