Anda di halaman 1dari 11

PEWARNAAN ALIZARIN RED

Oleh:
Nama : Siti Masrifah
NIM : B1A016134
Rombongan : VI
Kelompok :2
Asisten : Maria Bramastri

LAPORAN PRAKTIKUM PERKEMBANGAN HEWAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
A. Tujuan
Tujuan praktikum pewarnaan alizarin red adalah agar mahasiswa dapat
mengerjakan prosedur pewarnaan alizarin dan menerangkan proses kalsifikasi pada
embrio.

B. Manfaat
Manfaat praktikum pewarnaan alizarin red adalah diperolehnya
keterampilan dalam pewarnaan alizarin, kemampuan mengidentifikasi proses
kalsifikasi pada embrio ikan nilem, mengetahui ciri tulang yang telah terkalsifikasi,
dan diharapkan dapat melakukan pewarnaan alizarin pada embrio hewan dengan
spesies lainnya yang berbeda.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum pewarnaan alizarin red adalah
pipet tetes, spuit, dan wadah untuk spesimen berupa botol jernih bermulut lebar.
Bahan-bahan yang diperlukan dalam praktikum pewarnaan alizarin red
adalah ikan nilem, larutan alkohol 95%, larutan KOH 1%, larutan pewarna alizarin
red, larutan KOH 2%, larutan gliserin, akuades, larutan penjernih A, B, dan C.

B. Metode

Metode yang dilakukan dalam praktikum ini adalah:


1. Ikan dilumpuhkan dengan cara ditaruh di atas es batu.
2. Ikan dimasukkan ke dalam botol bening berisi alkohol 96% dan direndam
selama 12 jam.
3. Larutan diganti, perendaman ikan dilanjutkan dengan akuades selama 10 menit.
4. Larutan diganti, perendaman ikan dilanjutkan dengan dengan KOH 1% selama
12 jam hingga otot menjadi transparan dan skeletonnya terlihat jelas.
5. Larutan diganti dan ikan dimasukkan dalam rendaman pewarna alizarin red
selama 7 jam.
6. Jika setelah perlakuan perendaman dengan alizarin red selama 7 jam spesimen
belum transparan, ditambahkan larutan KOH 2% sebanyak 1ml dan ditunggu
selama 30 menit. Penambahan KOH 2% diulang hingga maksimal lima kali
penambahan.
7. Ikan diganti rendamannya dengan larutan penjernih A selama 15 menit.
8. Ikan diganti rendamannya dengan larutan penjernih B selama 15 menit.
9. Ikan diganti rendamannya dengan larutan penjernih C.
10. Bagian tulang yang terwarnai diamati dan dilakukan dokumentasi pada tiap
tahapannya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 3.1.1 Data Tulang yang Terwarnai (Rombongan VI)
Kelompok Tulang yang Terwarnai
Neurocranium dengan bagian opercular series yang
1
terlihat namun tidak terwarnai
Tengkorak, rongga mata, rongga insang, tulang
2
belakang, dan tulang rusuk
Sebagian tulang belakang, tulang tengkorak, rongga
3 mata, rongga insang, dengan tulang rusuk yang terlihat
namun tidak terwarnai
Neurocranium, vertebrae, sirip dada, sirip perut,
4
operculum, dan maksila
Neurocranium, dengan hampir semua bagian tulang
5 yang terlihat kecuali pada bagian soft rays dan spines
bagian posterior.

Gambar 3.1.1 Ikan Nilem Setelah Gambar 3.1.2 Ikan Nilem Setelah
Pemberian Alkohol Pemberian Akuades

Gambar 3.1.3 Ikan Nilem Setelah Gambar 3.1.4 Ikan Nilem Setelah
Pemberian KOH 1% Pemberian Alizarin Red

Gambar 3.1.5 Ikan Nilem Setelah Gambar 3.1.6 Ikan Nilem Setelah
Pemberian KOH 2% 1ml Pertama Pemberian KOH 2% 1ml Ke-2
Gambar 3.1.7 Ikan Nilem Setelah Gambar 3.1.8 Ikan Nilem Setelah
Pemberian KOH 2% 1ml Ke-3 Pemberian KOH 2% 1ml Ke-4

