a. Cagar Alam
Cagar Alam adalah KSA yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan
beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan
dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung
secara alami.
Dalam PP No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA)
dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk
dan ditetapkan sebagai kawasan cagar alam di jelaskan dalam Pasal 6 meliputi:
a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung
dalam suatu tipe ekosistem;
b. mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik
masih asli dan belum terganggu;
c. terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka
dan/atau keberadaannya terancam punah;
d. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
e. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang
pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami; dan/atau
f. mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Pada Pasal 33 dijelaskan, Cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Beberapa Cagar alam beserta flora dan fauna yang ada di kawasannya:
a. Cagar alam Gunung Leuser di Nangroe Aceh Darussalam
Jenis flora yang dilindungi di lokasi ini adalah daun payung raksasa
(Johannesteijsmannia altifrons), bunga (Rafflesia atjehensis dan R.
micropylora), serta Rhizanthes zippelnii.
Sedangkan jenis fauna yang dilindungi meliputi mawas atau orang utan (Pongo
abelii), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis
sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
(Ilmugeografi.com)
b. Cagar alam Bukit Dua Belas di Jambi
Jenis flora yang dilindungi di antaranya harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), beruang madu
(Helarctos malayanus malayanus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau
(Argusianus argus argus). Untuk jenis fauna yang dilindungi meliputi siamang
(Hylobates syndactylus syndactylus), beruk (Macaca nemestrina), macan
dahan (Neofelis nebulosa diardi), kancil (Tragulus javanicus kanchil), beruang
madu (Helarctos malayanus malayanus), kijang (Muntiacus muntjak
montanus), meong congkok (Prionailurus bengalensis sumatrana), lutra
Sumatera (Lutra sumatrana), ajag (Cuon alpinus sumatrensis), kelinci
Sumatera (Nesolagus netscheri), elang ular bido (Spilornis cheela malayensis).
(ilmugeografi.com)
c. Cagar Alam Taba Penanjung I-Ii; Bengkulu
Flora : Meranti (Shorea sp), Durian Hutan (Durio Zibetinus), Gambir (Jasminum
multiflorium), Bayur (Pteros permum sp), Balam Jentik (Palaquen
walsurifolium), Terap (Artocarpus elasticus). Kawasan ini merupakan juga
habitat bunga Rafflesia Arnoldi R.Br yang dikenal juga dengan nama Bunga
Sekedi, Bunga Ambai-ambai.
Fauna : Siamang (Hylobates moloch), Beruang madu (Helarctus malayanus),
Owa (Hylobathates Syndatalus), Kuau (Argusianus argus), Monyet (Macaca
nemistrina) dan Babi hutan.
d. Cagar Alam Gunung Burangrang, Jawa Barat
Flora : Jamuju (Podocarpus imbricatus), Puspa (Schima noronhae), Pasang
(Quercus blumeana), Saninten (Castanopsis argentea)
Fauna : Macan Tutul (Panthera pardus), Kucing Hutan (Felis bengalensis), Elang
Jawa (Spizaetus bartelsi), Owa Jawa (Hylobates moloch)
e. Cagar Alam Gunung Mutis, NTT
Cagar alam ini memiliki hutan homogen dataran tinggi yang didominasi oleh
tanaman Ampupu yang tersebar cukup luas secara alami di ketinggian sekitar
2.500 meter diatas permukaan air laut. Jenis flora selain Ampupu juga terdapat
bijama, haubesi, cemara gunung, matoi, oben serta jenis paku-pakuan dan
rumput-rumputan. Sedangkan fauna yang ada diantaranya rusa timor, kuskus,
babi hutan, biawak timor, ular sanca timor, ayam hutan dan masih banyak lagi.
f. Cagar Alam Pegunungan Arfak, Papua Barat
Flora : pohon Arwob (Dodonia fiscosa), kayu Masohi dan anggrek Flame of Irian
(Mucuna novaeguinea) berwarna khas merah merona hitam.
Fauna : Cenderawasih Arfak (Astrapia nigra), Parotia barat (Parotia sefilata) dan
burung Namdur polos (Amblyornis inornatus)yang oleh suku Arfak Moley
disebut burung Mbrecew atau burung pintar.(www.kompasiana.com)
g. Cagar Alam Teluk Apar; Kalimantan Timur
Flora : anggrek hitam (Coelogyne pandurata), Avecennia marina; Avecennia
alba; Sonneratiaceae; Sonneratia alba
Fauna : Primata: Bekantan Nasalis larvatus Dilindungi; Monyet ekor panjang
Maccaca fascicularis; Lutung Dahi Putih Presbytis frontata Dilindungi.
h. Cagar Alam Ponda-Ponda; Sulawesi Selatan
Kawasan Pondaponda ditunjuk menjadi kawasan konservasi terutama karena
potensi Diospyros celebica (Eboni).
Fauna pada kawasan ini adalah Monyet jambul (Macaca tonkeana), dan burung
kangkareng (Penelopides exarhatu).
b. Suaka Margasatwa
Suaka Margasatwa adalah KSA yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis
satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan
hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi
dan habitatnya.
