Anda di halaman 1dari 58

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hutan alam tropik merupakan kekayayaan alam yang memegang peranan
penting dan dimanfaatkan sebagai penghasil sumber devisa negara serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kondisi hutan alam tropik
Indonesia saat ini sudah berada pada taraf yang memprihatinkan. Tercatat laju
deforestasi hutan alam maupun hutan tanaman tahun 2009-2012 mencapai 188
ribu ha/tahun mengakibatkan produksi hutan alam maupun tanaman tidak mampu
sebagai pemasok bahan baku industri perkayuan baik di dalam negeri maupun
ekspor (Kurniawan, 2012). Di lain pihak, tentu hal ini akan berpotensi
menimbulkan permasalahan seperti pemanfaatan hutan alam yang berlebihan
sebagai upaya memenuhi permintaan kayu alam yang terus meningkat. Dengan
situasi seperti ini, maka dapat dikhawatirkan keberadaan hutan alam tropik
Indonesia akan semakin terbatas.
Hutan alam tropik sering pula disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae
campuran (mixed dipterocarp forest). Jenis-jenis Dipterocarpaceae termasuk
yang paling dominan dan hingga saat ini jenis tersebut tetap memiliki nilai
komersial

yang

tinggi.

Panjaitan

(2009)

menyatakan

bahwa

suku

Dipterocarpaceae merupakan suku penghasil kayu yang sangat unggul dari


kawasan hutan tropik di Asia.
Shorea spp. merupakan salah satu marga dari suku Dipterocarpaceae yang
dikenal sebagai penghasil kayu pertukangan yang potensial dan salah satu pohon
yang menjadi andalan bahan kayu pertukangan di Indonesia. Beberapa kegunaan

dari kayu jenis-jenis Shorea spp. antara lain untuk kayu lapis, bangunan
perumahan sebagai rangka, balok, galar, kaso, pintu, peti, alat musik, lunas
perahu, bantalan, dan tiang listrik (diawetkan). Di samping hasil hutan berupa
kayu, beberapa jenis Shorea spp. juga memiliki hasil hutan bukan kayu yang
bernilai ekonomis seperti tanin, damar, dan tengkawang.
Shorea spp. dapat tumbuh pada tanah gambut. Indonesia memiliki lahan
gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar
terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua, khususnya di Provinsi Riau
mencapai 4 juta Ha (BPS Riau, 2012). Tanah gambut adalah tanah yang memiliki
lapisan tanah kaya bahan organik dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan
organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum
melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Namun
karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut,
kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk
dijadikan areal pertanian maupun hutan tanaman. Dari 18,3 juta ha lahan gambut
di Pulau-Pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk
pertanian dan hutan tanaman (Agus, 2008). Pertumbuhan tanaman pada lahan
gambut umumnya akan menghadapi berbagai kendala seperti ketebalan dan
kematangan gambut, kemasaman tanah, dan miskin akan unsur hara baik makro
maupun mikro serta keracunan asam-asam organik.
Semakin berkembangnya bioteknologi dalam industri kehutanan yang
ramah lingkungan maka dalam melakukan perlakuan dapat dilakukan dengan
suatu teknologi alternatif yang ramah lingkungan yaitu dengan pemberian Trichokompos terformulasi terhadap tanaman meranti, khususnya Shorea leprosula.

Menurut Puspita (2011), Tricho-kompos terformulasi adalah teknologi yang


mengkombinasikan antara jamur Trichoderma pseudokoningii dengan bahan
organik. Tricho-kompos terformulasi sebagai biofertilizer mengandung unsur hara
makro dan mikro, memperbaiki struktur fisik dan kimia tanah, memudahkan
pertumbuhan akar tanaman, menahan air, meningkatkan aktivitas biologis
mikroorganisme tanah yang menguntungkan, meningkatkan pH pada tanah asam,
dan dapat sebagai agen biokontrol dalam mengendalikan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) terutama penyakit tular tanah.
Penambahan perlakuan berupa pemberian Tricho-kompos terformulasi
diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan dapat memacu pertumbuhan semai
Shorea leprosula pada medium gambut. Penambahan Tricho-kompos terformulasi
pada medium gambut juga diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, biologis, dan
kimia tanah sehingga tanaman dapat tumbuh lebih baik dan lebih tahan terhadap
serangan patogen.
Dengan latar belakang tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian
tentang pengaruh Tricho-kompos terformulasi dalam memacu pertumbuhan semai
Shorea leprosula pada medium gambut. Untuk itu penelitian ini diberi judul
Aplikasi Beberapa Dosis Tricho-kompos Terformulasi Sebagai Pemacu
Pertumbuhan Semai Shorea leprosula pada Medium Gambut.
1.2. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui

pengaruh

pemberian

beberapa

dosis

Tricho-kompos

terformulasi pada medium gambut terhadap tingkat keberhasilan


persemaian Shorea leprosula.

2. Mendapatkan dosis Tricho-kompos terformulasi yang terbaik pada


medium gambut untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea
leprosula.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memperoleh informasi mengenai pengaruh
aplikasi Tricho-kompos terformulasi terhadap persemaian Shorea leprosula dan
mengetahui dosis yang terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea
leprosula pada medium gambut. Penelitian ini juga diharapkan sebagai dasar
untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya peningkatan kualitas semai Shorea
leprosula.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Shorea leprosula


Marga Shorea spp. meliputi sekitar 100 jenis, terdiri dari 4 kelompok yaitu,
meranti merah, meranti kuning, meranti putih, dan meranti balau (selangan batu)
yang sebagian besar tumbuh secara alami di hutan Kalimantan dan Sumatera.
termasuk dalam famili Dipterocarpaceae. Di antara kelompok tersebut, meranti
merah (Shorea leprosula) merupakan kelompok meranti terpenting, baik dari segi
perolehan devisa maupun dari segi dominasinya di hutan-hutan hujan dataran
rendah (Wijaya, 2006). Adapun sistem klasifikasi Shorea leprosula adalah :
Kingdom : Plantae, Subkingdom : Trachebionta, Super Divisi : Spermatophyta,
Divisi : Magnoliophyta, Kelas : Magnoliopsida, Sub Kelas : Dillenida, Ordo :
Theales, Famili : Dipterocarpaceae, Genus : Shorea, Spesies : Shorea leprosula.
Shorea leprosula menyebar secara alami mulai Semenanjung Thailand dan
Malaysia, Sumatera sampai Kalimantan Utara. Tanaman ini tumbuh dalam hutan
hujan dataran rendah dengan ketinggian antara 5-800 m dpl, pada daerah dengan
tipe iklim A-B (Schmidt dan Ferguson, 1951) dengan rata-rata curah hujan
tahunan 2000-3000 mm. Shorea leprosula pada umumnya tumbuh pada tipe tanah
latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning, dengan berbagai tingkat
kesuburan tanah. Shorea leprosula dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah tetapi
tidak toleran terhadap genangan (Pamoengkas, 2009).
Menurut Wijaya (2006), ciri-ciri diagnostik Shorea leprosula adalah
perawakan pohon besar, tinggi mencapai 60 m, bebas cabang 35 m, diameter 1 m.
Banir menonjol tetapi tidak terlalu besar dan membentang, cekung, tipis. Tajuk

berwarna tembaga, coklat kuning tembaga pucat dari bawah, besar, membentang,
setengah bulat atau berbentuk blumkol, dengan batang yang menetap. Daun
umumnya dengan jalur domatia yang menerus menyerupai sisik-sisik pucat
sampai tulang tengah dan kadang sampai bagian bawah pertulangan utama. Daun
berbentuk lonjong, jorong, atau bundar telur sunsang, menjangat, ujung lancip,
lancip pendek, atau tumpul, pangkal berbentuk pasak atau membundar, ukuran 5,9
cm -14,5 cm x 3,5 cm -7,3 cm. Bunga kecil, daun mahkota kuning, benang sari
15, kelopak buah dengan tiga sayap panjang dan dua sayap pendek. Shorea
leprosula dapat tumbuh dan bertahan hidup ketika ditanam pada kondisi cahaya
yang penuh dan melimpah untuk pertumbuhan tinggi dan kualitas batang. Buah
Shorea leprosula berbentuk bulat telur, ujungnya agak lancip, berbulu halus
berwarna pucat, mempunyai tiga sayap dengan panjang 6-9 cm, dan lebat
pertengahan sayap 1-1,5 cm dimana dua sayap pendek berbentuk garis. Buah yang
dihasilkan berupa buah-buah yang mengandung lemak serupa kacang yang
dikenal sebagai tengkawang.
2.2. Tanah Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob atau kondisi lingkungan lainnya
yang

menyebabkan

rendahnya

tingkat

perkembangan

biota

pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah


yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Agus, 2008).

