Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan
bumi. Secara umum, danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi penting
bagi pembangunan dan kehidupan manusia. Danau memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi
ekologi, budidaya dan sosial ekonomi. Dilihat dari aspek ekologi, danau merupakan tempat
berlangsungnya siklus ekologis dari komponen air dan kehidupan akuatik di dalamnya.
Keberadaan danau akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem di sekitarnya, sebaliknya
kondisi danau juga dipengaruhi oleh ekosistem di sekitarnya. Sedangkan dilihat dari aspek
budidaya, masyarakat sekitar danau sering melakukan budidaya perikanan jala apung dan dari
aspek sosial ekonomi, danau memiliki fungsi yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sekitar danau.
Danau Rawa Pening adalah sebuah danau yang terjadi secara ilmiah karena adanya
proses pembendungan Sungai Tuntang sehingga menjadi bendungan yang membentuk seperti
membulat karena terkait dengan proses geologi yang membentuknya. Kemudian bendungan
tersebut disempurnakan oleh pemerintah Belanda yang melakukan pembangunan dam pada
tahun 1912-1916 dengan memanfaatkan sungai Tuntang sebagai satu-satunya pintu keluar.
Danau ini kemudian diperluas pada tahun 1936 mencapai kurang lebih 2.667 Ha pada musim
penghujan kemudian pada akhir musim kemarau luas danau Rawa Pening mencapai kurang lebih
1.650 Ha (Guritno, 2003) dalam penelitian Ikha pada tahun 2011. Berdasarkan topografi danau
ini terletak di daerah rendah dan merupakan lembah yang dikelilingi oleh daerah yang tinggi
serta terbendung di sungai Tuntang. Kondisi ini menyebabkan jumlah air mengalami
penambahan terus menerus karena terdapat 9 sungai yang memberikan pasokan air yaitu Sungai
Galeh, Sungai Panjang, Sungai Kedungringin, Sungai Ringis, Sungai Sraten, Sungai Parat,
Sungai Legi, Sungai Torong dan Sungai Rengas. Sungai Galeh dan Sungai Panjang adalah dua
sungai dominan yang memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) yang paling luas dibandingkan
dengan sungai-sungai yang lainnya.

: daerah penelitian
Gambar 1.1 Peta Administrasi Kota Semarang

Dilihat dari Gambar 1.1 Terdapat 4 kecamatan yang mengelilingi danau Rawa Pening
yaitu kecamatan Banyubiru, kecamatan Tuntang, kecamatan Ambarawa serta kecamatan Bawen.
Pembahasan ini akan difokuskan di Kecamatan Ambarawa, Desa Rowoboni Kupang,
Tambakboyo, Lodoyong, Bejalen, Pojoksari.
Laju Sedimentasi
Sedimentasi di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang terus mengalami peningkatan
dari 133,75 m3 pada tahun 1993 menjadi 149,22 m3 pada tahun 2003. Akibatnya daya tampung
air Danau Rawa Pening menurun sekitar 16 juta m3 selama kurun waktu 28 tahun (1976 s/d
2004) yaitu dari 65 juta m3 menjadi 49 juta m3 (Kompas. 2009). Apabila tidak segera dilakukan
upaya penyelamatan, eksistensi danau alami tersebut terancam dan diperkirakan pada tahun 2021
Rawapening akan berubah menjadi daratan. Salah satu penyebabnya adalah pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan kemampuan (daya dukung) lahan di Daerah Tangkapan Air (DTA)

Danau Rawa Pening sehingga berakibat tingginya erosi yang selanjutnya terendapkan (sedimen)
di danau tersebut. Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Rawa Pening terletak di bagian hulu
Daerah Aliaran Sungai (DAS) Tuntang.
Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan antaralain fungsi tata air terhadap seluruh bagian DAS (Asdak.1995). Aktivitas
pemanfaatan lahan di wilayah DAS bagian hulu seperti konversi lahan hutan, pengolahan lahan
yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan mengakibatkan degradasi sumber daya lahan,
meningkatnya erosi dan sedimentasi yang berdampak pada wilayah DAS di bawahnya dalam
bentuk pendangkalan sungai, waduk, dan saluran irigasi (Wuryanta., 2011).

