Kelompok 8
Chatrin
1406525035
Deni
1406525086
Marianne Wiguna
1406525426
1406525413
1406525565
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan pertolongan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh Prof. Effionora selaku dosen
untuk mata kuliah Teknologi Pangan.
Makalah ini berisi materi mengenai teknik pengeringan ikan, mulai dari
prinsip pengeringan ikan, masalah yang dapat timbul selama proses pengeringan,
metode-metode pengeringan yang digunakan, produk pengeringan ikan, evaluasi
yang dilakukan, hingga peraturan-peraturan yang berlaku mengenai pengeringan
ikan.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang
berkenan bagi pembaca serta kesalahan dalam penulisan makalah. Oleh karena
itu, penulis berterima kasih atas saran dan kritik yang dapat membangun dan
menambah pengetahuan bagi penulis. Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi para pembaca dan bagi penulis.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul............................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................. ii
Daftar Isi
............................................................................................ iii
............................................................ 2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teknologi pembuatan pangan merupakan salah satu ilmu yang membahas
tentang metode pembuatan macam-macam makanan. Indonesia merupakan negara
maritim yang memiliki potensi besar di dunia perikanan, sayangnya banyak dari
komoditi pangan laut yang belum dapat diolah oleh Indonesia karena kekurangan
teknologi untuk pengolahannya.
Ikan kering merupakan salah satu pangan laut yang diolah di Indonesia.
Ikan-ikan tertentu yang ditangkap dari laut kemudian diproses sampai siap
dikeringkan dan dikemas untuk dijual. Pada makalah ini, kami akan membahas
secara lengkap mengenai proses pengolahan ikan kering sampai siap dijual di
pasaran. Harapannya, tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
mengenal lebih jauh bagaimana teknologi pembuatan ikan kering itu.
Apa saja teori dasar yang mendukung proses pembuatan ikan kering?
2.
3.
4.
BAB 2
ISI
2.1.
Pendahuluan
Di sebagian besar dunia, terdapat kondisi di mana akses untuk lemari
pendingin atau es tidak ada. Salah satu cara untuk memperlambat pembusukan
adalah dengan memberikan kondisi stress terhadap proses fisik, kimia dan biologi
penyebab pembusukan. Pengurangan kelembaban melalui pengeringan atau
pengasapan akan menghasilkan suatu sumber protein yang stabil yang dapat
ditransportasikan ke suatu komunitas dengan akses terbatas pada ikan segar.
Metode tradisional pada negara tropis adalah pengeringan dengan
menggunakan matahari langsung dan menempatkan produk pada lahan tertentu
atau menggunakan rak. Beberapa dari proses ini melibatkan perendaman dalam air
asin atau pengasinan kering. Di Eropa utara dan tempat lain di mana tersedia
lemari pendingin, ikan dikeringkan dan diasapkan menggunakan pengasap
mekanik. Penggunaan prosedur modern quality control seperti HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) semakin ditingkatkan pada industri pengasapan
maupun pengeringan ikan.
Konsumsi ikan menyediakan nutrisi penting bagi sejumlah orang di
seluruh dunia. Manfaat kesehatan dari ikan telah disadari oleh masyarakat Barat
yang merupakan faktor penting untuk menstimulasi permintaan. Permintaan dari
sumber ini konsisten dan terus meningkat, memberikan pertimbangan besar untuk
ketersediaan di masa depan.
Negara berkembang memiliki ketergantungan nutrisi yang lebih besar
pada ikan. Produk relevan terbesar bagi yang tidak mampu adalah produk ikan
kering, yang dihasilkan dari teknologi tradisional sederhana. Produk yang dapat
dimasukkan dalam daftar : pengasinan dan pengeringan, pengasinan asap, dalam
garam atau asam, fermentasi, dan produk kombinasi. Bentuk dari produk dapat
berupa ikan utuh, filet, serbuk ikan, atau hidrolisat seperti saus ikan.
Kuantitas ikan yang dikonversi menjadi produk kering sulit dinilai secara
akurat. Statistik FAO pada 1993 menyatakan penggunaan 3,2 juta ton bahan
mentah. Sejak 1977 volume produksi meningkat dari 3,5 hingga hampir 4,5 juta
ton di 1988 tetapi jatuh menjadi 3,2 juta pada 1992. Pada waktu yang sama,
produksi Negara berkembang mencapai puncak 2,4 juta ton pada 1985, jatuh
menjadi 1,65 juta pada 1992 dan 1993 ketika Rusia hanya memproduksi setengah
juta ton dari sebelumnya, kebanyakan salted herring dan makarel. Produk utama
di Eropa adalah ikan cod asin dan kering, herring dan makarel.
2.2.
pembersihan
yang
tepat
seperti
tempat
pembuangan
sampah
untuk
Kelembaban dapat diketahui dari basis kering, basis basah, basis tidak
asin, atau basis yang tidak dispesifikasikan. Namun, terdapat metode umum untuk
perhitungan kelembaban. Metode AOAC (Association of Official Analytical
Chemists) yaitu mengeringkan sampel selama 24 jam pada 105oC kemudian
timbang ulang untuk mengetahui massa air dari sampel awal. Ketika sampel
diambil dari ikan segar akan memberikan sedikit perbedaan dengan kelembaban
dari ikan tidak berlemak, karena kelembaban dari otot ikan segar konstan ketika
dilaporkan dengan ikan tidak asin. Situasi berbeda timbul pada ikan berlemak.
Sirip perut memiliki banyak lemak, pada tuna hingga 50%. Sampel dari ikan
kering atau asap dapat memiliki kelembaban yang bervariasi bergantung pada
derajat penetrasi garam dan ketebalan otot.
Metode di mana kuantitas ikan dicincang, dicampur dan dibagi akan
menghasilkan kesalahan karena terjadi pengeringan selama proses ini. Metode
yang dapat diterima untuk mendapatkan rata-rata kelembaban adalah menimbang
massa ikan sebelum dan setelah pengeringan dan menghitung kelembaban ikan
kering dari pengukuran kelembaban ikan segar dan berat yang hilang selama
pengeringan. Teknik ini gagal untuk ikan berlemak, karena lemak dapat menetes
selama pengeringan.
Jadi, jika Mo adalah massa ikan segar, mo merupakan kelembaban dari
ikan segar (basis kering) dan M1 merupakan massa ikan kering, kelembaban ratarata (basis kering) dari ikan kering :
air
yang
direndahkan
mengakibatkan
stress
pada
Aktivitas air
0,91
0,85
0,80
0,75
0,65
0,6
Dari tabel dapat dilihat bahwa jika aktivitas air dikurangi hingga di bawah
0,6, maka tidak ada pertumbuhan mikroba. Metode untuk mengaplikasikan
kombinasi stress pada mikroorganisme tersebut disebut hurdle technology.