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai


organosol atau histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan
berat jenis dalam keadaan lembab < 0,1 g cm3 dengan tebal 40- 60 cm. Gambut
diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Sifat
tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sifat kimia dan sifat fisik.
Sifat kimia tanah gambut memiliki kesuburan yang rendah ditandai dengan pH
yang rendah (masam), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg, P)
dan unsur hara mikro (Cu, Zn, Mn, Bo) yang rendah, serta mengandung asamasam organik yang bersifat meracun sehingga dapat menimbulkan defisiensi bagi
tanaman. Sedangkan sifat fisik kematangannya, tanah gambut dibedakan atas tiga
jenis, yaitu gambut saprik, gambut hemik, dan gambut fibrik. Gambut saprik
adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat
matang hingga sangat matang. Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah
mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. Gambut fibrik adalah bahan
tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya
kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih
dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam dengan diameter antara 0,15
mm hingga 2,00 cm (Noor, 2001).
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi, daya menahan beban, subsiden, dan
mengering tidak balik . Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 1.300% dari
berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali

bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan berat isi menjadi rendah, gambut
menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Agus, 2008).
Gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh
bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar
adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan
kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein
umumnya tidak melebihi 11% (Hartatik, 2012). Menurut Radjagukguk (1997)
dalam Hartatik (2012) ketersediaan Nitrogen (N) bagi tanaman pada tanah gambut
umumnya rendah. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan N tanaman yang
optimum diperlukan pemupukan N.
2.3. Tricho-kompos Terformulasi
Tricho-kompos terformulasi merupakan teknologi yang memadukan bahan
organik dengan Trichoderma pseudokoningii yang berperan sebagai aktivator dan
biokontrol. Trichoderma pseudokoningii dekomposer yang mengandung enzim
kitinase berperan sebagai agen biokontrol dan enzim selulase yang dapat bekerja
secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik
(Puspita, 2012). Tricho-kompos terformulasi berbahan baku jerami padi (bahan
organik) dan ditambahkan zeolit sebagai sumber mineral pendukung.
Trichoderma spp. merupakan salah satu jamur antagonis yang telah banyak
diuji coba untuk mengendalikan penyakit tanaman (Lilik, 2010). Sifat antagonis
cendawan Trichoderma spp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma spp.
ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di
persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan
cendawan ini. Selain itu, jamur Trichoderma spp. dapat mengurai bahan organik

seperti karbohidrat yang mengandung selulosa serta mempunyai kemampuan


berkompetisi dengan patogen tanah terutama dalam mendapatkan nitrogen dan
karbon.
Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang mudah didapatkan
karena pada umumnya masyarakat sendiri hanya mengambil bulir buah dari
tanaman padi tersebut untuk dijadikan bahan makanan pokok, sedangkan bagian
dari batang tanaman padi tidak dimanfaatkan karena sesudah panen biasanya
petani langsung membakar bagian dari tanaman padi tersebut karena lahannya
digunakan lagi. Selain itu, petani juga mengembalikan jerami padi secara
langsung ke dalam sawah sehingga dapat mengganggu pengolahan tanah dan
pertumbuhan tanaman padi, serta berpengaruh terhadap tingginya emisi gas rumah
kaca terutama gas metana. Jerami padi merupakan sumber bahan organik yang
murah untuk memperbaiki mutu tanah. Jerami padi dapat diberikan dalam bentuk
kompos. Jerami padi yang diletakkan di pinggir petak persawahan dan digunakan
pada musim tanam berikutnya yang merupakan sistem pengomposan secara
sederhana ternyata mampu memperbaiki produktivitas tanaman. Jerami padi yang
diletakkan di pinggir petakan akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroba
pengurai menjadi kompos (H.S. Nur, 2008).
Lestari (2010), mengemukakan bahwa zeolit merupakan suatu kelompok
mineral yang dihasilkan dari proses hidrotermal pada batuan beku basa. Mineral
ini biasanya dijumpai mengisi celah-celah ataupun rekahan dari batuan tersebut.
Selain itu zeolit juga merupakan endapan dari aktivitas vulkanik yang banyak
mengandung unsur silika yang terdiri dari tiga komponen, yaitu kation yang dapat
dipertukarkan, kerangka alumina silikat dan air. Beberapa manfaat zeolit antara

10

lain sebagai penetral keasaman tanah, meningkatkan aerasi tanah, bersifat


absorben, sumber mineral pendukung pada pupuk dan tanah, serta sebagai
pengontrol yang efektif dalam pembebasan ion amonium, nitrogen, dan kalium
pupuk.
Hasil penelitian Puspita dkk, (2009) menunjukan bahwa aplikasi trichokompos terformulasi dengan dosis 50 gram/polybag dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit kelapa sawit serta menghambat intensitas serangan G.
boninense sebesar 77.19%. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai
potensi Tricho-kompos terformulasi terhadap tanaman kehutanan, khususnya
Shorea leprosula. Hal tersebut tentunya menjadi dasar dari penelitian ini serta
acuan dari dosis Tricho-kompos yang digunakan.
Formulasi Tricho-kompos merupakan produk pertanian yang berfungsi
sebagai biofertilizer dan biopestisida. Peran sebagai biofertilizer diperoleh dari
hasil perombakan bahan organik

yang memberikan ketersediaan unsur hara

kompleks seperti C, N, P, K, Mg, dan dapat memperbaiki struktur fisik dan kimia
tanah, memudahkan pertumbuhan akar

tanaman, menahan air, meningkatkan

aktivitas biologis mikroorganisme tanah yang menguntungkan, meningkatkan pH


pada tanah asam, dapat

sebagai agen biokontrol dalam mengendalikan OPT

terutama penyakit tular tanah. Peranan sebagai biopestisida diperoleh dari


aktivitas jamur Trichoderma pseudokoningiii yang bersifat antagonis bagi patogen
penyebab penyakit tanaman (Puspita, 2012).

11

Produk ini telah teruji secara invitro dan invivo pada beberapa komoditi
pertanian seperti sawi dan kelapa sawit. Selain itu pemberian formulasi Trichokompos pada tanaman hias juga memberikan hasil yang memuaskan, selain subur,
juga mengakibatkan tanaman berbunga cukup sering sehingga menambah pesona
bagi tanaman hias.
2.4. Kualitas Semai
Kualitas semai merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan
kelayakan suatu bibit siap tanam di lapangan. Dalam menentukannya, melibatkan
beberapa peubah yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman,
yaitu persentase hidup, tinggi, diameter, berat kering total, kekokohan semai
(perbandingan tinggi dan diameter bibit), dan rasio tajuk akar (perbandingan berat
kering tajuk dan berat kering akar). Pada tahap semai, Shorea leprosula
memerlukan naungan sekitar 50-80% dari cahaya total untuk pertumbuhannya.
Shorea leprosula termasuk ke dalam jenis tanaman yang bersifat semi
toleran dimana memerlukan naungan pada tahap awal pertumbuhannya. Naungan
sangat mempengaruhi pertumbuhan semai Shorea leprosula setelah mencapai
tinggi kurang lebih 50 cm (Priadjati, 2002). Berdasarkan Departemen Kehutanan
(1992) dalam Abdurrachman (2012), menyatakan bahwa klasifikasi pohon dalam
penyusun tegakan hutan terdiri atas semai, tiang, pancang, dan pohon. Dimana
klasifikasi untuk semai adalah tinggi mencapai < 1,5 m.
Selain itu, Panjaitan (2009) menyatakan bahwa, ada beberapa kriteria bibit
Shorea leprosula siap tanam di lapangan, yakni berbatang lurus, diameter pangkal
batangnya 3-4 mm, tinggi kurang lebih 30 cm, percabangannya minimalis,
berdaun 2-5 helai, perakarannya lurus, dan bebas dari hama penyakit.