Gambar 3.1.9 Ikan Nilem Setelah Gambar 3.1.10 Ikan Nilem Setelah
Pemberian Larutan Penjernih A Pemberian Larutan Penjernih B

Gambar 3.1.1 Ikan Nilem Setelah


Pemberian Larutan Penjernih C
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, tulang–tulang yang


terwarnai pada spesimen kelompok 1 adalah bagian neurocranium dengan bagian
opercular series yang terlihat namun tidak terwarnai. Tulang–tulang yang terwarnai
pada spesimen kelompok 2 adalah bagian tengkorak, rongga mata, rongga insang,
tulang belakang, dan tulang rusuk. Tulang–tulang yang terwarnai pada spesimen
kelompok 3 adalah sebagian tulang belakang, tulang tengkorak, rongga mata, rongga
insang, dengan tulang rusuk yang terlihat namun tidak terwarnai. Tulang–tulang yang
terwarnai pada spesimen kelompok 4 adalah bagian neurocranium, vertebrae, sirip
dada, sirip perut, operculum, dan maksila. Tulang–tulang yang terwarnai pada
spesimen kelompok 5 adalah bagian neurocranium. Perbedaan ini mungkin
disebabkan karena ada tidaknya serabut–serabut otot dalam otot–otot pektoral yang
meliputi tiga tipe serabut otot dari kontraksi cepat (tipe II) dan satu tipe dari
kontraksi serabut lambat (tipe I) (Hermanson et al., 1998). Selain itu, perbedaan hasil
pada pewarnaan mungkin terjadi karena faktor guncangan mekanik yang terjadi saat
membawa ikan dan tingkat ketelitian dalam penambahan larutan. Penggunaan ikan
nilem (Osteochilus vittatus) dalam praktikum pewarnaan alizarin red yaitu karena
tulang pada ikan nilem mengandung kadar kalsium yang tinggi, memiliki susunan
morfologi yang jelas sehingga mudah diamati, mudah didapat, dan harganya murah
(Yatim, 1982).
Tulang adalah jaringan pendukung yang berfungsi saat pergerakan tubuh
yang bekerja sama dengan otot dan posisi postural tubuh. Tulang juga berfungsi
dalam metabolisme kalsium. Tulang memiliki struktur yang keras dan bersifat
dinamik karena adanya proses remodeling tulang. Tulang merupakan bagian terkeras
dari tubuh yang menempati kurang lebih 1/6 dari keseluruhan berat tubuh dengan
dua unsur penyusun utama, yaitu kalsium dan fosfat yang terikat dalam lempengan
kristal hexagonal apatite berupa ikatan hidroxyapatite dengan rumus kimia
3[Ca3(PO4)2]Ca(OH)2. Penggabungan antara hydroxyapatite tulang dengan jaringan
kolagen tulang nantinya akan membentuk struktur yang keras dan lentur pada tulang
sehingga kekerasan yang didapat tidak kaku dan rapuh (Hardhani et al., 2013).
Proses kalsifikasi diatur selama pembentukan tahap embrio untuk menghasilkan
pembentukan skelet dalam skala yang besar yang dapat kita lihat pada spesies hewan
yang berbeda (Staines et al., 2013). Osteoblast, sel pembentuk tulang adalah
derivatisasi stem cell mesenkim (Taylor et al., 2014).
Pembentukan sistem rangka pada embrio dimulai pada inkubasi hari ke-5
yang ditandai dengan kondensasi mesenkim prekaltilago. Kondrifikasi dimulai pada
hari ke-8, sedangkan osifikasi dimulai pada hari ke 9 (Soeminto, 2000). Pengendapan
garam-garam kalsium dalam matriks ini disebut kalsifikasi (pengapuran), suatu
proses yang terjadi normal pada tulang yang dapat terjadi patologis dalam jaringan
penyambungan lain, seperti tulang rawan dan dinding pembuluh darah. Sedangkan
daerah yang belum mengalami proses kalsifikasi dalam matriks tulang disebut
dengan osteosit (Karyadi, 2003).
Pewarnaan alizarin red ini digunakan untuk mendeteksi proses kalsifikasi
pada tulang embrio. Tulang yang diwarnai menggunakan alizarin red akan berwarna
merah tua apabila tulang tersebut telah mengalami kalsifikasi. Warna ini muncul
karena zat warna yang diberikan terikat oleh kalsium pada matriks tulang (Jasin,
1989). Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai
pembentuk rangka, alat gerak tubuh, pelindung organ-organ internal, serta tempat
penyimpanan mineral (kalsium-fosfat). Proses pembentukan tulang disebut dengan
osifikasi. Proses osifikasi terjadi pada masa perkembangan fetus (prenatal) dan
setelah individu lahir (postnatal). Pada tulang, panjang perkembangan terjadi sampai
individu mencapai fase dewasa (Djuwita et al., 2012).
Metode pewarnaan alizarin red digunakan untuk mengidentifikasi bagian-
bagian kerangka yang sudah terbentuk pada masa embrio serta proses kalsifikasinya.
Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna tulang menjadi merah tua. Perubahan
