Anda di halaman 1dari 26

BAB 3

EKSISTENSI ALAS PURWO DARI SUAKA MARGASATWA HINGGA


TAMAN NASIONAL

3.1 Penetapan dan Pengelolaan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan


Kawasan konservasi Alas Purwo dahulunya berupa sebuah Monumen Alam Purwo-
Jati Ikan. Monumen Alam Purwo-Jati Ikan merupakan monumen alam hasil
gabungan dari dua cagar alam yakni Cagar Alam Purwo dan Cagar Alam Jati-Ikan.
Penggabungan kedua cagar alam tersebut terjadi setelah pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan Besluit van den Goeverneur Generaal van Nederlandsch-Indie van 9
Oktober 1920 No.46 Staatsblaad No.736.1 Status Monumen Alam Purwo-Jati Ikan
kemudian berubah menjadi Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan (Wildreservaat
aid Banjoewangi ) seluas 62.000 ha dengan kekayaan alam berupa hutan jati dan
hutan alam.2 Perubahan status tersebut tidak terlepas dari dikeluarkannya SK.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 September 1939 No.6 Staatsbladden

1
Cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keberadaannya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Dalam Undang-undang no.41
tahun 1999 tentang kehutanan.
2
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Zonasi Taman Nasional Alas Purwo
(Banyuwangi: TP,2015) hlm.1.

37
38

No.456, tentang Penetapan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. 3 Dalam Surat


Keputusan ini disebutkan bahwa pemerintah Hindia-Belanda mencabut keputusan
bulan Oktober tahun 1920 mengenai penunjukan cagar alam serta untuk selanjutnya
diubah menjadi Monumen Alam Purwo-Jati Ikan berdasarkan Lembaran Negara
tahun 1932. Selanjutnya pemerintah menunjuk area seluas 62.000 ha di Distrik
Banyuwangi, Karesidenan Besuki Jawa timur sebagai Suaka Margasatwa dengan
nama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Penunjukan tersebut dengan
mempertimbangkan surat dari direktur urusan perekonomian Hindia-Belanda pada
bulan April 1939. Berkaitan dengan itu, Pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan
batas-batas area dari Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Batas-batas Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan sebagai berikut: di sebelah utara berbatasan dengan
beberapa desa seperti Desa Jodomuljo, Desa Kesilir, Desa Temurejo, Desa
Glagahagung, Desa Purwoharjo, Desa Sumber Beras, Desa Kedungrejo. Di sebelah
timur suaka ini berbatasan dengan Teluk Pangpang dan Selat Bali. Pada bagian
selatan suaka ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Sungai Bango dan Sungai Wergil. Khusus untuk wilayah Desa
Grajagan pemerintah kolonial memberikan pengecualian.4
Alasan penunjukan monumen alam Purwo-Jati Ikan menjadi Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan adalah untuk menjaga kelestarian habitat satwa
khas di Semenanjung Blambangan seperti banteng, rusa, kijang, macan tutul, penyu,
dan berbagai jenis burung.5 Mengingat pada tahun-tahun tersebut marak terjadi
perburuan terhadap satwa. Hal ini memang sesuai dengan pengertian dan fungsi
3
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Buku Informasi Balai Taman Nasional Alas
Purwo (Banyuwangi:TP,2011) hlm.6.
4
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, “ Laporan Survey Sengketa Areal
Suaka Alam/Hutan Wisata di Suaka Margasatwa Meru Betiri dan Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan”, Laporan pada Direktorat Jenderal Kehutanan tahun 1979, hlm.47.
5
Agus Setyabudi,”Kajian Kebijakan dalam Tumpang Tindih Pengelolaan Kawasan
di Taman Nasional Alas Purwo”. Tesis pada Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada, 2013. hlm.42.
39

suaka margasatwa yakni sebagai suatu kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas
berupa keanekaragaman jenis satwa tertentu, sehingga untuk menunjang kelestarian
satwa tersebut dari ancaman kepunahan perlu dilakukan upaya-upaya pembinaan
terhadap habitatnya.6
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan pada awal penetapan berdasarkan
Staatsblaaden tanggal 1 september 1939 No.6 Staatsbladden No.456. secara
keseluruhan memiliki luas total 62.000 hektar. Luas tersebut terdiri atas 41.149,1 ha
wilayah hutan asli yang berada di sebelah timur, sedangkan sisanya 19.202,2 ha di
sebelah barat merupakan wilayah berupa hutan jati, hutan lindung, perkebunan tebu,
dan hutan bakau.7 Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan secara geografis terletak
pada titik 8° 26’ 46’’ dan 8° 47’ 00” lintang selatan, serta 114° 20’ 16” dan 114° 36’
00” bujur timur.8 Lokasi Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan pada masa awal
penetapan terbentang di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Muncar, Kecamatan
Tegaldlimo, Kecamatan Purwoharjo, Kecamatan Bangorejo, Kecamatan Pedaton, dan
Kecamatan Pesanggaran.9
Ditinjau dari sisi topografi wilayahnya Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan merupakan wilayah yang masuk dalam kategori agak bergelombang serta
struktur vegetasinya yang tertutup. Kondisi topografi wilayah Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan di bagian timur mempunyai topografi area bergelombang ringan
hingga berat, serta berbukit hingga bergunung. Sedangkan di bagian barat Suaka
6
UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
7

Taman Nasional Baluran,” Laporan Team Evaluasi Suaka Alam di Pulau Jawa”,
Laporan pada Balai Taman Nasional Baluran tahun 1981, hlm.6.
8
Taman Nasional Baluran,” Laporan Inventarisasi Banteng (Bos Javanicus) di Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan tahun, Laporan pada Taman Nasional Baluran, 1985,
hlm.7.
9

Direktorat Bina Program Kehutanan,” Laporan Pengukuhan Batas Suaka


Margasatwa Banyuwangi Selatan, Gunung Mesigit dan Labuhan Merak”, Laporan pada
Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan tahun 1979, hlm.1.
40