12

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di Lokasi Unit Pelayanan Teknis Fakultas
Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru. Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua)
bulan. Waktu penelitian berlangsung Agustus 2013 sampai Oktober 2013.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semai Shorea leprosula
umur 9 bulan, polybag dengan spesifikasi 23 cm x 15 cm dan volume 2 kg,
Tricho-kompos terformulasi, dan tanah gambut jenis saprik. Alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pita ukur, kertas label, tong air, selang, alat tulis,
kamera, gunting, ember, caliper, dan cangkul.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian

ini

dilakukan

secara

eksperimen

dengan

menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 kali ulangan.
Setiap ulangan terdiri atas 2 sampel percobaan. Total semai berjumlah 40.
T0 = Tanpa pemberian Tricho-kompos terformulasi (kontrol)
T1 = Pemberian 25 g Tricho-kompos terformulasi/polybag
T2 = Pemberian 50 g Tricho-kompos terformulasi/polybag
T3 = Pemberian 75 g Tricho-kompos terformulasi/polybag
T4 = Pemberian 100 g Tricho-kompos terformulasi/polybag
Respon yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian Tricho-kompos
terformulasi adalah persen hidup semai, tinggi semai, diameter semai, berat kering
semai, dan rasio tajuk akar. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik

13

menggunakan analisis ragam dengan SPSS versi 17.0. Kemudian hasil analisis
ragam dilanjutkan uji jarak berganda Duncans pada taraf 5% dengan model linier
sebagai berikut :
Yij = + i + ij
Keterangan :
Yij = Hasil pengamatan dari faktor pemberian formula Tricho-kompos pada
taraf ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum

i = Pengaruh perlakuan pemberian formula Tricho-kompos


ij = Galat perlakuan pemberian formula Tricho-kompos pada taraf ke-i dan
ulangan ke-j
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persiapan Tempat Penelitian
Tempat penelitian terlebih dahulu dibersihkan dari berbagai tanaman
pengganggu agar tidak menganggu selama penelitian. Pada tempat penelitian telah
tersedia rumah kasa yang berfungsi sebagai naungan semai Shorea leprosula.
3.4.2. Penyediaan Medium Tanam
Medium tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut
jenis saprik yang diambil di daerah Srikandi, Kelurahan Delima, Kecamatan
Tampan, Pekanbaru. Untuk memperoleh tanah gambut jenis saprik tersebut
terlebih dahulu seresah-seresah yang ada pada permukaan tanah dibersihkan.
Kemudian digali sampai kedalaman 18-20 cm. Seteleh diperoleh, tanah gambut
diaduk dan dikering anginkan lalu dipindahkan ke dalam

polybag dengan

14

spesifikasi 23 x 15 cm dengan volume 2 kg, yang akan digunakan sebagai


medium tanam semai Shorea leprosula.
3.4.3. Penambahan Tricho-kompos Terformulasi
Tricho-kompos yang digunakan diperoleh dari Unit Kompos IbIKK (Ipteks
bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus) Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Tricho-kompos berbahan baku starter Trichoderma pseudokoningii dan jerami
padi, selanjutnya ditambahkan zeolit yang berfungsi sebagai sumber mineral
pendukung pada tanah dan absorben dengan perbandingan 7 : 3. Kompos jerami
padi, zeolit, dan starter Trichoderma pseudokoningii digunakan sebagai bahan
penelitian.
Penambahan Tricho-kompos terformulasi dilakukan pada saat seminggu
sebelum penanaman semai Shorea leprosula pada medium gambut. Trichokompos terformulasi ditambahkan ke dalam medium tanam dengan dosis yang
telah disesuaikan dengan perlakuan.
3.4.4. Penanaman Semai
Semai Shorea leprosula yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9
bulan dengan kriteria tinggi dan diameter yang seragam yang diperoleh dari Balai
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Pekanbaru. Semai yang digunakan berasal
dari perbanyakan secara generatif yaitu, cabutan. Jumlah total semai yang
digunakan adalah 40 semai. Selanjutnya semai ditanam pada polybag dengan
medium tanah gambut.

15

3.5. Pemeliharaan
3.5.1. Penyulaman
Penyulaman merupakan usaha penggantian tanaman yang mati atau rusak
dengan tanaman yang baru sehingga diperoleh jumlah tanaman yang sesuai tanpa
mengurangi atupun menambah jumlah tanaman yang ada persatuan luas. Kegiatan
penyulaman hanya dilakukan apabila seminggu setelah penanaman semai meranti
ada yang mengalami kematian atau kerusakan digantikan dengan semai meranti
yang baru dan pertumbuhannya juga seragam. Jumlah masing-masing semai
meranti yang digunakan pada setiap perlakuan disediakan 2 (dua) semai untuk
kegiatan penyulaman.
3.5.2. Penyiraman
Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari selama penelitian
menggunakan hand sprayer untuk menjaga kelembaban tanah di sekitar tanaman
penelitian. Bila turun hujan, maka tidak perlu dilakukan penyiraman.
3.5.3. Penyiangan
Penyiangan dilakukan sesuai dengan kondisi laju pertumbuhan gulma.
Penyiangan gulma dilakukan secara mekanik, yakni dengan cara mencabutnya
baik di dalam polybag maupun di luar polybag.
3.5.4. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara preventif. Cara preventif
dilakukan dengan menjaga sanitasi lingkungan tanam, baik dari gulma maupun
dari bahan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Penggunaan zatzat kimia tidak dilakukan dalam mengendalikan hama dan penyakit, karena

16

dengan pemberian Tricho-kompos terformulasi diharapkan dapat mencegah hama


dan penyakit.
3.6. Pengamatan
3.6.1. Persen Hidup Semai (%)
Merupakan perbandingan jumlah semai yang mampu hidup dengan jumlah
total seluruh semai yang ditanam dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Persen
hidup semai dihitung pada saat semai meranti berumur 11 (sebelas) bulan dengan
menggunakan rumus, (Satjapradja, 2006) yaitu :

3.6.2. Pertambahan Tinggi Semai (cm)


Pengamatan pertambahan tinggi semai dilakukan dengan mengukur semai
dari pangkal batang sampai batas daun tertinggi secara vertikal diukur dalam
centimeter (cm). Pertambahan tinggi semai diperoleh dari hasil pengukuran tinggi
semai pada tiap interval pengukuran pertama dikurangi tinggi awal semai. Untuk
meminimalisir kesalahan pengukuran, maka pada bagian batang yang diukur
diberi tanda sebagai data dalam pengukuran dengan jarak 2 (dua) cm dari
permukaan tanah. Pengamatan pertumbuhan tinggi semai dilakukan 1 kali dalam
seminggu. Pengamatan pertambahan tinggi semai dilakukan sampai minggu ke 7.

17

3.6.3. Pertambahan Diameter Semai (mm)


Pengamatan pertambahan diameter semai dilakukan dengan mengukur
bagian leher batang semai menggunakan caliper dengan satuan millimeter (mm).
Pertambahan diameter semai diperoleh dari diameter pada akhir tiap interval
pengukuran

dikurangi

diameter

awal.

Untuk

meminimalisir

kesalahan

pengukuran, maka pada bagian batang yang diukur diberi tanda sebagai data
dalam pengukuran dengan jarak 2 (dua) cm dari permukaan tanah. Pengamatan
pertambahan diameter semai dilakukan 1 kali dalam seminggu. Pengamatan
pertambahan diameter semai dilakukan sampai minggu ke 7.
3.6.4. Berat Kering Tanaman (g)
Berat kering tanaman yang diukur meliputi berat kering akar dan berat
kering tajuk. Pengamatan berat kering tanaman dilakukan pada akhir penelitian.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil seluruh sampel pada setiap perlakuan.
Sampel diambil dan dicuci bersih dengan air mengalir. Setiap masing-masing
sampel dipotong menjadi dua bagian yang terdiri dari bagian tajuk dan bagian
akar dengan cara memotong bagian akar hingga leher akar dan bagian pangkal
batang sampai tajuk lalu dikering anginkan.
Kemudian kedua masing-masing bagian tersebut dimasukkan ke dalam
amplop yang berbeda lalu dioven pada suhu 70C sampai tidak terjadi penurunan
berat. Setelah itu, masing-masing sampel ditimbang dengan menggunakan
timbangan analitik yang hasilnya dinyatakan dalam satuan gram (g). Untuk
mengetahui berat kering tanaman dihitung pada saat semai meranti berumur 11
(sebelas) bulan dengan merata-ratakan jumlah berat kering tajuk dan berat kering
akar.

18

3.6.5. Rasio Tajuk Akar


Merupakan perbandingan antara berat kering tajuk dan berat kering akar.
Pengukuran rasio tajuk akar dilakukan pada akhir penelitian. Hasil rasio tajuk dan
akar diperoleh dengan membandingkan berat kering tajuk dan berat kering akar
yang sebelumnya telah dioven pada suhu 700C sampai konstan yang hasilnya
dinyatakan dalam satuan gram (g). Untuk menghitung rasio tajuk dan akar
dihitung pada saat semai meranti berumur 11 (sebelas) bulan menggunakan
rumus, (Hendromono, 2003) yaitu :
Rasio tajuk/akar =

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persen Hidup Semai (%)


Hasil pengamatan terhadap persen hidup semai Shorea leprosula yang
diberi perlakuan beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi setelah dianalisis
ragam menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (Lampiran 3a). Hasil uji lanjut
DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata persen hidup semai Shorea leprosula umur 11 bulan setelah
pemberian Tricho-kompos terformulasi
Dosis Tricho-kompos terformulasi

Persen Hidup (%)

T0 (kontrol)

100 a

T1 (25 g/polybag)

100 a

T2 (50 g/polybag)

100 a

T3 (75 g/polybag)

100 a

T4 (100 g/polybag)

100 a

Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama adalah berbeda tidak nyata pada taraf 5%
menurut uji DNMRT