warna ini menandakan bahwa tulang tersebut telah mengalami kalsifikasi. Warna
merah tua ini dikarenakan adanya pengikatan zat warna alizarin red pada matriks
tulang. Pewarnaan ini dilakukan dengan beberapa tahapan dalam pewarnaan secara
berurutan pada embrio agar didapat informasi mengenai proses kalsifikasinya
(Lesson, 1990).
Pewarnaan tulang fetus dilakukan melalui enam tahap, yaitu embrio berumur
10 hari difiksasi dengan alkohol 96% selama ± 2 hari, rendam dalam KOH 1%
sampai transparan selama ± 20 menit, tulang diwarnai dengan menggunakan alizarin
red dalam KOH 1% selama ± 8 jam. Kemudian direndam lagi dalam KOH 1%
selama ± 30 menit, penjernihan bertingkat KOH: gliserin yaitu 3:1, 1:1, dan 1:3,
terakhir disimpan dalam gliserin agar tulang menjadi awet (Sipriyadi et al., 2013).
Pewarnaan alizarin red dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama
adalah ikan dimatikan di atas es balok, kemudian ikan direndam dalam alkohol 96%
selama 12 jam. Fungsi dari larutan alkohol ini adalah sebagai fiksatif, yaitu
mematikan sel tanpa merusak strukturnya. Setelah dimasukkan ke dalam larutan
alkohol selama 12 jam, mata ikan berubah menjadi putih, ikan berwarna kunimg
pucat dan lebih kaku. Larutan kemudian diganti dengan akuades dan dibiarkan
selama 10 menit, tujuannya adalah untuk menetralkan ikan dari pengaruh alkohol
96%. Perubahan yang terjadi adalah ikan memutih. Larutan diganti dengan larutan
KOH 1% agar otot menjadi transparan dan skeletonnya terlihat jelas dan dibiarkan
selama 1,5 jam. Perubahan yang terjadi yaitu mata ikan berwarna hitam dan tubuh
trasnparan. Setelah itu, dimasukkan larutan alizarin red dan direndam selama 4 jam.
Larutan alizarin red digunakan sebagai pemberian warna pada tulang yang telah
terkalsifikasi dan terikat pada matriks tulang sehingga tulang terwarnai. Perubahan
yang terjadi adalah warna tubuh ikan gelap, ikan mengambang, dan sisik
mengelupas. Pemberian larutan KOH 2% dapat dilakukan setelah larutan alizarin
red, dibiarkan selama kurang lebih 15 menit agar jaringan otot menjadi benar–benar
transparan. Kemudian, larutan diganti lagi dengan larutan penjernih A, larutan
penjernih B, dibiarkan selama 1 jam. Kemudian, larutan diganti lagi dengan larutan
penjerni C dibiarkan sampai pengamatan. Larutan penjernih ini berfungsi untuk
mengurangi kelebihan pewarna yang masuk ke dalam jaringan otot sehingga otot
menjadi tampak jernih transparan. Perubahan yang terjadi adalah tubuh ikan menjadi
transparan, tubuh dan organ terlihat. Menurut Stazi (1992), pembentukan vertebra
telah dimulai sejak fetus usia kebuntingan 10 hari. Pada saat ini sel-sel mesenkim
dari sklerotom bermigrasi ke arah medial mengelilingi korda dorsalis dan selanjutnya
berkembang menjadi blastema centrum dari satu vertebra. Tiap centrum dibangun
oleh sel-sel yang berasal dari somit yang berurutan. Apabila ada hambatan terhadap
migrasi mesenkim dari salah satu arah, maka struktur centrum yang terbentuk dapat
mengalami kelainan (Soeminto, 2002).
Faktor yang dapat mempengaruhi pewarnaan alizarin adalah pH, senyawa ion
logam lain, dan konsentrasi reagen. Alizarin akan mampu mengikat ion Cl - pada pH
yang relative rendah asam (2,8). Sedangkan untuk ion logam seperti Ca2+ akan lebih
efektif pada pH yang basa (11–12,5). Oleh karena itu, sebelum ditambahkan alizarin
red substrat ditambahkan larutan KOH 1% untuk mempermudah kondisi suasana
basa pada ikan (Somasundaran, 1986).
Faktor yang mempengaruhi proses kalsifikasi adalah makanan yang
berpengaruh dalam proses kalsifikasi. Hal ini berlaku khususnya terhadap
ketersediaan makanan dan kandungan mineral pada makanan yang dikonsumsi
seperti kalsium dan fosfor yang merupakan komponen organik utama dari tulang.
Kekurangan kalsium atau fosfor dalam makanan mengakibatkan kerapuhan tulang.
Saat situasi dimana kalsium cukup tetapi vitamin D kurang terjadilah gangguan
dalam penyerapan mineral. Kalsitonin, hormon paratiroid, dan vitamin D yang
bertanggung jawab terhadap tingkat kadar kalsium darah yang normal yang akan
mempengaruhi proses kalsifikasi. Kalsitonin adalah hormon yang berasal dari sel–sel
folikuler dari kelenjar tiroid. Hormon tersebut mempunyai aksi dalam menurunkan
kadar kalsium darah yang menghambat resorpsi tulang sehingga mempengaruhi
proses kalsifikasi (Jasin, 1989).