Margasatwa didominasi oleh medan yang bergelombang ringan hingga datar serta
terdapat rawa-rawa. Di bagian barat banyak ditemukan tanaman-tanaman seperti jati,
mahoni serta terdapat area pemukiman warga. Selain itu, di bagian barat suaka telah
banyak lahan yang digunakan untuk keperluan persawahan dan perkebunan. 10
Ketinggian wilayah Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan terletak pada angka 384
mdpl. Beberapa sungai mengalir di area ini seperti Kali Wergul, Kali Bango, Kali
Jambe, Kali Bendo, serta beberapa sungai kecil lainnya.11
Menurut Schmidt dan Fergusson daerah Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan termasuk ke dalam kategori daerah dengan tipe iklim B. Dengan demikian
daerah Suaka Margsatwa Banyuwangi Selatan ini kondisi hutan di dalamnya
merupakan hutan hujan tropis basah dataran rendah.12 Kondisi ini tentunya
berpengaruh besar dalam pola vegetasi di dalamnya. Beberapa vegetasi yang terdapat
di Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan antara lain; hutan pantai, hutan payau,
hutan rawa, hutan hujan tropis, hutan rawa dan hutan bambu.13
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan yang memiliki luas area 62.000 Ha
merupakan habitat bagi beberapa jenis satwa dari berbagai kelas diantaranya kelas
aves, mamalia, dan reptilia. Pada tahun 1979, Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam berhasil menghimpun data satwa-satwa yang berada dalam
pengawasan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berdasarkan kelas dari masing-
masing satwa antara lain kelas mamalia, aves dan reptil.14
Dari kelas mamalia terdapat beberapa satwa yang masuk dalam kategori
pemakan daging (karnivora) seperti macan tutul (Panthera pardus melas), harimau
10
Ibid., hlm.49.
11
Direktorat Bina Program Kehutanan, op.cit., hlm.10.
12
Taman Nasional Baluran,” Laporan Investigasi Banteng (Bos Javanicus) di Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan, Laporan pada Taman Nasional Baluran, 1985, op.cit.,
hlm.1.
13

Ibid., hlm. 10.


14
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, op.cit.,hlm.52.
41

kumbang (Panthera pardus), kucing hutan (Felis bengalensis). Macan tutul dan
macan kumbang merupakan predator utama dari kelas mamalia dalam rantai makanan
di Kawasan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Kedua spesies ini termasuk
satwa yang yang dilindungi keberadaannya. Selain karnivora juga terdapat mamalia
pemakan rerumputan atau herbivora seperti banteng (Bos javanicus), rusa (Rusa
timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), tupai (Tupaia javanica), landak (Acanthion
brachyrum), babi hutan (Sus sp), serta kancil (Tragulus javanicus).15
Banteng, rusa dan kijang termasuk satwa yang menjadi prioritas Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan untuk dilindungi populasinya karena seringkali
menjadi obyek sasaran perburuan. Baik banteng, rusa maupun kijang sama-sama
satwa yang memiliki tanduk dan bagian inilah yang banyak diburu oleh manusia
karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Ketiga satwa ini mudah untuk dijumpai
karena habitatnya yang berada di wilayah hutan dataran rendah yang banyak
ditumbuhi rerumputan. Banteng menjadi satwa yang paling banyak menjadi objek
perburuan karena sering bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat
sekitar kawasan konservasi. Ruang jelajah banteng tidak hanya dalam lingkup
kawasan suaka margasatwa saja namun juga diluar kawasan seperti halnya kawasan
hutan produksi, serta di dalam area perkebunan masyarakat sekitar. Masuknya satwa
yang memiliki nama latin Bos Javanicus D’Alton 1823 ini ke area perkebunan
masyarakat dianggap sebagai hama yang berpotensi merusak tanaman perkebunan.16
Satwa lain dari kelas mamalia yang mendiami kawasan Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan berasal dari keluarga primata seperti lutung (Trachypithecus
criststatus) dan kera (Macaca fascicularis) banyak dijumpai di sekitar hutan tropis
dataran rendah Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Selanjutnya terdapat satwa
yang memiliki ukuran tubuh yang cukup kecil diantaranya, bajing (Callosciurus
15

Ibid., hlm.54.
16

Much. Taufik Tri Hermawan, “Perlindungan Ruang Jelajah Banteng dalam


kesenjangan Sistem Kawasan Konservasi di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur”.
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol VI No.2- Juli-September 2012. hlm. 107.
42

notatas), musang (Paguna lavarta), kalong (Pteropus vampyrus) tikus hutan (Rattus
surifer solaris), dan jelarang (Ratufa bicolor sparmann).17
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan juga merupakan habitat bagi satwa-
satwa yang termasuk dalam kelas aves atau burung. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Tim Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang meniliti
berbagai jenis satwa dari kelas aves di Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan,
menyebutkan bahwa terdapat 16 jenis satwa dari kelas aves.18 Berdasarkan laporan
dari Tim Taman Nasional Baluran yang melakukan inventarisasi satwa berhasil
melakukan pendataan ulang terhadap satwa dari kelas aves. Hasilnya jumlah satwa di
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dari kelas aves sebanyak 23 spesies.
Berdasarkan inventarisasi, Tim membagi satwa berdasarkan tingkat populasi nya.
Satwa yang tingkat populasinya banyak antara lain bangau tong-tong, elang Jawa,
gagak kecil, burung beo, burung pipit, rangkok, srigunting, terocok, dan walet. Satwa
yang tingkat populasinya cukup banyak antara lain ayam hutan, alap-alap, betet,
bubut, kucica, kepodang, kutilang, kangkareng, merak, pecuk ular, raja udang, dan
tulun tumpuk. Terdapat juga satwa yang jumlah populasinya sedikit di antaranya
burung bekiko dan burung perkutut.19 Dari sekian jenis burung di Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan, jenis satwa seperti merak menjadi perhatian khusus sebab
sering menjadi target perburuan liar. Bulu merak yang memiliki nilai eksostis serta
harga yang tinggi menarik perhatian para pemburu liar. Selain satwa dari kelas
mamalia dan aves terdapat pula satwa dari kelas reptil. Satwa-satwa yang masuk
dalam kategori reptil antara lain ular gadung, ular weling, ular belang, bunglon,
kadal , ular sanca, biawak, dan penyu.20 Di antara satwa-satwa reptilian tersebut,
17

Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, loc.cit.


18
Ibid., hlm.53.
19
Taman Nasional Baluran,” Laporan Investigasi Banteng (Bos Javanicus) di Suaka
Margasatwa Banyuwangi Selatan, Laporan pada Taman Nasional Baluran, 1985, op.cit.,
hlm.33.
20
43

penyu yang menjadi keberadaannya sangat dilindungi. Upaya konservasi terhadap


penyu dilakukan melalui program penetasan telur penyu yang dikonsentrasikan di
Pantai Ngagelan.
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan memang memiliki kekayaan vegetasi
alami yang besar. Kendati kaya akan vegetasi alami kondisi Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan pada awal setelah kemerdekaan masih belum dikatakan
maksimal dalam hal pengelolaan. Hal tersebut tentu akan berdampak terhadap
keberlangsungan program konservasi. Jika diruntut dari masa setelah kemerdekaan
status pengelolaan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan resmi
berada di bawah pengawasan Dinas Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) Jawa
Timur Wilayah II pada tahun 1968. Alasan penyerahan pengelolaan kepada Dinas
PPA Jawa Timur Wilayah II ialah untuk mengatasi masalah penanaman tanaman
ekonomis dari jenis mahoni dan jati yang ada di Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan.21 Dinas PPA Jawa Timur II berdasarkan struktur organisasinya membawahi 7
Rayon Perlindungan dan Pengawetan Alam (Rayon P.P.A.) serta 43 Resort
Perlindungan dan Pengawetan Alam (Resort P.P.A.). Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan berada di bawah pengawasan Rayon P.P.A. Blambangan. Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan memiliki 4 Resort P.P.A. antara lain Resort P.P.A. Purwo,
Segoro Anakan, Candrian dan Sembulungan. Dari keempat resort P.P.A. tersebut
terdapat beberapa resort yang belum memiliki personil keamanan. Kedua resort yang
dimaksud yakni Resort Candrian dan Sembulungan. Hal ini merupakan kerugian
tersendiri bagi keamanan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan.22

Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam , op.cit., hlm.55.


