Anda di halaman 1dari 55

Makalah Teknologi Pangan

Teknologi Pembuatan Ikan Kering

Kelompok 8

Chatrin

1406525035

Deni

1406525086

Marianne Wiguna

1406525426

Maria Tyas Hapsari

1406525413

Nikko Yendi Sutrisno

1406525565

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan pertolongan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh Prof. Effionora selaku dosen
untuk mata kuliah Teknologi Pangan.
Makalah ini berisi materi mengenai teknik pengeringan ikan, mulai dari
prinsip pengeringan ikan, masalah yang dapat timbul selama proses pengeringan,
metode-metode pengeringan yang digunakan, produk pengeringan ikan, evaluasi
yang dilakukan, hingga peraturan-peraturan yang berlaku mengenai pengeringan
ikan.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang
berkenan bagi pembaca serta kesalahan dalam penulisan makalah. Oleh karena
itu, penulis berterima kasih atas saran dan kritik yang dapat membangun dan
menambah pengetahuan bagi penulis. Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi para pembaca dan bagi penulis.

Depok, 22 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................. ii
Daftar Isi

............................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ...................................................................... 1
1.3. Rumusan Masalah .................................................................... 1
1.4. Metode Penulisan

............................................................ 2

1.5. Sistematika Penulisan .............................................................. 2


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3
2.1.Pendahuluan ............................................................................. 3
2.2. Prinsip Fisik dalam Pengeringan Ikan .................................... 4
2.3. Cemaran Mikroba.................................................................... 9
2.4. Cemaran Kimia ...................................................................... 12
2.5. Cemaran Fisik ........................................................................ 13
2.6. Penggaraman dan Pengeringan .............................................. 14
2.7. Alat-Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Ikan Kering.... 16
2.8. Produk Pengeringan Ikan ....................................................... 19
2.9. Kualitas .................................................................................. 35
2.10. Quality Assurance ................................................................ 43
BAB 3 PENUTUP .................................................................................... 49
3.1. Kesimpulan ........................................................................... 49
3.2. Saran ....................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 50

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teknologi pembuatan pangan merupakan salah satu ilmu yang membahas
tentang metode pembuatan macam-macam makanan. Indonesia merupakan negara
maritim yang memiliki potensi besar di dunia perikanan, sayangnya banyak dari
komoditi pangan laut yang belum dapat diolah oleh Indonesia karena kekurangan
teknologi untuk pengolahannya.
Ikan kering merupakan salah satu pangan laut yang diolah di Indonesia.
Ikan-ikan tertentu yang ditangkap dari laut kemudian diproses sampai siap
dikeringkan dan dikemas untuk dijual. Pada makalah ini, kami akan membahas
secara lengkap mengenai proses pengolahan ikan kering sampai siap dijual di
pasaran. Harapannya, tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
mengenal lebih jauh bagaimana teknologi pembuatan ikan kering itu.

1.2. Tujuan Penulisan


Menjelaskan teknologi pembuatan ikan kering dimulai dari proses
pembuatannya, evaluasi produknya, sampai pemastian mutu produk dalam proses
produksi.

1.3. Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang diangkat di dalam makalah ini antara lain:
1.

Apa saja teori dasar yang mendukung proses pembuatan ikan kering?

2.

Bagaimanakah proses pembuatan ikan kering?

3.

Bagaimana cara mengevaluasi produk ikan kering yang telah dibuat?

4.

Bagaimanakah pemastian mutu yang dilakukan untuk produk ikan


kering ini?

1.4. Metode Penulisan


Metede penulisan yang digunakan pada pembuatan makalah ini adalah
dengan melalukan studi pustaka dari buku dan berbagai literatur, dan browsing
melalui internet juga digunakan untuk membantu pencarian informasi terkait
makalah ini.

1.5. Sistematika Penulisan


BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penulisan
1.3. Rumusan Masalah
1.4. Metode Penulisan
1.5. Sistematika Penulisan
BAB 2 ISI
2.1. Pendahuluan
2.2. Prinsip Fisik dalam Pengeringan Ikan
2.3. Cemaran Mikroba
2.4. Cemaran Kimia
2.5. Cemaran Fisik
2.6. Penggaraman dan Pengeringan
2.7. Alat-Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Ikan Kering
2.8. Produk Pengeringan Ikan
2.9. Kualitas
2.10. Quality Assurance
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB 2
ISI

2.1.

Pendahuluan
Di sebagian besar dunia, terdapat kondisi di mana akses untuk lemari

pendingin atau es tidak ada. Salah satu cara untuk memperlambat pembusukan
adalah dengan memberikan kondisi stress terhadap proses fisik, kimia dan biologi
penyebab pembusukan. Pengurangan kelembaban melalui pengeringan atau
pengasapan akan menghasilkan suatu sumber protein yang stabil yang dapat
ditransportasikan ke suatu komunitas dengan akses terbatas pada ikan segar.
Metode tradisional pada negara tropis adalah pengeringan dengan
menggunakan matahari langsung dan menempatkan produk pada lahan tertentu
atau menggunakan rak. Beberapa dari proses ini melibatkan perendaman dalam air
asin atau pengasinan kering. Di Eropa utara dan tempat lain di mana tersedia
lemari pendingin, ikan dikeringkan dan diasapkan menggunakan pengasap
mekanik. Penggunaan prosedur modern quality control seperti HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) semakin ditingkatkan pada industri pengasapan
maupun pengeringan ikan.
Konsumsi ikan menyediakan nutrisi penting bagi sejumlah orang di
seluruh dunia. Manfaat kesehatan dari ikan telah disadari oleh masyarakat Barat
yang merupakan faktor penting untuk menstimulasi permintaan. Permintaan dari
sumber ini konsisten dan terus meningkat, memberikan pertimbangan besar untuk
ketersediaan di masa depan.
Negara berkembang memiliki ketergantungan nutrisi yang lebih besar
pada ikan. Produk relevan terbesar bagi yang tidak mampu adalah produk ikan
kering, yang dihasilkan dari teknologi tradisional sederhana. Produk yang dapat
dimasukkan dalam daftar : pengasinan dan pengeringan, pengasinan asap, dalam
garam atau asam, fermentasi, dan produk kombinasi. Bentuk dari produk dapat
berupa ikan utuh, filet, serbuk ikan, atau hidrolisat seperti saus ikan.
Kuantitas ikan yang dikonversi menjadi produk kering sulit dinilai secara
akurat. Statistik FAO pada 1993 menyatakan penggunaan 3,2 juta ton bahan
mentah. Sejak 1977 volume produksi meningkat dari 3,5 hingga hampir 4,5 juta

ton di 1988 tetapi jatuh menjadi 3,2 juta pada 1992. Pada waktu yang sama,
produksi Negara berkembang mencapai puncak 2,4 juta ton pada 1985, jatuh
menjadi 1,65 juta pada 1992 dan 1993 ketika Rusia hanya memproduksi setengah
juta ton dari sebelumnya, kebanyakan salted herring dan makarel. Produk utama
di Eropa adalah ikan cod asin dan kering, herring dan makarel.

2.2.

Prinsip Fisik dalam Pengeringan Ikan

2.2.1. Proses pengeringan


Ketika ikan dipaparkan pada udara, permukaannnya akan mulai mengering
karena lembab yang menguap ke permukaan oleh proses transfer massa konvektif.
Laju penguapan ini diatur oleh temperatur dan kelembaban aliran udara, namun
juga dipengaruhi oleh kecepatan udara. Ketika terdapat air bebas pada permukaan,
penguapan akan berjalan pada laju yang konstan. Proses ini dikenal sebagai laju
pengeringan konstan. Pada tahap tertentu, permukaan akan mulai mengering dan
akan terjadi suatu gradien kelembaban dekat permukaan yang akan menyebabkan
lebih banyak air bergerak dari dalam ikan ke permukaan. Gerakan air dalam ikan
meliputi kombinasi dari difusi cairan, difusi uap, pergerakan molekular dan
osmosis. Pada saat yang sama, garam dapat bergerak ke dalam ikan jika
konsentrasi garam pada permukaan lebih besar dari pada di dalam ikan.
Selama ikan mengering melalui pergerakan air ke permukaan, gradien
konsentrasi kelembaban akan turun secara bertahap, sehingga kekuatan
transportasi air akan berkurang dan laju pengeringan melambat. Proses ini dikenal
sebagai sebagai falling rate drying. Pengeringan selanjutnya akan berlangsung
dengan laju yang lambat hingga kondisi kelembaban ekuilibrium tercapai.

2.2.2. Pembusukan ikan asap dan kering


Ikan dikatakan telah membusuk apabila sudah tidak layak untuk konsumsi
manusia atau hewan. Hal ini dapat terjadi karena efek fisika, kimia maupun
mikrobiologi atau kombinasi efek-efek tersebut. Efek fisika termasuk karena
burung-burung atau karena larva lalat. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah
pengemasan, penggunaan pengering mekanik, penggaraman, dan praktis

pembersihan

yang

tepat

seperti

tempat

pembuangan

sampah

untuk

meminimalisasi pembiakan lalat.


Pembusukan kimia meliputi kontaminasi dari minyak bahan bakar, kerosin
dan insektisida. Hal ini dapat diminimalisasi dengan praktis penanganan yang
tepat, kebersihan, dan kemasan yang efektif. Pembusukan kimia yang lainnya
yaitu oksidasi lemak yang mengarah pada ketengikan. Reaksi ini dipercepat
dengan temperatur tinggi pada pengasapan atau pengeringan dengan sinar
matahari langsung. Campuran antioksidan (BHA 19 g, BHT 1g, asam sitrat 5g,
propilen glikol 100 mL) telah diketahui efektif untuk mencegah penghilangan
warna dan mengurangi jamur.
Degradasi enzim dimulai segera setelah ikan dibunuh. Beberapa ikan
mempunyai enzim hidrolitik dengan konsentrasi yang tinggi yang menyebabkan
ikan mengalami autolisis secara cepat yang mengakibatkan ledakan perut. Bakteri
endogen pada usus yang tercampur dalam rendaman garam, es atau peralatan yang
digunakan akan berkembang biak dalam kondisi nutrien dan temperatur yang
tersedia pada penyimpanan atau selama transportasi ke pasar, terutama jika tidak
terdapat es yang cukup. Setiap spesies bakteri mempunyai aktivitas air dan
temperatur tertentu untuk pertumbuhan optimum, dan mempunyai kebutuhan
nutrisi tertentu, seperti garam. Pertumbuhan bakteri dapat dikontrol dengan es
(kondisi dingin) atau pengeringan. E.coli mempunyai temperatur pertumbuhan
maksimum 41oC dan tidak akan tumbuh jika temperatur di bawah 3oC, namun
Pseudomonas sp. dapat tumbuh pada temperatur tersebut. Pembusukan karena
mikroba dapat dikurangi dengan proses dan penanganan yang baik. Ikan segar
dipisahkan dengan ikan yang telah membusuk, permukaan wadah dijaga tetap
bersih, dan menggunakan es yang bersih.

2.2.3. Kandungan kelembaban


Ikan segar mengandung hingga 80% air. Ketika kelembaban dikurangi
hingga 25%, aktivitas autolitik dapat dikurangi. Namun untuk mencegah
pertumbuhan jamur selama penyimpanan, kandungan kelembaban harus dikurangi
hingga 15%. Spesies ikan tropis dapat bertahan pada temperatur hingga 45-50oC
sebelum pemasakan dimulai.

Kelembaban dapat diketahui dari basis kering, basis basah, basis tidak
asin, atau basis yang tidak dispesifikasikan. Namun, terdapat metode umum untuk
perhitungan kelembaban. Metode AOAC (Association of Official Analytical
Chemists) yaitu mengeringkan sampel selama 24 jam pada 105oC kemudian
timbang ulang untuk mengetahui massa air dari sampel awal. Ketika sampel
diambil dari ikan segar akan memberikan sedikit perbedaan dengan kelembaban
dari ikan tidak berlemak, karena kelembaban dari otot ikan segar konstan ketika
dilaporkan dengan ikan tidak asin. Situasi berbeda timbul pada ikan berlemak.
Sirip perut memiliki banyak lemak, pada tuna hingga 50%. Sampel dari ikan
kering atau asap dapat memiliki kelembaban yang bervariasi bergantung pada
derajat penetrasi garam dan ketebalan otot.
Metode di mana kuantitas ikan dicincang, dicampur dan dibagi akan
menghasilkan kesalahan karena terjadi pengeringan selama proses ini. Metode
yang dapat diterima untuk mendapatkan rata-rata kelembaban adalah menimbang
massa ikan sebelum dan setelah pengeringan dan menghitung kelembaban ikan
kering dari pengukuran kelembaban ikan segar dan berat yang hilang selama
pengeringan. Teknik ini gagal untuk ikan berlemak, karena lemak dapat menetes
selama pengeringan.
Jadi, jika Mo adalah massa ikan segar, mo merupakan kelembaban dari
ikan segar (basis kering) dan M1 merupakan massa ikan kering, kelembaban ratarata (basis kering) dari ikan kering :

Metode ini tidak diaplikasikan ke ikan yang diasinkan dan dikeringkan.


