Anda di halaman 1dari 8

Harmful Algal Blooms

1 Pengertian Harmful Algae Blooms

Harmful Algal Bloom (HAB) adalah suatu fenomena blooming fitoplankton toksik di suatu
perairan yang dapat menyebabkan kematian biota lain. Mengapa? Karena dengan bloomingnya
algae, membuat membuat persediaan nutrisi cepat habis karena algae atau fitoplankton
memanfaatkannya. Harmful Algal Bloom (HAB) juga sering diartikan sebagai peningkatan yang
cepat atau akumulasi dalam populasi ganggang (biasanya mikroskopis) dalam sebuah sistem
perairan. Ganggang dapat ditemui di air tawar maupun lingkungan laut.

Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan
organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar mata rantai pada siklus atau rantai
makanan di laut. Namun fitoplankton tertentu mempunyai peran menurunkan kualitas perairan
laut apabila jumlahnya berlebih (blooming). Fitoplankton penyebab HAB dibagi menjadi ke dua
kelompok yaitu, kelompok penghasil racun dan penghasil biomassa tinggi. Tingginya populasi
fitoplankton beracun di dalam suatu perairan dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi
ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan
kematian berbagai makhluk air lainnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa jenis
fitoplankton yang potensial blooming adalah yang bersifat toksik, seperti dari beberapa
kelompok Dinoflagellata yaitu Alexandrium spp, Gymnodinium spp, dan Dinophysis spp. Dari
kelompok Diatom, yaitu Pseudonitszchia spp. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan
terdapat 11 spesies penyebab HAB, antara lain Nitzschia sp., Chaetoceros sp., Chaetoceros
diversus, Chaetoceros pseudocarvisetum dari kelas Bacillariophyceae, Ceratium sp.1, Ceratium
sp.2, Ceratium sp.3, Ceratium sp.4, Prorocentrum sp., Dinophysis homunculus dari kelas
Dinoflagellata dan Anabaena sp. dari kelas Cyanophyceae.

Umumnya jenis fitoplankton dari Dinoflagellata dapat memproduksi racun, dengan karakteristik
seperti dapat melakukan fotosintesis, seluruhnya hidup di daerah estuari yaitu bantaran sungai
dan neritik yaitu zona laut yang paling dekat dengan daratan, lalu kemungkinan semuanya dapat
membentuk stadium seksual di dasar laut yang memiliki pengertian bahwa fitoplankton dapat
membentuk kista jika lingkungan tidak mendukung untuk dirinya. Ketika fitoplankton dalam
bentuk kista, ia masih dapat bereproduksi. Dan yang terakhir adalah fitoplankton dapat blooming
atau dapat meledak populasinya.

2. Penyebab dan pemicu HAB

Belum diketahui secara pasti penyebab daripada HAB, menurur peristiwa yang terjadi di
beberapa tempat, tampaknya penyebab sepenuhnya adalah alam. Namun, ada berbagai spesies
alga yang dapat hasil dari aktivitas manusia. membentuk HAB, masing-masing dengan
persyaratan lingkungan yang berbeda untuk pertumbuhan yang optimal seperti pemasukan bahan
organik ke perairan, transportasi dan pembuangan air ballast atau bekas pencucian kapal.
Frekuensi dan keparahan HAB di beberapa bagian dunia telah dikaitkan dengan pemuatan nutrisi
yang meningkat dari aktivitas manusia. Di daerah lainnya, HAB adalah kejadian musiman yang
diprediksikan akibat upwelling pesisir yaitu keadaan naiknya massa air laut yang disebabkan
oleh perbedaan temperature antara lapisan permukaan air laut dan bawahnya yang lebih dingin.
Upwelling membuat zat hara yang berada di bawah naik ke permukaan dan diharapkan membuat
nelayan mudah menangkap ikan. Tidak hanya itu, HAB yang disebabkan factor alam juga
diprediksikan akibat gempa tektonik di bawah laut dan kurangnya predator memangsa
fitoplankton

(contoh upwelling)
Pertumbuhan fitoplankton laut (baik non-toksik dan beracun) umumnya dibatasi oleh
ketersediaan nitrat dan fosfat yang merupakan nutrient utama bagi alga, yang dapat melimpah di
zona upwelling pesisir serta dalam pertanian. Berbagai sumber nutrisi lain juga dapat memainkan
peran penting dalam mempengaruhi pembentukan mekar alga, termasuk besi, silika atau karbon.