21

Tony Whitten, R.E Soeriaatmadja, dan Suraya A. Afif, Ekologi Jawa dan Bali,
penerjemah S.N. Kartikasari, Tyas Budi Utami, Agus Widyantoro (Jakarta: Prenhallindo,
1999) hlm. 822.
22
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, op.cit., hlm.68.
44

Wilayah bagian barat dari Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan merupakan


area yang dikelola oleh Perum Perhutani. Area ini kemudian digunakan oleh Perum
Perhutani untuk ditanami tanaman ekonomis seperti mahoni dan jati. Pada periode ini
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berada dalam pengelolaan dua lembaga
sekaligus yakni Perum Perhutani dan Dinas PPA Jawa Timur Wilayah II. 23
Berdasarkan data yang diinput oleh Tim Evaluasi Suaka Alam di Pulau Jawa tahun
1981, diketahui total luas area yang ditanami Perum Perhutani adalah 14.184,9 ha,
dengan rincian 10.438,5 ha ditanami pohon jati, sedangkan 838,8 ha untuk tanaman
turi 336,6 ha untuk ditanami pohon mahoni, 351 ha untuk ditanami tanaman albizia,
dan sisanya lebih dari 2000 ha ditanami tanaman seperti sawo kecik, sengon, klampis,
kesambi, dan lain-lain.24 Keberadaan pertanaman ekonomis di area yang sebenarnya
merupakan area khusus konservasi tentu tidak sejalan dengan cita-cita konservasi
yang telah dicanangkan sejak awal.
Pengelolaan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dibagi berdasarkan
kegunaan untuk hutan asli, hutan lindung serta untuk keperluan perkebunan. Terdapat
pembagian area pengelolaan yakni area timur yang dikelola Dinas PPA karena
memang di wilayah timur kaya akan vegetasi alami serta wilayah barat yang dikelola
oleh Perum Perhutani. Pembagian pengelolaan inilah yang sebenarnya turut
mempengaruhi terjadinya tumpang tindih pengelolaan kawasan yang berpotensi
mengurangi pengawasan terhadap kawasan konservasi.25 Adanya dualisme
pengelolaan tentunya akan mengurangi tingkat efisiensi pengelolaan kawasan.
Pengelolaan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berada di bawah Dinas PPA
sebagai lembaga negara yang mengurusi permasalahan perlindungan alam. Dalam
prakteknya dinas PPA tentunya tidak bekerja sendiri. Dinas PPA bekerja sama

23
Ibid., hlm.3.
24
Taman Nasional Baluran “Laporan Team Evaluasi Suaka Alam di Pulau Jawa”
Laporan pada Balai Taman Nasional Baluran tahun 1981, op.cit., hlm.7.
25
Agus Setya Budi, op.cit., hlm.76.
45

dengan lembaga lain yakni BKSDA atau Badan Konservasi Sumber Daya Alam yang
tersebar di berbagai provinsi maupun kota/kabupaten. Dalam hal ini BKSDA IV
Malang diserahi tugas untuk mengelola beberapa Suaka Margasatwa di wilayah
Provinsi Jawa Timur seperti Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dan Suaka
Margasatwa Meru Betiri.26
Kerjasama antara Dinas PPA Jawa Timur Wilayah II dengan BKSDA IV
Malang tentu merupakan langkah positif bagi keberlangsungan konservasi di Jawa
Timur lebih khusus lagi bagi Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Akan tetapi
langkah positif tersebut ternyata tidak dibarengi dengan kebijakan dari pemerintah
pusat. Karena pada tahun 1976 pemerintah pusat menginstruksikan untuk
meningkatkan kebutuhan gula baik dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor.
Peningkatan jumlah produski gula hanya dapat dicapai dengan dua cara yakni
perluasan area tanam dan pendirian pabrik gula baru. Alasan tersebut yang mendasari
keluarnya SK Menteri Pertanian tanggal 7 Juli 1976 No.414/kpts/Um/7/1976 yang
memustuskan bahwa lahan seluas 3.415,4 ha milik Perum Perhutani digunakan untuk
perkebunan tebu. Tak hanya itu dampak dari Keputusan Menteri Pertanian tahun
1976 telah mengizinkan berdirinya pabrik gula yang berlokasi di Benculuk dengan
nama PT. Perkebunan XXIV-XXV. Konversi ini menyebabkan luas area yang
dikelola oleh Perum Perhutani menjadi 18.384,6 ha, padahal sebelumnya luas area
yang dikelola oleh Perum Perhutani sebesar 21.800 ha. Hal ini diperparah dengan
masih banyaknya lahan-lahan hutan yang digarap oleh penduduk sekitar bahkan
sudah berkembang menjadi permukiman seluas 575 ha, demikian pula lahan milik
PT. Perkebunan XXIV-XXV yang juga telah memunculkan permukiman baru seluas
500 ha.27

26
Kantor Wilayah Departemen Kehutan Provinsi Jawa Timur,”Rencana Umum
Kehutanan Provinsi Jawa Timur”, Laporan pada Departemen Kehutanan Republik Indonesia
tahun 1985, hlm.3.
27

Direktorat Bina Program Kehutanan,” Laporan Pengukuhan Batas Suaka


Margasatwa Banyuwangi Selatan,Gunung Mesigit dan Labuhan Merak”, Laporan pada
Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan tahun 1979, op.cit., hlm.2.
46