Aktivitas air dapat diturunkan dengan pengeringan, pengasinan, atau
kombinasi keduanya. Larutan jenuh garam memiliki aktivitas air mendekati
sebesar 0,75, hal ini dapat digunakan untuk menghindari toksin dari Clostridium
sp.
Aktivitas air dapat berubah seiring dengan substansi yang mengering.
Metode paling sederhana untuk mengukur aktivitas air adalah dengan menutup
sampel pada kemasan yang kedap, membiarkan udara yang ada di ruang kosong
mencapai kondisi ekuilibrium dengan sampel, kemudian ukur kelembaban udara.
Aw meter komersial seperti LLUFT, yang bergantung pada higrometer mekanik
dengan sensor rambut, membutuhkan kalibrasi konstan terhadap larutan standar
garam jenuh.
Isotherms
mendefinisikan
hubungan
antara
kandungan
kelembaban dan aktivitas air dalam zat yang higroskopik. Gambaran secara umum
pada grafik adalah kelembaban pada posisi ordinat dan aktivitas air pada posisi
7
aksis dengan bentuk kurva sigmoid yang meningkat secara bertahap ke kanan.
Sorption isotherms ditentukan oleh proses pengukuran aktivitas air pada
kelembaban dan temperatur yang berbeda-beda.
Secara alternatif, sampel dapat ditutup dalam wadah pada kelembaban dan
temperatur yang relatif konstan hingga mencapai bobot konstan dan kemudian
dikeringkan untuk mendapatkan kandungan kelembaban. Sorption isotherm yang
berbeda didapatkan berdasarkan material yang dikeringkan (desorption isotherm)
atau direhidrasi dari kering (absorption isotherm). Perbedaan signifikan terjadi
pada, sebagai contoh stabilitas mikroba dari makanan kering yang dibasahkan
kembali selama penyimpanan.
Sorption isotherm dari ikan mempengaruhi laju pengeringan selama fase
falling rate dalam pengeringan. Laju pengeringan konstan berakhir ketika proses
difusi internal dalam ikan mulai membatasi suplai air ke permukaan dan
permukaan mulai kering. Pada poin ini udara di sekitar lapisan batas dekat dengan
permukaan tidak lagi tersaturasi, dan dalam waktu yang singkat kelembaban udara
dekat permukaan menjadi hampir sama dengan udara disekitarnya. Oleh karena
itu, ketika fase falling rate terbentuk, aktivitas air pada permukaan dekat dengan
kelembaban relatif pada udara di sekitarnya. Jika ikan dikeringkan dalam udara
dengan kelembaban 85%, aktivitas air pada permukaan akan dekat dengan 0,85
selama fase falling rate.
ikan dengan metode ini dapat dikontaminasi pasir atau debu, larva lalat, maupun
ketengikan. Metode ini hanya untuk ikan kecil (seperti anchovi) yang dapat
dikeringkan dalam hitungan jam. Pengasinan ikan dalam rendaman garam
mengurangi infestasi larva lalat, juga meletakkan ikan pada rak memudahkan
proses penanganan.
Pengering solar telah dikembangkan dan diuji di berbagai tempat di dunia.
Penggunaan penutup gelas atau plastik telah banyak digunakan untuk
meningkatkan temperatur udara di sekitar ikan dan mempercepat pengeringan.
Pengering tenda solar dari lembaran politen hitam dan jernih lebih murah daripada
pengering solar kabinet Excell and Komsakoo. Pengering solar lebih efisien dari
pengering matahari langsung.
2.3.
Cemaran Mikroba
Dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan, mikroorganisme seperti
berada di rentang 0,90 sampai 0,96, dan terdapat garam did aging ikannya.
Dengan merubah aktivitas air, kandungan garam, atau temperature dapat
membatasi pertumbuhannya. Akan tetapi tindakan tersebut dapat memunculkan
beberapa mikroorganisme lain yang tidak terlalu jinak.
telah
membawa
kepada
ilmu
pengetahuan
untuk
memprediksi
10
hingga organisme tersebut berdiri kembali, akan tetapi hal ini merupakan situasi
fail-safe. Terdapat kombinasi laju kinetic mikroba untuk memprediksi
kandungan mikroba di dalam makanan, atau hilangnya waktu paruh. Doe dan
Heruwati (1988) mengembangkan suatu model panas dan transfer masa yang
memberikan nilai temperatur dan aktivitas air ketika ikan dikeringkan. Nilai-nilai
ini digunakan untuk mengkalkulasi waktu pembusukan. Model ini telah
terverifikasi untuk dua spesies ikan di Indonesia yang dikeringkan dengan metode
tradisional menggunakan cahaya matahari. Ketika pengeringan makanan
dilakukan, terdapat perlombaan untuk mengurangi aktivitas air dengan cukup
cepat dan cukup rendah untuk membatasi pertumbuhan mikroba dan mencegah
pembusukan atau produksi toksin.
2.4.
Cemaran Kimia
Selain pencemaran yang disebabkan agen mikroba, terdapat juga serangga-
serangga dan proses-proses kimia seperti oksidasi yang dapat membatasi umur
penyimpanan produk.
Prinsip dari reaksi kimia yang menyebabkan kecacatan pada ikan kering
dan asap adalah oksidasi dari senyawa-senyawa lipid yang ada. Proses preservatif
dalam pengeringan ikan kering mempercepat perubahan pada senyawa lipid
bahan-bahan laut. Akibat utama dari degradasi lipid adalah munculnya bau dan
rasa yang tidak enak.
Pengeringan ikan juga menyebabkan reaksi Maillard, dimana senyawasenyawa amino bereaksi dengan mengurangi senyawa gula untuk membentuk
polimer coklat. Reaksi Maillard ini berpengaruh terhadap nutrisi ikan-ikan kering.
Oleh sebab itulah ikan-ikan yang dikeringkan mengalami perubahan warna
menjadi warna coklat. Perubahan warna ini menjadi salah satu syarat bagi produk
ikan kering tradisional pada umumnya, sehingga reaksi Maillard bukanlah reaksi
yang dihindari.
Kecacatan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kimia, seperti
kerosene, minyak, atau senyawa-senyawa lainnya yang berkontak dengan ikan.
Penanganan produksi yang baik, kebersihan, dan pengemasan yang sesuai dapat
mengurangi kemungkinan terjadi kontaminasi kimia. Penggunaan antioksidan dan
atau pengemasan dapat memperlambat terjadinya reaksi oksidasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecacatan kimia pada produk ikan
kering antara lain adalah:
12
Temperatur
Temperatur mempengaruhi laju terjadinya reaksi biokimia di dalam
suatu produk.
2.5.
Cemaran fisik
Kecacatan fisik dari ikan kering umumnya disebabkan oleh proses
pengolahan dan pengemasan yang buruk, walaupun pada beberapa tempat burungburung, kucing-kucing, dan anjing-anjing juga dapat menyebabkan kerusakan.
Kecacatan fisik juga dapat disebabkan oleh serangan serangga, baik dari lalat
maupun kumbang.