Berdasarkan perlakuan dan pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan


hasil akhir pada spesimen yang mengalami kerusakan/kehancuran pada beberapa
bagian tubuhnya. Kehancuran pada tubuh spesimen terjadi karena penambahan KOH
pada spesimen yang sifatnya korosif dan botol spesimen yang sempat terjatuh pada
saat perlakuan dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeminto (2000), bahwa
penambahan KOH dengan konsentrasi tinggi dan jangka waktu yang lama akan
menyebabkan kerusakan pada otot-otot yang terdagradasi.
KOH merupakan basa kuat yang terbuat dari logam alkali kalium bernomor
atom 19 pada tabel periodik. Kalium Hidroksida adalah senyawa berbentuk kristal
dengan warna putih yang higroskopis dan mudah terbakar. KOH merupakan basa
kuat sehingga bersifat korosif. Korosif merupakan sifat suatu subtantsi yang dapat
menyebabkan benda lain hancur atau rusak. Dengan sifat inilah KOH mampu
mentrasparansikan otot pada ikan. Kerja pertama, KOH akan melunakan otot-otot
pada ikan, kemudian KOH akan mengikis sel-sel yang ada. Pada saat ini KOH mulai
membuat otot menjadi transparan (Soeminto, 2000).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut:
1. Prosedur pewarnaan alizarin red dapat dilakukan dengan merendam ikan ke
dalam larutan alkohol 96% selama 12 jam, kemudian larutan diganti secara
bergantian dengan akuades selama 10 menit, larutan KOH 1% selama 7 jam,
larutan alizarin red selama 4 jam, larutan KOH 2% selama kurang lebih 4 jam,
larutan penjernih A selama 15 menit, larutan penjernih B selama 15 menit, dan
larutan C sampai pengamatan.
2. Proses kalsifikasi atau terbentuknya tulang terjadi dengan dua cara, yaitu melalui
osifikasi intra membran dan osifikasi endokondral. Osifikasi intra membran
merupakan proses pembentukan tulang dari jaringan mesenkim menjadi jaringan
tulang, contohnya pada proses pembentukan tulang pipih. Osifikasi endokondral
yaitu proses pembentukan tulang yang terjadi dimana sel–sel mesenkim
berdiferensiasi lebih dulu menjadi kartilago (jaringan rawan) lalu berubah
menjadi jaringan tulang, misal proses pembentukan tulang panjang, ruas tulang
belakang, dan pelvis.