Keberadaan pemukiman di dalam area Suaka Margasatwa Banyuwangi


Selatan menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini telah memunculkan perluasan area
yang dilakukan oleh pemukim-pemukim tersebut untuk membuka lahan persawahan
dan tegalan. Setidaknya terdapat tiga kelompok pemukim, pertama pemukim yang
sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Kedua pemukim yang dikerjakan oleh
Perhutani biasa disebut sebagai pemagersaren. Ketiga pemukim liar.28
Pemukim yang sudah ada sejak zaman Jepang sekitar tahun 1942/1945 status
keberadaanya diakui dan mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Banyuwangi
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pemukim yang didukung oleh Pemda
Banyuwangi tersebar di sepuluh desa dalam empat kecamatan yang berbeda yakni
Kecamatan Muncar, Kecamatan Tegaldlimo, Kecamatan Bangorejo dan Kecamatan
Purwoharjo. Pemukim magersaren atau pemagersaren tersebar di dua desa yakni Desa
Seneporejo dan Desa Grojogan. Di Desa Seneporejo terdapat 15 kepala keluarga
(KK) pemukim magersaren yang mengerjakan penanaman tumpangsari secara terus
menerus atas perintah pihak Perhutani. Di Desa Grojogan terdapat sebanyak 25 KK
pemagersaren yang sudah tidak mengerjakan garapan dari Perhutani namun mereka
tetap tinggal di Desa Grojogan. Jadi total terdapat 40 pemagersaren di Kawasan
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan. Terakhir terdapat kelompok pemukim liar
yang tersebar di dua desa yakni Desa Kedunggebang dan Desa Grojogan. Di Desa
Kedunggebang terdapat 40 KK pemukim yang menggarap tambak-tambak milik
Perhutani. Sedangkan di Desa Grojogan hanya terdapat 9 KK pemukim yang datang
begitu saja karena pemagersaren yang ada di Grojogan tidak mau pergi. 29 Keberadaan
pemukiman di area konservasi perlu mendapat perhatian dan pertimbangan yang
lebih lanjut dari pihak pengelola maupun dari pemerintah setempat.

28
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, op.cit., hlm.81.
29
Ibid., hlm.82-83.
47

Permasalahan sengketa area yang terjadi di Suaka Margasatwa Banyuwangi


Selatan dan beberapa area konservasi lainnya termasuk Suaka Margasatwa Baluran
mendapat perhatian dari para peneliti dalam negeri yang mempunyai konsen dalam
bidang kehutanan. Pada tahun 1977 dan 1978 beberapa peneliti atau ahli konservasi
seperti John Wind, Harry Amir, serta Hoogerwerf turut melakukan penelitian lapang
di beberapa area konservasi di Jawa Timur. Hasil penelitian tersebut dikolaborasikan
dengan beberapa laporan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Hasil
dari penelitian tersebut baru dipublikasikan pada tahun 1979 oleh Nature
Conservation and Wild life Management Project selaku lembaga konservasi dunia.
Laporan tahun 1979 tersebut dijadikan dasar bagi pengelolaan area konservasi di
Jawa Timur seperti Suaka Margasatwa Baluran dan Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan.30 Bertepatan dengan Rencana Pengelolaan area konservasi di Jawa Timur,
ternyata pada periode yang sama banyak area suaka margasatwa di Indonesia
berbondong-bondong mendeklarasikan diri sebagai calon taman nasional.

3.2 Kawasan Alas Purwo sebagai calon Taman Nasional 1982-1992


Peninjauan kembali terhadap kawasan-kawasan konservasi yang dibentuk Pemerintah
Kolonial Belanda inilah yang disesuaikan dengan kriteria taman nasional yang telah
dicanangkan oleh The International Union for Conservation of Nature atau IUCN.
Taman nasional masuk ke dalam kategori kawasan II konservasi IUCN. Kriteria
taman nasional menurut IUCN di antaranya taman nasional harus mengandung isi
istimewa serta keindahan alamnya masih dalam keadaan utuh, serta terdapat sistem
penjagaan dan perlindungan yang efektif dimana beberapa ekosistem secara fisik
tidak diubah karena adanya eksploitasi dan pemukiman manusia. 31 Realisasi Taman

30
Kantor Wilayah Departemen Kehutan Provinsi Jawa Timur, op.cit., hlm.204
31
Soewardi, Menyongsong Taman Nasional (National Park) di Indonesia (Bogor:
Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Jenderal Kehutanan,1978)
hlm.24.
48

Nasional di Indonesia terjadi pada masa-masa menjelang digelarnya kongres taman


nasional sedunia yang ke tiga di Bali tahun 1982.
Pada saat digelarnya Kongres Taman Nasional Sedunia ke-III di Bali tahun
1982 Menteri Pertanian Indonesia mengesahkan 11 area konservasi sebagai calon
taman nasional. Adapun 11 kawasan konservasi yang dimaksud antara lain Kerinci
Seblat, Way Kambas, Bukit Barisan Selatan, Bromo-Tengger-Semeru, Suaka
Margasatwa Meru Betiri, Bali Barat, Tanjung Puting, Kutai, Lore Lindu, Dumoga
Bone/Bogani Nani Wartabone, dan Manusela.32 Suaka Margasatwa Banyuwangi
Selatan belum mendeklarasikan diri sebagai calon taman nasional. Pada tahun 1984
terbitlah surat keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
no.46/kpts/VI/1984 tanggal 11 Desember 1984 yang menegaskan bahwa wilayah
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan merupakan unit kerja di bawah Taman
Nasional Baluran. SK Menteri Kehutanan nomor 096/kpts-II/1984 tanggal 12 Mei
1984 berisi tentang organisasi dan tata kerja Taman Nasional. Wilayah kerja yang
ditetapkan dengan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
no.46/kpts/VI/1984 tanggal 11 Desember 1984 antara lain:
Suaka Margasatwa Baluran 25.000 ha
Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan 42.117 ha
Cagar Alam Pancur Ijen I/II 9 ha
T.H. kawah Ijen Merapi 92 ha
Hutan Lindung Ijen dengan perluasan C.A Ijen 2.468 ha
Luas keseluruhan wilayah kerja Taman Nasional Baluran pada tahun 1984 yakni
69.686 ha. Dengan ketetapan ini maka Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan sudah
tidak lagi dalam naungan BKSDA IV Malang, namun berada dalam naungan Taman
Nasional Baluran sebagai salah satu wilayah kerja.33

32
Ibid., hlm.i.
33

Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Loc.cit.


49

Pada tahun 1987 atas usulan dari Taman Nasional Baluran yang mengajukan
mintakat atau dalam istilah sekarang disebut juga zonasi untuk Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pengawetan
Alam. Mintakat Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan sesuai dengan Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No.51/Kpts/DJ-VI/1987 adalah sebagai berikut:
Mintakat inti : 17.200 ha
Mintakat Rimba: 24.767 ha
Mintakat pemanfaatan: 250 ha
Mintakat penyangga : 1.203 ha34
Permintaan mintakat ini merupakan upaya untuk memperkuat pengelolaan
kawasan wilayah kerja Taman Nasional Baluran. Selain itu, Balai Taman Nasional
Baluran juga melakukan pengukuhan batas kawasan, invetarisasi potensi dan kondisi
kawasan serta peningkatan pengadaan sarana-prasarana di Suaka Margasatwa
35
Banyuwangi Selatan. Berbagai upaya yang dilakukan juga bertujuan untuk
menyiapkan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan sebagai calon taman nasional.
Berkaitan dengan hal itu maka Pihak Balai Taman Nasional Baluran melakukan
berbagai langkah pembangunan fisik di Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan yang
dipusatkan di wilayah Marengan dan Grajagan. Langkah awal yang dilakukan dengan
memulai pembangunan pusat perdagangan lokal serta menambah sarana akomodasi
baik di darat maupun di laut.36 Langkah pembangunan awal di Banyuwangi Selatan
ini lebih banyak dipengaruhi oleh tujuan pengembangan area wisata.
Selain pembangunan fisik, Balai Taman Nasional Baluran juga melakukan
pengembangan potensi kawasan dengan melakukan penelitian dan inventarisasi