Perhitungan dapat dibuat jika kuantitas garam yang ditambahkan diketahui, tetapi
perhitungan seperti itu dapat tidak akurat kecuali jumlah tetesan dan kandungan
garam dari tetesan juga diketahui.

2.2.4. Aktivitas air dan kepentingannya


Aktivitas air merupakan pengukuran air yang tersedia untuk menunda
reproduksi dan pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan. Nilai aktivitas air
6

Aw setara dengan kelembaban udara dalam kondisi ekuilibrium dengan makanan.


Jika kelembaban 94%, aktivitas air setara dengan 0,94.
Aktivitas

air

yang

direndahkan

mengakibatkan

stress

pada

mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme tidak dapat bereproduksi dan tumbuh


kecuali jika aktivitas air lebih besar dari nilai tertentu. Potensi redoks, temperatur,
pH, kemasan dan availabilitas nutrien mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba.

Tabel 2.1. Nilai minimum aktivitas air untuk pertumbuhan mikroba


Mikroorganisme
Bakteri
Yeasts
Jamur
Bakteri halofil
Jamur xerofil
Yeast osmofil

Aktivitas air
0,91
0,85
0,80
0,75
0,65
0,6

Dari tabel dapat dilihat bahwa jika aktivitas air dikurangi hingga di bawah
0,6, maka tidak ada pertumbuhan mikroba. Metode untuk mengaplikasikan
kombinasi stress pada mikroorganisme tersebut disebut hurdle technology.
Aktivitas air dapat diturunkan dengan pengeringan, pengasinan, atau
kombinasi keduanya. Larutan jenuh garam memiliki aktivitas air mendekati
sebesar 0,75, hal ini dapat digunakan untuk menghindari toksin dari Clostridium
sp.
Aktivitas air dapat berubah seiring dengan substansi yang mengering.
Metode paling sederhana untuk mengukur aktivitas air adalah dengan menutup
sampel pada kemasan yang kedap, membiarkan udara yang ada di ruang kosong
mencapai kondisi ekuilibrium dengan sampel, kemudian ukur kelembaban udara.
Aw meter komersial seperti LLUFT, yang bergantung pada higrometer mekanik
dengan sensor rambut, membutuhkan kalibrasi konstan terhadap larutan standar
garam jenuh.

2.2.5. Sorption Isotherms


Sorption

Isotherms

mendefinisikan

hubungan

antara

kandungan

kelembaban dan aktivitas air dalam zat yang higroskopik. Gambaran secara umum
pada grafik adalah kelembaban pada posisi ordinat dan aktivitas air pada posisi
7

aksis dengan bentuk kurva sigmoid yang meningkat secara bertahap ke kanan.
Sorption isotherms ditentukan oleh proses pengukuran aktivitas air pada
kelembaban dan temperatur yang berbeda-beda.

Gambar 2.1. Kurva kandungan kelembaban terhadap aktivitas air

Secara alternatif, sampel dapat ditutup dalam wadah pada kelembaban dan
temperatur yang relatif konstan hingga mencapai bobot konstan dan kemudian
dikeringkan untuk mendapatkan kandungan kelembaban. Sorption isotherm yang
berbeda didapatkan berdasarkan material yang dikeringkan (desorption isotherm)
atau direhidrasi dari kering (absorption isotherm). Perbedaan signifikan terjadi
pada, sebagai contoh stabilitas mikroba dari makanan kering yang dibasahkan
kembali selama penyimpanan.
Sorption isotherm dari ikan mempengaruhi laju pengeringan selama fase
falling rate dalam pengeringan. Laju pengeringan konstan berakhir ketika proses
difusi internal dalam ikan mulai membatasi suplai air ke permukaan dan
permukaan mulai kering. Pada poin ini udara di sekitar lapisan batas dekat dengan
permukaan tidak lagi tersaturasi, dan dalam waktu yang singkat kelembaban udara
dekat permukaan menjadi hampir sama dengan udara disekitarnya. Oleh karena
itu, ketika fase falling rate terbentuk, aktivitas air pada permukaan dekat dengan
kelembaban relatif pada udara di sekitarnya. Jika ikan dikeringkan dalam udara
dengan kelembaban 85%, aktivitas air pada permukaan akan dekat dengan 0,85
selama fase falling rate.

2.2.6. Metode pengeringan


Metode pengeringan paling sederhana adalah menempatkan ikan pada
tikar di tanah di bawah sinar matahari selama satu hingga tiga hari. Pengeringan

ikan dengan metode ini dapat dikontaminasi pasir atau debu, larva lalat, maupun
ketengikan. Metode ini hanya untuk ikan kecil (seperti anchovi) yang dapat
dikeringkan dalam hitungan jam. Pengasinan ikan dalam rendaman garam
mengurangi infestasi larva lalat, juga meletakkan ikan pada rak memudahkan
proses penanganan.
Pengering solar telah dikembangkan dan diuji di berbagai tempat di dunia.
Penggunaan penutup gelas atau plastik telah banyak digunakan untuk
meningkatkan temperatur udara di sekitar ikan dan mempercepat pengeringan.
Pengering tenda solar dari lembaran politen hitam dan jernih lebih murah daripada
pengering solar kabinet Excell and Komsakoo. Pengering solar lebih efisien dari
pengering matahari langsung.

2.3.

Cemaran Mikroba
Dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan, mikroorganisme seperti

bakteri dan jamur akan bermultiplikasi semakin banyak. Seluruh ikan


mengandung mikroorganisme baik pada permukaan kulitnya dan di dalam isi
perutnya. Udara, air tawar dan asin, jala, kotak ikan, es, serangga, rokok, alat-alat
pengering, dan orang-orang yang menangani ikan semuanya merupakan sumber
mikroorganisme. Kontaminasi mikroba pada daging ikan tidak dapat dihindari.
Akan tetapi, kecepatan pertumbuhan dan macam mikroorganisme yang ada dapat
dikendalikan dengan memakai teknologi yang baik dan bersih.
Prinsip pertama dalam sistem kontrol mikrobiologi adalah untuk
meminimalisir kontaminasi. Banyak studi yang membuktikan efektivitas sanitasi
yang baik dalam mengurangi kontaminasi yang ada di ikan setelah
penangkapannya.
Ketika suatu mikroorganisme menemukan jalannya menuju permukaan
kulit ikan mati, ia akan bergerminasi dan bertumbuh (jamur) atau ia akan
bermultiplikasi (bakteri). Laju kecepatan munculnya mikroorganisme ke
permukaan kulit tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sifat dari
mikroorganisme tersebut. Contohnya, suatu jamur (Polypaecilum pisce) yang
ditemukan pada ikan kering di Indonesia akan bergerminasi dan tumbuh lebih
cepat dari jamur-jamur lainnya jika temperaturnya 30-37oC, aktivitas airnya

berada di rentang 0,90 sampai 0,96, dan terdapat garam did aging ikannya.
Dengan merubah aktivitas air, kandungan garam, atau temperature dapat
membatasi pertumbuhannya. Akan tetapi tindakan tersebut dapat memunculkan
beberapa mikroorganisme lain yang tidak terlalu jinak.

2.3.1. Memprediksi Mikrobiologi


Kemunculan ilmu prediksi mikrobiologi telah meningkatkan keamanan
dan stabilitas dari makanan. Perkembangan dalam dunia modeling komputer dan
matematika dengan kemampuan pengukuran efek temperature, aktivitas air, pH,
dan faktor-faktor lain dalam pertumbuhan mikroorganisme yang ekstensif dan
akurat

telah

membawa

kepada

ilmu

pengetahuan

untuk

memprediksi

pertumbuhan, kemampuan bertahan, dan kematian mikroorganisme pada


makanan.
Teknik prediksi mikrobiologi ini telah ada sejak puluhan tahun lalu dan
mulai terkenal saat Ross dan McMeekin (1994) menulis tulisan singkat mengenai
sejarah, keuntungan, dan teknik prediksi mikrobiologi. Hingga sekarang, ilmu ini
terus berkembang menjadi semakin baik.

2.3.2. Prediksi Waktu Paruh


Model prediksi untuk patogen makanan telah dikembangkan dari studi laju
pertumbuhan dalam media liquid menggunakan temperatur, aktivitas air, dan pH.
Beberapa model telah tervalidasi untuk digunakan dalam makanan. Dari hasil
pengamatan secara umum, pertumbuhannya di dalam makanan lebih lambat
dibandingkan prediksi; hasilnya dapat dianggap fail-safe, walaupun perbedaan
dalam laju pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh model protokol yang tidak
memadai.
Menurut studi terbaru, dimana organismenya diuji di dalam laboratorium
yang sama menggunakan galur yang sama dan persamaan rumus yang sama untuk
menentukan laju pertumbuhan, telah memberikan prediksi yang sangat baik.
Secara teoritis, adalah mungkin untuk menentukan laju pertumbuhan dari
organisme ketika pengeringan dan pembasahan jika tidak dikemas dengan baik.
Perubahan dalam temperatur secara mendadak dapat memperlambat pertumbuhan

10

hingga organisme tersebut berdiri kembali, akan tetapi hal ini merupakan situasi
fail-safe. Terdapat kombinasi laju kinetic mikroba untuk memprediksi
kandungan mikroba di dalam makanan, atau hilangnya waktu paruh. Doe dan
Heruwati (1988) mengembangkan suatu model panas dan transfer masa yang
memberikan nilai temperatur dan aktivitas air ketika ikan dikeringkan. Nilai-nilai
ini digunakan untuk mengkalkulasi waktu pembusukan. Model ini telah
terverifikasi untuk dua spesies ikan di Indonesia yang dikeringkan dengan metode
tradisional menggunakan cahaya matahari. Ketika pengeringan makanan
dilakukan, terdapat perlombaan untuk mengurangi aktivitas air dengan cukup
cepat dan cukup rendah untuk membatasi pertumbuhan mikroba dan mencegah
pembusukan atau produksi toksin.

Tabel 2.2. Waktu pembusukan makanan bila dikontaminasi oleh jamur-jamuran


(dalam satuan hari)

Dengan absennya faktor-faktor lain, seperti pH yang rendah atau agen


bakteriostatik atau fungistatik, waktu penyimpanan dapat diestimasi dari aktivitas
air produk yang dikeringkan dan laju pertumbuhan organisme pembusuk.
Terdapat batas bawah untuk aktivitas air (sekitar 0,65) dimana tidak akan
terjadi pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu untuk memproduksi produk ikan
kering dengan waktu penyimpanan yang panjang, kita perlu memproses ikan-ikan
ke dalam suatu larutan kombinasi garam/pelembab yang sesuai untuk memberikan
aktivitas air di bawah angka 0,65 tersebut. Akan tetapi, kebanyakan ikan kering
dan ikan asin yang dijual di pasaran memiliki aktivitas air yang diperkirakan di
atas angka 0,65. Hal ini menyesuaikan dengan pilihan konsumen yang lebih
menyukai ikan yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu asin. Sehingga dari sudut
11

pandang kualitas, terpaksa mengurangi tingkat kemampuan penyimpanannya dan


menyesuaikan keinginan konsumen. Ikan yang dikeringkan hingga memiliki
aktivitas air di bawah 0,7 akan dengan cepat merehidrasi sampai ke aktivitas air di
atas 0,8 jika disimpan pada atmosfer dengan kelembaban relatif rata-rata di atas
80%. Karena itu, tidak jarang kita temui di negara tropis, pengemasan merupakan
komponen yang penting dalam menentukan waktu penyimpanan.

2.4.