Berdasarkan hasil uji lanjut pada Tabel 1 terlihat bahwa rerata persen
hidup semai Shorea leprosula berbeda tidak nyata sesamanya. Hal ini diduga
kandungan hara Tricho-kompos terformulasi yang melibatkan Trichoderma
pseudokoningii mengakibatkan terbantunya proses dekomposisi pada tanah
gambut lebih maksimal sehingga mampu menyediakan unsur hara (N, P, K, Ca,
Mg, dan lain-lain) yang dibutuhkan semai dalam proses pertumbuhan dan
perkembangannya.
Persen hidup semai juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang baik.
Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan semai adalah

20

medium tanam. Kosasih (2006), menyatakan bahwa medium tanam yang baik
mempunyai empat fungsi utama yaitu memberi unsur hara dan sebagai tempat
tumbuh perakaran, menyediakan air dan tempat penampungan air, menyediakan
udara untuk respirasi akar, dan sebagai tempat tumbuhnya tanaman. Aplikasi
beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi ke dalam medium tanam gambut
saprik, diduga mampu menyediakan unsur hara yang dibutuhkan semai,
menyediakan air yang cukup serta menyediakan udara untuk respirasi akar.
Dengan kondisi seperti ini, maka aktivitas akar dalam memasok unsur hara yang
akan didistribusikan ke seluruh jaringan tanaman meningkat yang akan memacu
laju proses fotosintesis sehingga seluruh semai dapat terus tumbuh dengan baik
hingga akhir penelitian.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Winarni (2008), bahwa kemampuan
hidup semai yang tinggi menunjukkan bahwa faktor lingkungan telah memberikan
berbagai sarana yang cukup bagi tanaman tersebut. Seperti ketersediaan air, udara,
dan unsur hara yang cukup serta bebas dari gangguan hama dan penyakit.
4.2. Pertambahan Tinggi Semai (cm)
Hasil pengamatan terhadap pertambahan tinggi semai Shorea leprosula
yang diberi perlakuan beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi setelah
dianalisis ragam menunujukkan pengaruh nyata (Lampiran 3b). hasil uji lanjut
DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 2.

21

Tabel 2. Rerata Pertambahan tinggi semai Shorea leprosula umur 11 bulan setelah
pemberian Tricho-kompos terformulasi
Pertambahan Tinggi (cm)

Dosis Tricho-kompos terformulasi


T4 (100 g/polybag)

2,51 a

T2 (50 g/polybag)

2,30 b

T3 (75 g/polybag)

2,18 b

T1 (25 g/polybag)

1,55 c

T0 (kontrol)

1,47 c

Angka-angka pada setiap baris pada kolom sama yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama
adalah berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil rerata pertambahan tinggi semai
yang terbaik terdapat pada perlakuan Tricho-kompos terformulasi dengan dosis
100 g/polybag (T4). Sementara untuk hasil pertambahan tinggi terendah
ditunjukkan pada perlakuan tanpa pemberian Tricho-kompos terformulasi (T0).
Hal ini diduga karena pemberian Tricho-kompos dengan dosis 100 g/polybag
mampu menyediakan jumlah unsur hara yang cukup pada medium tanam,
terutama unsur hara Nitrogen (N) dan Posfor (P).
Unsur hara yang tersedia dalam medium tanam diperoleh dari pemberian
aplikasi.

Tricho-kompos

terformulasi

yang

didekomposer

Trichoderma

pseudokoningii sebagai perombak bahan organik dalam medium gambut sehingga


mampu menurunkan C/N gambut mendekati C/N tanah. Hal ini dapat dikaitkan
dengan penelitian yang telah dilakukan Syamsudin (2012), menyatakan bahwa
Tricho-kompos terformulasi memiliki kandungan unsur hara N = 1,86%, P =
0,21%, K = 5,35%, C = 29,74%, kadar air = 55% dan dapat memperkecil C/N
tanah menjadi 15,98 yang berarti kualitas kompos dianggap baik dan dapat
menyumbangkan hara bagi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan SK Menteri

22

Pertanian No. 2 Tahun 2006, menyatakan bahwa standar pupuk organik padat
memiliki C/N antara 10 - 25. Pada dasarnya prinsip pengomposan adalah
menurunkan rasio C dan N bahan organik menjadi sama dengan rasio C dan N
tanah, yaitu 8-15. Rasio C dan N adalah hasil perbandingan antara karbondioksida
dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu bahan.
Bahan organik yang memiliki rasio C/N yang sama dengan tanah
memungkinkan dapat diserap oleh tanaman sehingga dapat meningkatkan
ketersediaan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara P dan N
merupakan unsur yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Hal tersebut
disebabkan karena unsur P sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam proses
pertumbuhan tanaman dalam jumlah yang cukup. Sutedjo, dkk (1991)
menyatakan bahwa unsur P dapat mempercepat pertumbuhan akar, merangsang
serta memperkuat pertumbuhan tanaman. Selain itu, unsur P juga berfungsi
membantu pembentukan protein dan mineral serta mentranslokasikan ke seluruh
bagian tanaman.
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pengamatan pada perlakuan T 0
dan T1 berbeda tidak nyata terhadap sesamanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan
rendahnya keberadaan unsur hara yang tersedia pada kedua perlakuan tersebut.
Pada perlakuan T0 dan T1 jumlah unsur hara yang tersedia lebih rendah sehingga
mempengaruhi proses laju fotosintesis yang menyebabkan pertambahan tinggi
semainya tidak lebih baik dengan perlakuan T4. Tinggi rendahnya keberadaan
unsur hara pada medium tanam sangat mempengaruhi kinerja akar dalam hal
memasok nutrisi yang dibutuhkan semai. Pratama (2006), menjelaskan bahwa
unsur hara P yang tersedia dalam jumlah yang cukup sangat berpengaruh terhadap

23

perkembangan dan kinerja akar dalam hal memasok unsur hara tanaman, terutama
unsur hara Nitrogen (N). Unsur hara N merupakan salah satu dari unsur hara
makro yang berperan sangat dominan dan dibutuhkan tanaman untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Ketersediaan unsur hara N yang tinggi sangat
berperan dalam pembentukan klorofil. Kandungan klorofil yang tinggi akan
memacu proses fotosintesis. Hasil dari proses fotosintesis tersebut, merupakan
karbohidrat yang berperan sebagai bahan penyusun sel baru dan membantu proses
diferensiasi sel yang berdampak pada semai, yaitu pertambahan tinggi semai.
Pada perlakuan T3 dan T2 jumlah unsur hara yang tersedia juga lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan T4, namun cenderung lebih baik daripada
perlakuan T0 dan T1 . Rendahnya keberadaan unsur hara yang tersedia pada
medium tanam, maka akan lebih lambat mengkolonisasi jaringan akar yang
menyebabkan rendahnya ketersediaan unsur hara N yang diperoleh dari kinerja
akar yang berakibat terhambatnya laju fotosintesis sehingga berdampak pada
pertambahan tinggi semainya tidak lebih baik dibandingkan dengan perlakuan T4.
Hal ini diduga dapat terjadi karena semakin tinggi dosis Tricho-kompos yang
diberikan pada medium tanam bervolume 2 kg maka akan semakin meningkat
pula jumlah unsur hara yang tersedia.
Komposisi Tricho-kompos terformulasi yang terdiri dari jerami padi dan
zeolit serta penambahan Trichoderma pseudokoningii mampu menyediakan unsur
hara yang dibutuhkan semai Shorea leprosula untuk memacu pertambahan
tingginya pada medium gambut. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1.

Pertambahan tinggi (cm)

24

T0

2.5

T1

2
1.5

T2

T3

0.5
T4

0
1

Minggu Ke-

Gambar 1. Grafik pertambahan tinggi semai Shorea leprosula umur 11 bulan


Tricho-kompos terfomulasi yang merupakan asosiasi antara bahan organik
(jerami padi dan zeolit) dengan Trichoderma pseudokoningii bekerja secara
sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik. Hal ini
sesuai pernyataan Suntoro (2003), bahwa pelapukan bahan organik akan
meningkatkan kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air
tanah untuk pertumbuhan tanaman meningkat.
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas
dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan
bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara
tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah
tidak tentu.
Pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif tanaman dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
merupakan bawaan dari sifat induk. Faktor lingkungan berupa pH medium, suhu,
dan ketersediaan unsur hara. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa
pertumbuhan tanaman adalah proses yang dilalui oleh tanaman untuk
meningkatkan ukurannya (tinggi dan diameter) di bawah pengaruh faktor
lingkungan. Selanjutnya Lakitan (1995) menjelaskan bahwa tinggi tanaman

25

merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur. Selain itu,
tinggi tanaman juga merupakan suatu indikator pertumbuhan untuk mengukur
pengaruh dari lingkungan atau suatu perlakuan yang diberikan.
4.3. Pertambahan Diameter Semai (mm)
Hasil pengamatan terhadap pertambahan diameter semai Shorea leprosula
yang diberi perlakuan beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi setelah
dianalisis ragam menunjukkan pengaruh yang nyata (Lampiran 3c). hasil uji lanjut
DMNRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rerata Pertambahan diameter semai Shorea leprosula umur 11 bulan
setelah pemberian dosis Tricho-kompos terformulasi
Dosis Tricho-kompos terformulasi