34
Bagian Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo, “Laporan
Evaluasi Zonasi Taman Nasional Alas Purwo”, Laporan pada Balai Taman Nasional Alas
Purwo tahun 1999 hlm.4.
35
Departemen Kehutanan, Laporan Akhir Engineerig Design Taman Nasional
Baluran (Bandung: PT.ISO-IKI,1987) hlm .79.
36
Ibid., hlm.149.
50

terhadap flora dan fauna di Banyuwangi Selatan. Langkah inventarisasi ini bahkan
tetap berlanjut hingga tahun 1997. Beberapa inventarisasi yang berhasil dilakukan
oleh Tim Balai Taman Nasional Baluran di wilayah Banyuwangi Selatan antara lain:
inventarisasi satwa banteng (Bos Javanicus) tahun 1985, inventarisasi flora eksotik
tahun 1996, inventarisasi potensi hutan bakau dan rawa di daerah segoro anak tahun
1994, inventarisasi satwa predator tahun 1997 dan inventarisasi flora dataran rendah
tahun 1997.37 Berbagai pembangunan fisik maupun nonfisik yang dilakukan oleh
Balai Taman Nasional Baluran membuahkan hasil positif pada tahun 1992 dengan
ditetapkannya Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan menjadi Taman Nasional Alas
Purwo dengan luas total 43.420 ha. Nama Alas Purwo diadopsi karena memang
wilayah ini sejak awal merupakan hutan luas bernama hutan Purwo. Pada masa
Belanda pun wilayah ini dikenal sebagai hutan Purwo yang memiliki kekayaaan hasil
hutan berupa kayu.38 Istilah hutan dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah
alas, sedangkan purwo merupakan kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti yang
utama atau awal.

3.3 Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo


Setelah dipersiapkan kurang lebih selama 10 tahun, peningkatan status kawasan
konservasi Alas Purwo pun berhasil dilakukan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehutanan No.283/Kpts-II/1992 menyatakan bahwa Suaka Margasatwa
Banyuwangi Selatan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional. Alasan yang
melatarbelakangi peningkatan status Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan menjadi
37

Laporan inventarisasi Balai Taman Nasional Baluran.


38

Balai Taman Nasional Alas Purwo, Zonasi Taman Nasional Alas Purwo
(Banyuwangi: TP,2015) Loc.cit
51

Taman Nasional karena Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dianggap sebagai


wilayah konservasi yang mewakili tipe ekosistem hujan tropis dataran rendah. Di
dalamnya terdapat banyak flora dan fauna khas yang keberadaan dan habitatnya
dilindungi. Satwa banteng (Bos Javanicus D’Alton 1823) dan Macan dahan (Neofelis
nebulosa) yang keberadaannya dilindungi menjadi salah satu pertimbangan utama
penunjukan Taman Nasional Alas Purwo sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan tahun 1992. Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan dianggap telah
memenuhi kriteria sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP) yang diresmikan oleh Ir. Hasjrul Harahap selaku Menteri Kehutanan RI pada
26 Februari 1992. Taman Nasional Alas Purwo memiliki luas 43.420 ha termasuk
areal bufferzone seluas 1303 ha.39

39
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.283/Kpts-II/1992.
52

Gambar.3.1 Peta Zonasi Taman Nasional Alas Purwo

Sumber: https://tnalaspurwo.org/peta-lingkup-tn-alas-purwo.php/peta-zonasi diakses


pada 17 juli 2019.
Dalam SK tersebut Ir. Hasjrul Harahap juga memerintahakan Direktur
Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan atau INTAG untuk segera melaksanakan
penataan batas TNAP yang baru serta penetapan kawasan hutan. Berkenaan dengan
instruksi tersebut maka Dirjen INTAG selaku pihak pelaksana pertama kali
melakukan penataan batas fungsi kawasan antara kawasan TNAP sebagai fungsi
konservasi dengan kawasan Perum Perhutani Banyuwangi Selatan sebagai hutan
produksi khususnya di areal bekas zona penyangga. Kedua, melakukan penataan
53

batas sampai temu gelang yang berupa batas darat dan batas alam pantai. Terakhir
melakukan penetapan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagai kawasan
konservasi. Kendati, sudah resmi menjadi Taman Nasional namun status pengelolaan
TNAP tetap berada di bawah naungan dari pihak Balai Taman Nasional Baluran. Hal
tersebut terjadi karena Unit Pelaksana Teknis atau UPT Alas Purwo masih belum bisa
dibentuk.40 Pengelolaan Taman Alas Purwo secara mandiri baru bisa dilakukan
setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1997
tanggal 31 Maret 1997. Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut maka pada
tanggal 10 November 1997 secara resmi pengelolaan Alas Purwo benar-benar
berpisah dengan Balai Taman Nasional Baluran. 41 Meskipun demikian pihak Balai
Taman Nasional Baluran tetap memantau dan membantu perkembangan di Alas
Purwo. Hal ini dibuktikan dengan barang-barang inventaris milik Balai Taman
Nasional Baluran yang statusnya dipinjam pakai oleh pengelola Alas Purwo. Barang-
barang yang dipinjam pakai oleh Taman Nasional Alas Purwo antara lain: tanah
sebanyak 8 lokasi, 45 unit bangunan, kendaraan bermotor roda empat sebanyak satu
unit, kendaraan bermotor roda dua sebanyak sembilan unit, alat angkutan darat bukan
motor (sepeda gunung) sebanyak empat unit, alat angkutan apung bermotor dua unit,
dan alat angkutan apung tak bermotor sebanyak satu unit.42
Pada tahun 1999 hingga 2000 di bawah kepemimpinan Ir.Sunandar TN selaku
Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo banyak kerjasama diadakan dengan
beberapa stakeholder terkait untuk melakukan pembangunan fisik. Pembangunan
fisik bertujuan untuk menguatkan keamanan kawasan serta untuk mempermudah
petugas dalam melakukan pengawasan. Terdapat empat hal yang menjadi tujuan
40
Tim Penulis Proyek Pengembangan Taman Nasional Alas Purwo“Laporan
Inventarisasi Flora Eksotik di Taman Nasional Alas Purwo”, Laporan pada Taman Nasional
Baluran,tahun 1996 ,hlm.11.
41
Bagian Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo , Loc.cit.
42
Balai Taman Nasional Baluran,”Laporan Hasil Inventarisasi Barang Inventaris
Kekayaan/Milik Negara pada Balai Taman Nasional Baluran”, Laporan pada Departemen
ehutanan dan Perkebunan tahun 1998, hlm. 11-12.
54