Cemaran Kimia
Selain pencemaran yang disebabkan agen mikroba, terdapat juga serangga-

serangga dan proses-proses kimia seperti oksidasi yang dapat membatasi umur
penyimpanan produk.
Prinsip dari reaksi kimia yang menyebabkan kecacatan pada ikan kering
dan asap adalah oksidasi dari senyawa-senyawa lipid yang ada. Proses preservatif
dalam pengeringan ikan kering mempercepat perubahan pada senyawa lipid
bahan-bahan laut. Akibat utama dari degradasi lipid adalah munculnya bau dan
rasa yang tidak enak.
Pengeringan ikan juga menyebabkan reaksi Maillard, dimana senyawasenyawa amino bereaksi dengan mengurangi senyawa gula untuk membentuk
polimer coklat. Reaksi Maillard ini berpengaruh terhadap nutrisi ikan-ikan kering.
Oleh sebab itulah ikan-ikan yang dikeringkan mengalami perubahan warna
menjadi warna coklat. Perubahan warna ini menjadi salah satu syarat bagi produk
ikan kering tradisional pada umumnya, sehingga reaksi Maillard bukanlah reaksi
yang dihindari.
Kecacatan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kimia, seperti
kerosene, minyak, atau senyawa-senyawa lainnya yang berkontak dengan ikan.
Penanganan produksi yang baik, kebersihan, dan pengemasan yang sesuai dapat
mengurangi kemungkinan terjadi kontaminasi kimia. Penggunaan antioksidan dan
atau pengemasan dapat memperlambat terjadinya reaksi oksidasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecacatan kimia pada produk ikan
kering antara lain adalah:

12

Temperatur
Temperatur mempengaruhi laju terjadinya reaksi biokimia di dalam
suatu produk.

Kandungan pelembab dan aktivitas air


Kandungan kelembaban yang diperlukan untuk stabilitas makanan yang
dikeringkan disarankan adalah kandungan kelembaban monolayer.
Kandungan kelembaban di bawah itu dapat mempercepat proses oksidasi
lipid. Pada kandungan kelembaban yang semakin tinggi, laju
pencoklatan non enzimatik akan semakin meningkat.

Stabilitas yang optimum akan tercapai dengan mengkombinasikan


aktivitas air dan kandungan kelembaban dengan perbandingan yang pas.

2.4.1. Oksidasi dan bau tengik


Oksidasi pada asam lemak tidak jenuh terjadi selama dehidrasi dan
penyimpanan ikan kering. Proses ini mengalami percepatan pada aktivitas air
yang sangat rendah. Laju autooksidasi meningkat secara logaritmik dengan
tingkat ketidakjenuhan asam lemak.

2.5.

Cemaran fisik
Kecacatan fisik dari ikan kering umumnya disebabkan oleh proses

pengolahan dan pengemasan yang buruk, walaupun pada beberapa tempat burungburung, kucing-kucing, dan anjing-anjing juga dapat menyebabkan kerusakan.
Kecacatan fisik juga dapat disebabkan oleh serangan serangga, baik dari lalat
maupun kumbang.
Ikan kering yang telah dikerumuni oleh larva lalat merupakan penyebab
utama terjadinya kerusakan dan berkurangnya kualitas ikan kering ketika
dikeringkan. Para larva lalat tersebut bukan hanya memakan ikannya, tetapi juga
membentuk kantung-kantung yang meningkatkan kandungan kelembaban di
dalam daging ikan yang mempercepat terjadinya kecacatan mikroba. Untuk
membatasi adanya lalat selama proses pengeringan dan membunuh larva lalat
dapat digunakan tenda pengering tenaga surya.

13

Perkiraan kehilangan ikan kering dalam penyimpanan bervariasi, tetapi


para peneliti kebanyakan percaya bahwa setidaknya ada 15% atau mungkin lebih
dari ikan kering yang tidak dilindungi dalam penyimpanannya akan dimakan oleh
kumbang. Selain berkurangnya jumlah, kualitas ikan juga berkurang. Konsumen
tidak akan membayar harga yang tinggi untuk ikan yang telah dirusak oleh
kumbang.
Untuk mengontrol jumlah kumbang digunakan metode pembersihan lokasi
dengan baik dan penggunaan insektisida pada ikan keringnya.
Berbagai macam bentuk pengemasan seperti plastik, sak, dan boks
digunakan dalam mengemas ikan-ikan kering yang sudah jadi. Salah satu masalah
dengan pengemas yang tertutup untuk ikan kering adalah dapat membentuk
kondensasi di dalam kemasannya jika temperaturnya menurun secara mendadak,
misalnya, ketika bahan kemas dipindahkan ke dalam kulkas. Kondensasi ini dapat
menyebabkan lokal rehidrasi pada ikan yang dapat menyebabkan pertumbuhan
mikroba.

Pengemasan memiliki tiga tujuan menurut FAO:

Menampung sejumlah produk

Melindungi produk dari faktor-faktor perusak

Informasi mengenai produk, yang terdiri dari asal tempat, komposisi,


waktu kadaluarsa, pemilik, tujuan, dan penanganan

2.6.

Penggaraman dan Pengeringan


Sejak berabad-abad dahulu, garam telah digunakan hingga saat ini untuk

mengawetkan makanan-makanan. Sebagian besar produk ikan kering tradisional


digarami. Berbagai metode penggaraman telah berevolusi di berbagai belahan
dunia, akan tetapi esensialnya hanya terdapat tiga metode dasar dalam
penggaraman ikan:

Kench curing
Garam padat dioleskan ke daging ikan, ikannya kemudian gantung tegak saat
garam-garam berpenetrasi menembus daging ikannya dan uap lembab yang
terekstrak dibiarkan mengering.

14

Pickling
Mirip dengan kench curing tetapi uap lembab yang diekstrak keluar dari ikan
tidak diperbolehkan mengering. Ikannya dibenamkan ke dalam arutan yang
sangat asam.

Brining
Ikan-ikan direndam dalam larutan konsentrasi garam yang telah disiapkan.

Penggaraman metode Kench cocok untuk ikan-ikan kecil. Brining lebih


dipilih untuk ikan-ikan yang besar karena perendaman membatasi ikan
terpaparkan oksigen.
Di setiap kasus, kandungan garam pada produk final dapat dikontrol
dengan mengatur durasi penggaraman; akan tetapi, pada metode brining kita dapat
mengatur konsentrasi garamnya untuk mengatur jumlah garam yang akan terserap
oleh ikan-ikan.
Beberapa teknik penggaraman yang inovatif antara lain adalah grinding,
mixing dengan garam dan pressing, evacuating dan sealing ikan dalam kantung
plastik berisikan garam, freeze-drying dan merehidrasi dengan garam jenuh.
Kualitas garam berperan penting terhadap penampilan, rasa, dan
keseluruhan produk yang diproduksi. Garam yang digunakan di negara tropis
diproduksi dengan penguapan air laut menggunakan sinar matahari dan
mengandung sejumlah kecil garam kalsium dan magnesium. Garam ini dapat
memberikan rasa yang diinginkan dan memutihkan serta membuat ikan menjadi
keras dan kaku. Garam-garam lain seperti tembaga dan besi kondusif dengan
reaksi karbonil-amino, yang menyebabkan pigmentasi coklat dan mematikan rasa.
Bakteri halofilik yang teradaptasi dengan garam menyebabkan perubahan warna
menjadi pink bagi ikan-ikan yang memiliki kandungan kelembaban yang tinggi.
Bakteri Halobacterium dan Halococcus spp., memiliki suatu aksi proteolitik yang
kuat sehingga daging ikannya melunak dan hancur dan juga mematikan rasa serta
bau. Kedua bakteri tersebut bersifat aerobic, sehingga perkembangan bakterinya
dapat dihambat saat perendaman ikan ke dalam larutan konsentrasi garam hingga
terendam seutuhnya, tetapi diperlukan pengeringan yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri lebih lanjut.

15

Kita dapat memperpanjang waktu kadaluarsa dari produk ikan kering


dengan menambahkan garam karena garam memberikan efek sorption isotherm
dan menurunkan aktivitas air. Suatu larutan NaCl jenuh memiliki aktivitas air
mendekati 0,75. Hampir semua bakteri tidak akan tumbuh pada tingkat aktivitas
air serendah ini; dan yang terpenting, bakteri racun pada makanan seperti
Clostridium atau Salmonella spp. hanya akan tumbuh ketika aktivitas airnya di
atas sekitar 0,91. Penggaraman dapat mengurangi aktivitas air dengan sangat
cepat sehingga efektif dalam mencegah pertumbuhan bakteri yang berbahaya.
Penggaraman juga menguntungkan dalam hal mengurangi jumlah lalat saat proses
pengeringan.

2.7.

Alat-Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Ikan Kering


Alat-alat dalam pembuatan ikan kering dapat dibagi ke dalam beberapa

bagian mengikuti proses pembuatan ikan kering:


Fish landing
Auctioning/Fish market
Processing sites
Gutting/Cutting
Washing
Salting
Drying
Packing
Storage
Market

16

Gutting/Cutting

Gambar 2.2. Pisau untuk memotong ikan

Washing

Gambar 2.3. Baskom untuk mencuci ikan

Salting

Gambar 2.4. Baskom tempat merendam ikan dalam larutan garam

17

Drying

Gambar 2.5. Alat pengering mekanik ikan kering dilengkapi dengan kipas

Gambar 2.6. Tungku pemanas alat pengering ikan mekanik

18

Packing

Gambar 2.7. Plastik untuk membungkus ikan kering

Gambar 2.8. Kardus untuk mengepak ikan kering yang siap dijual

2.8.

Produk Pengeringan Ikan


Secara umum, tidak ada metode spesifik atau resep khusus untuk produksi

produk tradisional. Kekurangan ini membuat kontrol kualitas produk dan


keseragaman sulit dilakukan.
Wheaton dan Lawson (1985) memberikan review yang komprehensif dari
pengolahan produk makanan akuatik dimulai dengan teknologi penangkapan dan
19

sebagian besar metode pengolahan pascapanen termasuk pengolahan panas dan


pengalengan,

pendinginan,

perubahan

kualitas,

pengasinan,

pengeringan,

pengasapan, kemasan, produksi dan manajemen limbah, desain pabrik, produk


sampingan, dan aditif.
Proses pengeringan yang paling sederhana (dan tradisional) adalah
pengeringan dengan matahari. Masyarakat dunia menemukan bahwa masa simpan
dari ikan yang telah dikeluarkan isi perutnya maupun dipotong-potong dapat
diperpanjang dengan memungkinkan untuk kering ketika diletakkan di bawah
sinar matahari dan angin, terlindung dari hujan. Peningkatan teknik penjemuran
berkembang selama berabad-abad, namun beberapa metode tradisional bertahan
sampai sekarang. Di Bangladesh, pada akhir setiap musim hujan, berhektar-hektar
rak bambu diatur untuk sun-drying di pulau-pulau dataran rendah di Teluk
Benggala. Di seberang Teluk Benggala di India, ikan kecil masih diletakkan di
pantai berpasir panas dan pinggir jalan kering.

Gambar 2.9. Rak sun-drying


[Sumber: https://edgeofentropy.wordpress.com/tag/vasai/ ]

Kerugian sun-drying adalah metode ini tergantung musim, membutuhkan


area pengeringan yang relatif luas, waktunya jauh lebih lama daripada metode
lain, dan dapat terkena kontaminasi dan serangan serangga. Sun-drying murah,
tetapi menghasilkan penurunan kualitas akibat oksidasi, ketengikan, pembusukan,
dan kontaminasi. Perbandingan antara sun-drying di bebatuan, di rak, dan solar
dryer dilakukan di Kepulauan Galapagos, Ekuador (Trim dan Curran, 1983). Ikan

20

mengering 60-65% lebih cepat dalam solar dryer dibandingkan dengan sundrying. Solar dryer mampu mengeringkan ikan untuk kadar air yang lebih rendah
(rata-rata 13%) dari yang diperoleh dengan sun-drying (rata-rata 21%). Solar
dryer sekitar 60% lebih efisien (massa ikan kering / m2 / hari) dibandingkan
metode sun-drying.