Pertambahan Diameter (mm)

T4 (100 g/polybag)

0,18 a

T2 (50 g/polybag)

0,14 b

T3 (75 g/polybag)

0,13 b

T1 (25 g/polybag)

0,08 c

T0 (kontrol)

0,07 c

Angka-angka pada setiap baris pada kolom sama yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama
adalah berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rerata pertambahan diameter semai yang
terbaik terdapat pada perlakuan Tricho-kompos terformulasi dengan dosis 100
g/polybag (T4). Hal ini diduga aplikasi Tricho-kompos teformulasi dengan dosis
100 g/polybag mampu mendekomposisi tanah gambut sehingga unsur hara (N, P,
K, Ca, Mg, dan lain-lain) tersedia dalam jumlah yang cukup untuk diserap semai
dalam kegiatan metabolisme dan dapat mendorong laju fotosintesis yang
menghasilkan fotosintat sehingga membantu aktivitas kambium dalam penebalan
batang. Bertambahnya tebal batang ini diakibatkan oleh semakin berkembang dan

26

bertambahnya jaringan pembuluh di dalam kambium. Hal ini diduga terjadi


karena Tricho-kompos yang diberikan telah terdekomposisi dengan sempurna.
Ismanto (1988) menyatakan, bahwa proses dekomposisi bahan organik yang
sempurna dapat memacu pertumbuhan semai sebagai akibat adanya panas yang
dikeluarkan selama proses dekomposisi bahan organik yang bersangkutan.
Tricho-kompos terformulasi yang diberikan pada tanaman sangat membantu
dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman salah satunya adalah pertambahan

Pertambahan Diameter (cm)

diameter semai. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 2.

0.2

T0
T1
T2
T3
T4

0.15
0.1

0.05
0

Minggu Ke-

Gambar 2. Pertambahan diameter semai Shorea leprosula umur 11 bulan.


Pada Gambar 2 perlakuan T4 dengan dosis 100 g/polybag merupakan
perlakuan terbaik yang memperlihatkan rerata pertambahan diameter semai yang
paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Sementara untuk hasil
rerata pertambahan diameter semai yang terendah ditunjukkan pada perlakuan T0.
Hal ini sesuai dengan rerata pertambahan tinggi semai yang terbaik dan rerata
pertambahan tinggi semai yang terendah yang dihasilkan (Tabel 2). Hal ini dapat
terjadi karena, aktivitas penambahan tebal batang adalah aktivitas yang menyertai
tinggi tanaman. Pertambahan diameter semai akan meningkat secara garis lurus
dengan pertambahan tinggi semai, karena keduanya merupakan hasil dari aktivitas

27

penambahan unsur hara dan nutrisi yang diperoleh tanaman dari media tumbuh
(Yuniarti, 2006).
4.4. Berat Kering Semai (g)
Hasil pengamatan terhadap berat kering semai Shorea leprosula yang
diberi perlakuan beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi setelah dianalisis
ragam menunjukkan pengaruh yang nyata (Lampiran 3d). Hasil uji lanjut
DMNRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata berat kering semai Shorea leprosula umur 11 bulan setelah diberi
perlakuan Tricho-kompos terformulasi
Dosis Tricho-kompos terformulasi

Berat Kering Tanaman (g)

T4 (100 g/polybag)

5,49 a

T2 (50 g/polybag)

3,86 b

T3 (75 g/polybag)

3,44 b c

T1 (25 g/polybag)

2,90 c d

T0 ( kontrol)

2,55 d

Angka-angka pada setiap baris pada kolom sama yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama
adalah berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hasil terbaik rerata berat kering


semai ditunjukkan pada perlakuan aplikasi Tricho-kompos terformulasi 100
g/polybag (T4). Aplikasi beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi mampu
meningkatkan berat kering semai secara nyata. Hal ini dapat dikaitkan karena
pemberian Tricho-kompos terformulasi juga dapat memperbaiki agregat gambut
dan memperbaiki sifat fisik dan kimia gambut serta meningkatkan ketersedian
unsur hara yang berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti
akar. Bila perkembangan akar meningkat maka pertumbuhan organ tanaman yang
lain akan berkembang dengan baik pula karena akar mampu menyerap unsur hara

28

yang dibutuhkan oleh tanaman. Perkembangan akar yang baik dan penyerapan
unsur hara yang cukup menyebabkan pertumbuhan tajuk semai lebih baik dan
akhirnya meningkatkan berat kering semai. Hal ini dapat terlihat dari
pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tanaman lain yang menunjukkan
hasil yang terbaik seperti tinggi semai (Tabel 2) dan diameter semai (Tabel 3).
Berat kering semai berhubungan dengan pertumbuhan semai, semakin
baik pertumbuhan semai maka berat kering semai yang dihasilkan akan semakin
baik pula. Berat kering semai mencerminkan akumulasi senyawa organik dari
hasil sintesis senyawa anorganik, terutama air dan karbondioksida. Guritno (1995)
menambahkan, bahwa berat tanaman merupakan ukuran yang paling sering
digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari laju pertumbuhan tanaman
yang didasarkan atas penaksiran berat (biomassa) tanaman yang relatif mudah
diukur dan merupakan integrasi dari semua peristiwa sebelumnya yang telah
dialami oleh tanaman. Berat kering total dapat dijadikan indikator efisiensi proses
pertumbuhan tanaman dan merupakan perwujudan hasil fotosintesis.
Karbohidrat sederhana yang dihasilkan dari fotosintesis setelah melalui
proses metabolisme diubah menjadi lipida, asam nukleat, protein dan molekul
organik lain, dan digunakan untuk pembentukan bagian vegetatif, seperti daun,
akar, batang, jaringan dan organ lain. Berat kering total yang tinggi menunjukan
suplai karbohidrat yang tinggi pula. Berat kering total juga sangat erat kaitannya
dengan ketersediaan unsur hara yang cukup di dalam media tumbuh (Lakitan,
1995). Tricho-kompos terformulasi membantu tanaman dalam menyerap unsur
hara sehingga akan berdampak terhadap meningkatnya berat kering pada tanaman.

29

Gardner et al (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dapat dilihat


dengan penambahan berat berat kering tanaman.
Berat kering tanaman mencerminkan status nutrisi dan kemampuan
tanaman dalam menyerap unsur hara. Semakin besar unsur hara yang dapat
diserap oleh tanaman tentunya akan berdampak terhadap semakin baiknya
pertumbuhan suatu tanaman. Hasil penelitian Sudarman (1995), menyatakan
bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman sangat membutuhkan jumlah keberadaan
unsur hara yang cukup sehingga berdampak pada hasil fotosintesis.
Semakin besar hasil fotosintesis yang didapat akan semakin baik pula
pertumbuhan suatu tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan meningkatkan
berat kering pada tanaman. Semai yang memiliki pertumbuhan tinggi dan
diameter yang baik, maka akan menghasilkan berat kering tanaman yang baik
pula. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah akan menyebabkan lebih
tersedianya unsur hara bagi tanaman. Hasil terbaik pertambahan tinggi dan
diameter ditunjukkan pada perlakuan pemberian Tricho-kompos terformulasi
dengan dosis 100 g/polybag (T4) dan hasil terendah ditunjukkan pada perlakuan
tanpa pemberian (T0).
4.5. Rasio Tajuk Akar
Hasil pengamatan terhadap rasio tajuk akar semai Shorea leprosula yang
diberi perlakuan beberapa dosis Tricho-kompos terformulasi setelah dianalisis
ragam menunjukkan pengaruh tidak nyata (Lampiran 3e). Hasil uji lanjut
DMNRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 5.

