Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM KESUBURAN TANAH

TENTANG

PENGUJIAN KEMATANGANAN, KEDALAMAN, BERAT VOLUME DENGAN CARA


TRACKING DI TANAH GAMBUT DESA JATI MULYO

ANGGELI HANA EKA PUTRI

L1A117057

Dosen pembimbing:

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem spesifik yang selalu tergenang air (waterlogged)
memiliki multifungsi antara lain fungsi ekonomi, pengaturan hidrologi, lingkungan, budaya dan
keanekaragaman hayati. Sedangkan tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari serasah
organik yang terdekomposisi secara anaerobic dimana laju penambahan bahan organik lebih
tinggi daripada laju dekomposisinya. Tanah ini tebentuk bila produksi dan penimbunan bahan
organic lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat ditempat – tempat yang
selalu digenangi air, sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat. Akibatnya dekomposisi bahan
organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik.

Tanah gambut adalah jenis tanah yang sebagian besar terdiri dari pasir silikat dan sebagian
lagi terdiri atas bahan – bahan organik asal tumbuhan yang sedang dan atau sudah melalui proses
dekomposisi. Jenis tanah ini sebagian besar terdiri atas bahan organik yang tidak dirombak atau
dirombak sedikit, terkumpul dalam keadaaan air berlebihan (melimpah ruah). Pengambilan
sampel tanah gambut bertujuan agar dapat mengetahui tingkat kematangan tanah gambut. Selain
mengambil sampel tanah, praktikan juga mengukur kedalaman gambut dan berat volume di
enam titik yang berbeda.

Tanah gambut bersifat rentan perubahan (fragile), relative kurang subur, dan kering tak dapat
balik (irreversible). Menurut BBSDLP (2012) lahan gambut dapat didefinisikan sebagai lahan
yang terbentuk dari penumpukan/akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang sebagian belum melapuk,
memiliki ketebalan 50 cm atau lebih dan mengandung C-organik sekurang-kurannnya 12%
(berat kering).

Kriteria kesesuaian lahan gambut sangat berbeda dengan tanah mineral. Beberapa sifat tanah
atau lahan gambut yang sekaligus menjadi kriteria dalam penilaian, diantaranya adalah
kematangan gambut, ketebalan gambut, drainase atau genangan, dan substratum bahan sulfidik
atau substratum pasir. Tanah gambut atau Histosols adalah tanah yang mempunyai lapisan bahan
organic dengan ketebalan >40 cm dengan berat isi (BD) >0,1 g/𝑐𝑚3 , atau mempunyai ketebalan
>60 cm apabila BD-nya <0,1 g/𝑐𝑚3 (Soil Survey Staff,2010). Menurut tingkat dekomposisi atau
kematangannya, tanah gambut dapat dibedakan menjadi:

a. Gambut Fibrik yaitu, gambut yang belum melapuk (mentah), bila diremas masih
mengandung serat >75% (berdasarkan volume)
b. Gambut Hemik (setengah matang) mengandung serat antara 17-74%
c. Gambut Saprik adalah gambut yang sudah lapuk (matang), mengandung serat <17% dan
gambut ini secara agronomis layak dimanfaatkan untuk budidaya tanaman.

Gambut yang sudah matang umumnya berwarna kelabu sampai hitam dan secara struktur
mendekati tanah mineral (peaty clay), sedangkan gambut yang masih mentah berwarna kemerah-
merahan atau warna asli bahan endapan organik.

Di Indonesia terdapat lahan gambut yang sangat luas, mencapai 26 juta hektar yang mana
saat ini lahan gambut banyak digunakan sebagai lahan pertanian. Sebenarnya tanah gambut
mempunyai tingkat kesuburanan yang sangat rendah dan berfungsi sangat penting untuk menjaga
kualitas lingkungan sehingga lebih disarankan sebagai lahan konservasi. Selain itu tanah gambut
juga memiliki tingkat keasaman (pH) yang tinggi dan kejenuhan basa (KB) yang rendah.

1.2.TUJUAN PRAKTIKUM

Tujuan dari praktikum ini adalah:

1. Menguji tingkat kematangan tanah gambut di setiap titik (sebanyak enam titik)
2. Menguji tingkat kedalaman tanah gambut di setiap titik (sebanyak enam titik)
3. Mengukur berat volume (BV) tanah gambut di setiap titik (sebanyak enam titik)
4. Menganalisis dan menentukan apakah terdapat pirit dalam tanah gambut disetiap titik
(sebanyak enam titik).

Praktikum ini dilakukan di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Dendang, Kabupaten Muaro Jambi,
Jambi.