Gambar 2.10. Solar dryer


[Sumber: http://www.fao.org/docrep/v5030e/V5030E0J.GIF]

2.8.1. Penyimpanan
1. Penyimpanan dalam Suasana Termodifikasi
Modifikasi suasana kemasan (Modified atmospheric packaging/MAP)
adalah perbaikan pada teknik kemasan vakum sebelumnya, yang, meskipun
melindungi produk dari pengeringan, oksidasi, dan kontaminasi dan pertumbuhan
bakteri pembusuk, memiliki sedikit efek pada penurunan kualitas makanan laut
(ditinjau oleh Haard, 1992b). MAP dapat sangat efektif dalam memperpanjang
masa simpan makanan laut (O'Connor et al., 1992). Umumnya gas yang
digunakan dalam MAP telah mengurangi konsentrasi O2 dan meningkatkan
konsentrasi CO2. Ada sejumlah mekanisme untuk efek penghambatan CO2
terhadap pertumbuhan bakteri, seperti penurunan pH, penghambatan enzim
dekarboksilasi dan gangguan membran sel dan redistribusi konsekuen lipid. Ada
kemungkinan bahwa efek ini dan efek lainnya dapat dikombinasikan.
Ada potensi risiko yang terkait dengan MAP bahwa mungkin tidak adanya
beberapa indikator pembusukan. Patogen anaerobik dapat tumbuh ke tingkat

21

berbahaya tanpa terlihat oleh konsumen. Jadi MAP harus berhubungan dengan
kontrol suhu dan masa simpan indikasi yang tepat.
Penyimpanan dalam suasana termodifikasi (CO2 dan N2 dalam berbagai
proporsi) telah ditemukan efektif dalam memperpanjang masa simpan udang
kering (Vibulsresth, 1984). Sampel di udara pudar dan memiliki bau amonia yang
kuat dalam empat minggu, sedangkan masa simpan untuk sampel suasana
dimodifikasi adalah 12 minggu dengan retensi warna yang baik. Perubahan warna
dalam cumi kering kualitas tinggi dapat ditangkap sampai 90 hari dengan 0,6%
kalium sorbat ditambah 4,0% polymetaphosphate dip disesuaikan dengan pH 5,9
dengan asam asetat (Garnjanagoonchorn dan Lertsupakul, 1990).
Meskipun suasana diperkaya CO2 menunda pembusukan mikroba ikan,
teknik ini belum diadopsi oleh industri ikan segar di Asia, meskipun MAP telah
banyak diteliti dan ditinjau untuk cod Eropa (Dalgaard, 1993) dan untuk spesies
Australia oleh Statham dan Bremner (1989). Hal ini sebagian disebabkan oleh
kenyataan bahwa reaksi kimia yang menurunkan kualitas makanan laut tidak
hanya dilanjutkan tetapi bahkan dapat dipercepat dalam suasana dimodifikasi
(Haard, 1992). CO2 yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan warna dari
perut flaps, kemerahan sepanjang tulang belakang, pemutihan kulit, kenaikan rugi
tetes, menggelapkan otot merah, dan pelunakan daging. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa peningkatan nilai K ikan yang disimpan tidak terpengaruh
oleh penyimpanan suasana dimodifikasi. Selain itu, penggunaan campuran gas
dengan tingkat tinggi oksigen (untuk meminimalkan risiko botulisme) dan CO2
kadang-kadang mempercepat oksidasi lipid. Reaksi oksidatif ganda, seperti
pemutihan pigmen karotenoid, juga dapat terjadi pada tingkat yang lebih cepat
saat ikan diadakan pada konsentrasi oksigen yang dikurangi. Dengan demikian,
manfaat penyimpanan ini harus diuji pada kasus per kasus.

2. Penggunaan Bahan Kimia


Perhatian terbaru di seluruh dunia adalah penggunaan insektisida
sembarangan untuk mengendalikan lalat dan kumbang di pengeringan di tokotoko. Di beberapa negara, hal itu adalah umum untuk insektisida domestik seperti

22

Baygon dan Startox untuk disemprotkan langsung ke ikan (Esser et al., 1984).
Praktek ini ilegal di beberapa negara.
Penggunaan insektisida yang disetujui untuk mengendalikan serangga
selama penyimpanan ikan kering sekarang memiliki persetujuan FAO/WHO
Codex Alimentarius. Mencelupkan selama 15 detik di 0,03% emulsi
pirimifosmetil (Actellic, Silvosan) direkomendasikan untuk mencegah kutu
Blowfly selama pemrosesan. Ikan diperlakukan dengan cara ini dan kemudian
dikeringkan tetap bebas dari serangan kumbang selama 10 minggu. Residu dari
pengobatan ini adalah kurang dari rekomendasi FAO/WHO Codex Alimentarius,
tingkat maksimum untuk ikan kering (Esser et al., 1986).
a. Natrium dan Kalsium Propionat
Pengawet kimia ini direkomendasikan untuk pengendalian serangan
mikroba dan serangga dan tengik pada ikan kering. Campuran natrium
propionat dan bubuk garam dengan perbandingan 3:97 ketika membersihkan
secara seragam pada ikan kering dikemas dalam wadah yang sesuai akan
memberikan masa simpan 9 sampai 12 bulan bebas dari serangan jamur dan
serangan dari bakteri halofilik merah. Hal ini lebih baik dibandingkan dengan
masa penyimpanan normal untuk produk yang sama sekitar 2 bulan. Sebuah
alternatif yang lebih murah adalah dengan menggunakan kalsium propionat
sebesar 0,1% berat ikan kering.
Pengaplikasian dapat melalui 2 metode. Pada metode pertama,
campuran natrium propionat dan bubuk garam halus dalam rasio 3:97 dalam
kantong jala kasar adalah dibersihkannya seluruh permukaan ikan dengan
lembut dan seragam. Perawatan diambil untuk memastikan penerapan yang
seragam pada semua bagian ikan. Metode kedua tidak seefisien yang
pertama, hanya setelah tahap pengasinan, ikan direndam dalam air garam
jenuh yang mengandung 3% kalsium propionat. Kalsium propionat lebih
murah daripada natrium propionat dan digunakan di India untuk membuat
roti. Kalsium propionat tidak mempengaruhi warna, bau, atau rasa ikan. Ini
adalah bahan kimia pengawet yang aman, tidak berbahaya, dan diterima
untuk makanan.

23

Setelah perlakuan, ikan dikemas dalam karung goni dilapisi dengan


polietilen atau kertas poliester. Hasil perlakuan ini dalam perpanjangan masa
simpan sekitar 9 sampai 12 bulan bebas dari serangan jamur dan pembusukan
bakteri dari halof merah, yang terjadi setelah sekitar 2 bulan, produk yang
dikeringkan.

b.

Fosfin
Fumigasi dari gudang-gudang di Bombay dengan fosfin pada

konsentrasi 0,2-0,25 mg/liter ditemukan efektif untuk kontrol Dermestes sp


dan kumbang Necrobia rufipes. Fosfin sisa dalam fumigasi ikan kering jauh
lebih rendah dari rekomendasi Codex untuk biji-bijian dari 0,1 mg/kg.
Aplikasi telah dibuat oleh Institut Pusat Teknologi Perikanan (Central
Institute of Fisheries Technology/CIFT), Cochin India, untuk persetujuan
FAO/WHO Codex Alimentarius Joint Expert Committee on Food Additives
fosfin sebagai fumigan untuk ikan kering.
Fosfin untuk operasi skala kecil telah diusulkan pada tingkat dosis 80
g/m3 selama 2 jam dan 0,1 g/m3 selama 72 jam (FAO, 1981).

c.

Antioksidan
Pencoklatan/penguningan ikan kering melalui ketengikan oksidatif

adalah salah satu masalah utama yang dihadapi industri ikan kering. Hal ini
lebih dominan selama musim panas karena suhu yang lebih tinggi dan
kandungan lemak yang lebih tinggi dari ikan. Perubahan warna biasanya
dimulai di kepala, sirip, dan ekor dan otot yang berdekatan dengan tulang,
kemudian menyebar ke bagian lain dari ikan. Setelah studi dan uji coba
lapangan yang luas CIFT telah mengembangkan pengobatan yang mencegah
perubahan warna yang disebabkan oleh ketengikan oksidatif. Metode ini
menerapkan campuran antioksidan:
Butylated hydroxyl anisole (BHA) 19 g
Butylated hydroxyl toluene (BHT) 1 g
Asam Sitrat 5 g
Propilen glikol 100 ml

24

Campuran ini ditambahkan dengan rasio 1 ml per liter air asin dalam
proses basah dan pada tingkat 1 ml per kilogram garam untuk proses kering.
Selain meningkatkan penampilan produk kering, perlakuan ini efektif dalam
memperpanjang masa simpan melalui menunda timbulnya jamur dan
halophiles merah.
Perlu dicatat bahwa aditif ini diatur secara hati-hati di beberapa
negara dan mungkin tidak berlaku untuk makanan laut tertentu (Pigott dan
Tucker, 1990).

2.8.2.

Teknik Canggih
Meskipun sebagian besar dari buku ini berkaitan dengan pengeringan ikan

dan pengawetan menggunakan praktek-praktek tradisional, pengeringan udara


mekanik dan teknik pengeringan canggih lainnya yang banyak digunakan di
negara maju dan nontropis untuk pengeringan ikan. Pengering canggih berkisar
kecanggihan dari kandang sederhana dengan kipas total suhu udara dan
kelembaban kontrol.
Meskipun rol, semprot, vakum, vaccum-freeze, inframerah atau inframerah
jauh, dan jenis pengering lainnya yang tersedia untuk mengeringkan berbagai
produk ikan, beberapa jenis tidak cocok untuk ikan dan kerang utuh atau yang
sudah dipotong.
Berbagai nilai tambah produk dapat dibuat dari ikan pelagis kecil dan
udang bycatch, yang seharusnya dapat dibuang atau digunakan untuk pembuatan
konsentrat protein ikan. Sebuah makalah oleh Venugopal et al. (1992)
menjelaskan aplikasi ikan cincang untuk produksi produk tradisional seperti sosis,
pastel, roti, baso, wafer, roti, burger, ikan jari, ikan goreng, dan acar. Ikan cincang
dapat dikonversi menjadi tepung ikan, hidrolisat protein ikan, produk fermentasi,
dan dibuat makanan seperti surimi dan produk berbasis surimi, dan produk
ekstrusi dimasak.
Berikut ini adalah deskripsi dari vakum pengeringan beku, pengeringan
infra merah jauh, dehidrasi dengan minyak panas, dan distilasi azeotropik sebagai
teknik-teknik canggih untuk pengolahan produk ikan kering.

25

1.

Pengeringan Inframerah Jauh


Sinar infra merah adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang

gelombang dalam kisaran 0,8 m sampai 1 mm. Panjang gelombang daerah 4-5,6
m sampai 1 mm disebut inframerah jauh (far infrared/FIR). Panjang gelombang
yang paling penting yang digunakan secara komersial adalah dalam kisaran dari
2,5 m sampai 20-25 m.

Gambar 2.11. Alat Pengering Inframerah Jauh


[Sumber:http://i01.i.aliimg.com/photo/v10/934163765/Far_infrared_screen_printi
ng_conveyor_font_b.jpg ]

Ada dua jenis pemanas FIR. Salah satunya adalah terbuat dari keramik dan
yang lainnya adalah logam dilapisi dengan bahan FIR generatif.
Sumber pemanasan yang digunakan adalah listrik, uap, minyak, dan gas
kota. Pilihan yang lebih disukai untuk pengering di Jepang adalah gas kota, yang
menyediakan cepat, tidak berbau, tanpa asap. Biaya menggunakan gas kota lebih
rendah daripada dengan pemanas listrik (Matsuura, 1987).
Makerel dapat dikeringkan secara efektif menggunakan FIR dengan panel
keramik horisontal mengarahkan panas ke bawah. Pemanasan Downward
meminimalkan kerugian daya dan menghindari kontaminasi pemanas dari
pengeringan cairan dari ikan. Untuk pengeringan seragam, jarak dari pemanas dari
ikan harus sekitar 20 cm. Suhu ikan tidak boleh melebihi 35C untuk produk
berkualitas tinggi (Yamada dan Wada, 1988).
Penilaian organoleptik oleh lima belas panelis menemukan bahwa ikan
kering oleh udara panas dan FIR yang lebih baik dalam penampilan daripada ikan
dijemur. Ada sedikit perbedaan dalam komposisi kimia antara udara-panas dan
produk FIR-kering. Dalam beberapa kasus, ikan FIR-drying menunjukkan warna