30

Tabel 5. Rerata rasio tajuk akar semai Shorea leprosula umur 11 bulan setelah
diberi perlakuan Tricho-kompos terformulasi
Dosis Tricho-kompos terformulasi

Rasio Tajuk Akar

T4 (100 g/polybag)

2,10 a

T2 (50 g/polybag)

2,30 a

T3 (75 g/polybag)

2,46 a

T1 (25 g/polybag)

2,51 a

T0 (0 g/polybag)

2,62 a

Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama adalah berbeda tidak nyata pada taraf 5%
menurut uji DNMRT

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa aplikasi beberapa dosis Tricho-kompos


terformulasi berbeda tidak nyata pada semua perlakuan. Hal ini terjadi karena
unsur hara yang tersedia diserap dan dimanfaatkan semai untuk pembentukan
tajuk dan akar dalam rasio yang relatif sama dengan suplai hara yang berbeda.
Selain itu, hal ini diduga karena dengan aplikasi beberapa dosis Tricho-kompos
terformulasi meningkatkan unsur hara yang tersedia sehingga pertumbuhan akar
baik yang diikuti pertumbuhan tajukpun akan meningkat. Jika berat akar menigkat
maka berat tajuk juga akan meningkat. Peningkatan berat akar yang berbanding
lurus dengan peningkatan berat tajuk pada semua perlakuan menyebabkan rasio
tajuk akar berbeda tidak nyata.
Namun demikian, aplikasi Tricho-kompos terformulasi dengan dosis 100
g/polybag (T4) memiliki nilai rasio tajuk akar yang cenderung lebih baik, yaitu
2,10. Menurut Bunting dalam Widyastuti (2007) nilai ideal untuk rasio tajuk dan
akar adalah 2-5. Rasio tajuk akar merupakan keseimbangan antara tajuk dan akar
yang mencerminkan pertumbuhan tanaman yang baik dan seimbang dalam
menyerap unsur hara dan air. Gardner (1991) menyatakan bahwa, perbandingan

31

berat kering tajuk akar menunjukan bagaimana penyerapan air dan unsur hara oleh
akar yang didistribusikan ke tajuk tanaman. Pada dasarnya pertumbuhan
merupakan keseimbangan antara perolehan karbon pada fotosintesis dan
pengeluarannya dalam respirasi.
Hal ini juga dapat terjadi karena waktu penelitian yang hanya 7 (tujuh)
minggu diduga sebagai penyebab belum mampunya Tricho-kompos terformulasi
dalam memberikan keseimbangan terhadap rasio tajuk akar. Pada setiap perlakuan
menunjukan hasil rasio tajuk akar yang tidak berbeda. Rasio tajuk akar merupakan
salah satu faktor penting dalam pertumbuhan tanaman yang mencerminkan
kemampuan dalam penyerapan unsur hara serta proses metabolisme yang terjadi
pada tanaman. Pengertian dari rasio tajuk akar adalah pertumbuhan suatu bagian
tanaman diikuti dengan pertumbuhan bagian tanaman lainnya, dimana berat tajuk
meningkat secara linier mengikuti peningkatan berat akar (Gardner, 1991).
Rasio tajuk akar dapat menggambarkan salah satu tipe toleransi terhadap
adanya kekeringan serta menunjukkan bagaimana penyerapan unsur hara oleh
akar tanaman digunakan untuk fotosintesis yang hasilnya akan digunakan untuk
pertumbuhan

dan

perkembangan

tanaman,

baik

tajuk

maupun

akar.

Keseimbangan antara tajuk dan akar mencerminkan pertumbuhan tanaman yang


baik dan seimbang. Rasio tajuk akar bukan merupakan indikator yang baik untuk
menentukan pertumbuhan suatu tanaman, karena selain banyak faktor yang
mempengaruhi juga belum ada standar waktu penelitian untuk penentuan rasio
tajuk akar yang baik (Banowati, 1986).

32

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Aplikasi Tricho-kompos terformulasi mampu meningkatkan kualitas semai
Shorea leprosula pada medium gambut.
2. Aplikasi Tricho-kompos terformulasi dengan dosis 100 g/polybag
menunjukkan kualitas semai terbaik.

5.2. Saran
1. Untuk aplikasi di lapangan dengan tujuan mendapatkan kualitas semai
terbaik dan pertumbuhan yang maksimal maka disarankan untuk dosis
Tricho-kompos terformulasi

yang diberikan

adalah sebanyak 50

g/polybag.
2. Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui waktu
yang tepat dalam aplikasi Tricho-kompos terformulasi terhadap tanaman.

33

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor.
Abdurachman. 2012. Tanaman Ulin Pada Umur 8,5 Tahun di Arboretum
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda. Balai Besar
Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Badan Pusat Statistik Riau. 2012. Riau Dalam Angka. BPS. Pekanbaru.
Banowati, L. 1986. Pengaruh Beberapa Jenis Kontainer dengan Media
Tumbuh Gambut Terhadap Pertumbuhan Semai Acacia mangium
Wild. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Djafarudin. 1970. Pupuk dan Pemupukan. Faperta Unand. Padang.
Fitter A.H., Hay R.K.M. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada
University Press.
Gardner, F. P., Pierce, R. B, Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tumbuhan
Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Harman, G.E., J.R. Howell., A. Viterbo., I. Chet and M. Loripto. 2004.
Trichoderma Species Opportunistic Avirulent Plant Symbioals. Nature
reviews 2 (1) (PP 943-56).
Hartatik, W., Subiksa., Dariah, A. 2012. Sifat Kimia dan Fisik Tanah Gambut.
Universitas Andalas. Padang.
Hendromono. 2003. Kriteria Penilaian Mutu Benih dalam Wadah yang Siap
Tanam Untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Buletin Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Volume 4 No. 1. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Irwanto. 2006. Hutan Tanaman Shorea smithiana Prospektif, Sehat dan
Lestari. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ismail, N., Tenrirawe, A. 2011. Potensi Agens Hayati Trichoderma spp.
Sebagai Agens Pengendalian Hayati. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP). Sulawesi Utara.

34

Ismanto, S. D. 1988. Pembuatan Media Tumbuh Semai Acasia mangium Wild.


dari Serbuk Gergaji. Laboratorium Bioindustri, Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB, Bogor.

Kosasih, A, S. dan Haryati. 2006. Pengaruh Medium Sapih terhadap


Pertumbuhan Bibit Shorea Selenica BL. di Persemaian. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor.
Kusuma, R. 2011. Identifikasi Senyawa Bioaktif pada Tumbuhan Meranti
Merah (Shorea smithiana Symington). Mulawarman Scientifie,
Volume 10, Nomor 2. FMIPA Universitas Mulawarman, Samarinda.
Kurniawan., Susanto. dan Muslim. 2012. Fakta Hutan dan Kebakaran Riau
2002-2012 Informasi Atas Perubahan Hutan Rawa Gambut/ Rawa
Gambut Riau, Sumatera-Indonesia. Artikel Jikalahari. Riau.
Pekanbaru.
Lilik, R., Wibowo, B.S., Irwan, C., 2010. Pemanfaatan Agens Antagonis dalam
Pengendalian Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura.
http://www.bbopt.litbang.deptan.go.id akses 21 Februari 2013.
Lestari, D.W. 2010. Kajian Modifikasi dan Karakterisasi Zeolit Alam dari
Berbagai Negara. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Noor, M., A. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kasinus.
Yogyakarta.
H.S. Nur, et al. 2008. Pemanfaatan Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik yang
Potensial untuk Dekomposisi Jerami Padi. Jurnal Tanah Tropika Vol.
14 No. 1. Banjarmasin.
Lakitan, B., 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Pamoengkas, P., Prayogi, J.2009. Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea
leprosula Miq) Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Tengah). Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 02 No. 01 April
2011. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Panjaitan, S., Rusmana, Sukma, A.M. 2009. Pertumbuhan Tanaman Meranti
Merah Penghasil Tengkawang (Shorea Stenoptera Burck) Umur 12
Bulan dengan Metode Rumpang Di Hutan Penelitian Kintap,
Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Banjarbaru. Banjarmasin.

35

Puspita, F., Manurung, G., Edwina, S., Adiwirman. 2012. Peningkatan


Produktivitas Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Melalui
Teknologi Biotrikom Berbasis Limbah Padat Kelapa Sawit di
Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Universitas Riau. Pekanbaru
Puspita, F., A.T Maryani, dan Wahono,. 2011. Studi Formulasi Trichoazolla
Sebagai Biopestisida dan Biofertilizer pada Pembibitan Kelapa
Sawit. Makalah Seminar Hasil Penelitian KKP3T Litbang Deptan
Jakarta.
Pratama, N. 2006. Aplikasi Dregs dan Trichoderma sp. Terhadap Serapan N,
P, K, Bibit Kelapa Sawit Pada medium Gambut di pembibitan Awal.
Fakultas Pertanian.Universitas Riau.
Priadjati, A., dan G.W. Tolkamp. 2002. Manual Persemaian Dipterocarpaceae.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Salampak, 1999.Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan
dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi
Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso, B. 2006. Produktivitas dan Kualitas benih Jati Muna. Prosding
Pertemuan Forum Komunikasi Jati V. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman. Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Satjapradja, O. 2006. Kajian Penggunaan Paclobutrazol terhadap
Pertumbuhan Semai Agathis I. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol
XXII No 1. Bogor.
Schmidt FH., Ferguson JHA. 1951. Rainfall type based on wet and dry period
ratio for Indonesia with Western New Gurinea. Kementerian
Perhubungan.
Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Sudarman. 1995. Pemanfaatan Limbah Sagu (Metroxillon sagu) dengan
Kotoran Sapi Sebagai Media Tanam Pembibitan Kelapa Sawit
(Elaeis guinensis jacq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bogor.
Bogor.
Suntoro. 2001. Pengaruh Residu Penggunaan Bahan Organik, Dolomit, dan
KCI Pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogae. L.) pada Oxic
Dystrudept di Jumapolo, Karanganyar. Habitat, 12 (3) 170-177.