Gambar 1.2 Peta Daerah Tangkapan Air (DTA)

Dalam menganalisa perubahan sedimentasi dan pengalihan tataguna lahan di daerah


Rawa Pening, dilakukan analisa menggunakan citra landsat.
Analisis Sedimen Melalui Spektral Citra Satelit
Untuk analisis tingkat sedimentasi di Rawa Pening digunakan 3 spektral (baik pada citra
Landsat 5 TM maupun citra Landsat 7 ETM+) yaitu spektral biru, merah, dan inframerah dekat.
Ketiga spektral tersebut digunakan untuk membuat citra komposit warna semu (false colour
composite) dengan komposisi spektral inframerah dekat pada kanal (band) merah, spektral merah
pada kanal hijau, dan spektral hijau pada kanal biru (gambar 1.3).

Gambar 1.3 (a) Citra Landsat 5 TM (16 Juli 1992) (b) Citra Landsat 7 ETM+ (06 Mei 2002) (c) Citra
Landsat 7 ETM+ (05 Agustus 2006) (d) Citra Landsat 7 ETM+ (06 Mei 2009)

Berdasarkan hasil analisis nilai spektral pada koordinat sampel pada citra satelit landsat
menunjukkan terjadinya peningkatan nilai spektral tubuh air di Danau Rawa Pening. Peningkatan

nilai tersebut terutama berasal dari sungai Gajahbarong dan Durangrang (Sub DAS Rengas) serta
sungai Panjang dan Torong (Sub DAS Panjang). Sungai sungai tersebut bermuara di Danau
Rawa Pening. Peningkatan nilai tersebut mengindikasikan terjadinya penigkatan kekeruhan air
oleh partikel tanah hasil erosi dari wilayah Sub DAS Panjang dan Sub DAS Rengas yang
terbawa oleh keempat sungai tersebut dan diendapkan di Danau Rawa Pening. Koordinat
koordinat sampel dan nilai spektral pada masing masing citra satelit landsat pada tabel 1.
Tabel 1. Koordinat koordinat titik sampel dan nilai spectral

Analisis Penggunaan Lahan dan Erosi Potensial


Informasi erosi potensial diperoleh dari peta erosi potensial DAS Tuntang skala
1:100.000 (gambar 4). Berdasarkan pada peta tersebut, terdapat 4 (empat) jenis erosi potensial di
DTA Danau Rawa Pening yaitu ringan sedang (80 -200 ton/ha/th), sedang (200 500
ton/ha/th), sedang berat (500 1250 ton/ha/th), dan berat (1250 3300 ton/ha/th). Di wilayah
DTA Danau Rawa Pening jenis erosi potensial sedang (200 500 ton/ha/th) menempati areal

paling luas yaitu 11.803,21 ha atau sekitar 41,57 % dari total luas DTA (28.388,41 ha). Jenis
erosi potensial berat (1250 3300 ton/ha/th) yang menempati areal paling luas yaitu 1.372,73 ha
terdapat di Sub DAS Parat (tabel 2).
Tabel 2. Erosi potensial masing masing sub DAS di DTA Danau Rawa Pening

Gambar 1.4. Peta erosi potensial

Penutupan/penggunaan lahan merupakan salah satu faktor penting didalam perencanaan


pengelolaan DAS. Oleh karena itu informasi yang akurat dan terkini (uptodate) mengenai
penutupan/penggunaan lahan sangat diperlukan. Informasi penutupan/penggunaan lahan di DTA
Danau Rawa Pening diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dan telah di
up date dengan menggunakan citra satelit SPOT perekaman tahun 2006 serta pengecekan
lapangan dilakukan pada tahun 2011. Peta penutupan/penggunaan lahan DTA Danau Rawa
Pening disajikan pada gambar 1.5.