26

dan kecerahan jauh lebih baik daripada udara-panas dan ikan dijemur. Ikan yang
mengalami pengeringan FIR mempertahankan kandungan nukleotida lebih tinggi
dan aktivitas yang lebih rendah dari asam fosfatase dibandingkan dengan ikan
dijemur (Kubota, 1975; Yamada dan Wada, 1988).
"Tatami-iwashi" adalah jenis sarden kering atau ikan teri yang dipotong
disusun seperti lembaran persegi tipis. Karena ikan dalam ukuran kecil,
pembusukan berlangsung cepat selama pengeringan. Hal ini disebabkan proporsi
yang lebih kecil dari otot steril ke permukaan kulit dan massa visceral; dengan
demikian, sangat penting untuk cepat mengering untuk produk berkualitas baik.
Waktu pengeringan yang diperlukan untuk mencapai kadar air 30% (basis kering)
pada ikan bervariasi tergantung pada metode pengeringan: 120 menit untuk
penjemuran, 90 menit untuk udara panas, dan 45 menit untuk FIR, masingmasing. Oleh karena itu, FIR adalah pilihan yang disukai sehubungan dengan
kecepatan pengeringan.
Tekstur ikan bergantung pada konsentrasi bahan bumbu dan laju
pengeringan. Dengan pengeringan FIR, kadar air dalam ikan adalah 80% dan 50%
setelah pemanasan 60 menit dan 120 menit dengan suhu plat 100C; 60% dan
40% setelah pemanasan 60 menit dan 100 menit pada 200C; dan 30% setelah
pemanasan 60 menit pada 300C. Dalam rentang suhu dari 100C sampai 300C,
pemanasan pada 200C memberikan kualitas terbaik dengan ikan kering,
sedangkan pemanasan pada suhu 300C membuat tekstur daging terlalu keras.
Pada suhu plat setinggi 300C, ada dehidrasi cepat otot ikan serta denaturasi
parsial protein otot (Tokunaga, 1987). Tekstur daging ikan Novodon medestus,
adalah mudah dikeraskan oleh bumbu dan proses pengeringan. Suhu daging tidak
melebihi 20C selama proses pengeringan dengan suhu plat 100C dan
menghasilkan ikan kering tidak utuh yang mengandung lebih dari 50% air setelah
pemanasan selama 120 menit. Pemanasan pada 200C selama 60 menit
mengangkat suhu daging sampai sekitar 30C, dan ikan mulai mengering. Ikan
yang dipanaskan 100 menit merupakan produk dengan kualitas terbaik. Namun,
tidak mudah untuk memproduksi ikan kering dari kualitas yang dapat diterima
jika dipanaskan setinggi 300C karena suhu tinggi menyebabkan tekstur daging
keras karena dehidrasi cepat dan denaturasi panas protein daging pada satu sisi,

27

dan perubahan warna karena kematangan reaksi nonenzimatik di sisi lain


(Tokunaga, 1987).
Untuk ikan teri kering yang direbus, matahari atau pengeringan udara
panas memerlukan lebih banyak waktu untuk dehidrasi dan membutuhkan
penanganan yang lebih manual, tapi pengeringan FIR dapat mempersingkat waktu
pengeringan menjadi setengah dan dengan udara panas memberikan pengurangan
dalam biaya 30% sampai 50% (Matsuura, 1987).

2.

Pengeringan Destilasi Azeotropik


Badan Perikanan Pemerintah Jepang mengembangkan bentuk komersial

pertama surimi kering bertekstur disebut Marinbeef (Paten Jepang, 1975, 1979,
1981). Produk dalam bentuk kering hanya berisi jejak lemak dan dapat disimpan
dalam waktu lama tanpa pendinginan. Ada dua jenis proses produksi, satu untuk
pengolahan ikan ramping dan satu lagi untuk ikan berlemak seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.5. Cincangan yang dicuci dan ditekan tersebut
kemudian diremas-remas dengan natrium klorida (1,0-1,5%) dan natrium
bikarbonat (pH 7,4-7,8). Hasilnya dilewatkan melalui extruder dan dicampur
dengan etanol pada suhu 5-10C. Protein dalam pencucian cincangan yang
digumpalkan dengan menambahkan etanol, dan lemak setiap sisanya diekstraksi
ke dalam pelarut. Materi yang dikenakan ekstraksi etanol kedua di mana
campuran direbus untuk menghilangkan lemak secara menyeluruh. Kemudian
etanol akan dihapus oleh sentrifugasi. Produk ini ditransfer ke pengering dengan
udara panas (sekitar 70C) untuk menguapkan sisa etanol dan air. Kadar air yang
terakhir adalah kurang dari 10%, yang memungkinkan produk yang akan stabil
selama penyimpanan pada suhu kamar.

28

Gambar 2.12. Alur proses produksi surimi bertekstur (Marinbeef)

Produk adalah granul berwarna putih atau abu-abu berwarna tanpa bau
amis dan rasa. Granul kering mengembang dalam air untuk sekitar lima kali berat
kering dalam 15 menit pada suhu kamar. Tekstur produk direhidrasi mirip dengan
daging rebus dan cincang (Suzuki et al., 1978), tetapi tidak memiliki kemampuan
mengembang. Komposisi diberikan dalam Tabel 3.1.

Tabel 2.3. Komponen kimia dari surimi bertekstur kering


Komponen

Jumlah

Kelembaban

8%

Protein

91,8%

Abu

3,5%

Karbohidrat

Tidak terdeteksi

Kalori

381 kkal/100 g

Natrium

818mg%

Kalsium

523mg%

Fosfor

395mg%

Besi

20,3mg%

Kadar protein dari produk setara atau lebih tinggi dari konsentrat protein
ikan dan protein kedelai terkonsentrasi. Komposisi asam amino dan keseimbangan

29

asam amino esensial dalam produk ini hampir sama dengan yang ada pada daging
ikan asli. (Suzuki et al., 1978).

2.8.3. Teknologi yang Terlupakan


Perkembangan pengolahan ikan yang tidak banyak digunakan saat ini
disajikan di sini. Ada banyak alasan untuk tidak menggunakannya. Beberapa,
meskipun secara teknis terbukti di laboratorium dan skala semikomersial, tidak
menarik modal yang cukup untuk pengembangan komersial skala penuh. Hal
lainnya adalah teknik yang menghasilkan kualitas produk yang lebih tinggi,
dimana harga dan hasilnya tidak sebanding untuk bersaing dengan produk-produk
tradisional. Teknik lainnya dikembangkan di tempat yang salah pada waktu yang
salah dan telah cukup dilupakan.

1.

Ikan Dehidrasi Dikemas dalam Kaleng


Penyimpanan ikan dehidrasi dikemas dalam kaleng dipelajari oleh

Research Station Torry, Aberdeen, selama pertengahan 1940-an (Cutting et al.,


1956). Sampel ikan putih, ikan putih asap, ikan haring, ikan haring asap, mullet
abu-abu, salmon, ikan kacangan, dan kakap putih dikeringkan menggunakan
proses dehidrasi standar dalam alat pengeringan mekanik. Penyimpanan pada
suhu kamar adalah antara dua dan tiga tahun. Produk tahan lebih lama (sampai
lima tahun) bila disimpan dalam kaleng diisi dengan nitrogen. Suhu penyimpanan
memiliki efek yang ditandai dengan kaleng disimpan pada suhu rendah (10-15C),
semua bertahan lebih lama daripada yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi.
Tidak ada gambaran yang jelas mengenai efek kadar air pada kehidupan
penyimpanan ikan kering dikemas dalam kaleng. Pekerjaan di Torry tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara kehidupan penyimpanan dan kadar
air pada rentang 2-16%. Namun, hasil US dikutip menunjukkan bahwa sifat
penyimpanan ikan dehidrasi meningkatkan dengan menurunkan kadar air; di sisi
lain, bekerja di Afrika Selatan menyarankan sebaliknya.
Dalam pengeringan udara dari lemak ikan diharapkan bahwa oksidasi
cepat lemak akan terjadi selama pengeringan, yang mengarah ke tingkat
ketengikan yang tidak dapat diterima. Hal ini tidak terjadi pada tingkat yang

30

diharapkan tersebut diberikan untuk pembentukan zat anti-oksigenik terbentuk


dari konstituen non lemak tertentu dari daging ikan, yang memecah selama
pengeringan. Anti-oksidan dapat terbentuk ketika ikan dimasak sebelum
pengeringan atau selama pengeringan jika suhu udara cukup tinggi (80-90C).
Namun, suhu yang lebih tinggi juga bisa mengakibatkan peningkatan ketengikan
oksidasi lemak pada suhu yang lebih tinggi akan menjadi reaksi dominan. Sebuah
program pengeringan direkomendasikan untuk ikan haring awalnya kering pada
80C dengan penurunan progresif dalam suhu 70C sebagai hasil pengeringan.
Kesegaran awal ditemukan memainkan peran penting dalam stabilitas ikan haring
dehidrasi: bahan baku lebih segar, produk kering lebih stabil. Pengasapan selama
pengeringan

ditemukan

secara

signifikan

mengurangi

ketengikan

dan

meningkatkan kehidupan penyimpanan lemak ikan.

2. Vacuum-Freeze-Drying
Ketika ikan dikeringkan, baik dengan sinar matahari atau pengering
mekanis pada tekanan atmosfer, perubahan ireversibel terjadi pada protein dengan
hasil itu, ketika dilarutkan, ikan menyerap air perlahan-lahan dan kehilangan
tekstur asli dari daging segar.
Kanna et al. (1971) menemukan bahwa pengeringan ikan sea bass di udara
pada 20C menyebabkan denaturasi hampir semua protein myofibrillar pada otot
yang mengakibatkan hilangnya kelarutan dalam larutan garam. Namun, freezedrying dan pengeringan silika gel pada 0C menyebabkan sedikit denaturasi
protein otot dan sedikit berkurangnya penurunan kelarutan dalam larutan garam.
Otot pada freeze-drying ringan dan berpori, sedangkan kedua otot pada
pengeringan udara dan silika gel adalah kurus dan kohesif. Ketika direndam
dalam air, baik silika gel dan vakum kering dilarutkan dengan cepat untuk
memberikan tekstur dan penampilan yang sangat baik, tapi tidak demikian dnegan
otot ikan pada pengeringan udara. Temuan menunjukkan bahwa denaturasi
protein dan rehydratability otot ikan kering tergantung pada suhu proses
pengeringan.
Untuk pengeringan vakum pada skala industri, ikan ditempatkan pada
nampan atau ikat dalam ruang tertutup. Suhu dan tekanan berkurang dan produk

31

menjadi beku. Setelah vakum cukup tercapai, ikan beku hati-hati dipanaskan oleh
gulungan air panas atau pemanasan resistensi listrik sehingga es menyublim
langsung ke uap tanpa mencair dalam ikan.
Surimi Vacuum-Freeze-Drying diproduksi secara komersial di Jepang
untuk digunakan sebagai bahan pengikat dalam mempersiapkan telur ikan haring,
blok fillet, dan produk struktural dari daging sapi, babi, dan ayam. Proses ini
dimulai dengan pencucian daging dalam larutan kekuatan ion rendah untuk
menghilangkan senyawa larut dalam air dan beberapa lipid. Sebuah konsentrasi
yang cukup dari sukrosa ditambahkan dengan sejumlah kecil polifosfat
melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan dan penyimpanan; Namun,
di atas 5% berat basis basah, ada sedikit perbaikan dalam stabilitas. Bahan
Vacuum-Freeze-Drying memiliki luas permukaan 80-160 kali lebih banyak dari
bahan pengeringan udara (Ohata et al., 1967).
Dengan demikian, bahan pengeringan udara jauh lebih rentan terhadap
pengaruh lingkungan penyimpanan. Protein kering lebih stabil pada kelembaban
relatif rendah (Matsuda, 1983a); Namun, stabilitas penyimpanan tidak meningkat
secara signifikan di bawah kelembaban relatif (RH) 15% pada 20C atau di bawah
10% pada 35C. Penyimpanan suhu rendah penting untuk mempertahankan fungsi
yang baik di surimi freeze-drying (Matsuda, 1983b). Kehadiran oksigen
tampaknya memiliki sedikit efek buruk pada stabilitas surimi freeze-drying bila
disimpan pada kelembaban relatif 18% pada 30C (Matsuda, 1983c). Ketika suhu
pelat pada 60C dan tekanan absolut 0,18-0,03 Torr digunakan untuk pengeringan
beku, aktivitas total ATPase dari bubuk surimi tidak berubah secara signifikan
selama penyimpanan lima bulan pada 15C dalam desikator (RH = 15%).

32

Gambar 2.13. Vacuum-Freeze-Dryer


[Sumber: http://i00.i.aliimg.com/img/pb/965/707/469/469707965_566.jpg ]

3.