Ikan kering yang telah dikerumuni oleh larva lalat merupakan penyebab
utama terjadinya kerusakan dan berkurangnya kualitas ikan kering ketika
dikeringkan. Para larva lalat tersebut bukan hanya memakan ikannya, tetapi juga
membentuk kantung-kantung yang meningkatkan kandungan kelembaban di
dalam daging ikan yang mempercepat terjadinya kecacatan mikroba. Untuk
membatasi adanya lalat selama proses pengeringan dan membunuh larva lalat
dapat digunakan tenda pengering tenaga surya.
13
2.6.
Kench curing
Garam padat dioleskan ke daging ikan, ikannya kemudian gantung tegak saat
garam-garam berpenetrasi menembus daging ikannya dan uap lembab yang
terekstrak dibiarkan mengering.
14
Pickling
Mirip dengan kench curing tetapi uap lembab yang diekstrak keluar dari ikan
tidak diperbolehkan mengering. Ikannya dibenamkan ke dalam arutan yang
sangat asam.
Brining
Ikan-ikan direndam dalam larutan konsentrasi garam yang telah disiapkan.
15
2.7.
16
Gutting/Cutting
Washing
Salting
17
Drying
Gambar 2.5. Alat pengering mekanik ikan kering dilengkapi dengan kipas
18
Packing
Gambar 2.8. Kardus untuk mengepak ikan kering yang siap dijual
2.8.
pendinginan,
perubahan
kualitas,
pengasinan,
pengeringan,
20
mengering 60-65% lebih cepat dalam solar dryer dibandingkan dengan sundrying. Solar dryer mampu mengeringkan ikan untuk kadar air yang lebih rendah
(rata-rata 13%) dari yang diperoleh dengan sun-drying (rata-rata 21%). Solar
dryer sekitar 60% lebih efisien (massa ikan kering / m2 / hari) dibandingkan
metode sun-drying.
2.8.1. Penyimpanan
1. Penyimpanan dalam Suasana Termodifikasi
Modifikasi suasana kemasan (Modified atmospheric packaging/MAP)
adalah perbaikan pada teknik kemasan vakum sebelumnya, yang, meskipun
melindungi produk dari pengeringan, oksidasi, dan kontaminasi dan pertumbuhan
bakteri pembusuk, memiliki sedikit efek pada penurunan kualitas makanan laut
(ditinjau oleh Haard, 1992b). MAP dapat sangat efektif dalam memperpanjang
masa simpan makanan laut (O'Connor et al., 1992). Umumnya gas yang
digunakan dalam MAP telah mengurangi konsentrasi O2 dan meningkatkan
konsentrasi CO2. Ada sejumlah mekanisme untuk efek penghambatan CO2
terhadap pertumbuhan bakteri, seperti penurunan pH, penghambatan enzim
dekarboksilasi dan gangguan membran sel dan redistribusi konsekuen lipid. Ada
kemungkinan bahwa efek ini dan efek lainnya dapat dikombinasikan.
Ada potensi risiko yang terkait dengan MAP bahwa mungkin tidak adanya
beberapa indikator pembusukan. Patogen anaerobik dapat tumbuh ke tingkat
21
berbahaya tanpa terlihat oleh konsumen. Jadi MAP harus berhubungan dengan
kontrol suhu dan masa simpan indikasi yang tepat.
Penyimpanan dalam suasana termodifikasi (CO2 dan N2 dalam berbagai
proporsi) telah ditemukan efektif dalam memperpanjang masa simpan udang
kering (Vibulsresth, 1984). Sampel di udara pudar dan memiliki bau amonia yang
kuat dalam empat minggu, sedangkan masa simpan untuk sampel suasana
dimodifikasi adalah 12 minggu dengan retensi warna yang baik. Perubahan warna
dalam cumi kering kualitas tinggi dapat ditangkap sampai 90 hari dengan 0,6%
kalium sorbat ditambah 4,0% polymetaphosphate dip disesuaikan dengan pH 5,9
dengan asam asetat (Garnjanagoonchorn dan Lertsupakul, 1990).
Meskipun suasana diperkaya CO2 menunda pembusukan mikroba ikan,
teknik ini belum diadopsi oleh industri ikan segar di Asia, meskipun MAP telah
banyak diteliti dan ditinjau untuk cod Eropa (Dalgaard, 1993) dan untuk spesies
Australia oleh Statham dan Bremner (1989). Hal ini sebagian disebabkan oleh
kenyataan bahwa reaksi kimia yang menurunkan kualitas makanan laut tidak
hanya dilanjutkan tetapi bahkan dapat dipercepat dalam suasana dimodifikasi
(Haard, 1992). CO2 yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan warna dari
perut flaps, kemerahan sepanjang tulang belakang, pemutihan kulit, kenaikan rugi
tetes, menggelapkan otot merah, dan pelunakan daging. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa peningkatan nilai K ikan yang disimpan tidak terpengaruh
oleh penyimpanan suasana dimodifikasi. Selain itu, penggunaan campuran gas
dengan tingkat tinggi oksigen (untuk meminimalkan risiko botulisme) dan CO2
kadang-kadang mempercepat oksidasi lipid. Reaksi oksidatif ganda, seperti
pemutihan pigmen karotenoid, juga dapat terjadi pada tingkat yang lebih cepat
saat ikan diadakan pada konsentrasi oksigen yang dikurangi. Dengan demikian,
manfaat penyimpanan ini harus diuji pada kasus per kasus.
22
Baygon dan Startox untuk disemprotkan langsung ke ikan (Esser et al., 1984).
Praktek ini ilegal di beberapa negara.
Penggunaan insektisida yang disetujui untuk mengendalikan serangga
selama penyimpanan ikan kering sekarang memiliki persetujuan FAO/WHO
Codex Alimentarius. Mencelupkan selama 15 detik di 0,03% emulsi
pirimifosmetil (Actellic, Silvosan) direkomendasikan untuk mencegah kutu
Blowfly selama pemrosesan. Ikan diperlakukan dengan cara ini dan kemudian
dikeringkan tetap bebas dari serangan kumbang selama 10 minggu. Residu dari
pengobatan ini adalah kurang dari rekomendasi FAO/WHO Codex Alimentarius,
tingkat maksimum untuk ikan kering (Esser et al., 1986).
a. Natrium dan Kalsium Propionat
Pengawet kimia ini direkomendasikan untuk pengendalian serangan
mikroba dan serangga dan tengik pada ikan kering. Campuran natrium
propionat dan bubuk garam dengan perbandingan 3:97 ketika membersihkan
secara seragam pada ikan kering dikemas dalam wadah yang sesuai akan
memberikan masa simpan 9 sampai 12 bulan bebas dari serangan jamur dan
serangan dari bakteri halofilik merah. Hal ini lebih baik dibandingkan dengan
masa penyimpanan normal untuk produk yang sama sekitar 2 bulan. Sebuah
alternatif yang lebih murah adalah dengan menggunakan kalsium propionat
sebesar 0,1% berat ikan kering.