Gambar 1.5. Peta penutupan/penggunaan lahan

Penutupan/penggunaan lahan di DTA Danau Rawa Pening terdiri dari dua belas kelas
yaitu hutan jarang, hutan rakyat jarang, hutan rakyat rapat, hutan rapat, pemukiman,
pemukiman/tegalan, perkebunan, pertanian lahan kering, sawah irigasi, semak belukar,
tegalan/lahan sayur, dan tubuh air/danau (tabel 4). Penutupan/penggunaan lahan di lokasi kajian
didominasi oleh hutan rakyat jarang yaitu seluas 12.661,65 ha. Sedangkan tegalan/lahan sayur
yang diduga sebagai sumber erosi menempati areal seluas 2.247,17 ha yang sebagian besar

terletak di Sub DAS Panjang (1.706,15 ha), Sub DAS Rengas (537,95 ha), dan Sub DAS Galeh
(3,07 ha).
Luas dan kapasitas danau semakin berkurang akibat sungai-sungai yang bermuara ke
danau Rawa Pening membawa berbagai macam limbah pertanian, industri dan lumpur sungai
yang berasal dari masyarakat di sekitar aliran sungai yang menyebabkan gulma eceng gondok
dapat berkembang secara cepat (Sulistiyo, 2003).
Laju sedimentasi di Rawa Pening mencapai 150.000 m3 yang diakibatkan oleh endapan
eceng gondok yang mati. Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi
Kabupaten Semarang tingkat sedimentasinpertahun sebesar 1.189 ton. Volume tampung air
maksimal Rawa Pening kinikurang dari 49 juta meter kubik. Padahal tahun 2000 masih mencapai
65 juta m3. Saat ini gulma eceng gondok sudah menutupi area permukaan danau kurang lebih
seluas 1.080 Ha atau kurang lebih sekitar 70 persen dari luas danau (Nugrahanti, 2011).
Dampak negatif dengan adanya eceng gondok ini adalah turunnya nilai estetika
lingkungan yang mengurangi tingkat keindahan permukaan air, karena kita tidak dapat melihat
dengan jelas dan tepat seberapa luas daerah perairan tersebut. Selain itu eceng gondok dapat
menyebabkan hambatan kelancaran lalulintas air seperti mempersulit jalur transportasi air.
Dampak lain yang tidak kasat mata adalah menyebabkan percepatan proses pendangkalan karena
eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dalam dasar danau hal ini juga membantu
percepatan pertumbuhan bibit-bibit penyakit. Banyaknya jumlah eceng gondok di permukaan air
juga menyebabkan cahaya matahari sulit masuk kedalam perairan dan akan menyebabkan
makhluk hidup seperti ikan dapat mati karena kehabisan udara. Tumbuhan atau gulma eceng
gondok ini juga mampu meningkatkan evapotranspirasi atau penguapan yang dilakukan oleh
tumbuhan tersebut. Tingginya sedimentasi dan pertumbuhan eceng gondok yang tak terkendali
membuat Rawa Pening cepat mengalami pendangkalan (Hanggari, 2007).
Dengan semakin luasnya persebaran eceng gondok juga mengakibatkan penurunan daya
tampung air danau. Hal ini mengakibatkan daerah sekitar danau Rawa Pening sering kebanjiran
saat musim penghujan dan kekurangan air saat musim kemarau. Selain itu dampak bagi PLTA
Jelok setiap tahun terjadi penurunan produksi karena aliran air dari danau Rawa Pening
mengalami penurunan. Tahun 2001 produksi PLTA mencapai 186 gigawatt (GW), di tahun 2002
turun menjadi 126 GW dan 2007 hanya menyumbang 79 GW untuk interkoneksi jaringan Jawa
Bali (Kompas, 2008). Namun disisi lain penurunan kualitas lingkungan ini dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar danau Rawa Pening. Yang pertama adalah adanya pemanfaatan lumpur
danau sebagai pupuk kompos karena mengandung gambut yang berasal dari tumbuhantumbuhan yang ada di danau kemudian mati dan mengendap di dasar danau. Kedua adalah
adanya pertumbuhan gulma eceng gondok yang sangat pesat dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar untuk digunakan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan dalam
bentuk kerajinan tangan.

Anda mungkin juga menyukai