1.3.KEGUNAAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI TANAH GAMBUT


Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara
alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya
sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap
timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Tanah gambut yang telah mengalami
perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan
kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peatymuck, mucky).
Dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikelompokkan kedalam ordo Histosol
atau sebelumnya dinamakan Organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda
dengan jenis tanah mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena
perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya.
Menurut Hardjowigeno (2007) gambut terbentuk dari timbunan sisa – sisa
tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus
bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang
disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukkan
tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.
Tanah gambut disebut juga tanah organik atau tanah bistosol adalah tanah yang
bahan induknya binatang kemudian bercampur dengan lapisan mineral yang diendapkan.
Salah satu ciri tanah gambut, yaitu warna tanah pada umumnya cokelat tua. Tanah
gambut kurang cocok untuk usaha tanaman pangan, namun di beberapa tempat dapat
diupayakan untuk perkebunan. Tanah gambut yang terdapat di Pulau Sumatera
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, di sebagian Kalimantan untuk pertanian
dan permukiman, sedangkan di Papua masih dalam keadaan alami.
Berdasarkan besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang
pengembangan, maka rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian
serius. Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya sukar
diatasi. Produktifitas gambut juga menentukan kesuburannya (Barchia, 2006).
1. Tracking dengan Menggunakan GPS

Tracking adalah menentukkan luas areal yang akan ditentukkan cadangan


karbonnya.

2. Tingkat Kematangan Tanah Gambut


Kematangan gambut adalah tingkat pelapukan dari bahan organiknya, yaitu
dicirikan oleh kandungan atau kadar serat. Menurut Soil Survey Staff (1990), bahwa
tingkat kematangan atau tingkat pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat
dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan asalnya. Tingkat kematangan terdiri dari
tigak kategorik yaitu fibrik, hemik, dan saprik.
1. Tingkat kematangan fibrik
Yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah
pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>3/4). Fibrik apabila bahan
vegetasi aslinya masi dapat diidentifikasi atau sedikit mengalami dekomposisi dan
mengandung serat tinggi (>75%).
2. Tingkat kematangan hemik
Yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah
pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau
lebih (<3/4>1/4). Hemik apabila bahan vegetasi dengan tingkat kematangan sedang
dan mengandung serat sedang (17% – 75%)
3. Tingkat kematangan saprik
Yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah
pemerasan adalah kurang dari seperempat bagian (<1/4>3 m) sekitar 5%, gambut
dalam dan tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar 11% - 12%, dan gambut dangkal sekitar
15% (Noor, 2011). Saprik apabila bahan vegetasi aslinya mengalami tingkat
dekomposisi lanjut/tinggi dan mengandung serat rendah (<17%)

Kadar abu dan kadar bahan organic mempunyai hubungan dengan tingkat
kematangan gambut. Gambut mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar
bahan organic 45,9%. Sedangkan gambut hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan
kadar bahan organik 51,7% dan gambut matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04%
dengan kadar bahan organic 78,3% (Setiawan, 1991).

3. Kedalaman atau Ketebalan Gambut

Bila lapisan gambut lebih tipis dari 50 cm, tidak disebut tanah gambut, melainkan
tanah bergambut, dan bila kadar C-organik tidak memenuhi persyaratan gambut seperti
tersebut diatas, tanahnya diklasifikasikan sebagai tanah berhumus. Untuk tanah gambut,
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mengklasifikasikan kedalam 4 kelas yaitu:

1. Gambut tipis : 50 – 100 cm


2. Gambut sedang : 101 – 200 cm
3. Gambut dalam : 201 – 300 cm
4. Gambut sangat dalam : >300 cm

Pengukuran ketebalan atau kedalaman gambut biasanya menggunakan bor gambut,


apabila tidak tersedia dapat menggunakan kayu atau bamboo yang diberi torehan
(cowak).

4. Berat Volume (BV)

Berat volume (BV) tanah gambut merupakan parameter yang paling penting
(Barchia, 2006). BV berpengaruh terhadap daya tumpu (bearing capacity) tanah gambut,
semakin rendah nilai BV maka semakin rendah daya tumpu tanah gambut. Menurut
Kurnain (2010) menyatakan bahwa BV dapat digunakan untuk menilai tingkat
kematangan gambut.

1. Tingkat kematangan fibrik, BV < 0,075 g.𝑐𝑚3


2. Tingkat kematangan saprik, BV > 0,195 g.𝑐𝑚3
3. Tingkat kematangan hemik, BV diantara fibrik dan saprik
BAB III

PELAKSANAAN PRAKTIKUM

A. WAKTU DAN TEMPAT

Hari : Jumat – Minggu

Tanggal : 13 – 15 September 2019

Pukul : 08.00 WIB – 14.00 WIB

Tempat : Lahan Gambut Desa Jati Mulyo, kecamatan Dendang, Kabupaten Muaro Jambi

B. ALAT DAN BAHAN

Dilapangan

1. Alat
 Bor gambut (bor pisau dan bor dan bor tabung)
 GPS
 Box ring
 Cangkul
 Timbangan
 Karung
 Cawan
 Pipet tetes
 Gelas bekas air mineral
 Plastik
 Karet gelang
 Alat tulis
 Kamera hp
2. Bahan
 Larutan 𝐻2 𝑂2
 Air
Di laboratorium

1. Alat
 Cawan
 Timbangan digital
 Sedok
 Nampan
 Oven
2. Bahan
 Tanah gambut

Anda mungkin juga menyukai