Pengaplikasian dapat melalui 2 metode. Pada metode pertama,
campuran natrium propionat dan bubuk garam halus dalam rasio 3:97 dalam
kantong jala kasar adalah dibersihkannya seluruh permukaan ikan dengan
lembut dan seragam. Perawatan diambil untuk memastikan penerapan yang
seragam pada semua bagian ikan. Metode kedua tidak seefisien yang
pertama, hanya setelah tahap pengasinan, ikan direndam dalam air garam
jenuh yang mengandung 3% kalsium propionat. Kalsium propionat lebih
murah daripada natrium propionat dan digunakan di India untuk membuat
roti. Kalsium propionat tidak mempengaruhi warna, bau, atau rasa ikan. Ini
adalah bahan kimia pengawet yang aman, tidak berbahaya, dan diterima
untuk makanan.
23
b.
Fosfin
Fumigasi dari gudang-gudang di Bombay dengan fosfin pada
c.
Antioksidan
Pencoklatan/penguningan ikan kering melalui ketengikan oksidatif
adalah salah satu masalah utama yang dihadapi industri ikan kering. Hal ini
lebih dominan selama musim panas karena suhu yang lebih tinggi dan
kandungan lemak yang lebih tinggi dari ikan. Perubahan warna biasanya
dimulai di kepala, sirip, dan ekor dan otot yang berdekatan dengan tulang,
kemudian menyebar ke bagian lain dari ikan. Setelah studi dan uji coba
lapangan yang luas CIFT telah mengembangkan pengobatan yang mencegah
perubahan warna yang disebabkan oleh ketengikan oksidatif. Metode ini
menerapkan campuran antioksidan:
Butylated hydroxyl anisole (BHA) 19 g
Butylated hydroxyl toluene (BHT) 1 g
Asam Sitrat 5 g
Propilen glikol 100 ml
24
Campuran ini ditambahkan dengan rasio 1 ml per liter air asin dalam
proses basah dan pada tingkat 1 ml per kilogram garam untuk proses kering.
Selain meningkatkan penampilan produk kering, perlakuan ini efektif dalam
memperpanjang masa simpan melalui menunda timbulnya jamur dan
halophiles merah.
Perlu dicatat bahwa aditif ini diatur secara hati-hati di beberapa
negara dan mungkin tidak berlaku untuk makanan laut tertentu (Pigott dan
Tucker, 1990).
2.8.2.
Teknik Canggih
Meskipun sebagian besar dari buku ini berkaitan dengan pengeringan ikan
25
1.
gelombang dalam kisaran 0,8 m sampai 1 mm. Panjang gelombang daerah 4-5,6
m sampai 1 mm disebut inframerah jauh (far infrared/FIR). Panjang gelombang
yang paling penting yang digunakan secara komersial adalah dalam kisaran dari
2,5 m sampai 20-25 m.
Ada dua jenis pemanas FIR. Salah satunya adalah terbuat dari keramik dan
yang lainnya adalah logam dilapisi dengan bahan FIR generatif.
Sumber pemanasan yang digunakan adalah listrik, uap, minyak, dan gas
kota. Pilihan yang lebih disukai untuk pengering di Jepang adalah gas kota, yang
menyediakan cepat, tidak berbau, tanpa asap. Biaya menggunakan gas kota lebih
rendah daripada dengan pemanas listrik (Matsuura, 1987).
Makerel dapat dikeringkan secara efektif menggunakan FIR dengan panel
keramik horisontal mengarahkan panas ke bawah. Pemanasan Downward
meminimalkan kerugian daya dan menghindari kontaminasi pemanas dari
pengeringan cairan dari ikan. Untuk pengeringan seragam, jarak dari pemanas dari
ikan harus sekitar 20 cm. Suhu ikan tidak boleh melebihi 35C untuk produk
berkualitas tinggi (Yamada dan Wada, 1988).
Penilaian organoleptik oleh lima belas panelis menemukan bahwa ikan
kering oleh udara panas dan FIR yang lebih baik dalam penampilan daripada ikan
dijemur. Ada sedikit perbedaan dalam komposisi kimia antara udara-panas dan
produk FIR-kering. Dalam beberapa kasus, ikan FIR-drying menunjukkan warna
26
dan kecerahan jauh lebih baik daripada udara-panas dan ikan dijemur. Ikan yang
mengalami pengeringan FIR mempertahankan kandungan nukleotida lebih tinggi
dan aktivitas yang lebih rendah dari asam fosfatase dibandingkan dengan ikan
dijemur (Kubota, 1975; Yamada dan Wada, 1988).
"Tatami-iwashi" adalah jenis sarden kering atau ikan teri yang dipotong
disusun seperti lembaran persegi tipis. Karena ikan dalam ukuran kecil,
pembusukan berlangsung cepat selama pengeringan. Hal ini disebabkan proporsi
yang lebih kecil dari otot steril ke permukaan kulit dan massa visceral; dengan
demikian, sangat penting untuk cepat mengering untuk produk berkualitas baik.
Waktu pengeringan yang diperlukan untuk mencapai kadar air 30% (basis kering)
pada ikan bervariasi tergantung pada metode pengeringan: 120 menit untuk
penjemuran, 90 menit untuk udara panas, dan 45 menit untuk FIR, masingmasing. Oleh karena itu, FIR adalah pilihan yang disukai sehubungan dengan
kecepatan pengeringan.
Tekstur ikan bergantung pada konsentrasi bahan bumbu dan laju
pengeringan. Dengan pengeringan FIR, kadar air dalam ikan adalah 80% dan 50%
setelah pemanasan 60 menit dan 120 menit dengan suhu plat 100C; 60% dan
40% setelah pemanasan 60 menit dan 100 menit pada 200C; dan 30% setelah
pemanasan 60 menit pada 300C. Dalam rentang suhu dari 100C sampai 300C,
pemanasan pada 200C memberikan kualitas terbaik dengan ikan kering,
sedangkan pemanasan pada suhu 300C membuat tekstur daging terlalu keras.