Pengeringan dengan Minyak Panas


Pengeringan bahan dengan minyak panas cocok untuk biaya murah,

makanan yang diproduksi secara massal; misalnya, mie Cina siap makan.
Dehidrasi ikan dalam minyak panas memberikan kualitas yang sangat baik untuk
produk sebanding dengan freeze-drying (Abrahami dan Naismith, 1968).
Mengingat bahwa sintetis anti-oksidan ditambahkan ke minyak, sinergi dengan
anti-oksidan alami dalam ikan dapat berkontribusi pada stabilitas minyak pemanas
dan dengan demikian untuk kualitas produk akhir.
Dalam pengeringan minyak panas aktual (Nakazono, 1985), uap
dipanaskan pada 170C dan 70 tekanan kPa diumpankan ke bagian luar kompor
berjaket ganda (kapasitas 10 m3). Minyak nabati (3000 kg) dipanaskan sampai
120C. Sebuah bets berisi 3000 kg ikan dimasukkan dalam minyak panas, diaduk,
dan dehidrasi dalam kondisi vakum pada 100C selama 90 menit. Uap dari ikan
diambil oleh ejektor. Dengan menyesuaikan tekanan bagian dalam jaket sampai
100 kPa, kadar air ikan material dapat turun menjadi 4-6%.
Ketika sarden dikeringkan dengan metode ini, produk kering terdiri lebih
dari 70% protein mentah, minyak 1%, 6% air dan 4900 mg% kalsium. Yield
adalah sekitar 24%.
Dehidrasi pada tekanan yang berkurang memfasilitasi pemindahan air dari
ikan yang dipanaskan dalam minyak. Suasana vakum sekitar ikan mengurangi
titik didih minyak pemanas, yang menghambat laju oksidasi dan ketengikan.
Dalam sebagian besar proses pengeringan film membran gelatin menutupi

33

permukaan ikan cenderung menghambat penguapan air; Namun, suhu rendah


minyak cenderung untuk menghindari transformasi kolagen-gelatin dan dengan
demikian memungkinkan difusi bebas air dari ikan.

Gambar 2.14. Alat Pengeringan dengan Minyak Panas


[Sumber:http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/1199191254/shijiazhuang_hot_oil_dryi
ng_type_gypum_board.jpg ]

2.8.4.

Contoh Produk Pengeringan

1. Pengasinan dan Pengeringan Ikan di Malaysia


Sebagian besar dari ikan di Malaysia diasinkan dan dikeringkan. Varietas
ikan yang biasa diasinkan dan dikeringkan yaitu:
1. Ikan gelama (Sciaena spp.)
2. Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta)
3. Ikan Duri (Tachysurus kanagurta)
4. Ikan Tamban (Sardinella spp.)
5. Ikan Merah (Lutianus spp.)
6. Ikan Kerisi (Nemipterus spp.)
7. Ikan Selar (Selaroides spp.)
8. Ikan Pelata (Caranx djeddaba)
9. Ikan Selayang (Decapterus russelli)
10. Ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis)
11. Ikan Bilis (Stolephorus spp. Anchoviella spp.)
12. Ikan Teri (Stolephorus spp.)
13. Cumi-cumi
14. Ubur-ubur

34

2. Pengasinan dan Pengeringan Ikan di Thailand


Jumlah terbesar dari produk laut yang diasinkan dan dikeringkan di
Thailand adalah udang, lalu cumi-cumi (Loligo formosana), kemudian kerang dan
ikan-ikan lainnya. Beberapa spesies ikan laut yang dikeringkan dan diasinkan
adalah ikan kembung (Rastrelliger brachysoma), yang biasa dijadikan makanan
ringan di Thailand. Untuk ikan air tawar, ikan sepat siam dan gurami
(Trichogaster pectoralis) merupakan favorit di Thailand untuk diasinkan dan
dikeringkan karena harganya yang tinggi dan dikonsumsi oleh kalangan atas. Ikan
duri (Puntius gonionotus) dan ikan kepala ular (Chana striatus) juga cukup sering
diasinkan dan dikeringkan.

3. Makanan Ringan Ikan Kering Berbumbu di Taiwan


Beberapa ikan kering yang diberi bumbu dan dijadikan makanan ringan
adalah sebagai berikut:
1. Makanan ringan kering berbasis surimi
2. Tuna Candy
3. Cumi-cumi kering berbumbu
4. Telur ikan mullet kering asin

2.9.

Kualitas
Kualitas ikan kering yang penting diperhatikan adalah rasa, aroma,

penampilan, nilai nutrisi, dan masa simpan. Hal lainnya yang penting bagi
konsumen adalah harga, ketersediaan, dan gaya presentasi penjualan. Misalnya,
apakah ikan kering berupa ikan utuh, dipotong-potong, atau fillet. Secara umum,
Kualitas yang paling umum untuk ikan kering adalah organoleptis (warna, rasa,
aroma, tekstur).

1. Kualitas sensori
Pengolahan ikan kering, seperti proses pemanasan atau penggaraman,
dapat menyebabkan perubahan terhadap protein dan tekstur ikan. Oleh karena itu,
dilakukan pemeringkatan kualitas ikan kering didasarkan pada ukuran dan
evaluasi organoleptis (penampilan dan rasa).

35

Tabel 2.4. Parameter Organoleptis


Parameter organoleptis Indeks

kualitas

tradisional

dianjurkan

Kelembaban

kelembaban

yang Standar

<20 %, stabil pada suhu


kamar
>30 %, harus disimpan
dalam kulkas

Ukuran

berat

110-150 g/ potong
(kelembaban 20%)

Kegelapan lapisan luar

Browning index (420 nm) <2,1

Bentuk lapisan luar

sensoris

Sebaiknya

datar

tanpa

kerutan
Tekstur setelah hidrasi Kemampuan rehidrasi

>2,95 g air/ gram

atau dimasak
Kemanisan

Asam amino manis : >20 (rata-rata 22,81 mol)


prolin, alanine, glisin

Aroma

yang

tidak Kadar senyawa N mudah

diinginkan (amonia)

menguap:
Volatile Base Nitrogen

<124 mg-N/ 100 g

NH3

<86 mg-N/ 100 g

a. Warna dan penampilan


Pengasapan dapat mengubah warna ikan menjadi gelap, atau jingga gelap.
Karotenoid berperan memberikan warna kepada bebarapa produk ikan. Pigmen
karotenoid seperti karoten dan xantofil dapat mengalami perubahan selama
pemrosesan dan penyimpanan ikan kering. Oksidasi karotenoid dapat terjai
karena autooksidasi oleh oksigen atmosfer, dan tergantung oleh cahaya, suhu,
dan kehadiran antioksidan. Oksidasi karotenoid ini dapat menyebabkan ikan
yang dikeringkan kehilangan warna merah cerahnya.
b. Browning/ pencoklatan
Reaksi pencoklatan adalah salah satu hal yang terjadi selama proses dan
penyimpanan ikan kering. Selain mempengaruhi penampilan, pencoklatan dapat

36

mempengaruhi rasa, nutrisi, dan keamanan ikan kering. Perubahan warna ini
berasal dari reaksi antara protein dan atau asam amino dengan produk karbonil
hasil oksidasi lemak dalam ikan. Pencoklatan ini lebih cenderung terjadi pada
daerah lemak ikan daripada di dagingnya. Suhu merupakan faktor yang paling
penting dalam mempengaruhi kecepatan pengoklatan. Suhu di atas 25 oC dapat
mempercepat reaksi pencoklatan, sementara di bawah 20 oC, pencoklatan
menurun.
c. Rasa dan aroma
Komponen yang memberikan rasa pada ikan yang dikeringkan adalah
asam amino, peptida, asam organik dan mineral (Finne, 1992, Cha et al., 1985).
Aroma khas ikan kering muncul dari pembentukan senyawa aromatis selama
proses pengeringan, misalnya dari hidrolisis asam lemak bebas. Hidrolisis
protein juga memberikan rasa tertentu pada ikan yang diasinkan.

2. Nilai nutrisi
Proses pengasinan dan pengasapan ikan dapat menyebabkan hilangnya
protein hingga 5 %. Namun, pengasapan ikan tidak memiliki dampak signifikan
terhadap nilai nutrisi ikan secara keseluruhan. Kandungan lemak dalam ikan
bervariasi dari 1 hingga 20 %. Asam lemak omega-3 (asam eikosapentanoik dan
dokosaheksanoik) memiliki efek baik terhadap kesehatan manusia (Kinsella,
1987). Asam lemak tak jenuh tersebut sangat rentan terhadap oksidasi, sehingga
manfaat dari asam lemak tersebut akan menurun jika ikan dikeringkan atau
dipanaskan. Namun, pemrosesan yang tepat akan menyebabkan hanya sedikit
penurunan komposisi asam lemak.

3. Kontaminasi bakteri
Pengasinan atau pengasapan ikan dapat mengurangi jumlah kontaminasi
mikroba. Contohnya, pengasinan dan pengasaman ikan mackerel menurunkan
hitungan log rata-rata mikroba dari 6,96 per gram menjadi 3,64 per gram, dan
hitungan log Lactobacillus dari 5,51 CFU per gram menjadi 3,19 per gram (Scott
et al., 1986). Pengasapan ikan sarden selama 2 jam dengan suhu 30oC dan 45
menit dengan suhu 75oC mengurangi hitungan total bakteri aerobik hingga 2

37

siklus log. Namun, pembuatan yang tidak higienis dan penyimpanan yang tidak
baik dapat meningkatkan kontaminasi hingga 106 per gram atau lebih tinggi.
Menurut Schulze dan Zimmermann (1983), nilai tertinggi yang dapat diterima
adalah 106 per gram. Sementara untuk Enterobacter, Pseudomonas, Aeromonad,
hanya 104 per gram. Pengeringan dan pengasapan tidak menginaktivasi semua
kemungkinan kontaminasi, seperti jamur. Kelembaban yang tinggi meningkatkan
resiko kontaminasi akibat tingginya aktivitas air.
Ikan yang diasinkan sedikit dan ikan asap mungkin tercemar oleh toksin
Clostridium botulinum jenis E, jika bahan ikan awalnya terkontaminasi dan proses
pengolahan tidak menghancurkan toksin. Artinya spora masih terdapat pada
bagian daging ikan yang tebal. Jika kondisi penyimpanan kondusif bagi
pertumbuhan Clostridium, maka spora akan aktif dan toksin diproduksi.
Pengasapan pada kondisi kelembaban tinggi lebih efektif untuk menginaktivasi
spora. Pengasapan dan NaCl terbukti menghambat produksi toksin tipe E dan tipe
A pada ikan (Ecklund et al., 1982). Untuk meyakinkan, pemanasan sebaiknya
dilakukan selama 30 menit pada suhu 820C dan direndam pada air garam 3,5 %.
Contohnya, pengasapan mackerel yang dimulai pada suhu 600C dan dinaikkan
100/ 10 menit hingga mencapai 900C di daerah daging ikan yang tebal dapat
menurunkan spora Clostridium botulinum tipe E hingga 12 siklus log. Sebagai
alternatif dapat dilakukan pemanasan pada ikan kering atau asap yang dikemas
vakum, selama 55 menit pada suhu 92,20C.
Kontaminasi bakteri diuji dengan menghitung Total Bacterial Count/ Total
Viable Count. Hitungan bakteri dilaporkan sebagai jumlah bakteri yang ada dalam
per gram permukaan ikan. Metode membutuhkan pemindahan aseptis sampel,
maserasi, dan pengenceran dengan cairan steril hingga konsentrasi tertentu, dan
ditumbuhkan pada media tumbuh yang sesuai. Inkubasi dilakukan pada suhu
konstan. Hasil dihitung dari koloni yang tampak/ tumbuh. Namun tidak ada satu
metode yang bisa mewakili keseluruhan, kaerna masing-masing bakteri memiliki
kecenderungan untuk tumbuh pada nutrien, pH, dan suhu tertentu. Bakteri tertentu
memiliki suhu optimum pertumbuhan tertentu. Penghitugan total bakteri
sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan jenis bakteri apa saja yang

38

mungkin terdapat. Pemilihan suhu harus berada dalam rentang Tmin Tmax
bakteri yang mungkin ada.
Suhu standar yang diterima untuk pengukuran TVC adalah 250C atau
200C. Untuk ikan-ikan tropis, bakteri psikotropik biasanya mendominasi, dengan
suhu optimum pada rentang 240C hingga 390C. E.coli merupakan indikator yang
digunakan untuk pemrosesan yang tidak higienis. Adanya E.coli mengindikasikan
kontaminasi produk, karena merupakan bakteri patogen. Metode standar yang
digunakan India adalah menggores 0,5 ml pengenceran pertama ke agar Tergitol 7
dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.