36

Sutedjo, M. M., Kartasapoetra, A.g dan Sastroadmodjo, R.D.S. 1991.


Mikrobiologi tanah. Rinekta Cipta. Jakarta.
Solechatun, Anggarwulan E., dan Mudayantini W. 2005. Pengaruh
Ketersediaan Air terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Bahan
Aktif Saponin Tanaman Ginseng Jawa (Talinum paniculatum
Gaertn.). Jurnal Biofarmasi UNS. Surakarta.
Syamsudin. 2012. Uji Beberapa Dosis Tricho-kompos untuk Mengendalikan
Penyakit Bercak Daun pada Pembibitan Awal Kelapa Sawit. Skiripsi
Agroteknologi Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Pekanbaru.
Wahyunto, Sofyan R., Suparto, dan Subagyo H. 2004. Sebaran dan Kandungan
Karbon Lahan Gambut di Sumatera dan Kalimantan. Wetland
International Indonesian Programme.
Widyastuti, S. M. 2007. Peran Trichoderma spp. Dalam Revitalisasi
Kehutanan Di Indonesia. Gadjah Mada University Press
Wijaya, M.M. 2006. Pertumbuhan Tanaman Meranti dalam Sistem Tebang
Pilih Tanam Jalur di HPHTI PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai
Seruyan, Kalimantan Tengah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Yuniarti, N., Heryati, Y. 2006. Pengaruh Media Tanam dan Frekuensi
Pemupukan Kompos Terhadap Pertumbuhan dan Mutu Bibit
Damar (Agathis
loranthifolia Salisb.). Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.

37

Lampiran 1. Bagan Percobaan di Lapangan Menurut Metode Rancangan


Acak Lengkap (RAL).
TO1b

T23a

T31a

T43a

TO4b

T41a

T03a

T33a

T13a

T21a

T32a

T02a

T44a

T23a

T14b

T42a

T31b

T02b

T44b

T22a

T01a

T34b

T12a

T24b

T14a

T42b

T11a

T32b

T04a

T22b

T01b

T43b

T12b

T24a

T33b

T34a

T41b

T13b

T21b

T03b

X
Keterangan :
TO, T1, T2, T3, T4, : Perlakuan pemberian tricho-kompos terformulasi
1,2,3,4...

: Ulangan ke

a, b,

: Satuan unit percobaan

X, Y,

: Jarak antar polybag 15 cm

38

Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam semai Shorea leprosula

a. Persen Hidup Semai


SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 0%

DB
4
15
20

JK
0,00
0,00
200000

KT
0,00
0,00

F hitung
0,00ns

F tabel
3,06

JK
3,46
0,16
84,03

KT
0,86
0,01

F hitung
78,11*

F tabel
3,06

JK
0,03
0,00
0,35

KT
0,00
1.353E-4

F hitung
59.68*

F tabel
3,06

JK
0,00
0,00
0,09

KT
0,00
3.412E-5

F hitung
59.69*

F tabel
3,06

JK
21,06
2,29
290,17

KT
5,26
0,15

F hitung
34,42*

F tabel
3,06

b. Pertambahan Tinggi
SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 4,98%
c.

DB
4
15
20

Pertambahan Diameter

SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 9,18 %

DB
4
15
20

Setelah ditransformasi
SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 8,83 %

DB
4
15
20

d. Berat Kering Tanaman


SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 10,70%

DB
4
15
20

39

Setelah ditransformasi
SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 3,95%

DB
4
15
20

JK
2,09
0,21
181,06

KT
0,52
0,01

F hitung
37,15*

F tabel
3,06

JK
0,66
3,88
119,94

KT
0,16
0,25

F hitung
0,63ns

F tabel
3,06

JK
0,00
0,13
38,04

KT
0,00
0,009

F hitung
0,10ns

F tabel
3,06

e. Rasio Tajuk Akar


SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 21,18%

DB
4
15
20

Setelah ditransformasi
SK
Perlakuan
Galat
Total
KK : 6,89%

DB
4
15
20

Keterangan :
SK
DB
JK
KT
KK
*
ns

: Sumber Keragaman
: Derajat Bebas
: Jumlah Kuadrat
: Kuadrat Tengah
: Koefisien Keragaman
: Berpengaruh Nyata
: Berpengaruh Tidak Nyata (non signifikan)

40

Lampiran 3. Hasil Uji SPSS Antar Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Semai


Shorea leprosula Umur 11 Bulan
a. Persen hidup semai
Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics
Dependent Variable:persen_hidup_semai
perlakuan

Mean

T0
T1
T2
T3
T4
Total

Std. Deviation

1.0000E2
1.0000E2
1.0000E2
1.0000E2
1.0000E2

.00000
.00000
.00000
.00000
.00000

4
4
4
4
4

1.0000E2

.00000

20

Levene's Test of Equality of Error Variances

Dependent Variable:persen_hidup_semai
F

df1
.

df2
4

Sig.
15

Tests the null hypothesis that the error variance of the


dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

41

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:persen_hidup_semai
Type III Sum of
Source

Squares

Df

Mean Square

Sig.

.000

200000.000

200000.000

Perlakuan

.000

.000

Error

.000

15

.000

Total

200000.000

20

.000

19

Corrected Model
Intercept

.000

Corrected Total

a. R Squared = . (Adjusted R Squared = .)

Perlakuan
Dependent Variable:persen_hidup_semai
95% Confidence Interval

perlakua
n

Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

100.000

.000

100.000

100.000

T1

100.000

.000

100.000

100.000

T2

100.000

.000

100.000

100.000

T3

100.000

.000

100.000

100.000

T4

100.000

.000

100.000

100.000

b. Pertumbuhan tinggi semai

Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics

42

Dependent Variable:prtmbahan_tinggi
perlaku
an

Mean

Std. Deviation

T0

1.4750

.18484

T1

1.5500

.12910

T2

2.3000

.00000

T3

2.1875

.04787

T4

2.5125

.04787

Total

2.0050

.43707

20

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:prtmbahan_tinggi
F

df1

df2

8.512

Sig.
15

.001

Tests the null hypothesis that the error variance


of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:prtmbahan_tinggi
Source

Type III Sum of


Squares

Df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

3.463a

.866

78.118

.000

Intercept

80.400

80.400

7.254E3

.000

perlakuan

3.463

.866

78.118

.000

Error

.166

15

.011

Total

84.030

20

Corrected Total

3.629

19

a. R Squared = .954 (Adjusted R Squared = .942)

43

Perlakuan
Dependent Variable:prtmbahan_tinggi
95% Confidence Interval

perlaku
an

Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

1.475

.053

1.363

1.587

T1

1.550

.053

1.438

1.662

T2

2.300

.053

2.188

2.412

T3

2.187

.053

2.075

2.300

T4

2.512

.053

2.400

2.625

prtmbahan_tinggi
Duncan
Subset

perlakua
n

T0

1.4750

T1

1.5500

T3

2.1875

T2

2.3000

T4

Sig.

2.5125
.330

.152

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .011.

44

c. Pertumbuhan diameter semai


Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics
Dependent Variable:pertambahan_diameter
perlakuan

Mean

Std. Deviation

T0

.0775

.00500

T1

.0875

.00957

T2

.1450

.01291

T3

.1350

.01291

T4

.1875

.01500

Total

.1265

.04246

20

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:pertambahan_diameter
F

df1
2.059

df2
4

Sig.
15

.137

Tests the null hypothesis that the error variance of the


dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

45

Dependent Variable:pertambahan_diameter
Type III Sum of
Source

Squares

Df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

.032a

.008

59.685

.000

Intercept

.320

.320

2.371E3

.000

Perlakuan

.032

.008

59.685

.000

Error

.002

15

.000

Total

.354

20

Corrected Total

.034

19

a. R Squared = .941 (Adjusted R Squared = .925)


Estimated Marginal Means

Perlakuan
Dependent Variable:pertambahan_diameter
perlaku
an

95% Confidence Interval


Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

.078

.006

.065

.090

T1

.088

.006

.075

.100

T2

.145

.006

.133

.157

T3

.135

.006

.123

.147

T4

.188

.006

.175

.200

pertambahan_diameter
Duncan
Subset

perlakua
n

T0

.0775

T1

.0875

T3

.1350

T2

.1450

T4

Sig.

.1875
.242

.242

1.000

46

pertambahan_diameter
Duncan
Subset

perlakua
n

T0

.0775

T1

.0875

T3

.1350

T2

.1450

T4

.1875

Sig.