Pada suhu plat setinggi 300C, ada dehidrasi cepat otot ikan serta denaturasi
parsial protein otot (Tokunaga, 1987). Tekstur daging ikan Novodon medestus,
adalah mudah dikeraskan oleh bumbu dan proses pengeringan. Suhu daging tidak
melebihi 20C selama proses pengeringan dengan suhu plat 100C dan
menghasilkan ikan kering tidak utuh yang mengandung lebih dari 50% air setelah
pemanasan selama 120 menit. Pemanasan pada 200C selama 60 menit
mengangkat suhu daging sampai sekitar 30C, dan ikan mulai mengering. Ikan
yang dipanaskan 100 menit merupakan produk dengan kualitas terbaik. Namun,
tidak mudah untuk memproduksi ikan kering dari kualitas yang dapat diterima
jika dipanaskan setinggi 300C karena suhu tinggi menyebabkan tekstur daging
keras karena dehidrasi cepat dan denaturasi panas protein daging pada satu sisi,
27
2.
pertama surimi kering bertekstur disebut Marinbeef (Paten Jepang, 1975, 1979,
1981). Produk dalam bentuk kering hanya berisi jejak lemak dan dapat disimpan
dalam waktu lama tanpa pendinginan. Ada dua jenis proses produksi, satu untuk
pengolahan ikan ramping dan satu lagi untuk ikan berlemak seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.5. Cincangan yang dicuci dan ditekan tersebut
kemudian diremas-remas dengan natrium klorida (1,0-1,5%) dan natrium
bikarbonat (pH 7,4-7,8). Hasilnya dilewatkan melalui extruder dan dicampur
dengan etanol pada suhu 5-10C. Protein dalam pencucian cincangan yang
digumpalkan dengan menambahkan etanol, dan lemak setiap sisanya diekstraksi
ke dalam pelarut. Materi yang dikenakan ekstraksi etanol kedua di mana
campuran direbus untuk menghilangkan lemak secara menyeluruh. Kemudian
etanol akan dihapus oleh sentrifugasi. Produk ini ditransfer ke pengering dengan
udara panas (sekitar 70C) untuk menguapkan sisa etanol dan air. Kadar air yang
terakhir adalah kurang dari 10%, yang memungkinkan produk yang akan stabil
selama penyimpanan pada suhu kamar.
28
Produk adalah granul berwarna putih atau abu-abu berwarna tanpa bau
amis dan rasa. Granul kering mengembang dalam air untuk sekitar lima kali berat
kering dalam 15 menit pada suhu kamar. Tekstur produk direhidrasi mirip dengan
daging rebus dan cincang (Suzuki et al., 1978), tetapi tidak memiliki kemampuan
mengembang. Komposisi diberikan dalam Tabel 3.1.
Jumlah
Kelembaban
8%
Protein
91,8%
Abu
3,5%
Karbohidrat
Tidak terdeteksi
Kalori
381 kkal/100 g
Natrium
818mg%
Kalsium
523mg%
Fosfor
395mg%
Besi
20,3mg%
Kadar protein dari produk setara atau lebih tinggi dari konsentrat protein
ikan dan protein kedelai terkonsentrasi. Komposisi asam amino dan keseimbangan
29
asam amino esensial dalam produk ini hampir sama dengan yang ada pada daging
ikan asli. (Suzuki et al., 1978).
1.
30
ditemukan
secara
signifikan
mengurangi
ketengikan
dan
2. Vacuum-Freeze-Drying
Ketika ikan dikeringkan, baik dengan sinar matahari atau pengering
mekanis pada tekanan atmosfer, perubahan ireversibel terjadi pada protein dengan
hasil itu, ketika dilarutkan, ikan menyerap air perlahan-lahan dan kehilangan
tekstur asli dari daging segar.
Kanna et al. (1971) menemukan bahwa pengeringan ikan sea bass di udara
pada 20C menyebabkan denaturasi hampir semua protein myofibrillar pada otot
yang mengakibatkan hilangnya kelarutan dalam larutan garam. Namun, freezedrying dan pengeringan silika gel pada 0C menyebabkan sedikit denaturasi
protein otot dan sedikit berkurangnya penurunan kelarutan dalam larutan garam.
Otot pada freeze-drying ringan dan berpori, sedangkan kedua otot pada
pengeringan udara dan silika gel adalah kurus dan kohesif. Ketika direndam
dalam air, baik silika gel dan vakum kering dilarutkan dengan cepat untuk
memberikan tekstur dan penampilan yang sangat baik, tapi tidak demikian dnegan
otot ikan pada pengeringan udara. Temuan menunjukkan bahwa denaturasi
protein dan rehydratability otot ikan kering tergantung pada suhu proses
pengeringan.
Untuk pengeringan vakum pada skala industri, ikan ditempatkan pada
nampan atau ikat dalam ruang tertutup. Suhu dan tekanan berkurang dan produk
31
menjadi beku. Setelah vakum cukup tercapai, ikan beku hati-hati dipanaskan oleh
gulungan air panas atau pemanasan resistensi listrik sehingga es menyublim
langsung ke uap tanpa mencair dalam ikan.
Surimi Vacuum-Freeze-Drying diproduksi secara komersial di Jepang
untuk digunakan sebagai bahan pengikat dalam mempersiapkan telur ikan haring,
blok fillet, dan produk struktural dari daging sapi, babi, dan ayam. Proses ini
dimulai dengan pencucian daging dalam larutan kekuatan ion rendah untuk
menghilangkan senyawa larut dalam air dan beberapa lipid. Sebuah konsentrasi
yang cukup dari sukrosa ditambahkan dengan sejumlah kecil polifosfat
melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan dan penyimpanan; Namun,
di atas 5% berat basis basah, ada sedikit perbaikan dalam stabilitas. Bahan
Vacuum-Freeze-Drying memiliki luas permukaan 80-160 kali lebih banyak dari
bahan pengeringan udara (Ohata et al., 1967).
Dengan demikian, bahan pengeringan udara jauh lebih rentan terhadap
pengaruh lingkungan penyimpanan. Protein kering lebih stabil pada kelembaban
relatif rendah (Matsuda, 1983a); Namun, stabilitas penyimpanan tidak meningkat
secara signifikan di bawah kelembaban relatif (RH) 15% pada 20C atau di bawah
10% pada 35C. Penyimpanan suhu rendah penting untuk mempertahankan fungsi
yang baik di surimi freeze-drying (Matsuda, 1983b). Kehadiran oksigen
tampaknya memiliki sedikit efek buruk pada stabilitas surimi freeze-drying bila
disimpan pada kelembaban relatif 18% pada 30C (Matsuda, 1983c). Ketika suhu
pelat pada 60C dan tekanan absolut 0,18-0,03 Torr digunakan untuk pengeringan
beku, aktivitas total ATPase dari bubuk surimi tidak berubah secara signifikan
selama penyimpanan lima bulan pada 15C dalam desikator (RH = 15%).
32
3.
makanan yang diproduksi secara massal; misalnya, mie Cina siap makan.
Dehidrasi ikan dalam minyak panas memberikan kualitas yang sangat baik untuk
produk sebanding dengan freeze-drying (Abrahami dan Naismith, 1968).
Mengingat bahwa sintetis anti-oksidan ditambahkan ke minyak, sinergi dengan
anti-oksidan alami dalam ikan dapat berkontribusi pada stabilitas minyak pemanas
dan dengan demikian untuk kualitas produk akhir.
Dalam pengeringan minyak panas aktual (Nakazono, 1985), uap
dipanaskan pada 170C dan 70 tekanan kPa diumpankan ke bagian luar kompor
berjaket ganda (kapasitas 10 m3). Minyak nabati (3000 kg) dipanaskan sampai
120C. Sebuah bets berisi 3000 kg ikan dimasukkan dalam minyak panas, diaduk,
dan dehidrasi dalam kondisi vakum pada 100C selama 90 menit. Uap dari ikan
diambil oleh ejektor. Dengan menyesuaikan tekanan bagian dalam jaket sampai
100 kPa, kadar air ikan material dapat turun menjadi 4-6%.