pembangunan fisik di Taman Nasional Alas Purwo yakni pembangunan pondok jaga
seluas 60 m2, rehabilitasi pondok peneliti seluas 70 m2, rehabilitasi kantor balai seluas
90 m2, dan pembangunan shelter seluas 16 m2 sebanyak dua buah. Guna
mensukseskan rencana pembangunan fisik tersebut Pihak Balai Taman Nasional Alas
Purwo menggandeng CV. Dinamika Arsi Prima pada November 1999. Total biaya
untuk perencanaan pembangunan fisik di Taman Nasional Alas Purwo menelan biaya
sebesar Rp. 7.550.000.43 Pembangunan fisik ini merupakan langkah positif yang
menunjang tingkat keamanan kawasan.

3.3.1 Pengembangan Wisata di Area Taman Nasional Alas Purwo 2006-2013


Terjadinya tindakan penebangan liar, perburuan liar serta perdagangan satwa di pasar
gelap merupakan ancaman nyata bagi keberlangsungan program konservasi di Taman
Nasional Alas Purwo. Kekayaan sumber daya alam hayati yang dimiliki oleh Alas
Purwo akan terancam kelestariannya akibat tindakan-tindakan melanggar hukum
tersebut yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Maka dari
itu, Balai Taman Nasional Alas Purwo selaku pihak pengelola memiliki tanggung
jawab penuh untuk mengatasi berbagai ancaman terhadap kawasan konservasi
tersebut. Meskipun demikian pihak Balai Taman Nasional Alas Purwo terlihat
kewalahan untuk mengatasi permasalahan tersebut sendirian. Kendati jumlah
personel keamanan yang diterjunkan sudah bertambah namun faktanya hal tersebut
tak cukup kuat untuk mengatasi secara tuntas berbagai aksi pelanggaran yang terjadi
di Kawasan Alas Purwo, sehingga bantuan dari pihak lain diperlukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut bersama-sama termasuk dengan melibatkan peranan
warga masyarakat sekitar kawasan.44

43
Balai Taman Nasional Alas Purwo, “Surat Perjanjian Pekerjaan Perencanaan”,
Laporan pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam tahun 1999, hlm.7.
44
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Master Plan Desa Model: Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Penyangga Balai Taman Nasional Alas Purwo (Banyuwangi
:Departemen Kehutanan, 2006) hlm.1.
55

Peranan masyarakat sekitar dalam rangka untuk menjaga kelestarian kawasan


konservasi Taman Nasional Alas Purwo sangat dibutuhkan. Masyarakat sekitar area
konservasi bisa disebut sebagai benteng terakhir yang diharapkan mampu menjaga
kelangsungan roda konservasi. Melihat kenyataan tersebut pada tahun 2006 kepala
Balai Taman Nasional Alas Purwo Ir. M.Z. Hudiyono mengambil langkah dengan
mengeluarkan keputusan penting yang bertujuan untuk mengajak masyarakat sekitar
taman nasional ikut serta dalam menjaga keutuhan dan kelestarian alam. Keputusan
tersebut berupa rencana pemberdayaan masyarakat desa penyangga melalui tata
rencana pembentukan desa model atau Model Desa Konservasi (MDK) . Tentu
pembentukan model desa konservasi memerlukan perencanaan yang matang agar
hasilnya juga maksimal Tujuan utama dari pembentukan model desa konservasi yakni
memberikan edukasi dan kesadaran kepada masyarakat sekitar kawasan untuk
menjaga kelestarian dan keutuhan kawasan.45
Kegiatan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga yang dicanangkan oleh
Balai Taman Nasional Alas Purwo meliputi tiga hal utama yakni, pertama
menumbuhkembangkan kesempatan, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi, kedua pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada peningkatan
pendapatan dan pelestarian sumberdaya hutan, ketiga pengembangan kapasitas
individhu, organisasi serta sistem kelembagaan. Guna menanamkan ketiga hal
tersebut pihak taman nasional menggandeng beberapa pihak terkait seperti
Departemen Kehutanan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, pemerintah desa
sekitar. Kerjasama juga dilakukan dengan negara lain untuk keperluan pendanaan
baik berupa pinjaman maupun dana hibah, serta lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Elemen-elemen tersebut saling bersinergi dalam melakukan berbagai langkah
pendekatan untuk menarik simpati masyarakat setidaknya untuk hadir dalam acara
sosialisasi yang dilakukan.46
45

Ibid., hlm.3.
46
Ibid., hlm.16.
56

Pada awalnya masyarakat enggan untuk hadir dalam beberapa acara


sosialisasi karena masih ada kekhawatiran tersendiri ketika bertemu dengan orang-
orang dari taman nasional. Lalu kemudian strategi pendekatan tersebut dirubah yakni
dengan menggunakan sistem jaring-jaring antar warga masyarakat. Sistem jaring-
jaring yang dimaksud yakni menempatkan kader konservasi yang sudah faham
mengenai konservasi dan tentu berasal dari warga masyarakat sendiri untuk
memberikan materi kepada warga masyarakat lain yang belum paham mengenai
konservasi dan pelestarian alam. Pendekatan ini memang lebih ampuh dikarenakan
bahasa yang digunakan oleh pemberi materi lebih sederhana dan mudah dimengerti.
Selain itu kedekatan emosional antara pemberi materi dengan peserta sosialisasi
memang sudah terjalin sebelumnya sehingga tidak menimbulkan sekat. Hasilnya
makin banyak warga masyarakat yang mau hadir dalam acara sosialisasi tersebut. 47
Sosialisasi dilakukan di seluruh desa penyangga Taman Nasional Alas Purwo tak
terkecuali di Desa Sumberasri Kecamatan Purwoharjo. Dalam proses sosialisasi yang
digelar di Aula Rapat Balai Desa Sumberasri tanggal 2 hingga 6 Desember 2006 juga
diadakan kegiatan Pelatihan Peningkatan Keterampilan Masyarakat-Model Desa
Konservasi (PPK-MDK). Jumlah peserta kegiatan PPK-MDK Desa Sumberasri
mencapai 30 orang dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda mulai dari
peternak, pedagang, wiraswasta, dan petani.48
Kegiatan PPK-MDK Desa Sumberasri berada dalam tanggung jawab Kepala
Balai Taman Nasional Alas Purwo Ir.M.Z. Hudiyono dan diketuai oleh Joko Waluyo,
S.hut. PPK-MDK Desa Sumberasri merupakan bentuk kerjasama antar elemen
diantaranya Pusat Pembinaan Penyuluhan (Pusbinluh) Departemen Kehutanan, Balai
Taman Nasional Alas Purwo, Dinas Peternakan CD. Purwoharjo, Pemerintah Desa

47

Wawancara dengan Wahyu Setyawan, Banyuwangi 10 Januari 2019.