.242

.242

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .000.

d. Pertumbuhan diameter setelah di transformasi


Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics
Dependent Variable:pertmbahan_diameter
perlaku
an

Mean

Std. Deviation

T0

.0412

.00287

T1

.0468

.00479

T2

.0752

.00690

T3

.0708

.00727

T4

.0968

.00624

Total

.0661

.02135

20

47

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:pertmbahan_diameter
F

df1

df2

1.088

Sig.
15

.398

Tests the null hypothesis that the error variance


of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:pertmbahan_diameter
Type III Sum of
Squares

Source

Df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

.008a

.002

59.698

.000

Intercept

.088

.088

2.565E3

.000

Perlakuan

.008

.002

59.698

.000

Error

.001

15

3.412E-5

Total

.096

20

Corrected Total

.009

19

a. R Squared = .941 (Adjusted R Squared = .925)

Perlakuan
Dependent Variable:pertmbahan_diameter
perlaku
an

95% Confidence Interval


Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

.041

.003

.035

.047

T1

.047

.003

.041

.053

T2

.075

.003

.069

.081

T3

.071

.003

.065

.077

T4

.097

.003

.091

.103

48

pertmbahan_diameter
Duncan
perlaku
an

Subset
N

T0

.0412

T1

.0468

T3

.0708

T2

.0752

T4

Sig.

.0968
.203

.293

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.41E-005.

e. Berat kering tanaman

Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

5
T4
Descriptive Statistics

Dependent Variable:Berat_kering_tanaman
perlaku
an

Mean

Std. Deviation

T0

2.5500

.12675

T1

2.9050

.18285

T2

3.8650

.61560

T3

3.4450

.44583

T4

5.4975

.37098

Total

3.6525

1.10883

20

49

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:Berat_kering_tanaman
F

df1

df2

2.857

Sig.

15

.061

Tests the null hypothesis that the error variance of the


dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Berat_kering_tanaman
Type III Sum of
Source

Squares

df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

21.066a

5.266

34.428

.000

Intercept

266.815

266.815

1.744E3

.000

perlakuan

21.066

5.267

34.428

.000

Error

2.295

15

.153

Total

290.176

20

23.361

19

Corrected Total

a. R Squared = .902 (Adjusted R Squared = .876)

Perlakuan
Dependent Variable:Berat_kering_tanaman
95% Confidence Interval

perlaku
an

Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

2.550

.196

2.133

2.967

T1

2.905

.196

2.488

3.322

T2

3.865

.196

3.448

4.282

T3

3.445

.196

3.028

3.862

T4

5.498

.196

5.081

5.914

50

Berat_kering_tanaman
Duncan
Subset

perlaku
an

T0

2.5500

T1

2.9050

T3

T2

T4

2.9050
3.4450

3.4450
3.8650
5.4975

Sig.

.219

.070

.150

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .153.

f. Berat kering tanaman setelah ditransformasi


Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics
Dependent Variable:brat_kering_tanaman
perlaku
an

Mean

Std. Deviation

T0

2.6235

.04093

T1

2.7578

.07467

T2

3.0698

.17645

T3

2.9350

.14985

T4

3.5620

.09890

Total

2.9896

.34877

20

51

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:brat_kering_tanaman
F

df1

2.548

df2
4

Sig.
15

.083

Tests the null hypothesis that the error variance


of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:brat_kering_tanaman
Type III Sum of
Squares

Source

Df

Mean Square

Sig.

2.099a

.525

37.159

.000

178.754

178.754

1.266E4

.000

2.099

.525

37.159

.000

Error

.212

15

.014

Total

181.065

20

2.311

19

Corrected Model
Intercept
Perlakuan

Corrected Total

a. R Squared = .908 (Adjusted R Squared = .884)

Perlakuan
Dependent Variable:brat_kering_tanaman
perlaku
an

95% Confidence Interval


Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

2.624

.059

2.497

2.750

T1

2.758

.059

2.631

2.884

T2

3.070

.059

2.943

3.196

T3

2.935

.059

2.808

3.062

T4

3.562

.059

3.435

3.689

52

brat_kering_tanaman
Duncan
Subset

perlaku
an

T0

2.6235

T1

2.7578

T3

T2

T4

2.7578
2.9350

2.9350
3.0698
3.5620

Sig.

.131

.052

.130

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .014.

g. Rasio tajuk akar


Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics
Dependent Variable:Rasio_Tajuk_akar
perlakua
n

Mean

Std. Deviation

T0

2.6225

.47759

T1

2.5175

.90926

T2

2.3075

.43554

T3

2.4625

.17328

T4

2.1000

.14697

Total

2.4020

.48944

20

53

Levene's Test of Equality of Error Variances

Dependent Variable:Rasio_Tajuk_akar
F

df1

df2

2.367

Sig.
15

.099

Tests the null hypothesis that the error variance of the


dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Rasio_Tajuk_akar
Type III Sum of
Source

Squares

Df

Mean Square

Sig.

.166

.639

.642

115.392

115.392

445.128

.000

.663

.166

.639

.642

Error

3.888

15

.259

Total

119.944

20

4.552

19

Corrected Model

.663

Intercept
Perlakuan

Corrected Total

a. R Squared = .146 (Adjusted R Squared = -.082)

Perlakuan
Dependent Variable:Rasio_Tajuk_akar
95% Confidence Interval

perlakua
n

Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

2.622

.255

2.080

3.165

T1

2.518

.255

1.975

3.060

T2

2.308

.255

1.765

2.850

T3

2.463

.255

1.920

3.005

T4

2.100

.255

1.557

2.643

54

Rasio_Tajuk_akar
Duncan
Subset
perlakuan

T4

2.1000

T2

2.3075

T3

2.4625

T1

2.5175

T0

2.6225

Sig.

.208

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .259.

h. Rasio tajuk /akar setelah ditransformasi


Between-Subjects Factors
Value Label
perlakuan

T0

T1

T2

T3

T4

Descriptive Statistics
Dependent Variable:rasio_tajuk_akar
perlaku
an

Mean

Std. Deviation

T0

1.3775

.08202

T1

1.3708

.15042

T2

1.3705

.11664

T3

1.4022

.03241

T4

1.3620

.04019

Total

1.3766

.08604

20

55

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:rasio_tajuk_akar
F

df1

1.603

df2
4

Sig.
15

.225

Tests the null hypothesis that the error variance


of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + perlakuan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:rasio_tajuk_akar
Type III Sum of
Squares

Source

Df

Mean Square

Sig.

.004a

.001

.103

.980

37.901

37.901

4.154E3

.000

Perlakuan

.004

.001

.103

.980

Error

.137

15

.009

Total

38.041

20

.141

19

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = .027 (Adjusted R Squared = -.233)

Perlakuan
Dependent Variable:rasio_tajuk_akar
perlaku
an

95% Confidence Interval


Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

T0

1.378

.048

1.276

1.479

T1

1.371

.048

1.269

1.473

T2

1.370

.048

1.269

1.472

T3

1.402

.048

1.300

1.504

T4

1.362

.048

1.260

1.464

56

rasio_tajuk_akar
Duncan
Subset
perlakuan

T4

1.3620

T2

1.3705

T1

1.3708

T0

1.3775

T3

1.4022

Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .009.

.597

57

Lampiran 4. Cara Pembuatan Tricho-kompos Terformulasi


1. Jerami padi sebanyak 5 kg yang akan dikomposkan dipotong-potong
sepanjang lebih kurang 2,5 cm.
2. Jerami padi yang telah dipotong dimasukkan ke dalam bak pengomposan,
tumpukan dibagi 4 bagian.
3. Lapisan satu ditabur campuran faeces segar sapi, urea, TSP, kapur, dan starter
Trichoderma pseudokoningii.
4. Jerami padi disususn di atas campuran tersebut setebal 25 cm lalu disiram
dengan air sampai lembab.
5. Untuk lapisan kedua ditaburkan lagi campurarn faeces segar sapi, urea, TSP,
kapur pertanian, dan starter Trichoderma pseudokoningii di atas jerami padi
secara merata, kemudian ditambahkan lagi lapisan jerami padi setebal 25 cm
dan disiram sampai lembab. Untuk lapisan ketiga dan keempat pengerjaannya
sama seperti lapisan pertama dan kedua sehingga terbentuk tumpukan dengan
susunan empat lapisan Trichoderma pseudokoningii.
6. Selama proses pengomposan kadar air dipertahankan sekitar 60% dengan
melakukan penyiraman empat kali.
7. Untuk perbaikan aerase dilakukan pembalikan setiap seminggu sekali.
8. Dua minggu sebelum pemanenan ditambahkan zeolit sesuai dengan
perbandingan yang ditetapkan.

58

Lampiran 5. Foto-Foto Semai Shorea leprosula yang Diteliti Pada


Saat Akhir Penelitian

T0

T1

T2

T4

T3

Gambar 3. Semai Shorea leprosula dalam polybag. T0 = 0


g/polybag, T1 = 25 g/polybag, T2 = 50 g/polybag, T3 = 75
g/polybag, T4 = 100 g/polybag

T0

T1

T2

T3

T4

Gambar 4. Semai Shorea leprosula setelah dicabut dan dibersihkan


dari polybag. T0 = 0 g/polybag, T1 = 25 g/polybag, T2 = 50
g/polybag, T3 = 75 g/polybag, T4 = 100 g/polybag

Anda mungkin juga menyukai