Ketika sarden dikeringkan dengan metode ini, produk kering terdiri lebih
dari 70% protein mentah, minyak 1%, 6% air dan 4900 mg% kalsium. Yield
adalah sekitar 24%.
Dehidrasi pada tekanan yang berkurang memfasilitasi pemindahan air dari
ikan yang dipanaskan dalam minyak. Suasana vakum sekitar ikan mengurangi
titik didih minyak pemanas, yang menghambat laju oksidasi dan ketengikan.
Dalam sebagian besar proses pengeringan film membran gelatin menutupi
33
2.8.4.
34
2.9.
Kualitas
Kualitas ikan kering yang penting diperhatikan adalah rasa, aroma,
penampilan, nilai nutrisi, dan masa simpan. Hal lainnya yang penting bagi
konsumen adalah harga, ketersediaan, dan gaya presentasi penjualan. Misalnya,
apakah ikan kering berupa ikan utuh, dipotong-potong, atau fillet. Secara umum,
Kualitas yang paling umum untuk ikan kering adalah organoleptis (warna, rasa,
aroma, tekstur).
1. Kualitas sensori
Pengolahan ikan kering, seperti proses pemanasan atau penggaraman,
dapat menyebabkan perubahan terhadap protein dan tekstur ikan. Oleh karena itu,
dilakukan pemeringkatan kualitas ikan kering didasarkan pada ukuran dan
evaluasi organoleptis (penampilan dan rasa).
35
kualitas
tradisional
dianjurkan
Kelembaban
kelembaban
yang Standar
Ukuran
berat
110-150 g/ potong
(kelembaban 20%)
sensoris
Sebaiknya
datar
tanpa
kerutan
Tekstur setelah hidrasi Kemampuan rehidrasi
atau dimasak
Kemanisan
Aroma
yang
diinginkan (amonia)
menguap:
Volatile Base Nitrogen
NH3
36
mempengaruhi rasa, nutrisi, dan keamanan ikan kering. Perubahan warna ini
berasal dari reaksi antara protein dan atau asam amino dengan produk karbonil
hasil oksidasi lemak dalam ikan. Pencoklatan ini lebih cenderung terjadi pada
daerah lemak ikan daripada di dagingnya. Suhu merupakan faktor yang paling
penting dalam mempengaruhi kecepatan pengoklatan. Suhu di atas 25 oC dapat
mempercepat reaksi pencoklatan, sementara di bawah 20 oC, pencoklatan
menurun.
c. Rasa dan aroma
Komponen yang memberikan rasa pada ikan yang dikeringkan adalah
asam amino, peptida, asam organik dan mineral (Finne, 1992, Cha et al., 1985).
Aroma khas ikan kering muncul dari pembentukan senyawa aromatis selama
proses pengeringan, misalnya dari hidrolisis asam lemak bebas. Hidrolisis
protein juga memberikan rasa tertentu pada ikan yang diasinkan.
2. Nilai nutrisi
Proses pengasinan dan pengasapan ikan dapat menyebabkan hilangnya
protein hingga 5 %. Namun, pengasapan ikan tidak memiliki dampak signifikan
terhadap nilai nutrisi ikan secara keseluruhan. Kandungan lemak dalam ikan
bervariasi dari 1 hingga 20 %. Asam lemak omega-3 (asam eikosapentanoik dan
dokosaheksanoik) memiliki efek baik terhadap kesehatan manusia (Kinsella,
1987). Asam lemak tak jenuh tersebut sangat rentan terhadap oksidasi, sehingga
manfaat dari asam lemak tersebut akan menurun jika ikan dikeringkan atau
dipanaskan. Namun, pemrosesan yang tepat akan menyebabkan hanya sedikit
penurunan komposisi asam lemak.
3. Kontaminasi bakteri
Pengasinan atau pengasapan ikan dapat mengurangi jumlah kontaminasi
mikroba. Contohnya, pengasinan dan pengasaman ikan mackerel menurunkan
hitungan log rata-rata mikroba dari 6,96 per gram menjadi 3,64 per gram, dan
hitungan log Lactobacillus dari 5,51 CFU per gram menjadi 3,19 per gram (Scott
et al., 1986). Pengasapan ikan sarden selama 2 jam dengan suhu 30oC dan 45
menit dengan suhu 75oC mengurangi hitungan total bakteri aerobik hingga 2
37
siklus log. Namun, pembuatan yang tidak higienis dan penyimpanan yang tidak
baik dapat meningkatkan kontaminasi hingga 106 per gram atau lebih tinggi.
Menurut Schulze dan Zimmermann (1983), nilai tertinggi yang dapat diterima
adalah 106 per gram. Sementara untuk Enterobacter, Pseudomonas, Aeromonad,
hanya 104 per gram. Pengeringan dan pengasapan tidak menginaktivasi semua
kemungkinan kontaminasi, seperti jamur. Kelembaban yang tinggi meningkatkan
resiko kontaminasi akibat tingginya aktivitas air.
Ikan yang diasinkan sedikit dan ikan asap mungkin tercemar oleh toksin
Clostridium botulinum jenis E, jika bahan ikan awalnya terkontaminasi dan proses
pengolahan tidak menghancurkan toksin. Artinya spora masih terdapat pada
bagian daging ikan yang tebal. Jika kondisi penyimpanan kondusif bagi
pertumbuhan Clostridium, maka spora akan aktif dan toksin diproduksi.
Pengasapan pada kondisi kelembaban tinggi lebih efektif untuk menginaktivasi
spora. Pengasapan dan NaCl terbukti menghambat produksi toksin tipe E dan tipe
A pada ikan (Ecklund et al., 1982). Untuk meyakinkan, pemanasan sebaiknya
dilakukan selama 30 menit pada suhu 820C dan direndam pada air garam 3,5 %.
Contohnya, pengasapan mackerel yang dimulai pada suhu 600C dan dinaikkan
100/ 10 menit hingga mencapai 900C di daerah daging ikan yang tebal dapat
menurunkan spora Clostridium botulinum tipe E hingga 12 siklus log. Sebagai
alternatif dapat dilakukan pemanasan pada ikan kering atau asap yang dikemas
vakum, selama 55 menit pada suhu 92,20C.