B. Saran

Saran untuk praktikum pewarnaan alizarin red kali ini yaitu konsentrasi KOH
yang digunakan sebaiknya dinaikkan konsentrasinya namun waktu yang digunakan
untuk perlakuan dipersempit, dan pengerjaan perlakuan terhadap spesimen sebaiknya
dilakukan di dalam lab untuk menghindari guncangan mekanik karena spesimen
yang dibawa pulang oleh praktikan.
DAFTAR REFERENSI

Djuwita, T., Irma, A.P., Adi, W., & Mustafa, S. 2012. Proliferasi dan Diferensiasi Sel
Tulang Tikus dalam Medium In Vitro yang Mengandung Ekstrak Batang
Cissus quadrangular Salisb. (Sipatah-patah). Jurnal Kedokteran Hewan,
6(2), pp. 75-80.

Hardhani, P.R., Sri, P.L., Dahlia, H. 2013. Pengaruh Penamahan Platelet-rich Plasma
pada Cangkok Tulang terhadap Kadar Osteocalcin Cairan Sulkus Gingiva
pada Terapi Pocket Infraboni. Jurnal PDGI, 62(3), pp. 75-82.

Hermanson, J.W., Ryan, J.M., Cobb, M.A., Bentley, J. & Schutt, Jr.W.A. 1998.
Histochemical and Electrophoretic Analysis of The Primary Flight Muscle
of Several Phyllostomid bats. Can. J. Zool, 76(11), pp. 82-92.

Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya: Sinar


Wijaya.

Karyadi. 2003. Pemberian Rasio Kalsium dan Fosfor Terhadap Osifikasi


Tulang Embrio Puyuh. Jurnal Penelitian UNIB, 6(7), pp. 47-59.

Lesson. 1990. Atlas of Histology. London: W. B. Sounders.

Sipriyadi, F.L., Agus, S., & Aceng, R. 2013. Uji Teratogenesis Ekstrak Kulit Batang
Karas (Aquilaria malacensis) pada Fetus Mencit (Mus musculus). Prosiding
Semirata FMIPA Universitas Lampung, 3(2), pp. 321-325.

Soeminto. 2000. Embriologi Vertabrata. Purwokerto: Fakultas Biologi UNSOED.

Soeminto. 2002. Embriologi Vertabrata. Purwokerto: Fakultas Biologi UNSOED.

Somasundaran, P., & Fu, E. 1986. Alizarin Red as a Flotation of Modyfing Agent in
Calcitat-Apatite System. International Journal of Mineral Precessing,
18(1), pp. 287-296.

Staines, K.A., Pollard, A.S., McGonnell, M., Farquharson, C., & Pitsillider, A.A.
2013. Cartilage to Bone Transitions In Health and Disease. Journal of
Endocrinology, 219(1), pp. 1-12.

Stazi, A.V.C., Macri, C., Ricciardi, A., & Mantovani. 1992. Significance of the Minor
Alterations of The Axial Skeleton in Rat Fetuses A Short Review. Cong
Anom, 3(2), pp. 91-104.

Taylor, S.E.B., Mittal S., & Isabel R.O. 2014. Generation of Rodent and Human
Osteoblasts. International Bone & Mineral Society, 583(3), pp. 1-10.

Yatim, W. 1982. Embryologi. Bandung: Tarsito.

Anda mungkin juga menyukai