48
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan Keterampilan Bagi Masyarakat Model
Desa Konservasi di Desa Sumberasri Kecamatan Purwharjo Kabupaten Banyuwangi Tahun
2006. Laporan pada Balai Taman Nasional Alas Purwo tahun 2006, hlm.2.
57

Sumberasri, Dinas Kehutanan Pertanian dan Urusan Ketahanan Pangan Kabupaten


Banyuwangi. Masing-masing dari elemen tersebut memberikan informasi kepada
peserta sesuai bidangnya.49
Setelah banyak warga masyarakat yang hadir dalam acara sosialisasi tentu
banyak warga yang tersadarkan tentang pentingnya pelestarian alam. Demi menjaga
frekuensi partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi juga diarahkan untuk
peningkatan pendapatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat selalu
dihadapkan dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya. Melihat realita tersebut maka pihak Balai Taman Nasional Alas Purwo
merencanakan untuk membuka bisnis yang mencakup antara lain bisnis berbasis
kehutanan, agroforestry serta aneka usaha kehutanan.50 Konsep bisnis yang berbasis
kehutanan diharapkan mampu menjembatani antara program konservasi dengan
kepentingan ekonomi masyarakat. Menyeimbangkan dua kepentingan yang berbeda
memang tidak mudah dan memerlukan diskusi yang mendalam untuk mengkaji hal
tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka, diperlukan kesepakatan bersama yang
dijadikan sebagai bahan acuan atau MoU.
Rencana pembentukan MoU sebagai sarana untuk memperkuat pengelolaan
dengan mengadakan Nota Kesepakatan antara pihak Balai Taman Nasional Alas
Purwo dengan pemerintah desa terkait. Salah satu contohnya yakni MoU Pemerintah
Desa Sumberasri dengan Balai Taman Nasional Alas Purwo terkait kerjasama
pengelolaan ekowisata di Blok Bedul . Nota Kesepakatan ditandatangani pada tanggal
31 Januari 2007 oleh Drs. Suyatno selaku Kepala Desa Sumberasri dengan Kepala
Balai Taman Nasional Alas Purwo Ir.M.Z. Hudiyono. Rencana tindak lanjut dari
Mou kesepakatan tersebut dimulai dengan mengadakan initial survey lokasi on-site
yang dilakukan di Balai Taman Nasional Alas Purwo yang dihadiri oleh perwakilan

49
Ibid., hlm.3.
50
Balai Taman Nasional Alas Purwo, Master Plan Desa Model: Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Penyangga Balai Taman Nasional Alas Purwo (Banyuwangi
:Departemen Kehutanan, 2006) loc.cit.
58

dari Desa Sumbersari pada 29-31 Oktober 2007. Initial survey berupa hasil
pengamatan Tim Balai Taman Nasioal Alas Purwo mengenai potensi Desa
Sumberasri khususnya di Blok Bedul yang kemudian dijadikan bahan diskusi
bersama dengan perwakilan Desa Sumberasri. Selanjutnya Tim Balai Taman
Nasional Alas Purwo melakukan survey lokasi di Desa Sumberasri pada tanggal 28
hingga 30 April 2008 yang dihadiri oleh warga setempat untuk menyamakan presepsi
bersama mengenai keberadaan hutan mangrove di Blok Bedul. Kemudian pada
tanggal 22 juli 2008 diadakan pertemuan lanjutan tapi dengan pihak-pihak terkait
diantaranya perwakilan dari Dinas Pariwisata Banyuwangi, serta LSM untuk
menyamakan presepsi tentang pengelolaan Blok Bedul. Hasil dari berbagai
pertemuan tersebut berhasil membentuk Badan Pengelola Wisata Mangrove Blok
Bedul atau BPWMB yang diresmikan pada 29 Oktober 2008.51
Proyek Ekowisata Mangrove Bedul baru diresmikan pada bulan Juli 2009
berdasarkan hasil kesepakatan baik oleh Pihak Taman Nasional Alas Purwo,
Pemerintah Desa Sumberasri dan stake holder terkait yakni berupaya untuk
mengenalkan keindahan dan keunikan mangrove. Sebenarnya cikal bakal keberadaan
Ekowisata Mangrove Bedul berasal dari kegiatan PPK-MDK Desa Sumberasri pada
Desember 2006. Dalam kegiatan tersebut terdapat rekomendasi-rekomendasi yang
bertujuan untuk menjadikan Desa Sumberasri sebagai desa wisata melalui
komunikasi dan dialog antara pihak promotor maupun eksekutor PPK-MDK.
Pembangunan SDM, infrastruktur, kelembagaan serta jejaring kerja juga disinggung
demi pemantapan Desa Sumberasri sebagai desa wisata.52 Rekomendasi ini dalam
praktiknya dijalankan dengan seksama sehingga pengelolaan Ekowisata Mangrove
51

Balai Taman Nasional Alas Purwo,” Laporan Perjalanan Dinas dalam Seminar on
Demonstration for Sustainable Mangrove Management: Follow up Activities of The JICA
Technical Cooperation Sub Sectoral Programme on Mangrove”, Laporan pada Balai Taman
Nasional Alas Purwo tahun 2010, hlm. 17.
52

Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan Keterampilan Bagi Masyarakat Model


Desa Konservasi di Desa Sumberasri Kecamatan Purwharjo Kabupaten Banyuwangi Tahun
2006. Laporan pada Balai Taman Nasional Alas Purwo tahun 2006, op.cit., hlm.6.
59

Bedul bisa dikelola secara mandiri oleh BPWMB tanpa harus melibatkan invenstor
besar. Ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai untuk para pengunjung sangat
diperlukan untuk menunjang Ekowisata Mangrove Bedul. Fasilitas yang dimaksud
antara lain pembangunan dermaga senilai Rp.500.000.000 pada tahun 2009,
rehabilitasi jalan sepanjang 5 km sampai ke area parkir menelan biaya
Rp.1.200.000.000. Sumber dana pembangunan dermaga dan rehabilitasi jalan berasal
dari Dinas PU dan Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Fasilitas pendukung
lain seperti 6 unit perahu penyebrangan, 6 unit warung makan dan 5 rumah penduduk
yang digunakan untuk penginapan merupakan hasil dari swadaya masyarakat.53
Pada awal pembukaan Ekowisata Mangrove Bedul jumlah petugas pengelola
BPWMB mencapai 18 orang dengan rincian 8 orang bekerja sebagai tour gaet dan
sekitar 10 orang lainnya bertugas untuk mengatur manajemen organisasi,
pertanggungjawaban konservasi, perencanaan, distribusi keuntungan, kemudian
merencanakan rehabilitasi mangrove, serta melaksanakan program pendidikan
lingkungan dengan cara datang ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan ekologi
mangrove.54 Dalam kaitannya untuk meningkatkan kapasitas anggota BPWMB maka
dilakukan berbagai pelatihan diantaranya: pelatihan identifikasi flora dan fauna yang
hidup di dalam ekosistem mangrove, pelatihan bahasa Inggris yang diakomodir oleh
perwakilan dari JICA serta Dinas Pariwisata Banyuwangi, terakhir dengan melakukan
study banding ke wisata mangrove yang ada di Bali, Lombok, Batam dan Bintan.55
Ekowisata Mangrove Bedul menawarkan keindahan hutan mangrove bagi
para pengunjung. Pihak pengelola ekowisata menyediakan berbagai macam paket
diantaranya paket PLH yang terdiri atas 10 orang dalam satu grup seharga
53