Selain penyebab ada juga hal yang dapat memicu perkembangan HAB yaitu suhu, salinitas dan
nitrat. Spesies HAB cenderung menyukai perairan yang bersuhu hangat, karena itu HAB banyak
ditemukan di daerah tropis. Pada penelitian ini, spesies HAB banyak ditemukan di wilayah
perairan dengan kisaran suhu 29,68 – 29,81 oC. Selain itu, faktor salinitas juga turut memicu
berkembangnya HAB. Salinitas penting untuk mrmpertahankan tekanan osmosis antar tubuh
dan perairan karean salinitas dapat mempengaruhi kelimpahan dan distribusi plankton secara
umum. Perairan dimana banyak ditemukan HAB memiliki salinitas dengan kisaran 32.83 –
32.89, meskipun dalam literatur banyak disebutkan bahwa HAB menyukai perairan dengan
salinitas tinggi (35 – 40), seperti yang ditemukan di Teluk Kao dan Teluk Ambon. Nitrat yang
memadai juga dapat memicu pertumbuhan HAB, karena seperti fitoplankton lainnya, HAB
membutuhkan nitrat sebagai asupan nutrient utamanya.

3. Dampak HAB

Blooming alga berbahaya dapat menyebabkan kerusakan melalui produksi racun atau dengan
akumulasi biomassa mereka, yang dapat mempengaruhi organisme dan mengubah jaring
makanan. Dampaknya termasuk penyakit manusia dan kematian setelah dikonsumsi atau
paparan tidak langsung untuk racun HAB, kerugian ekonomi yang besar bagi masyarakat pesisir
dan perikanan komersial, dan mortalitas terkait HAB-ikan, burung dan mamalia. Harmful algae
bloom (HAB) adalah blooming alga yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisme lain
melalui produksi racun alam, kerusakan mekanis untuk organisme lain, dan lain-lain. HAB sering
dikaitkan dengan peristiwa kematian berskala besar di laut dan berbagai jenis keracunan
kerang. Dari catatan khusus harmful algal bloom (HAB), yang melibatkan peristiwa blooming
alga fitoplankton beracun atau berbahaya seperti dinoflagellata dari genus Alexandrium dan
Karenia, atau diatom dari genus Pseudo-nitzschia.
Beberapa penyakit akibat HAB :
1. Paralytic Shellfish Poisoning (PSP)
PSP merupakan dampak HAB yang paling signifikan. Gejala disebabkan oleh saxitoxin
dan terdapat pada genus dinoflagellata Alexandrium, Gymnodium, dan Pyrodinium.
Saxitoxin dapat terakumulasi pada kerang dan akan melewati proses rantai makanan.
Gejala tampak setelah pemaparan 15 menit hingga 10 jam dengan gejala anggota tubuh
(wajah, lengan, dan kaki) kaku, sakit kepala, gangguan otot, dan lesu. Efek PSP dapat
menyebabkan paralisis pada otot dan pernapasan hingga mencapai kematian pada 2
hingga 25 jam. Kasus PSP sering terjadi di wilayah perairan Indonesia seperti di Teluk
Lampung
2. Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP)
Merupakan dampak keracunan asam okadoik atau dinophysistoxin, yang umumnya
disebabkan oleh kelompok Dinophysis. Gejala keracunan tampak setelah 0,5-12 jam
terpapar racun, yaitu diare, mual, perut mulas, muntah, dan keracunan berat yang
dapat mengakibatkan tumor. Racun yang dihasilkan berupa senyawa metabolit bersifat
karsinogenik
3. Ciguatera Fishfood Poisoning (CFP)
Berasal dari akumulasi toksin pada ikan. Ciguatolsin yang dihasilkan oleh dimoflagellata
bentik, misalnya Gambierdiscis toxicus. Gejala yang ditimbulkan setelah pemaparan 12-
24 jam, dengan gejala diare, mulas, mual, muntah, terasa kesemutan dan tebal (tangan
dan kaki), tidak peka terhadap rasa (dingin menjadi panas dan sebaliknya), hilang
keseimbangan, detak jantung dan tekanan darah melemah, dan pernapasan terganggu.
Gejala akan berlangsung selama 1 hingga 2 minggu, bahkan dapat menyebabkan
kematian
4. Neurotoxin Shellfish Poisoning (NSP)
Terjadi akibat pemaparan brevetoksin, yang dihasilkan dinoflagellata dan terakumulasi
di dalam kerang. Toksin dapat terakumulasi dalam jaringan organ oencernaan. Tiga
spesies HAB yang memproduksi brevetoksin yaitu Gymnodium breve, Chattonella
verneculosa dan Scrippsiella trocohidea. Gejala NSP dimulai setelah 1-3 jam pemaparan
dengan ciri-ciri pembengkakan (mulut, lengan, dan kaki), ketidakseimbangan tubuh, dan
gangguan pencernaan. Gejala jarang letal dan akan hilang dalam 3 hari
5. Amnexic Shellfish Poisoning (ASP)
Disebabkan oleh racun asam domoik, yang umumnya dihasilkan oleh Pseudo-nitzschia
dari kelompok diatom. Racun tersebut dapat menyebabkan distresi gastrointestinal
setelah pemaparan selama 24 jam. Gejala keracunan ASP antara lain : sakit kepala, lesu,
dan hilang ingatan jangka pendek. Konsentrasi toksin yang terlalu tinggi akan
menyebabkan kematian