Kontaminasi bakteri diuji dengan menghitung Total Bacterial Count/ Total
Viable Count. Hitungan bakteri dilaporkan sebagai jumlah bakteri yang ada dalam
per gram permukaan ikan. Metode membutuhkan pemindahan aseptis sampel,
maserasi, dan pengenceran dengan cairan steril hingga konsentrasi tertentu, dan
ditumbuhkan pada media tumbuh yang sesuai. Inkubasi dilakukan pada suhu
konstan. Hasil dihitung dari koloni yang tampak/ tumbuh. Namun tidak ada satu
metode yang bisa mewakili keseluruhan, kaerna masing-masing bakteri memiliki
kecenderungan untuk tumbuh pada nutrien, pH, dan suhu tertentu. Bakteri tertentu
memiliki suhu optimum pertumbuhan tertentu. Penghitugan total bakteri
sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan jenis bakteri apa saja yang
38
mungkin terdapat. Pemilihan suhu harus berada dalam rentang Tmin Tmax
bakteri yang mungkin ada.
Suhu standar yang diterima untuk pengukuran TVC adalah 250C atau
200C. Untuk ikan-ikan tropis, bakteri psikotropik biasanya mendominasi, dengan
suhu optimum pada rentang 240C hingga 390C. E.coli merupakan indikator yang
digunakan untuk pemrosesan yang tidak higienis. Adanya E.coli mengindikasikan
kontaminasi produk, karena merupakan bakteri patogen. Metode standar yang
digunakan India adalah menggores 0,5 ml pengenceran pertama ke agar Tergitol 7
dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.
Tabel 2.5. Suhu Tumbuh untuk 34 Strain Bakteri (McMeekin et al., 1993)
39
Indonesia (Wheeler et al., 1986) dan Thailand (Phillips dan Walbridge, 1977)
menunjukkan bahwa ikan kering terkontaminasi A.flavus, namun tidak terdapat
aflatoksin. Diperkirakan bahwa A.flavus tersebut ada sebagai kontaminan dan
tidak mengalami pertumbuhan. Penelitian menunjukkan bahwa germinasi A.flavus
berjalan cepat saat aktivitas air/ water activity melebihi 0,95. Oleh karena itu,
pengeringan ikan dilakukan untuk mengurangi aktivitas air supaya mencegah
germinasi A.flavus dan produksi aflatoksin. Ikan kering yang diiradiasi sinar
gamma 0,625 hingga 5,00 KGy dapat menginaktifkan spora A. flavus. Jumlah
aflatoksin B1 menurun seiring dengan meningkatnya dosis iradiasi gamma.
Penurunan jumlah mikroorganisme lebih efisien jika mengkombinasikan iradiasi
dengan panas atau pengasinan.
Kontaminasi jamur dapat dicek dengan melakukan fungal count
menggunakan agar Rose Bengal Chloramphenicol (RBC). 25 g sampel diblender
dengan 225 ml air pepton 0,1 %. Kemudian, 0,1 ml dari sampel tersebut
disebarkan pada permukaan medium. Medium kemudian diinkubasi pada suhu
28oC atau suhu ruang selama 3-5 hari. Total koloni jamur dihitung dan ditulis
sebagai cfu/g (Immaculate, Sinduja, Velammal, dan Patterson, 2013).
5. Parasit
Salah satu cemaran yang mengkhawatirkan pada ikan kering adalah
kemungkinan adanya parasit. Untuk membunuh larva Anisakisdibutuhkan
pemanasan 600C selama minimal 1 menit. Menurut Gardiner (1990), fillet salmon
yang diasinkan selama 15 jam dalam campuran garam dan gula lalu diasap selama
12 jam pada suhu 26oC dapat tercemar larva selama penyimpanan 27 hari pada
suhu 40 oC. Cara yang efektif untuk mengeliminasi resiko parasite adalah
membekukan produk ikan atau disimpan pada suhu 20 oC selama minimal 3 hari.
40
8. Masa simpan
Masa simpan ikan merupakan sifat fungsional yang penting. Masa simpan
dinyatakan dalam hari atau minggu setelah pemrosesan. Ikan yang mengandung
sekitar 5,5% NaCl dan diasapkan selama 6-7 jam pada 35 oC, memiliki waktu
simpan selama 2 bulan pada 10 oC.
9. Parameter Kimia
a. Total Volatile Nitrogen (TVN)
Pengukuran TVN menggambarkan cemaran dalam ikan, namun tidak
cocok untuk spesies seperti ikan hiu, udang, dan gurita, karena spesies-spesies
tersebut mengandung urea yang tinggi. Selama proses dan penyimpanan, asam
amino dalam ikan dapat berubah menjadi amonia, trimetilamin, dan
dimetilamin. Perubahan asam amino tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya
enzim, bakteri, atau fungi. Ikan berkualitas baik memiliki nilai TVN yang
rendah. Nilai TVN yang dapat diterima adalah 35-40 mg/100 g. Di atas nilai
tersebut, ikan dianggap tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Metode umum
yang digunakan mengacu pada Conway dan Byrne (1933), dimana sampel
ikan diekstraksi dengan asam trikloroasetat. TVN dalam ekstrak kemudian
dibebaskan oleh kalium karbonat dan diperkirakan.
41
42
Sampling
Sampel yang diambil harus dapat mewakili sifat keseluruhan produk.
Terdapat dua sistem sampling: memotong area tertentu dari anatomi ikan, atau
mengambil keseluruhan ikan. Untuk metode pertama, biasa diambil 1g, sementara
metode kedua diterapkan untuk ikan-ikan yang kecil.
43
44
Dari semua produk makanan laut (seafood) ikan kering asin merupakan
produk yang dianggap mempunyai resiko yang rendah dalam hal bahaya pada
kesehatan. Akan tetapi bahaya yang mungkin muncul adalah :
1. kontaminasi fisika dan kimia yang berasal dari sumber luar seperti pasir,
minyak dan bahan bakar bensin.
2. Bahaya lainnya berasal dari kontaminasi biologi dan mikrobiologi seperti
faeses hewan, larva lalat, bakteria, jamur, dan serangga.
3. Toksin yang dihasilkan dari mikro-biota, reaksi kimia, denaturasi protein,
autolysis, oksidasi dan reaksi kimia serta biologi lainnya.
4. Kontaminasi paska produksi dan deteriorasi melalui pengemasan, transport
dan penyimpanan yang buruk.
5. Penukaran produk atau kesalahpahaman dalam penjualan
Identifikasi
dari
bahaya
potensial
ini,
memungkinkan
kita
45
yang baik (CCP-2) atau penyimpanan pada suhu <100C. Air bersih adalah
disinfektan natural untuk bakteri halofilik.
Bahaya paska produksi dapat dieliminasi dengan pengemasan,
penyimpanan dan kontrol inventori yang sesuai. Termasuk di dalamnya adalah
labeling yang jelas untuk memperlihatkan shelf life. Dengan kondisi dimana
produk mentah dan proses pembuatannya masih berada dalam toleransi yang
dispesifikasikan dalam CCP yang diidentifikasi, produk dapat disimpan dalam
pengemasan yang diinginkan dan suhu penyimpanan yang seharusnya dan
dapat dikonsumsi tanpa bahaya dalam jangka waktu shelf life.
Nelayan mempunyai laba yang sedikit, sehingga tidak dapat membeli jumlah
es yang sesuai.