Dalam PP No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelstarian Alam (KPA). Kriteria suatu wilayah dapat
ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 7 meliputi:
a. merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa
langka dan/atau hampir punah;
b. memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau
d. mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Dalam Pasal 34 di jelaskan tentang pemanfaatan suaka margasatwa, yaitu :
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air,
panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
a. Taman Nasional
Konsep taman nasional ini muncul di era tahun 1980, terdapat lima
taman nasiolan (TN) yang dideklarasikan di Jakarta saat itu, yaitu TN.
Gunung Leuser, TN. Gede Pangrango, TN. Ujung Kulon, TN. Baluran,
dan TN. Komodo. Kemudian pada tahun 1982 bersamaan dengan Kongres
Taman Nasional Dunia Kedua di Bali pemerintah mendeklarasikan 11
taman nasional. Tentu saja, bagaimana cara mengelola taman nasional
pada saat itu masih belum jelas dan masih mencari bentuknya. Sepuluh
tahun kemudian,baru lahir UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mensyaratkan tidak
kurang dari 11 peraturan pemerintah untuk pelaksanaannya.
Dalam PP No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Kriteria suatu
wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 meliputi:
a. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik
yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
b. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
c. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami; dan
d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan
keperluan.
Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mempunyai keanekaragarnan jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli
dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tententu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami;
e. mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
f. mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya
yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa
formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan
unik;
b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan
daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam.
Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan
dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;
b. memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian
zona inti dan zona pemanfaatan;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Dalam Pasal 35 PP No.28 tahun 2011, Taman nasional dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon,pemanfaatan air serta energi
air, panas, dan angina serta wisata alam;
d. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
e. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
Pemanfaatan Pemanfaatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat
dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya
tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi.
Taman Nasional adalah salah satu kawasan konservasi yang relatif
paling maju baik bentuk maupun sistem pengelolaannya dibandingkan
dengan Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa. Taman Nasional bahkan memperoleh perhatian yang lebih
serius dalam pengembangannya dibandingkan dengan pengembangan
kawasan lindung ataupun pengembangan gagasan cagar biosfer.
Akan tetapi Pengelolaan TN di Indonesia dihadang oleh berbagai
permasalahan, mulai dari kebijakan penetapannya, ketidakpastian hukum,
dan tumpang tindih aturan, sampai pada masalah sosial budaya. Sejak TN
pertama ditetapkan, salah satu permasalahan adalah proses penetapannya
yang jarang melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan TN
ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung
oleh Kementerian Kehutanan/Balai Taman Nasional.
Dari 50 TN di Indonesia hanya satu atau dua yang sudah
dikukuhkan secara tuntas. Penetapan kawasan konservasi umumnya dan
TN khususnya tidak memperhatikan hak-hak adat/tradisional masyarakat
setempat. Cara penetapan bertabrakan dan menafikan pengelolaan sumber
daya alam oleh masyarakat yang telah ada sejak lama. Lembaga yang
berwenang untuk mengelola TN seringkali tidak mampu mengelolanya
secara efektif dan tidak mampu menegakkan hukum.
Akibatnya,pelanggaran hukum di kawasan konservasi seringkali dibiarkan
(Moeliono, M., et. al: 2010).
Berikut merupakan tabel Penataan Zonasi Taman Nasional sampai
dengan Tahun 2017.
b. Taman Hutan Raya
Taman Hutan Raya adalah KPA untuk tujuan koleksi tumbuhan
dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan/atau bukan
jenis asli, yang tidak invasif dan dimanfaatkan untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai
kawasan taman hutan raya meliputi:
a. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam;
b. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan
koleksi tumbuhan dan/atau satwa; dan
c. merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada
wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang
ekosistemnya sudah berubah.
Taman Hutan Raya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi;
c. koleksi kekayaan keanekaragaman hayati;
d. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi
air, angin, panas matahari, panas bumi, dan wisata alam;
e. pemanfaatan tumbuhan dan Satwa Liar dalam rangka menunjang
budidaya dalam bentuk penyediaan Plasma Nutfah;
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat, dapat berupa
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional,
serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi;
dan
g. pembinaan populasi melalui Penangkaran dalam rangka
pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan
dalam lingkungan yang semi alami.
3. Daerah Penyangga
Daerah penyangga adalah wilayah yang berbatasan dengan wilayah KSA
dan KPA. Daerah penyangga dapat berupa kawasan hutan lindung, hutan
produksi, serta hutan hak, tanah negara bebas atau tanah yang dibebani hak.
Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga KSA dan KPA dari
segala bentuk gangguan yang berasal dari luar dan/atau dari dalam kawasan
yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan/atau perubahan fungsi
kawasan.
Penetapan daerah penyangga sebagaimana dimaksud didasarkan pada
kriteria sebagai berikut:
a. secara geografis berbatasan dengan Kawasan Suaka Alam dan atau
Kawasan Pelestarian Alam;
b. secara ekologis masih rnempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari
luar Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam;
c. mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari
luar Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam.