Tabel 2.5. Suhu Tumbuh untuk 34 Strain Bakteri (McMeekin et al., 1993)

4. Kontaminasi Jamur dan Mikotoksin


Ketika terdapat Aspergillus flavus pada ikan kering, terjadi kemungkinan
produksi aflatoksin. Beberapa sampling ikan kering yang dijual di pasar-pasar di

39

Indonesia (Wheeler et al., 1986) dan Thailand (Phillips dan Walbridge, 1977)
menunjukkan bahwa ikan kering terkontaminasi A.flavus, namun tidak terdapat
aflatoksin. Diperkirakan bahwa A.flavus tersebut ada sebagai kontaminan dan
tidak mengalami pertumbuhan. Penelitian menunjukkan bahwa germinasi A.flavus
berjalan cepat saat aktivitas air/ water activity melebihi 0,95. Oleh karena itu,
pengeringan ikan dilakukan untuk mengurangi aktivitas air supaya mencegah
germinasi A.flavus dan produksi aflatoksin. Ikan kering yang diiradiasi sinar
gamma 0,625 hingga 5,00 KGy dapat menginaktifkan spora A. flavus. Jumlah
aflatoksin B1 menurun seiring dengan meningkatnya dosis iradiasi gamma.
Penurunan jumlah mikroorganisme lebih efisien jika mengkombinasikan iradiasi
dengan panas atau pengasinan.
Kontaminasi jamur dapat dicek dengan melakukan fungal count
menggunakan agar Rose Bengal Chloramphenicol (RBC). 25 g sampel diblender
dengan 225 ml air pepton 0,1 %. Kemudian, 0,1 ml dari sampel tersebut
disebarkan pada permukaan medium. Medium kemudian diinkubasi pada suhu
28oC atau suhu ruang selama 3-5 hari. Total koloni jamur dihitung dan ditulis
sebagai cfu/g (Immaculate, Sinduja, Velammal, dan Patterson, 2013).

5. Parasit
Salah satu cemaran yang mengkhawatirkan pada ikan kering adalah
kemungkinan adanya parasit. Untuk membunuh larva Anisakisdibutuhkan
pemanasan 600C selama minimal 1 menit. Menurut Gardiner (1990), fillet salmon
yang diasinkan selama 15 jam dalam campuran garam dan gula lalu diasap selama
12 jam pada suhu 26oC dapat tercemar larva selama penyimpanan 27 hari pada
suhu 40 oC. Cara yang efektif untuk mengeliminasi resiko parasite adalah
membekukan produk ikan atau disimpan pada suhu 20 oC selama minimal 3 hari.

6. Hidrokarbon polisiklik aromatis dan senyawa mutagenik lain


Ikan kering yang diasapkan dapat terkomtaminasi oleh hidrokarbon
polisiklik aromatis, seperti benzo()piren yang bersifat karsinogenik. Konsentrasi
benzopiren pada ikan asap sekitar 0,5-3,5 g/g, tergantung ukuran dan preparasi
ikan tersebut.

40

Pengasapan juga dapat membentuk senyawa N-nitroso akibat reaksi antara


nitrogen oksida dengan amin sekunder. Ikan kaya akan amin, sementara nitrogen
oksida terdapat pada asap dari kayu. Mutagen lain seperti senyawa mengandung S
dan N dapat terbentuk jika ikan dipanaskan pada temperatur lebih dari 100 oC.
contohnya adalah benzotiofenon dan karbazol.

7. Penanganan bahan mentah


Penanganan ikan segar harus dilakukan dengan baik. Penanganan yang
kasar dapat mengubah tekstur daging ikan, sehingga jika ingin dikeringkan dalam
bentuk fillet menjadi kurang baik. Hal ini dikarenakan terjadi degradasi kolagen
yang mengikat komponen otot-otot ikan bersama. Oleh karena itu, harus
dipastikan bahwa penanganan ikan segar pasca panen dilakukan dengan baik.

8. Masa simpan
Masa simpan ikan merupakan sifat fungsional yang penting. Masa simpan
dinyatakan dalam hari atau minggu setelah pemrosesan. Ikan yang mengandung
sekitar 5,5% NaCl dan diasapkan selama 6-7 jam pada 35 oC, memiliki waktu
simpan selama 2 bulan pada 10 oC.

9. Parameter Kimia
a. Total Volatile Nitrogen (TVN)
Pengukuran TVN menggambarkan cemaran dalam ikan, namun tidak
cocok untuk spesies seperti ikan hiu, udang, dan gurita, karena spesies-spesies
tersebut mengandung urea yang tinggi. Selama proses dan penyimpanan, asam
amino dalam ikan dapat berubah menjadi amonia, trimetilamin, dan
dimetilamin. Perubahan asam amino tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya
enzim, bakteri, atau fungi. Ikan berkualitas baik memiliki nilai TVN yang
rendah. Nilai TVN yang dapat diterima adalah 35-40 mg/100 g. Di atas nilai
tersebut, ikan dianggap tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Metode umum
yang digunakan mengacu pada Conway dan Byrne (1933), dimana sampel
ikan diekstraksi dengan asam trikloroasetat. TVN dalam ekstrak kemudian
dibebaskan oleh kalium karbonat dan diperkirakan.

41

b. Peroxide Value (PV)


Minyak dalam tubuh ikan mudah teroksidasi oleh oksigen di atmosfer,
menghasilkan bau yang amis. Uji kimia untuk mengukur tingkat oksidasi yang
menyebabkan keamisan adalah penentuan nilai peroksida dan asam
tiobarbiturat. Sampel dari ikan kering dikeringkan dengan natrium sulfat
anhidrat dan diekstraksi dengan kloroform yang didestilasi. Alikuot kemudian
ditambahkan asam asetat glasial dan larutan kalium iodida, kemudian iodin
yang bebas dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat.
c. Free Fatty Acids
Keamisan ikan dapat disebabkan hidrolisis enzimatik yang menyertai
autolisis lipid. Produk akhir dari hidrolisis ini adalah asam lemak dan gliserol.
Asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi daripada ester lemak. Metode uji
dilakukan dengan mengeringkan sampel dengan natrium sulfat anhidrat, lalu
diekstraksi dengan kloroform yang didestilasi. Kloroform kemudian diuapkan
di tangas air, dan residu dilarutkan dalam alkohol netral, lalu dititrasi dengan
larutan basa.

10. Penentuan kadar garam


Sampel ikan asin kering dihaluskan dan ditimbang tepat sekitar 2 gram
dan diabukan. Kemudian hasil dilarutkan dengan akuades dan diencerkan hingga
volume tertentu dan dianalisis dengan flamefometer menggunakan standar larutan
NaCl dengan kadar Na 10 ppm. Cara lainnya adalah menimbang 2 gram sampel
yang telah dihaluskan, kemudian ditambahkan air panas sehingga garam menjadi
larut. Larutan diencerkan menjadi 100 ml dan diambil sebanyak 10 ml. titrasi
dilakukan dengan AgNO3 0,1 N menggunakan K2Cr2O4 5%.
11. Tipe kemasan
Kemasan harus dapat melindungi produk ikan kering selama proses
distribusi. Jenis dan bentuk kemasan juga dapat mempengaruhi konsumen.
Misalnya, dikemas vakum, dalam plastik biasa, atau dalam kaleng.

42

Sampling
Sampel yang diambil harus dapat mewakili sifat keseluruhan produk.
Terdapat dua sistem sampling: memotong area tertentu dari anatomi ikan, atau
mengambil keseluruhan ikan. Untuk metode pertama, biasa diambil 1g, sementara
metode kedua diterapkan untuk ikan-ikan yang kecil.

Penilaian kualitas didasarkan pada pengukuran satu atau lebih indikator


kualitas. Kualitas yang rutin diukur untuk kualitas ikan yang dikeringkan dan
diasap adalah Total Viable Count (TVC), Peroxide Value (PV), Total Volatile
Nitrogen (TVN), dan Free Fatty Acid (FFA). Sementara uji lain yang dapat
dilakukan adalah mengukur kandungan kelembaban, aktivitas air, dan kandungan
garam.

2.10. Quality Assurance


Pada prinsipnya, Quality assurance ini terdapat pada beberapa titik penting, yaitu:
1. Penanganan ikan yang akan diawetkan secara hati-hati dan cepat sehingga
proses dapat dimulai tanpa hambatan.
2. Pemeliharaan area kerja dan peralatan agar dalam keadaan bersih dengan
cara pencucian yang bersih sebelum memulai pekerjaan dan setelah selesai
melakukan pekerjaan.
3. Pembuangan limbah secepat mungkin.
4. Menggunakan garam berkualitas baik dan memastikan bahwa produk telah
dibubuhkan garam secara seragam.
5. Memastikan tidak ada hewan pengerat maupun hewan lainnya di dalam
tempat proses pengawetan dilakukan.
6. Pengeringan ikan yang dilakukan di atas rak atau papan yang diangkat
dengan menggunakan jaring untuk mencegah kontaminasi.

Sistem dari quality assurance ini dibuat berdasarkan Hazard Analysis


Critical Control Points (HACCP) untuk ikan segar. Harus diingat bahwa sistem
HACCP ini bukanlah sistem quality assurance, berdasarkan inspeksi atau
merupakan suatu sistem yang diacu oleh suatu standar kualitas. HACCP quality

43

assurance merupakan sebuah strategi preventif berdasarkan perencanaan dan aksi


sistematis untuk memberikan keyakinan bahwa produk ini akan mencapai standar
kualitas yang diinginkan.
Critical Control Point (CCP) adalah sebuah lokasi, prosedur atau langkah
produksi dimana bahaya dapat dikontrol. Ketika CCP dapat mengeliminasi sebuah
bahaya, hal ini dinamakan sebagai CCP-1. Sedangkan ketika CCP dapat
meminimalkan bahaya tetapi tidak sepenuhnya dapat mengontrolnya, hal ini
disebut sebagai CCP-2. CCP merupakan langkah pencegahan, pada langkah itu,
untuk bahaya yang teridentifikasi. Apabila tidak, tidak ada CCP.

Tabel 2.6. Langkah-langkah penentuan HACCP

a. HACCP pada ikan kering dan diasinkan


Metode ini dapat digunakan untuk ikan asin dan ikan kering yang dibuat
dengan metode tradisional menggunakan prinsip dasar dari pengasinan dan
pengeringan digabungkan dengan pengetahuan agen fisika, kimia dan biologi
yang dapat mempengaruhi kualitas ikan yang dikeringkan dan diasinkan.

44

Dari semua produk makanan laut (seafood) ikan kering asin merupakan
produk yang dianggap mempunyai resiko yang rendah dalam hal bahaya pada
kesehatan. Akan tetapi bahaya yang mungkin muncul adalah :
1. kontaminasi fisika dan kimia yang berasal dari sumber luar seperti pasir,
minyak dan bahan bakar bensin.
2. Bahaya lainnya berasal dari kontaminasi biologi dan mikrobiologi seperti
faeses hewan, larva lalat, bakteria, jamur, dan serangga.
3. Toksin yang dihasilkan dari mikro-biota, reaksi kimia, denaturasi protein,
autolysis, oksidasi dan reaksi kimia serta biologi lainnya.
4. Kontaminasi paska produksi dan deteriorasi melalui pengemasan, transport
dan penyimpanan yang buruk.
5. Penukaran produk atau kesalahpahaman dalam penjualan

Identifikasi

dari

bahaya

potensial

ini,

memungkinkan

kita

mengidentifikasi critical control point : yang pertama adalah memastikan


bahwa seluruh ikan merupakan ikan segar. Kesegaran menyeluruh ini dapat
dicapai dengan memperhatikan pedoman penangkapan dan penanganan ikan
di atas kapal. Akan tetapi, pedoman ini tidak dapat sepenuhnya diikuti.
Sehingga, aplikasinya merupakan CCP-2.
Kontaminasi mikrobiologi dapat dibatasi dengan memastikan bahwa
temperature, aktivitas air dan waktu memproses diatur sedemikian rupa
sehingga mikrobakteri yang tidak diinginkan akan terbunuh atau tidak
mempunyai waktu untuk tumbuh hingga mencapai tingkat yang berbahaya
(CCP-1) dengan adanya kemungkinan terbentuknya toksin biologis. Hal ini
biasanya terjadi ketika pengeringan terjadi pada suahu ambient. Peringkat
CCP-1 untuk bahaya ini sesuai karena bakteria yang menyebabkan keracunan
makanan seperti Clostridium dan Vibrio spp. tidak dapat berkembang pada
aktivitas air di bawah 0,91. Pembentukan toksin oleh Cl. Botulinum dalam
kondisi anaerobik dihambat oleh penambahan garam.
Ikan yang diasinkan dapat rusak karena adanya pertumbuhan bakteri
halofilik yang berasal dari garam dan penggunaan peralatan yang tidak bersih.
Tindakan pencegahan yang dapat diambil adalah dengan aplikasi kebersihan

45

yang baik (CCP-2) atau penyimpanan pada suhu <100C. Air bersih adalah
disinfektan natural untuk bakteri halofilik.
Bahaya paska produksi dapat dieliminasi dengan pengemasan,
penyimpanan dan kontrol inventori yang sesuai. Termasuk di dalamnya adalah
labeling yang jelas untuk memperlihatkan shelf life. Dengan kondisi dimana
produk mentah dan proses pembuatannya masih berada dalam toleransi yang
dispesifikasikan dalam CCP yang diidentifikasi, produk dapat disimpan dalam
pengemasan yang diinginkan dan suhu penyimpanan yang seharusnya dan
dapat dikonsumsi tanpa bahaya dalam jangka waktu shelf life.

b. HACCP ikan kering dan diasinkan di Indonesia


Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa produksi terjadi dalam kondisi terburuk,
yaitu :
-

Terjadinya kekurangan air bersih di tempat ikan didaratkan

Nelayan mempunyai laba yang sedikit, sehingga tidak dapat membeli jumlah
es yang sesuai.