Jarak yang jauh antara lokasi penangkapan, tempat pemprosesan dan pasar.
46
Dari tabel 2.7., dapat dilihat proses pembuatan ikan kering secara
tradisional dan dari sini dapat dilihat implikasi HPCC yang akan digunakan sesuai
dengan nomor yang tertera.
1. Ketika masih berada di dalam kapal (sekitar 5-7 hari), ikan biasanya tidak
disimpan dalam es yang cukup atau kadang tidak disimpan dalan es. Ketika
ikan tidak disimpan di dalam es, shelf life nya hanya 18 jam sedangkan ketika
ikan disimpan di dalam es pada suhu 00C, shelf life meningkat menjadi 5 hari
lalu akan dijual dalam keadaan tidak dimasukkan di dalam es karena hanya
akan disimpan salaam 15 jam setelah dikeluarkan dari es. Lebih baik
pengasinan ikan dilakukan di atas kapal, karena akan menghasilkan produk
dengan mutu yang lebih baik.
2. Jumlah yang digunakan ketika menjual ikan sangatlah sedikit (biasanya
memerlukan waktu 1-3 jam setelah pendaratan kapal). Para pembuat ikan
kering dan ikan asin biasanya menunggu hingga harga ikan jatuh sampai ke
tingkat di mana mereka dapat membelinya dengan harga yang pantas tanpa
sadar bahwa mereka mengorbankan kesegaran ikan. Akan tetapi, poin ini
tidak terlalu penting karena kualitas rendah pada produk akhir akibat dari
bahan baku yang berkualitas rendah sulit dideteksi.
3. Pemindahan ke tempat pemprosesan dilakukan tanpa es.
4. Pemotongan dan pengeluaran isi perut ikan dilakukan di lantai dan es tidak
pernah digunakan ketika proses.
Kebersihan fasilitas pemprosesan sangatlah buruk. Banyak lalat yang
berterbangan. Pembuangan limbah merupakan satu masalah besar. Tempat
sampah, saluran pembuangan dan sistem limbah penuh dengan belatung.
Ikan yang diasinkan di atas kapal biasanya tidak dikeluarkan isi perutnya.
Pemisahan dilakukan berdasarkan jenis ikan dan ukuran. Pengeluaran isi perut
dan pembersihan pada ikan yang diasinkan dilakukan setelah kapal berlabuh
dan ikan-ikan di bawa ke tempat pemprosesan.
5. Suplai air bersih kurang. Terkadang air yang mengandung sedikit garam dari
daerah sekitar digunakan untuk membersihkan ikan. Pada pengasinan di atas
kapal, air laut digunakan untuk proses pembersihan.
47
48
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ikan kering merupakan salah satu pangan laut yang diolah di Indonesia.
Pengolahan ikan pasca panen merupakan potensi besar untuk mengolah produk
laut Indonesia. Ikan-ikan tertentu yang ditangkap dari laut dapat diproses menjadi
ikan kering, ikan asin, ataupun ikan asap. Perkembangan teknologi dalam
pengeringan ikan telah berlangsung cukup pesat, dari segi metode dan pengujian.
Metode pembuatan maupun uji yang lebih modern diharapkan dapat
meningkatkan mutu produk. Penjaminan kualitas dan kontrol pada titik kritis yang
dilakukan bertujuan untuk menjamin keamanan produk pangan ikan kering.
3.2. Saran
Perlu terus dilakukan studi untuk mengembangkan metode pembuatan dan
pengujian terhadap ikan kering, sehingga produk ikan kering yang dihasilkan
memiliki kualitas yang baik.
49
DAFTAR PUSTAKA
Abrahami, N. and Naismith, D.J. 1968. "The dehydration of foods in edible oil in
vacuo." J. Food Technol., 3:55-68.
Bremner, H. A. (2002). Safety and Quality Issues in Fish Processing. Woodhead
Publishing Limited and CRC Press LLC, North America.
Cutting, C.L., Reay, G.A. and Shewan, J.M. 1956. "Dehydration of fish." Food
Investigation Special Report No. 62. London: Department of Scientific
and Industrial Research, HMSO.
Dalgaard, P. 1993. Evaluation and prediction of microbial fish spoilage. PhD
Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen,
Denmark. 143 p.
Doe, P.E. (1998). Fish Drying and Smoking: Production and Quality. Lancaster:
Taylor and Francis Routledge
Esser, J.R., Hanson, S.W. and Taylor, K.D.A. 1984. "Loss reduction techniques
for salted/dried marine catfish (Arius sp.)." Spoilage of tropical fish and
product development. Proceedings of a Symposium held in conjunction
with the Sixth Session of the Indo-Pacific Fisheries Commission Working
Party on fish technology and marketing. Royal Melbourne Institute of
Technology, Melbourne, Australia, 23-26 October 1984. FAO Fish. Rep.
(317) Suppl.: p. 315.
Esser, J.R., Hanson, S.W., Taylor, K.D.A., Cox, J.R., Evans, N.J. and Walker,
D.J. 1986. "Evaluation of insecticides to protect salted-dried marine catfish
from insect infestation during processing and storage." Proceedings,
Seminar on multi-disciplinary studies on fisheries and inshore coastal
resource management. 21-26 July, Semarang, Indonesia.
FAO. 1981. "The prevention of losses in cured fish." FAO Fish. Tech. Pap., 219,
87 p.
Garnjanagoonchorn, W. and Lertsupakul, S. 1990. "Quality development of dried
squid." Paper presented at the Seventh Session of the IPFC Working Party
on Fish Technology and Marketing, Bangkok, Thailand. 19-22 April 1988.
FAO Fisheries Rep. 401 Suppl. Rome, FAO, pp. 260-267.
Haard, N.F. 1992. "Technological aspects of extending prime quality of seafood."
J. Aquatic Food Product Technology, 1(3/4):9-27.
Immaculate, K., Sinduja, P., Velammal, A., and Patterson, J. (2013). Quality and
shelf life status of salted and sun dried fishes of Tuticorin fishing villages
50
51
Tokunaga, T. 1987. "Drying fish products utilizing far infrared radiation." New
Food Industry, 29(4):10-15.
Trim, D.S. and Curran, C.A. 1983. Comparative study of solar and sun drying in
Ecuador. London: Report of the Tropical Products Institute, L60. 44 p.
Venugopal, V., Ghandi, S.V. and Nair, P.M. 1992. "Value added products from
low cost fish mince." ASEAN Food Journal, 7(1):3-12.
Vibulsresth, P. 1984. "Aw of food and IMF food." Kasetsart University, Bangkok,
Thailand, 16 p.
Wheaton, F.W. and Lawson, T.B. 1985. Processing Aquatic Food Products. New
York: John Wiley & Sons. 518 p.
Yamada, N. and Wada, S. 1988. "Production of dried marine products using far
infrared." Res. Fisheries, 7(2):85-89.
52