Ibid., hlm.23.
54
Wawancara dengan Wahyu Setyawan, Banyuwangi, 10 Januari 2019.
55
Balai Taman Nasional Alas Purwo,” Laporan Perjalanan Dinas dalam Seminar on
Demonstration for Sustainable Mangrove Management: Follow up Activities of The JICA
Technical Cooperation Sub Sectoral Programme on Mangrove”, Laporan pada Balai Taman
Nasional Alas Purwo tahun 2010, op.cit., hlm.24.
60

Rp.150.000 dengan fasilitas seperti guide, boat, hand out, dan air mineral; paket
mancing untuk satu grup yang terdiri dari lima orang dalam waktu maksimal 10 jam
dibanderol dengan harga Rp.150.000 dengan fasilitas perahu; paket wisata pantai
selatan yang hanya dikenai biaya penyebrangan sebesar Rp.4000 /orang; paket
penginapan sebesar Rp.75.000 per malam.56
Berkat pengelolaan yang dilakukan secara kolektif dan terencana, Ekowisata
Mangrove Bedul mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, pada tahun
2010 Ekowisata Mangrove Bedul dipercaya mewakili Kabupaten Banyuwangi dalam
lomba Anugerah Wisata Nasional (AWN) Jawa Timur dan berhasil menyabet
penghargaan sebagai the best commitment ecotourismt.57 Tak hanya itu, berdasarkan
informasi yang dihimpun dari petugas pengelola Ekowisata Mangrove Bedul jumlah
pengunjung pada tahun 2010 cukup ramai. Berikut tabel Pengunjung Ekowisata
Mangrove Bedul tahun sejak 2010 hingga 2012;
Tabel 3.1
Jumlah Pengunjung Ekowisata Mangrove Bedul 2010 higga 2012.
Tahun 2010 83.439
Tahun 2011 58.752
Tahun 2012 (hingga bulan Juli) 26.399
Sumber : Balai Taman Nasional Alas Purwo, Laporan Pengunjung Ekowisata
Mangrove Bedul tahun 2012.
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pada tahun 2010 jumlah
pengunjung Ekowisata mangrove Bedul mencapai 83.439, akan tetapi pada tahun
2011 jumlah pengunjung menurun menjadi 58.752 pengunjung, dan pada Januari
hingga Juli 2012 sebanyak 26.399 pengunjung.58 Penurunan tersebut disebabkan
karena berbagai faktor seperti munculnya destinasi wisata baru di sekitar wilayah
56

Ibid., hlm.26.
57

Ibid., hlm. 27.


58

Balai Taman Nasional Alas Purwo, Laporan Pengunjung Ekowisata Mangrove


Bedul tahun 2012.
61

Kabupaten Banyuwangi serta tersdapat beberapa anggota BPWMB yang beralih ke


pekerjaan lain yang tentu berakibat pada keseimbangan pengelolaan Ekowisata
Mangrove Bedul.59 Pada tahun 2013 pengelolaan Ekowisata Mangrove yang berada
di area Taman Nasional Alas Purwo secara resmi menjadi Badan Usaha Milik Desa
(BUMDES) Pemerintah Desa Sumbersari dengan pengawasan pihak Taman Nasional
Alas Purwo.60 Keberadaan Ekowisata Mangrove Bedul di Taman Nasional Alas
Purwo mencerminkan fungsi taman nasional sebagai sarana pariwisata dan rekreasi.
Selain itu taman nasional juga berfungsi sebagai objek penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan.61
Sebagai objek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan Taman
Nasinal Alas Purwo sering dikunjungi beberapa peneliti. Berdasarkan data yang
diinput oleh Tim Penulis Balai Taman Nasional Alas Purwo sejak tahun 1988 hingga
2012 terdapat 332 judul penelitian di Taman Nasional Alas Purwo. Para peneliti
berasal dari berbagai macam latar belakang ilmu pengetahuan. Berikut daftar grafik
penelitian di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan latar belakang peneliti:

Tabel 3.2
Grafik Penelitian di Alas Purwo Tahun 1988-2012

59

Wawancara dengan Wahyu Setyawan, Banyuwangi, 10 Januari 2019.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Buku Panduan 41


60

Taman Nasional di Indonesia(Jakarta: TP, 2003) hlm 45.


61

UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
62

Kehutanan (51%)
MIPA (24%)
Perikanan dan Kelautan
(4%)
Lain-lain (16%)
Tanpa keterangan (5%)

Sumber : Buku Informasi Penelitian Alas Purwo tahun 2012.


Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa sebagian besar penelitian di
Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh peneliti yang berasal dari bidang Ilmu
Kehutanan dengan prosentase 51% diikuti dengan peneliti dari bidang Ilmu
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) sebesar 24%, Ilmu Perikanan dan
Kelautan 4%. Sisanya sebesar 16% berasal dari beberapa bidang ilmu pengetahuan
antara lain; Ilmu Geografi, Tehnik, Pariwisata, Farmasi, Kedokteran Hewan, Sejarah,
Hukum dan Ekonomi, dan 5% sisanya tanpa keterangan yang jelas. 62 Tulisan
mengenai sejarah di Alas Purwo masih sedikit bila dibandingkan dengan bidang ilmu
pengetahuan yang lain. Dari 332 total penelitian tersebut paling banyak ditujukan
untuk penulisan skripsi sebanyak 50% sisanya untuk keperluan tugas akhir sebesar
6%, tesis 6%, disertasi 2% , riset dan pengembangan 12% dan 24 % sisanya tanpa
keterangan yang pasti.63

62

Rudijanta Tjahja Nugraha dkk, Buku Informasi Penelitian Alas Purwo (Banyuwangi:
Balai Taman Nasional Alas Purwo, 2012) Hlm. 1-3.
63

Ibid., hlm.6.

Anda mungkin juga menyukai