Jarak yang jauh antara lokasi penangkapan, tempat pemprosesan dan pasar.

Tingkat pendidikan yang rendah, sehingga metode pembuatan yang relative


tidak bersih terus berlanjut.
Tabel 2.7. Proses Pembuatan Ikan Kering Secara Tradisional

46

Dari tabel 2.7., dapat dilihat proses pembuatan ikan kering secara
tradisional dan dari sini dapat dilihat implikasi HPCC yang akan digunakan sesuai
dengan nomor yang tertera.
1. Ketika masih berada di dalam kapal (sekitar 5-7 hari), ikan biasanya tidak
disimpan dalam es yang cukup atau kadang tidak disimpan dalan es. Ketika
ikan tidak disimpan di dalam es, shelf life nya hanya 18 jam sedangkan ketika
ikan disimpan di dalam es pada suhu 00C, shelf life meningkat menjadi 5 hari
lalu akan dijual dalam keadaan tidak dimasukkan di dalam es karena hanya
akan disimpan salaam 15 jam setelah dikeluarkan dari es. Lebih baik
pengasinan ikan dilakukan di atas kapal, karena akan menghasilkan produk
dengan mutu yang lebih baik.
2. Jumlah yang digunakan ketika menjual ikan sangatlah sedikit (biasanya
memerlukan waktu 1-3 jam setelah pendaratan kapal). Para pembuat ikan
kering dan ikan asin biasanya menunggu hingga harga ikan jatuh sampai ke
tingkat di mana mereka dapat membelinya dengan harga yang pantas tanpa
sadar bahwa mereka mengorbankan kesegaran ikan. Akan tetapi, poin ini
tidak terlalu penting karena kualitas rendah pada produk akhir akibat dari
bahan baku yang berkualitas rendah sulit dideteksi.
3. Pemindahan ke tempat pemprosesan dilakukan tanpa es.
4. Pemotongan dan pengeluaran isi perut ikan dilakukan di lantai dan es tidak
pernah digunakan ketika proses.
Kebersihan fasilitas pemprosesan sangatlah buruk. Banyak lalat yang
berterbangan. Pembuangan limbah merupakan satu masalah besar. Tempat
sampah, saluran pembuangan dan sistem limbah penuh dengan belatung.
Ikan yang diasinkan di atas kapal biasanya tidak dikeluarkan isi perutnya.
Pemisahan dilakukan berdasarkan jenis ikan dan ukuran. Pengeluaran isi perut
dan pembersihan pada ikan yang diasinkan dilakukan setelah kapal berlabuh
dan ikan-ikan di bawa ke tempat pemprosesan.
5. Suplai air bersih kurang. Terkadang air yang mengandung sedikit garam dari
daerah sekitar digunakan untuk membersihkan ikan. Pada pengasinan di atas
kapal, air laut digunakan untuk proses pembersihan.

47

6. Garam kering yang dikombinasikan dengan brine tersaturasi ditambahkan


pada ikan di dalam tanki kayu, ikan biasanya disimpan selama 24-48 jam
tergantung dari cuaca. Ketika hujan, proses pengasinan harus diperpanjang.
Air dan garam yang digunakan berkualitas rendah. Brine kotor digunakan
ulang terkadang berulang kali. Pembersihan tangki pengasinan kurang. Tanki
pengasinan tidak sepenuhnya tertutup, sehingga terdapat banyak lalat.
Pengasinan di atas kapal dilakukan menggunakan garam kering. Pembersihan
tempat penyimpanan ikan di atas kapal setelah digunakan tidak sempurna.
7. Pengeringan di bawah sinar matahari, biasanya selama 1-2 hari. Selalu
terdapat banyak lalat di sekitar ikan yang dikeringkan , sehingga berpotensi
adanya keracunan patogen.
Untuk ikan yang besar dan tebal, masalah yang sering terjadi adalah
munculnya belatung dibandingkan terjadinya keracunan bakteria. Hal ini
memicu penggunaan pestisida rumahan pada ikan untuk menghilangkan
belatung tersebut.
8. Pengemasan tidak sesuai dimana ikan dikemas di dalam keranjang bamboo
atau kayu yang dilapisi dengan kertas atau dengan tas plastik. Isi masingmasing keranjang sekitar 25-100 kg ikan.
9. Kondisi yang panas dan lembab mempercepat pertumbuhan jamur dan
serangga.
Karakteristik garam yang higrosopik membuat terjadinya penyerapan uap air
dari sekitarnya dan meningkatkan kandungan air dari produk kering.

48

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ikan kering merupakan salah satu pangan laut yang diolah di Indonesia.
Pengolahan ikan pasca panen merupakan potensi besar untuk mengolah produk
laut Indonesia. Ikan-ikan tertentu yang ditangkap dari laut dapat diproses menjadi
ikan kering, ikan asin, ataupun ikan asap. Perkembangan teknologi dalam
pengeringan ikan telah berlangsung cukup pesat, dari segi metode dan pengujian.
Metode pembuatan maupun uji yang lebih modern diharapkan dapat
meningkatkan mutu produk. Penjaminan kualitas dan kontrol pada titik kritis yang
dilakukan bertujuan untuk menjamin keamanan produk pangan ikan kering.

3.2. Saran
Perlu terus dilakukan studi untuk mengembangkan metode pembuatan dan
pengujian terhadap ikan kering, sehingga produk ikan kering yang dihasilkan
memiliki kualitas yang baik.

49

DAFTAR PUSTAKA

Abrahami, N. and Naismith, D.J. 1968. "The dehydration of foods in edible oil in
vacuo." J. Food Technol., 3:55-68.
Bremner, H. A. (2002). Safety and Quality Issues in Fish Processing. Woodhead
Publishing Limited and CRC Press LLC, North America.
Cutting, C.L., Reay, G.A. and Shewan, J.M. 1956. "Dehydration of fish." Food
Investigation Special Report No. 62. London: Department of Scientific
and Industrial Research, HMSO.
Dalgaard, P. 1993. Evaluation and prediction of microbial fish spoilage. PhD
Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen,
Denmark. 143 p.
Doe, P.E. (1998). Fish Drying and Smoking: Production and Quality. Lancaster:
Taylor and Francis Routledge
Esser, J.R., Hanson, S.W. and Taylor, K.D.A. 1984. "Loss reduction techniques
for salted/dried marine catfish (Arius sp.)." Spoilage of tropical fish and
product development. Proceedings of a Symposium held in conjunction
with the Sixth Session of the Indo-Pacific Fisheries Commission Working
Party on fish technology and marketing. Royal Melbourne Institute of
Technology, Melbourne, Australia, 23-26 October 1984. FAO Fish. Rep.
(317) Suppl.: p. 315.
Esser, J.R., Hanson, S.W., Taylor, K.D.A., Cox, J.R., Evans, N.J. and Walker,
D.J. 1986. "Evaluation of insecticides to protect salted-dried marine catfish
from insect infestation during processing and storage." Proceedings,
Seminar on multi-disciplinary studies on fisheries and inshore coastal
resource management. 21-26 July, Semarang, Indonesia.
FAO. 1981. "The prevention of losses in cured fish." FAO Fish. Tech. Pap., 219,
87 p.
Garnjanagoonchorn, W. and Lertsupakul, S. 1990. "Quality development of dried
squid." Paper presented at the Seventh Session of the IPFC Working Party
on Fish Technology and Marketing, Bangkok, Thailand. 19-22 April 1988.
FAO Fisheries Rep. 401 Suppl. Rome, FAO, pp. 260-267.
Haard, N.F. 1992. "Technological aspects of extending prime quality of seafood."
J. Aquatic Food Product Technology, 1(3/4):9-27.
Immaculate, K., Sinduja, P., Velammal, A., and Patterson, J. (2013). Quality and
shelf life status of salted and sun dried fishes of Tuticorin fishing villages

50

in different seasons. International Food Research Journal 20(4): 18551859.


Kanna, K., Tanaka, T., Kakuda, K. and Shimizu, T. 1971. "Denaturation of fish
protein by drying, 111. Protein denaturation and histological changes in
dehydrated fish muscle." Bull. Tokai Reg. Fish. Res. Lab., No. 68, pp. 5160.
Kojima, K. and Oono, E. 1980. "Development of Marinbeef production process."
Nippon Kikai Gakkaishi, 83:68-74.
Kubota, Y. 1975. "Far infrared radiation as a method for drying fish." New Food
Industry, 17(8):59-64.
Matsuda, Y. 1983a. "Influence of relative humidity on the protein denaturation of
lyophilized carp myofibrils during storage." Nippon Suisan Gakkaishi,
49:627-632.
Matsuda, Y. 1983b. "Influence of storage temperature of the protein denaturation
of lyophilized carp myofibrils." Nippon Suisan Gakkaishi, 49:783-785.
Matsuda, Y. 1983c. "The methods of preparation and preservation of fish meat
powder having kamaboko-forming ability." Nippon Suisan Gakkaishi,
49:1293-1295.
Matsuura, M. 1987. "Heating food by far infrared radiation." Japan Food Science,
26(3):44-48.
Nakazono, S. 1985. "Practical use of hot oil for dehydrating fish." Food Industry,
29(12):33-37.
O'Connor, R.E., Skarshewski, P. and Thrower, S.J. 1992. "Modified atmosphere
packaging of fruits, vegetables, seafood and meat: state of the art."
ASEAN Food Journal, 7(3):127-136.
Pigott, G.M. and Tucker, B.W. 1990. Seafood: Effects of Technology on
Nutrition. New York: Marcel Dekker, Inc.
Statham, J.A. and Bremner, H.A. 1989. "Shelf-life extension of packaged seafoodsa summary of a research approach." Food Austr., 41:614-620.
Suzuki, T., Kanna, K. and Yagi, T. 1978. "Manufacture of meat textured fish
protein concentrate of Alaska pollack." Nippon Suisan Gakkaishi, 44:781788.
Suzuki, T. and Watabe, S. 1987. "New processing technology of small pelagic
fish protein." Food Reviews International, 2(3):271-307.

51

Tokunaga, T. 1987. "Drying fish products utilizing far infrared radiation." New
Food Industry, 29(4):10-15.
Trim, D.S. and Curran, C.A. 1983. Comparative study of solar and sun drying in
Ecuador. London: Report of the Tropical Products Institute, L60. 44 p.
Venugopal, V., Ghandi, S.V. and Nair, P.M. 1992. "Value added products from
low cost fish mince." ASEAN Food Journal, 7(1):3-12.
Vibulsresth, P. 1984. "Aw of food and IMF food." Kasetsart University, Bangkok,
Thailand, 16 p.
Wheaton, F.W. and Lawson, T.B. 1985. Processing Aquatic Food Products. New
York: John Wiley & Sons. 518 p.
Yamada, N. and Wada, S. 1988. "Production of dried marine products using far
infrared." Res. Fisheries, 7(2):85-89.

52

Anda mungkin juga menyukai