Proses transfer toksin melalui rantai makanan


4. Kejadian terkemuka
4.1 Red Tide

Red tides atau pasang merah adalah fenomena dimana pasang air laut di suatu tempat
berwarna merah tetapi istilah ini sering menyesatkan karena ledakan fitoplankton tidak selalu
dicirikan dengan warna merah. Semua bergantung pada pigmen yang dikandung fitoplankton
tersebut.
Fenomena ini disebabkan oleh makhluk hidup yang berasal dari kingdom protista yakni
algae dan berjenis Dinoflagellata. Dan lebih jelasnya nama algae ini adalah Gymnodinium dan
Protogonyaulax. Organisme ini menghasilkan warna merah dalam tubuhnya karena
menghasilkan karotenoid yang warnanya merah racun saraf atau yang sering kita sebut
neurotoksin.

Racun saraf ini berbahaya bagi makhluk hidup karena dapat merusak sel darah merah
dalam tubuh makhluk hidup dan untuk lebih jelasnya manusia. Fenomena ini memang
disebabkan oleh Dinoflagellata yang mengalami blooming atau peningkatan jumlah spesies
hingga terlalu banyak. Jadi, semakin banyak Gymnodium dan Protogonyaulax, akan semakin
banyak pula racun yang dihasilkan. Dan semakin banyak racun yang dihasilkan, semakin banyka
pula organisme laut yang mati. Kasus kematian jarang sekali terjadi pada manusia yang terkena
racun neurotoxic ini.

4.2 Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah dimana danau mengalami penuaan secara
bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Proses eutrofikasi merupakan
proses yang sebenarnya alamiah namun dapat dipercepat oleh aktivitas manusia seperti
membuang limbah dan sampah ke perairan. Eutrofikasi telah menjadi masalah hampir
diseluruh dunia yang dikenal dengan fenomena Algal Bloom.

5. Penanganan
5.1 Penanganan menurut Fosberg
 Membuat kebijakan untuk mengontrol pertumbuhan penduduk (birth control)
 Produk makanan dan minuman tidak mengandung fosfat
 Produk detergen tidak lagi mengandung fosfat
 Sektor pertanian mengurangi penggunaan pupuk fosfat
5.2 Penanganan menurut Darmono
Sistem Input Sistem Output
Menggunakan sarana pengelolaan limbah Mengeruk sedimen dari dasar perairan untuk
yang baik dan memadai mengambil nutrisi yang mengendap bersama
algae yang tumbuh subur diatasnya
Menentukan batas limit kandungan pospat Memanen atau mengambil tanaman air yang
yang diperbolehkan dalam detergen tumbuh di dalam perairan
Mengawasi penggunaan lahan, Memberantas pertumbuhan tanaman
meningkatkan konservasi tanah, pengganggu dengan herbisida atau algasida
pembersihan jalan-jalan secara teratur
Menanam pohon bakau atau tanaman keras Memompa udara ke dalam perairan untuk
lainnya untuk menyaring bahan pencemar mencegah kekurangan oksigen dalam air
dari aliran air
Memberantas spesies ikan yang mencari
makanan di dasar air seperti ikan karper
REFERENSI

• Nyabakken. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta


• Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

• Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan Di Muka Bumi Tanpa Plankton. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Jakarta.

• Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A,
Heil., R,M, Kudela., M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L, Trainer., G,A,
Vargo. 2008, Harmfull Algae Blooms and Eutrophication: Examining Linkages from
Selected Coastal Region of the United Stated.
• http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20290916-S1298-Mulyani.pdf
• Which Policies Can Stop Large Scale Eutrophication? Water Science and Technology, Vol
37, Issue 3,1998, p 193-200)
• http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5154/C08gku.pdf;jsessionid=6
C188B5B35C1AD47CD54C96D453BE0F4?sequence=4
• http://www.cdc.gov/nceh/hsb/hab/

Anda mungkin juga menyukai