Acuan Dari Peraturan
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Great Barrier Reef berisi karang cluster terbesar di dunia dan merupakan
rumah bagi beberapa jenis biota laut yang eksotis. Taman ini didirikan untuk
melindungi sebagian besar Great Barrier Reef Australia dari kerusakan lebih
lanjut. Meskipun manusia diperbolehkan untuk mengunjungi daerah tersebut, izin
yang diperlukan sangat ketat. Luas: 345.400 km persegi.
6. Kawasan Konservasi Transfrontier Kavango-Zambezi
Kriteria dalam memilih calon lokasi konservasi: Kriteria Ekologi, Kriteria Sosial,
Kriteria Ekonomi, Kriteria Regional, Kriteria Pragmatik.
Suaka Alam adalah salah satu tipe hutan konservasi yang dilindungi dan
dipelihara keadaan alaminya secara utuh untuk tujuan penelitian ilmiah,
pendidikan, pemantauan lingkungan, dan sumber daya genetik.
Pada kawasan ini masih diperbolehkan berbagai manipulasi oleh manusia untuk
mempertahankan ciri-ciri komunitas yang khas dan mendukung spesies tertentu.
Terdapat dua jenis kawasan yang termasuk ke dalam Kawasan Suaka Alam, yaitu
Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.
Kedua jenis tipe Kawasan Suaka Alam (KSA) ini memiliki berbagai perbedaan
yang dijelaskan pada tabel di bawah ini.
10.
Taman Nasional (TN) merupakan Wilayah luas dengan keindahan alam
dan pemandangan yang dikelola untuk melindungi satu atau lebih
ekosistem serta untuk tujuan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi. Di dalam
wilayah ini tidak diperbolehkan untuk melakukan eksploitasi sumberdaya
secara komersial.
Ciri-ciri taman nasional sendiri adalah ukurannya yang luas, habitat relatif
utuh, membutuhkan pelestarian tinggi, berpotensi untuk rekreasi, dan
pengunjung memberikan manfaat bagi wilayah tersebut, contohnya adalah
Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Sukabumi, Jawa Barat.
Taman Wisata Alam (TWA) merupakan kawasan hutan konservasi yang
memiliki manfaat sebagai tempat rekreasi dan pariwisata. Ciri-ciri Taman
Wisata Alam adalah ukurannya kecil, mempunyai daya tarik,
membutuhkan pelestarian yang rendah, dan pengelolaan berorientasi untuk
rekreas, contohnya adalah Taman Wisata Alam Mangrove, Angke Kapuk,
Provinsi DKI Jakarta.
Taman Hutan Raya (Tahura) merupakan kawasan hutan konservasi yang
ekosistemnya dilindungi, termasuk flora dan fauna di dalamnya, serta
mempunyai keindahan alam atau mempunyai gejala alam. Tahura
bertujuan sebagai koleksi flora atau fauna yang dimanfaatkan untuk
kepentingan umum sebagai penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan.
Contoh Taman Hutan Raya adalah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda di
Bandung, Jawa Barat.
Taman Buru merupakan kawasan hutan konservasi yang memiliki fungsi utama
sebagai akomodasi untuk wisata berburu. Hobi berburu yang sudah ada sejak
zaman dahulu menjadi latar belakang berdirinya Taman Buru. Kegiatan perburuan
di taman buru diatur ketat, terkait dengan waktu atau musim berburu, jenis
binatang yang boleh diburu, dan senjata yang boleh dipakai. Salah satu peraturan
yang terdapat pada taman buru adalah larangan kegiatan berburu pada saat musim
berkembangbiak. Contoh taman buru yang ada di Indonesia adalah Taman Buru
Gunung Masigit Kareumbi yang berada di kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
\Bato, M., Yulianda, F. dan Achmad Fahruddin. 2013. Kajian manfaat kawasan
konservasi perairan bagi pengembangan ekowisata bahari, Studi kasus di kawasan
konservasi perairan Nusa Penida, Bali. Depik 2 (2):104-113. ISSN 2089-7790.
Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta Dalimunthe, R. 2007. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan
Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Universitas
Sumatera Utara. Medan
Ermawan, R. W. 2008. Kajian Sumberdaya Pantai untuk Kesesuaian Ekowisata di
Pantai Prigi Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor.
Mangindaan, P., Wantesan, A., Stephanus V. dan Mandagi. 2012. Analisis potensi
sumberdaya mangrove di Desa Sarawet, Sulawesi Utara, sebagai kawasan
ekowisata. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis VIII (2) : 44-51.
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. 2018. Statistik
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun
2017. Jakarta : Sekretariat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tersedia pada
ksdae.menlhk.go.id. Diakses pada 28 Maret 2019.
http://jadiberita.com/14024/10-areal-konservasi-terluas-di-dunia.html. Diakses 13
Mei 2019.
https://www.hijauku.com/2018/11/25/inilah-15-kawasan-konservasi-baru-terbaik-
versi-iucn/. Diakses 13 Mei 2019.